“Ikut denganku, aku tidak akan membiarkanmu menikah dengan pria brengsek itu.”
Suara Hazel terdengar mantap, meski jantungnya berdegup kencang. Ia tau resikonya, tapi tak peduli. Ia hanya ingin membawa gadis itu pergi dari mimpi buruk.
Tapi kemudian...
“Memangnya kau bisa membawa calon istriku ke mana?”
Suara berat dan dingin itu menghentikan gerakannya.
Tubuh Hazel langsung menegang. Udara di sekitarnya mendadak terasa menipis. Dengan pelan, ia menoleh, dan seperti mimpi buruk yang terwujud, Xavier berdiri di sana. Tegak, santai, dan mengerikan. Senyum tipis di bibirnya tak menunjukkan kebahagiaan, itu ancaman. Sorot matanya menusuk seperti belati.
Hazel secara refleks berdiri di depan Luna, melindunginya. Gadis ini seharusnya menikah dengan saudara Hazel, bukan dengan psikopat gila itu!
“Xavier…” gumamnya pelan, seperti mencicipi nama yang terasa pahit di lidah.
“Kenapa kalian begitu menginginkan gadis ini? Apa kalian tidak tahu besok adalah pertunangan kami?” ucap Xavier, tenang tapi tajam seperti pisau yang baru diasah.
Hazel menatapnya lurus. Ia tak akan mundur. “Aku rela Luna menikah dengan siapa pun… asal itu bukan kau,” katanya. “Kau terlalu brengsek untuknya.”
Xavier menyapu Hazel dari kepala hingga kaki, seolah menilai nilainya seperti barang murahan. Hazel bisa merasakan amarah membara dalam dada. Tapi ia tetap berdiri tegak.
“Sebaiknya kau menyingkir sebelum aku yang membuatmu menyesal,” ucap Xavier dingin.
Hazel mengangkat dagunya, tubuhnya menegang siap bertarung. “Kau pikir aku takut pada ancamanmu?”
Dan benar saja, pria itu melangkah.
Hazel menghalangi. Tangannya terangkat, melindungi Luna. Ia tahu tubuhnya tak sebanding dengan kekuatan Xavier, tapi jika ia bisa memberi waktu untuk Luna kabur, sedetik saja, itu sudah cukup.
Xavier tampak muak. “Kau benar-benar membuang waktuku,” geramnya.
"Oh ya? Apa kau berani menyakiti wanita?" ejek Hazel dengan suara penuh cemooh.
“Kenapa tidak?” senyum sinis Xavier mengembang sebelum tubuhnya bergerak seperti kilat.
Hazel nyaris tak melihatnya.
Refleks, tangannya menangkis dan berhasil! Bahkan Xavier terdorong dua langkah ke belakang. Jantung Hazel berdegup lebih kencang, tapi ia tahu... itu belum apa-apa.
Dan benar saja.
Dalam satu kedipan, dunia Hazel jungkir balik. Tubuhnya melayang. Dada terasa remuk saat punggungnya membentur dinding. Suara keras menggemuruh di telinganya, lalu semuanya kabur.
Sakit. Tapi ia memaksa bangkit.
Luna berteriak, suara gadis itu pecah oleh ketakutan. Tapi Xavier sudah kehilangan kendali. Dia menyerang seperti binatang buas. Hazel mencoba melawan, tapi pukulannya tak seberapa dibanding kekuatan mentah pria itu. Ia terlatih, ya, tapi ini bukan sekadar pertarungan fisik. Ini seperti melawan monster.
Untuk kedua kalinya, tubuh Hazel menghantam dinding. Kali ini lebih keras. Pandangannya kabur, tapi ia tetap mencoba bangkit. Belum sempat berdiri penuh, tangan dingin mencengkram lehernya.
Udara lepas dari paru-parunya.
Tubuhnya terangkat, menggantung. Hazel mencakar tangan Xavier, mencoba melepaskan diri, tapi tak ada hasil. Pandangannya mulai menghitam.
“HAZEL!!” jerit Luna.
Hazel tak bisa menjawab. Bahkan bernafas pun sulit.
“Lucu,” bisik Xavier di telinganya. “Kau seperti anak kucing yang mencakar harimau.”
Cengkramannya semakin kuat. Hazel merasa dunia semakin jauh… semakin gelap… dan nafasnya terasa berat.
Lalu ia jatuh seiring Xavier melepaskan cengkramannya.
Udara kembali mengalir ke paru-parunya dengan keras. Ia terbatuk, terengah, tubuhnya bergetar.
Tapi Xavier belum selesai.
Tangannya mencengkram rahangnya, keras, menyakitkan. Hazel bisa mendengar tulangnya berderak pelan.
“Beritahu kakakmu,” bisik pria itu. “Kalau dia tak berhenti… maka aku yang akan menghentikannya. Dan itu... akan jauh lebih menyakitkan dari ini.”
Satu dorongan. Hazel kembali terhempas ke lantai. Dunia berputar, lehernya terasa perih, begitu juga bekas cengkraman Xavier di rahangnya.
Matanya terbuka saat melihat Xavier menarik Luna menjauh. Gadis itu masih berusaha meronta, air mata membasahi wajahnya.
Hazel menggertakkan gigi, tubuhnya gemetar bukan hanya karena sakit... tapi karena marah.
Mulai hari ini, hanya ada satu nama yang akan selalu ada di dalam kepalanya.
Satu nama yang telah masuk daftar hitam kebenciannya… orang yang ingin ia lihat kehancurannya.Xavier.
Ternyata ruang bawah tanah yang Xavier tunjukkan pada Hazel bukan hanya sekedar bunker gelap tak terurus, melainkan labirin tersembunyi yang mengarah jauh lebih dalam. Sebuah lorong panjang bercabang membawanya menuju ujung yang tak terduga, berakhir di sebuah celah rahasia yang langsung menghadap ke laut terbuka.Di mulut lorong itu, tanaman liar menjalar liar dan lebat, membentuk tirai alami yang menyamarkan keberadaannya. Hazel memandangi pemandangan itu dengan takjub, di balik semak liar dan reruntuhan batu, terdapat keindahan alam yang tak tersentuh dan menenangkan.“Jadi... saat semua kekacauan itu terjadi, kau dan ibumu sempat bersembunyi di sini?” tanya Hazel saat mereka kembali ke ruang utama bawah tanah.Xavier yang tengah membongkar isi peti kayu tua menoleh sekilas. Cahaya remang memantul di wajahnya, menciptakan bayangan tegas di rahangnya yang kaku.“Kami bersembunyi di sini saat semuanya mulai hancur. Aku masih remaja waktu itu. Setelah ibuku meninggal, aku kabur... ke
Pagi itu, udara Italia menyambut dengan kehangatan yang menenangkan. Laut berkilau, mentari memeluk pelan kulit bumi yang masih lembab sisa embun malam. Hazel membuka jendela kamarnya yang semalam tidak ia tutup dengan gorden, dengan penuh perasaan ia menghirup dalam-dalam udara laut yang segar.Hari ini, ia telah merencanakan liburan kecil untuk dirinya sendiri. Sebuah yacht pribadi, laut tenang, dan waktu untuk menikmati segalanya... sendirian. Ya, hanya dirinya dan lautan. Tak ada gangguan. Tak ada keributan. Tak ada...dia.Dengan semangat, Hazel melangkah menuju dermaga, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya, senyum menggantung tipis di wajah. Ia sudah menyewa sebuah yacht untuk menikmati udara tenang dan hangat ini tanpa gangguan, ya begitulah rencana awalnya, sampai kekecewaan yang akhirnya Hazel dapatkan.Senyum itu langsung pudar begitu ia melihat sosok menyebalkan itu berdiri santai di atas dek yacht, tangan bersandar pada pagar kapal, dan tentu saja senyum angkuh menghi
Hazel akhirnya tiba kembali di penginapan, tanpa gangguan dari Xavier, tanpa suara langkah yang mengintai, hanya kesunyian malam yang menggantung di udara. Ia menutup pintu kamarnya perlahan, seolah takut suara berderit bisa memicu masalah lain.Dengan langkah lesu, ia menjatuhkan diri ke atas ranjang. Punggungnya menyentuh kasur dingin, dan sebuah helaan nafas panjang lolos dari bibirnya. Matanya terpejam sejenak, lalu terbuka menatap langit-langit yang tak menawarkan jawaban apa pun."Ini benar-benar di luar nalar," batinnya. "Aku pergi jauh-jauh ke Italia demi menjauh dari Xavier, untuk menikmati hidup santai meski sejenak. Tapi ternyata aku justru datang ke tempat asalnya, seolah semesta sedang mempermainkanku."Hazel menggigit bibir bawahnya, perasaan frustasi dan lelah bergumul di dadanya. "Setiap kali aku berada di tempat yang sama dengannya... selalu ada yang tidak beres. Selalu ada yang berbahaya. Dan aku lelah."Ia hendak kembali memejamkan mata, berharap tidur bisa menghapu
Angin malam Italia berhembus lembut, membawa aroma sungai Arno yang mengalir tenang di bawah cahaya bulan. Hazel berdiri di balkon kecil hotel tempatnya menginap, membiarkan semilir udara segar menyapu rambut dan wajahnya yang masih menyimpan sisa-sisa lelah dari perjalanan panjang.Matanya mengamati panorama kota Firenze yang menyala hangat oleh lampu jalan dan sinar dari jendela toko-toko tua. Di kejauhan, kubah-kubah bangunan klasik berdiri megah, seolah menyambutnya ke dalam kisah lain yang akan segera dimulai.Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Hazel merasa sedikit bebas. Tidak ada bayangan yang membuntuti, tidak ada suara langkah tergesa di belakangnya, dan tidak ada darah. Hanya ketenangan... setidaknya begitu yang ia harapkan.Ia mengenakan mantel tipis, lalu melangkah keluar dari hotel. Tujuannya sederhana, mencari makan malam dan menikmati malam di negeri asing ini. Langkahnya menyusuri jalanan berbatu khas kota tua, hingga matanya menangkap sebuah restoran k
Hazel tidak pulang ke apartemennya malam itu. Setelah kejadian gila yang datang tak diundang, ia memilih mengikuti Nico ke apartemen pria itu. Begitu pintu tertutup rapat di belakang mereka, Hazel menjatuhkan tubuhnya ke sofa, lelah, dingin, dan penuh kekacauan. Nafasnya masih belum stabil, dan rambutnya berantakan menempel di wajah yang pucat.Nico berdiri sejenak di dekat pintu, memeriksa ulang kuncinya sebelum matanya menatap Hazel yang tampak jauh dari biasanya. Penuh luka kecil, tanpa sepatu, dan terbalut gaun pesta yang kini tampak seperti sisa dari medan perang.“Bagaimana kau bisa ada di tempat itu?” tanyanya akhirnya. Suaranya datar, tapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan. “Beberapa menit sebelumnya, bukankah kau masih di pesta?”Hazel hanya menoleh sambil menyandarkan kepala ke punggung sofa. Tatapannya kosong. “Setelah kau meneleponku tadi… aku keluar, dan semuanya berantakan dalam hitungan menit.”Nico melangkah lebih dekat, kali ini nada
Gaun biru laut membalut tubuh Hazel dengan anggun, mengalir lembut mengikuti langkah kakinya yang mantap memasuki ballroom megah yang dipenuhi cahaya keemasan. Di wajahnya, topeng hitam elegan menyembunyikan identitasnya, menyatu sempurna dengan atmosfer pesta topeng yang memancarkan kesan eksklusif dan rahasia. Namun Hazel tidak datang sendiri, secara kebetulan, ia bertemu Nico di perjalanan, dan tanpa banyak bicara, menyeret lelaki itu bersamanya.Nico yang berjalan di sampingnya tampak tak nyaman, bibirnya menekan kesal. “Apa kau sudah gila?” gumamnya pelan namun tajam.Hazel menyeringai santai. “Kau juga tidak sibuk, kan? Apa salahnya kalau kau menemaniku datang ke pesta?”“Kita tidak sedekat itu. Hanya karena Luna menikah dengan kakakmu, sekarang kau malah memanfaatkan diriku,” sahut Nico ketus.Hazel hanya terkekeh ringan, tak menanggapi lebih jauh. Ia tahu Nico tidak akan pernah bisa benar-benar menolaknya jika ia sudah memaksa. Tapi demi menjaga mood pesta tetap nyaman, ia memb