Setelah keluar dari ruangannya, Raja melihat penampilan Pia yang akan membuat siapapun bertanya-tanya.
Wanita dengan pakaian pengantin, seharusnya berada di acara pernikahan, tetapi Pia malah berada di rumah sakit.
Kebaya putih itu tak lagi bersih, melainkan kotor dengan banyak noda tanah. Selain itu, wajah Pia tampak kusut. Seperti merefleksikan isi dalam pikiran Pia.
Dia ini mau pergi ke nikahan tapi kecelakaan atau mau nikah diam-diam tapi tidak disetujui orang tuanya?
Raja membatin seraya melihat ke arah pintu di mana punggung Pia sudah tak tampak lagi.
Banyak kemungkinan buatan dan dugaan-dugaan di pikiran Raja membuatnya melepas infus di tangan.
“Tuan, mau kemana?” Rudi, sang supir pun heran melihat Raja kini bersikeras turun dari brankar.
“Ambilkan kursi roda. Cepat!” bentak Raja. Meski gerakan egoisnya itu membuatnya sedikit meringis kesakitan.
“Tuan, itu tidak mungkin…”
“Bedebah! Kau mau aku pecat?” Iras Raja kian berubah dingin.
Rudi yang ingin menolong pun akhirnya mencari kursi roda seperti yang diperintahkan. Sebab tidak ingin bernasib sama seperti yang lainnya.
Dalam satu bulan, Raja sudah berganti supir sebanyak sembilan kali. Dan Rudi adalah yang kesepuluh.
Raja tidak main-main. Pia harus membayar mahal karena sudah membuat tulangnya patah.
Raja dikenal manusia tak berhati. Dingin, egois dan ingin menang sendiri. Sekalipun menghadapi lawan tak seimbang, Raja tak ingin kalah apalagi bermurah hati pada musuhnya.
Akan tetapi pada Pia, semilir angin seperti menggerakkannya untuk menyusul gadis itu dan memberikan penawaran berbeda.
Ketika Raja menyambangi di mana Pia berada, samar-samar suara tangis menarik perhatiannya. Raja menyaksikan tanpa menyela, diam mengamati, menyimpulkan dengan cepat apa yang dialami oleh keluarga Pia.
Sebuah senyum licik nan mematikan terukir di bibir Raja.
“Kamu jangan bicara sembarangan, anak muda,” Syifa tidak yakin jika Raja ingin menikahi putrinya. “Kamu siapa?”
“Jaga bicara anda, Nyonya. Apa anda tidak mengenal Keluarga Dakara?” Rudi tidak terima ada orang yang tidak sopan pada tuannya.
“Dakara?” seru Nizar dan Syifa bersamaan. Keduanya melihat Raja dengan seksama. Selama ini Nizar dan Syifa hanya mendengar nama keluarga itu dan aktivitasnya di televisi.
“Anda… Raja Dakara?” Nizar mencoba mengingat-ingat. “Putra semata wayang keluarga Dakara itu? Anak konglomerat di kota ini?”
“Aku hanya seorang pebisnis, Tuan Nizar.” Raja menjawab datar dengan tatapan tajam. Persis seperti predator yang tidak pernah memberi belas kasih pada mangsanya.
“Anak konglomerat, Yah?” Syifa berbisik pada Nizar. Dan sang suami pun mengangguk membenarkannya.
Bibir Syifa merekah bahagia. Kapan lagi dirinya dapat menantu kaya raya. Syifa tak henti-henti tersenyum dan memeluk Nizar dengan suka cita. Ternyata habis gelap memang selalu terang yang terbit.
Bahkan melebihi ekspektasi Syifa. Ini bukan lagi terang biasa, melainkan terang benderang menyilaukan mata.
Orang-orang di desa pasti terkejut jika mengetahui hal ini.
Akan tetapi, Syifa tiba-tiba menoleh lagi pada Raja. ‘’Anda serius, kan, Tuan?’’
“Saya tidak pernah main-main. Putri anda hampir membuat saya kehilangan nyawa. Dan itu adalah harga yang harus dibayar olehnya. Dia juga berhutang biaya rumah sakit.”
‘’Apa?’’
Penjelasan Raja kian menggaduhkan suasana.
Syifa menodong Pia dengan tatapannya dan Pia hanya tertunduk. Dalam sehari Pia banyak sekali membuat masalah. Setelah ini apa lagi?
Pia mengerti jika Syifa marah padanya, tetapi, menikah dengan orang yang tidak dikenalnya karena tidak sengaja menabrak, apakah mungkin Syifa tega?
Pia tidak mencintai Raja.
Dan lagi, pernikahan seharusnya tidak terjadi hanya karena hutang.
Akan tetapi, harga diri Syifa begitu tinggi sehingga langsung saja setuju tanpa memperdulikan perasaan Pia.
“Ayah…” Pia meminta pembelaan kepada Nizar, namun Nizar pun tidak bisa berbuat banyak.
“Apa kamu ingin melihat keluarga kita malu, Nak?” Nizar begitu kasihan pada Pia, tetapi keadaan menekan begitu dalam.
Mereka hanya manusia yang diberi nyawa tanpa harta. Yang tersisa hanyalah nama dan harga diri.
Sehingga walau terpaksa, harus memperjuangkan apa yang tengah dimiliki.
“Jika menikah dengan saya, pihak nyonya tidak akan rugi sama sekali. Malahan sebenarnya, sayalah yang dirugikan dan anda yang diuntungkan.”
Syifa yang sedang keruh pikirannya pun, begitu mudah termakan kata-kata Raja.
“Tapi…”
“Jangan keras kepala. Lihat ayah dan ibumu!” Raja mendekati Pia dalam penolakannya.
Betapa Pia bisa melihat kesedihan dan secercah kelegaan di iras Nizar dan Syifa. Ego yang ingin menolak, harus melawan orang-orang tercinta. Dimana keadilan? Di mana kasih sayang antara orang tua dan anak? Mengapa hidup sangat jahat padanya?
“Tuan, apakah ini sebanding? Anda adalah orang berpunya, wanita cantik banyak di luaran sana.” Mengingat betapa terkenalnya Raja, mudah baginya untuk mencari seorang istri yang lebih darinya.
“Sangat sebanding,” jawab Raja tanpa ragu. “Jika menikah denganku, nasib keluargamu akan selamat dari rasa malu. Kalian akan dihormati juga disegani.”
“Kami tidak butuh itu!” tekan Pia. Harta bukanlah segalanya dan Pia tidak pernah memandang pria dari materi. “Saya sudah punya calon suami!”
“Calon yang mana?” Raja menyeringai merendahkan. Untuk menyadarkan Pia jika Rama telah meninggalkannya.
“Setidaknya dia tidak pernah menggunakan hutang sebagai cara untuk menikahi saya!”
“Tapi kita sekarang terlilit hutang gara-gara Rama, Pia. Apa kamu lupa?” timpal Syifa.
Pia pun menarik napas dalam-dalam. Mengapa Syifa mengatakan itu di depan Raja? Permasalahan yang diketahui Raja pun jadi semakin lebar.
Raja kian di atas angin. Dari luar tampak tanpa emosi dan tenang, tapi tarikan napas yang pelan, sungguh sikap itu sangat menghina Pia. Di saat dirinya dililit tali masalah, hadirnya Raja semakin menambah lilitan itu dan mencekiknya hingga sulit bernapas.
Kedua tangannya pun mengepal kuat.
“Bagaimana bisa membandingkan bekas calon suamimu itu denganku, Nona Pia?”
Kali ini seringai sinis Raja bagai sengatan lebah yang membakar tubuh Pia. Kata-kata Raja menusuk namun begitulah kenyataannya. Memang sakit untuk didengar.
Sampai kini pun Pia tidak menyangka Rama begitu tega padanya. Mengkhianati cinta berumur sepuluh tahun.
Senang sedih, jatuh bangun bersama, berjuang dari titik terendah hingga hampir mencapai puncak hubungan, tetapi Rama melupakan semua yang telah mereka lalui begitu mudahnya.
“Tapi tetap, saya tidak bisa.” Pia berharap Raja mengerti kondisinya. Akan tetapi…
“Pia!”
Teriakan Syifa sampai terdengar seisi ruangan. Beruntung di ruangan itu hanya ada mereka berempat. Jika tidak, sudah pasti akan mengganggu ketenangan pasien lain.
Syifa bukan ibu yang jahat dan Pia bukan anak yang tidak patuh ataupun nakal. Tetapi saat ini kehormatan keluarga Pia sedang terancam. Benar-benar berada di ujung tanduk. Dan Raja sudah berbaik hati memberi bantuan tanpa melihat status mereka. Namun, mengapa Pia begitu egois? Pikir Syifa.
“Ibu tidak mau tahu! Kamu harus menikah dengan Tuan Raja.”
Air mata Pia kembali menetes.
Karena Rama, Pia jadi terkena masalah lain yang tak terduga.
Sekarang, apakah Raja sedang mencoba menambah luka di hatinya?
Jika demikian, maka Raja sudah sangat berhasil.
Karena akhirnya Pia pun menikah dengan Raja dalam keadaan apa adanya. Yaitu hati terpuruk dan jiwa yang rapuh.
“Itu dia nyonya orangnya.” Dewi langsung menunjuk Pia yang dicari-cari oleh Suri. “Kamu! Kemari kamu! Cepat!” Bahkan tanpa menyapa atau berkenalan sama sekali Suri meminta Pia menghampirinya. Suri tidak peduli. Citra Pia di matanya sudah jelek. Yang terpenting bagaimana memisahkan Raja dari Pia. Titik. “Kamu apakan anakku sampai-sampai bisa kamu menikah dengannya?” todong Suri langsung. Sementara Dewi tetap diam, dirinya pun begitu penasaran apa yang terjadi. Tidak mungkin sang tuan muda mau menikah dengan upik abu seperti Pia. Jika tidak dipaksa, pastilah dijebak. “Sa… saya…” Pia bisa melihat ketidakrelaan seorang ibu dari mata Suri. Berbeda sekali dengan ibunya yang malah mendukung pernikahannya dan Raja, padahal Pia tidak mau. Mati-matian menolak, namun selalu disudutkan dengan bencana yang dibuatnya. “Kamu nggak bisu, kan? Cepat jawab!” Suri tidak mau Pia berada di tengah keluarganya yang harmonis. “Nyonya, saya…” Ingin menerangkan jika dirinya pun terpaksa, namun saya
“Istri?”Dewi menganga hingga mulutnya kemasukan lalat.“Fuuhh… fuuh… binatang sialan.” Dewi meludah hingga binatang itu keluar.Meski lalat membuatnya kesal, tetapi ada yang lebih membuatnya jauh lebih murka dari itu. Tidak mungkin Pia istri dari majikannya.Dicampakkan Rama malah mendapat Raja.Dibuang seperti sampah malah dipungut oleh berlian.“Tidak. Ini pasti salah.”Rama yang bekerja sebagai bawahan, namun Pia mendapatkan atasannya.“Itu nggak mungkin, kan?” Dewi melihat Rama yang sama syoknya. Dewi tidak terima dan masih menolak di hatinya, mungkin saja salah mendengar.Ya. Pasti begitu.“Ma? Itu betulan istrinya Raja?” Diva pun penasaran, karena, penampilan Pia tidak mencerminkan kriteria seorang Raja.“Coba mama bicara dulu.”Suri pun menyusul Raja ke kamar. Tetapi baru beberapa langkah, Rama sudah memotong jalannya.“Nyonya, ijin saya mau bicara sebentar.”Di mata Suri, Rama adalah pria baik, sopan dan giat yang mana telah mengabdikan dirinya selama sepuluh tahun bekerja
Prang.Karena terlalu syok, kehadiran Rama itu membuat Pia tak sengaja menjatuhkan gelas. “Ma- maaf. Saya ambil sapu dulu.” Cepat-cepat Pia lari ke belakang dan ingin membersihkan pecahan gelas.Debaran jantung tak terkira. Air di tenggorokan naik turun tiada ujung. Napas tidak teratur seakan melihat hantu. Pia memukul kepalanya mengira mimpi. Namun…“Kamu? Ngapain kamu di sini?” Rama berdiri di hadapan Pia.Ternyata semua itu sungguhan.Perlahan masalah dengan Raja membantunya melupakan Rama, tapi pria itu malah datang lagi. Seketika hati Pia pun merasakan perih.Sedangkan di sisi lain, Rama juga sama terkejutnya seperti Pia. Melihat Pia berada di tempatnya bekerja, pikiran Rama pun jadi kemana-mana.Mungkinkah Pia sampai sejauh itu ingin membalaskan dendam?Pikiran buruk pun menghantui dan segala kemungkinan terburuk yang akan dihadapi Rama.“Jawab! Kamu kenapa bisa di sini?” Rama tidak bisa menahan kekesalannya. Apalagi Pia muncul di hadapan orang-orang di rumah tempatnya mengab
Tiada hari tanpa air mata.Setiap berhadapan dengan Raja, mata Pia tidak pernah tidak tenggelam oleh kesedihan.Makanan yang dibuat Pia pun tidak pernah ada yang benar. Entah itu rasanya yang tidak pas, bentuknya yang aneh ataupun penyajiannya yang kurang tepat. Jangankan melewati tenggorokan, baru mencicipi satu ujung sendok saja sudah dimuntahkan olehnya.Posisi ayam yang tidak terlihat rapi pun sudah membuat Raja tidak berselera.Semua harus sempurna di mata Raja. “Kau bisa membuatku mati kelaparan.” Brak!Raja membanting sendok dengan kasar.Membuat jari-jari Pia saling meremas satu sama lain. Meluapkan kekesalan, kemarahan yang entah sampai kapan bisa dilepaskan.Namun sepertinya tak akan pernah bisa, karena Pia tidak memiliki kekuatan melakukannya.Nyawanya memang masih berada pada tubuhnya, tapi hidupnya kini bukan lagi miliknya. Pia harus menuruti semua keinginan Raja. “Pesan makan di restoran!” Untuk kesekian kalinya. Perut yang sudah berbunyi minta diberi asupan itu pun
Bau menyengat dari minyak angin akhirnya membangunkan Pia dari tidur panjang.Dan saat matanya terbuka, yang dilihat pertama kali olehnya adalah Raja. Menatap dengan sangat tidak bersahabat dan juga dingin.“Aku yang sakit, tapi kau yang pingsan.”Tarikan nafas kasar Raja memaksa Pia untuk cepat-cepat bangun.Rasanya masih tidak percaya jika Pia menikah dengan Raja. Juga masih tidak percaya bila pernikahannya hancur karena Rama memilih menikahi wanita lain.Pia masih kesulitan menerima. Ikhlas pun mungkin tidak akan pernah bisa.Selama apapun hubungan terjalin, ternyata tidak menjamin akan berakhir di pelaminan.Tapi apa mau dikata, nyatanya cinta Rama tidak sebesar cinta Pia. Pun tidak bisa menghindari pernikahan yang tak diinginkan demi kehormatan orang tua.“M-maaf, Tuan.” Pia tertunduk. Juga memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Sepertinya Pia pingsan karena lapar. Tidak terasa hari sudah malam, dan Pia belum makan sejak kemarin. Padahal semua itu dilakukannya demi menjaga pe
Hari di mana Pia harusnya menikah, memang benar terjadi.Namun semua di luar bayangan Pia, karena, mempelainya bukanlah laki-laki yang melamarnya dan telah menjalin hubungan sebelumnya dengannya. Melainkan orang tak dikenal. Yang baru saja Pia jumpai hari ini karena tak sengaja mencelakainya.Selama di jalan tak satu pun kata keluar dari Raja. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya dan Pia dengan pikirannya.Saat ini Rama pasti sedang berbulan madu dengan Dewi. Menikmati indahnya pengantin baru.Pia. Kuatlah. Kamu tidak boleh memikirkan laki-laki itu. Kamu juga harus bahagia.Namun bahagia seperti apa jika menikah karena terpaksa?Karena terjerat hutang?Tidak. Tidak ada kebahagiaan dalam pernikahan kalau bukan dilandaskan cinta.Hal itu membuat Pia tertunduk sedih. Raja yang menyadari kemurungan tersebut memilih berkutat dengan benda pipihnya. ‘’Sudah sampai.’’ Sang supir berkata lalu membukakan pintu untuk Raja dan Pia.Raja turun lebih dulu meski susah payah.Pia pun terkesima meli