Hari sudah sangat larut, Hazel berlari dengan cepat melewati jembatan dermaga menuju sebuah kapal pesiar.
Beberapa hari sudah berlalu pasca pertarungan dengan Xavier. Selama itu, Hazel berusaha memulihkan diri dengan cepat.
Dan kali ini, Hazel kembali dengan misi khusus, tentu saja untuk menyelamatkan calon kakak iparnya, Luna, dari cengkraman pria brengsek itu!
Begitu sampai di atas kapal pesiar mewah yang bersandar tenang, Hazel langsung masuk tanpa ragu. Tanpa buang waktu, ia menuju mini bar yang terletak di lantai atas. Malam ini ia perlu bersantai sebelum mulai tugasnya.
Begitu masuk, suara musik pelan menyambutnya, disertai aroma alkohol dan parfum pria kelas atas. Hazel melirik ke arah bartender dan senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Hai, Jack." sapanya.Jack yang kebetulan teman satu sekolahnya dulu kini berdiri di balik meja bar, menoleh dan menyambutnya dengan senyum menggoda. "Wow, Hazel! Lama tidak bertemu. Kau makin cantik… dan sexy. Mau kubuatkan sesuatu yang spesial?"
Hazel mengangguk singkat. Jack pun segera meracik minuman, tangannya lincah, seperti tak pernah kehilangan keahlian sebagai peracik minuman.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Jack, basa-basi.
Hazel menghela nafas sambil menyandarkan tubuh ke meja bar.
"Baik… atau lebih tepatnya, sedikit rumit. Kau tahu, wanita yang Jacob cintai akan menikah dengan pria menyebalkan." Nada suaranya penuh kekesalan.Jack menatap Hazel dengan tatapan penasaran. "Jadi, kau mencoba menggagalkan pernikahan itu… agar dia bisa bersama saudaramu?"
"Tepat sekali." Hazel mengangguk dengan percaya diri, tapi ekspresinya berubah ketika mencicipi minuman yang disodorkan Jack. Ia menyipitkan mata.
"Kau sepertinya lupa menambahkan sesuatu di minuman ini."Jack hanya tertawa kecil dan mengedikkan bahu. "Karena kau teman lama, ambil sendiri di belakangku. Kau pasti paham apa yang kurang, kan?"
Hazel tak menunggu persetujuan kedua. Ia masuk ke balik bar, membungkuk di antara rak botol dan alat-alat, mencari bahan yang ia inginkan. Tapi detik berikutnya, langkah kaki berat terdengar memasuki bar.
"Siapkan dua minuman. Temanku akan datang sebentar lagi." Suara itu asing, tapi tegas.
Hazel langsung berhenti bergerak. Ia beringsut perlahan ke sisi rak, mengintip diam-diam dari celah botol wine.
Dan disitulah dia melihat seseorang duduk dengan santai. Tak lama kemudian, seorang pria lain datang, seketika darah Hazel langsung mendidih.
"Sial, pria brengsek itu juga datang kemari," gumamnya. Dengan cepat, ia bersembunyi di bawah meja bar, menahan nafas, berusaha tidak membuat suara sekecil apa pun. Keberadaannya tak boleh diketahui Xavier. Tidak sekarang.
"Kabarnya, ayah dari tunanganmu sedang kena masalah besar," ujar teman Xavier santai.
"Apa pernikahanmu masih tetap akan dilanjutkan?"Hazel menahan nafas, mendengarkan setiap kata pembicaraan mereka.
Xavier tersenyum kecil, suara gelas beradu di meja terdengar nyaring.
"Aku tidak tahu," jawabnya datar. "Kita lihat saja nanti. Tapi satu hal yang pasti… orang di balik semua kekacauan ini adalah Jacob."Hazel membelalak. Tangannya mengepal erat, kukunya nyaris menancap ke telapak tangan karena nama saudaranya terseret dalam pembicaraan mereka.
"Mungkin dia juga yang membuatku hampir tersandung masalah kemarin," lanjut Xavier santai. Lalu ia menyeringai. "Tapi kau tahu, aku justru menikmatinya. Permainan ini. Bayangkan... Jacob mencintai wanita yang sekarang jadi tunanganku. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya melihat wanita yang kau cintai… berdiri di altar, bersanding dengan orang lain?"
Tawa ringan Xavier dan temannya terdengar seperti ejekan dingin. Seperti dua iblis yang sedang menari di atas luka orang lain.
Dan Hazel mendengar semuanya. Diam-diam, di bawah meja, dengan nafas tertahan dan dada yang terbakar. Amarah mengalir liar dalam tubuhnya. Ia ingin keluar saat itu juga, melayangkan tamparan ke wajah pria itu.
Tapi ia tahu... ini belum waktunya.
__
Setelah beberapa saat diam dan menguping pembicaraan mereka, akhirnya mereka pun pergi, sementara itu, Jack melihat ke arah tempat persembunyian Hazel.
“Mereka sudah pergi. Kau bisa keluar dari persembunyianmu sekarang,” ucapnya pelan.
Hazel menghela nafas panjang, dadanya masih sesak menahan emosi. Perlahan, ia merangkak keluar dari bawah meja, lalu berdiri sambil menatap lurus ke arah pintu tempat Xavier barusan lenyap.
“Sialan...” desis Hazel, tinjunya mengepal erat di sisi tubuh. "Kenapa setiap orang yang dekat dengan Luna selalu menganggapnya pion? Seolah dia hanya alat tukar, bukan manusia."
Amarahnya tak tertahan. Hatinya terbakar saat mendengar bagaimana Xavier membicarakan Luna seolah gadis itu hanya sebuah trofi dalam persaingan. Hazel tahu pasti, jika dibiarkan, pernikahan itu akan menjadi neraka yang hanya menyisakan luka. Dan ia tidak akan membiarkan itu terjadi.
"Luna lebih pantas bersama saudaraku," gumamnya, matanya masih terpaku di pintu. “Setidaknya Jacob tidak pernah melihat Luna sebagai alat permainan.”
Sementara Hazel larut dalam pikirannya, si bartender kembali membersihkan gelas sambil mencuri-curi pandang, ekspresinya masih menyimpan rasa ingin tahu.
“Terima kasih atas bantuannya,” kata Hazel akhirnya.
Pria itu menyeringai santai. “Bukan masalah. Tapi… aku penasaran,” ujarnya sambil bersandar pada konter, menyipitkan mata penuh goda. “Kau kelihatan panik sekali waktu lihat pria tadi. Hmm… jangan-jangan dia mantan kekasihmu?”
"Jangan mulai memancing masalah, Jack!" potong Hazel dengan nada kesal.
Namun bukannya berhenti, pria itu justru tertawa pelan dan meracik satu gelas koktail lagi lalu menggeser minuman itu ke arah Hazel. "Santai saja. Tenangkan dirimu dengan ini," godanya. "Sepertinya kau benar-benar tidak baik-baik saja setelah bertemu mantan kekasihmu."
Hazel memutar bola matanya, lalu mendesah keras. Pria ini benar-benar menyebalkan.
"Sebaiknya kau diam, Jack!" geram Hazel.
Jack hanya terkikik pelan, tapi perhatiannya langsung tertuju pada tangan Hazel yang terangkat. Matanya menyipit begitu melihat sesuatu yang berkilau di jari manis wanita itu.
"Wow, apa itu?" tanya Jack.
"Aku sudah bertunangan," ujar Hazel tegas, menatap Jack dengan serius dan memamerkan cincin tunangannya. "Tahun depan aku akan menikah. Dan pria tadi…" ia menggertakkan giginya, "dia bukan mantan, bukan orang yang dekat denganku, dan bukan seseorang yang ingin aku bahas lebih jauh."
Alis Jack terangkat dengan ekspresi tertarik, "Mungkin sekarang tidak, tapi siapa yang tau kalau kau akan jatuh hati pada pria tadi." goda Jack dengan seringai jahilnya.
Tapi, dengan cepat Hazel membantah, "ITU TIDAK AKAN PERNAH TERJADI!"
Sebelumnya, sangat di sarankan untuk membaca karyaku yang judulnya [Diam-Diam Menikmati] Karena di judul itu ada bagian yang gak di jelaskan di sini. Terima kasih :D
Hari-hari terus bergulir, dan tanpa sadar, Hazel mulai memahami betapa ajaibnya peran sebagai seorang ibu. Setiap kali ia mendekap Mason di dadanya untuk menyusui, hatinya selalu dipenuhi rasa syukur yang tak terlukiskan. Namun, dibalik kelembutan itu, ada sosok lain yang tak kalah besar pengorbanannya, Xavier. Xavier begitu setia berada di sisi mereka. Malam-malam panjang yang penuh tangisan bayi tak membuatnya mengeluh sedikit pun. Bahkan ketika Hazel sudah terlelap karena kelelahan, Xavier rela begadang, memangku Mason di lengannya hingga fajar menyingsing, memastikan bayi kecil itu merasa aman dan hangat. Tidak sekalipun Hazel mendengar Xavier menggerutu, justru setiap pagi, senyum lembut selalu tersungging di wajah Xavier, seolah menjaga Mason adalah kehormatan terbesar dalam hidupnya. Kehadiran Mason membuat rumah mereka jauh berbeda dari sebelumnya. Tidak lagi sunyi dan kaku, melainkan ramai oleh tangisan, rengekan, lalu perlahan berubah menjadi celoteh manja, tawa riang, dan
Pagi itu menjadi hari bersejarah baru untuk hidup Xavier. Degup jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, setiap detik yang berjalan terasa seperti satu jam penuh penyiksaan. Tatapannya terpaku pada pintu ruang bersalin yang masih tertutup rapat, sementara jemari tangannya terus mengepal, seakan hanya itu satu-satunya cara menahan rasa cemas yang bergolak dalam dadanya. Begitu pintu berderit terbuka, Xavier langsung berdiri tegak, tubuhnya kaku menahan harap sekaligus takut. Ia hampir tak berani bernafas saat dokter keluar dengan wajah tenang. "Bagaimana, Dokter?" tanyanya terburu-buru, suaranya serak penuh kegelisahan. "Semua baik-baik saja, Tuan. Anda bisa masuk." Jawaban itu bagai beban raksasa yang lepas dari dadanya. Xavier melangkah cepat, dan matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat dadanya sesak oleh emosi, bayi mungil mereka sedang dibersihkan perawat, tubuh kecil itu masih tampak merah, tangannya mengepal, hidup, nyata. Namun alih-alih menyambut bayinya te
Waktu terasa berjalan semakin cepat bagi Hazel. Kandungannya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan segala hal di sekelilingnya seolah hanya berputar pada satu titik, persiapan menyambut sang buah hati. Xavier tidak pernah berhenti sibuk, setiap hari selalu ada saja yang ia lakukan demi memastikan semua sempurna. Kamar bayi yang tadinya kosong kini berubah menjadi ruangan penuh kehangatan. Dindingnya dicat lembut dengan warna biru muda berpadu putih, rak kecil penuh buku dongeng berjajar rapi di sudut, dan sebuah ranjang bayi berlapis kain halus tampak sudah siap menunggu kehadiran seorang penghuni mungil. Semua detail dipilih langsung oleh Xavier, bahkan ia sendiri yang memasang hiasan dinding berbentuk bintang dan bulan, seakan ia ingin bayi mereka selalu tidur dalam mimpi yang indah. Selama sebulan terakhir, meski tubuhnya sempat dihajar morning sickness yang parah, Xavier tetap memaksakan diri untuk aktif. Ia melatih dirinya merawat bayi, belajar mengganti popok, memandikan,
Hazel duduk di ruang tamu, tangannya memijat pelan perutnya yang masih datar. Sekilas ia melirik ke arah dapur, mendengar suara piring dan pisau beradu satu sama lain. Senyum kecil tak bisa ia tahan. Xavier seorang pria yang selama ini dikenal keras, dingin, bahkan brutal di dunia luar, kini sibuk seperti ayah rumah tangga, mempersiapkan potongan buah, susu rendah lemak, hingga camilan sehat seolah Hazel benar-benar tak boleh menyentuh apapun yang kurang bermanfaat.Namun, di balik rasa hangat itu, Hazel juga merasa dirinya seolah “terikat.” Baru keluar rumah sakit, Xavier memperlakukannya seperti porselen yang rapuh. Duduk di kursi roda, diantar ke sana kemari, bahkan berjalan lima langkah saja sudah dilarang.“Aku bisa berjalan sendiri,” gumam Hazel, kali ini dengan nada agak kesal. Ia melirik kursi roda yang Xavier lipat dan letakkan di sudut ruangan. “Aku bukan pasien lagi, Xavier…”Tak lama kemudian, pria itu muncul membawa nampan. Di atasnya tersusun rapi potongan apel, pir, dan
Jam satu dini hari, keheningan yang seharusnya menjadi malam pertama mereka sebagai pengantin baru justru pecah oleh detak cemas. Hazel terbaring dengan tubuh menggigil, wajahnya pucat, dan suhu tubuhnya melonjak tinggi. Xavier yang panik tak sempat berpikir panjang, ia segera mengangkat tubuh Hazel, menyelimutinya, lalu melajukan mobil menuju rumah sakit dengan kecepatan yang tak biasa. Bagi Xavier, itu bukan sekadar rasa cemas biasa. Ia terbiasa menghadapi bahaya, darah, dan bahkan kematian dalam hidupnya, namun melihat Hazel terkulai lemah di pelukannya, tubuhnya gemetar karena demam, membuat hatinya nyaris hancur. Setibanya di rumah sakit, tenaga medis segera membawa Hazel masuk ke ruang perawatan darurat. Xavier hanya bisa menunggu di luar, berjalan mondar-mandir dengan nafas berat. Setiap detik terasa lebih panjang dari biasanya. Tepat pukul dua dini hari, pintu ruang perawatan terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi tenang, berbeda jauh dari kegelisahan Xavier. “Bagai
Dua minggu berlalu terasa begitu cepat, dan kini waktu yang dinanti hampir tiba. Resepsi pernikahan Hazel dan Xavier hanya tinggal menghitung jam. Ballroom hotel megah itu telah berubah menjadi istana cahaya, dihiasi ribuan bunga putih yang membentuk lengkungan indah di sepanjang jalan masuk, kristal-kristal lampu gantung berkilau bagaikan bintang, sementara meja-meja bundar ditata dengan elegan, lengkap dengan wine termahal yang siap disajikan untuk para tamu undangan kelas atas yang akan meramaikan pesta. Sekarang masih pukul tiga sore, sedangkan pesta baru akan dimulai pukul tujuh. Hazel duduk di kursi panjang yang menghadap cermin rias. Harusnya, ia merasa bahagia. Seorang pengantin yang baru saja resmi menjadi istri tentu menantikan malam gemilang ini. Namun, entah kenapa, perasaan yang Hazel rasakan berbeda. Ada sesuatu yang menekan dadanya, membuat ia sulit menata emosi. Xavier mendekat dengan langkah tenang. Bayangan tubuh tegapnya terpantul jelas di cermin. “Ada apa? Kau mer