Share

Tawanan yang Menawan
Tawanan yang Menawan
Author: Frands

Bab 1

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-04-30 20:09:39

“Yang mulia, sebentar lagi adalah waktu yang tepat melakukan ritual pembuahan!”

Seorang wanita cantik yang menggunakan kebaya lengkap dengan selendang yang disampirkan di lengannya, tengah berdiri dengan kepala tertunduk di depan singgasana.

“Carilah laki-laki untuk sang putri!” Sahut wanita lain yang tengah duduk di singgasana dengan sangat berwibawa.

Wanita itu, walaupun tegap dan terlihat ganas, memiliki tubuh yang tinggi dan begitu berisi. Otot-ototnya yang liat tak menutupi keanggunan gunungan miliknya yang begitu besar, tertutup kain sutra tipis yang membuat keduanya membayang jika ditatap dari arah berlawanan.

Namun, tidak ada yang tergoda. Sebabnya, tak lain karena kerajaan tersebut seluruh penduduknya berjenis kelamin wanita!

“Ta–tapi Yang Mulia, bukankah Tuan Putri masih sangat muda untuk ritual ini?”

Wanita yang sedang duduk di singgasana langsung berdiri dengan mata yang melotot tajam.

“Jangan membantah! Laksanakan!”

Wanita yang menghadap itu langsung pergi meninggalkan ruangan dengan langkah sedikit cepat. Penampilannya cukup elegan, terlihat dari beberapa perhiasan simpel yang melekat di tubuhnya seperti kalung, anting, maupun gelang.

Sementara itu di luar, wanita yang baru saja menghadap bercucuran keringat. Ia menatap seorang perempuan yang berpakaian hampir sama dengannya dengan gusar.

“Bagaimana ini Panglima? Ratu menyuruh kita agar mencari pria untuk Tuan Putri. Aku rasa ini juga belum saatnya bagi Tuan Putri.”

Panglima itu mengernyitkan dahi, “Bukankah harusnya giliran Ratu Arunya sendiri yang harus melakukan ritual itu?”

–––-------–––

Wiryana Pangestu terbangun karena terdengar suara langkah kaki yang bergesekan dengan dedaunan.

Matanya terbuka, dia mendapati dirinya berada di sebuah hutan yang sangat lebat.

Di hadapan Wirya terlihat sebuah mata tombak yang mengarah begitu dekat, beberapa inchi dari wajahnya.

“A–ada apa ini?” Suara Wirya sedikit tercekat melihat beberapa wanita sudah mengelilinginya sambil mengacungkan tombak dan pedang.

Para wanita itu memakai baju zirah sederhana yang terbuat dari kulit tebal, memperlihatkan perut mereka yang begitu mulus dengan kulit mereka yang kecoklatan.

Beberapa dari mereka mereka memiliki kaki yang begitu jenjang. Sebagiannya lagi memiliki buah dada yang begitu membuat Wirya tergoda. Belum lagi wajah masing-masing dari mereka yang memiliki kecantikan yang begitu khas.

“Tu–tunggu, tolong jelaskan di mana aku sekarang!”

Bugh!

Ujung kayu tombak tiba-tiba saja menerjang kening Wirya, membuatnya seketika sempoyongan.

“Jangan melawan! Kamu telah memasuki wilayah kami!” Teriak salah seorang dari mereka dengan suara lantang.

Meskipun yang di hadapan Wirya hanya lima orang wanita, namun mereka terlihat cukup kuat karena mereka adalah prajurit kerajaan yang terlatih.

Hal itu dibuktikan dari bagaimana ketangkasan mereka mengikat Wirya dengan cepat.

“A–apa yang kalian inginkan dariku?” Nada bicara Wirya masih dipenuhi ketakutan.

Keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya yang sudah mulai terikat dengan kedua tangan di belakang.

“Diam kamu! Penyusup!”

Dengan kasar para wanita itu mulai menggiring Wirya untuk berjalan keluar dari hutan.

Entah kesialan apa yang menimpa Wirya. Kehidupan yang sebelumnya tenang kini berubah setelah dianggap sebagai penyusup.

“Sepertinya aku telah terlempar kembali ke masa lalu.”

Dia hanya mengingat bahwa dirinya menemukan sebuah jam genggam kuno di sebuah rumah yang akan ia beli. Namun saat dia menekan tombol pada jam tersebut pandangannya menjadi gelap hingga dia sadar ketika para wanita itu menyergapnya.

“Apa ini karena benda itu? Aku tidak percaya kalau hal seperti itu benar-benar ada.” Gumam Wirya.

Sepanjang perjalanan Wirya berusaha mengamati keadaan sekitar meski dengan rasa takut dan bingung.

Pakaian para wanita itu memang tampak asing bagi Wirya, tak sama seperti pakaian yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

“Ayo cepat jalan!” Para wanita itu bertindak semakin kasar seolah tak membiarkan Wirya menyadari apa yang sedang menimpanya.

Wirya menunduk ke arah tubuhnya, dia mulai menyadari pakaian yang dikenakan bukan kaos atau kemeja yang sering dia pakai. Rupanya Wirya hanya memakai baju tanpa lengan yang terbuat dari katun tipis dengan warna cokelat.

Wirya terus digiring hingga sampai di depan sebuah pemukiman yang tak begitu padat. Para penduduk seketika menghentikan aktivitas mereka ketika rombongan prajurit yang menggiring Wirya melintas.

“Siapa itu yang ditangkap prajurit kerajaan?” Bisik beberapa penduduk dengan rasa takut.

“Apa itu yang dinamakan pria?”

“Aku tak pernah melihat jenis yang seperti mereka. Tapi dari berita yang beredar kita tidak boleh mendekat dengan manusia yang berjenis pria.”

Bisik-bisik para penduduk terdengar samar karena ada larangan untuk membahas tentang laki-laki di kerajaan.

Wirya sempat memandangi beberapa penduduk, namun ada hal aneh yang mengganjal di hatinya. Sejauh matanya menyapu, memang tak ada satu pun penduduk laki-laki yang dia temukan saat itu.

Semuanya wanita, memakai kemben yang dililitkan di dada. Beberapa dari mereka ada yang memakai kebaya yang sederhana.

Dalam kebingungan yang luar biasa, ada satu hal yang kini bisa Wirya pastikan. Dia merasa seperti di zaman kerajaan.

Sebuah tembok besar menjulang tinggi di hadapannya seolah meyakinkan dirinya ini memang sebuah kerajaan.

“Ma–maaf. Kalau aku boleh tahu, apa nama kerajaan ini?” Wirya bertanya kepada prajurit yang sedang menggiringnya.

“Wanawaron. Apa kau tidak bisa membacanya?”

Ternyata kerajaan itu adalah Wanawaron, hal itu tertulis dengan aksara kuno di atas gerbang kayu tinggi sebagai akses masuk yang tepat berada di tengah tembok besar.

Wirya memang tak begitu mengerti tentang aksara kuno, maupun bahasa kuno. Kerajaan Wanawaron tak bisa kita temukan di buku sejarah yang dipelajari di sekolah.

Tepat saat pintu gerbang di buka Wirya menjadi sangat ketakutan setelah menyadari semua yang terjadi saat ini.

“Lepaskan aku! Aku tak mau menjadi tahanan kalian. Aku bukan orang sini.”

Dengan gerakan meronta sebisanya, Wirya berusaha lari dari para prajurit dengan sekuat tenaga meski dalam kondisi tangan yang terikat.

Wirya memang bukan orang dari jaman ini. Dia tanpa sadar melakukan perjalanan kembali ke masa lalu hingga sampai di jaman kerajaan Wanawaron.

Berlari sekencang-kencangnya adalah hal yang bisa dilakukan Wirya saat itu untuk menghindari kejaran para prajurit.

“Jangan lari!”

Karena tubuh Wirya masih terikat, dia merasa sedikit kesusahan untuk berlari. Namun tiba-tiba seseorang muncul dari depan menghadang Wirya hingga terjengkang.

Buk!

Orang itu langsung duduk di atas perut Wirya yang terbaring di tanah.

Namun, bukan itu yang mengejutkan Wirya!

Wanita di depannya ini… tak mengenakan…

Melihat apa yang ada di depannya, seketika ada yang berontak di balik celananya…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 160

    Beberapa minggu telah berlalu sejak penobatan Wirya, dan istana kerajaan Nusantara mengalami perubahan drastis. Aturan baru yang ditetapkan Wirya—bahwa semua penghuni istana harus telanjang—telah menciptakan atmosfer yang penuh dengan hawa nafsu. Suatu pagi, ketika Wirya sedang duduk di singgasananya dengan beberapa wanita telanjang mengelilinginya, tiba-tiba muncul kilatan cahaya terang di tengah ruang takhta. Dari cahaya itu muncul dua sosok—Joko Loyo yang tampak tua dan bijaksana, serta Murni, istrinya yang cantik dengan mata penuh kelembutan.“Wirya!” hardik Joko Loyo, matanya menyala-nyala melihat pemandangan tak senonoh di istana. “Apa yang telah kau lakukan?”Wirya bangkit dari singgasana, dengan sombongnya menunjukkan tubuh telanjangnya yang perkasa. “Joko Loyo! Lihatlah kerajaanku! Aku memiliki segalanya di sini!”Murni menutup matanya, malu melihat kemerosotan moral Wirya. “Wirya, kami mengirimmu ke masa lalu untuk menyelamatkan sejarah, bukan untuk menghancurkannya!”Joko

  • Tawanan yang Menawan   Bab 159

    Wirya menarik napas dalam. “Cincin ini... lagi-lagi...”Amita meletakkan gelas dan mendekat. “Kau tidak harus melawan hasratmu sendiri, Wirya. Kau adalah raja sekarang.”Dia berlutut di depan Wirya, tangan hangatnya menyentuh kaki Wirya. “Biarkan aku membantumu malam ini.”Cincin itu berdenyut lebih kencang, seakan menyetujui. Dan untuk malam ini, Wirya memutuskan untuk menyerah pada takdir dan hasrat yang telah dipilihkan untuknya.Amita mendekat dengan langkah yang penuh keyakinan, matanya tidak lagi memancarkan sikap prajurit yang tegas, melainkan kelembutan seorang wanita. Cahaya bulan dari balkon menerpa sisi wajahnya, menciptakan siluet yang memesona.“Wirya,” bisiknya, tangannya yang biasanya memegang pedang kini dengan lembut melepaskan jubah kerajaan yang dikenakan Wirya. “Kau tidak perlu melawan ini. Cincin itu adalah bagian dari takdirmu, dan hasrat ini adalah bagian dari kekuatanmu.”Wirya menarik napas dalam, mencoba melawan gelombang gairah yang semakin menjadi. “Tapi...

  • Tawanan yang Menawan   Bab 158

    Hampir tiap hari Wirya dan Ratu Arunya sering mengunjungi gua tersebut.Di dalam gua yang diterangi cahaya keemasan dari cincin Wirya, ketika dua tubuh itu terpisah dengan napas masih tersengal. Arunya berbaring di atas jubahnya yang terhampar, wajahnya memancarkan kepuasan dan kedamaian yang lama hilang. Dari luar gua, suara Amita memanggil dengan hormat. “Yang Mulia? Pemukiman pertama sudah siap. Rakyat menanti perintah berikutnya.”Wirya dan Arunya saling memandang. Saatnya kembali kepada tanggung jawab. Dengan gerakan perlahan, mereka mengenakan kembali pakaian mereka. Wirya membantu Arunya berdiri, dan di matanya kini terlihat penghormatan yang berbeda.“Siapakah yang akan kau pilih sebagai permaisuri?” tanya Arunya sambil merapikan rambutnya. “Amita mungkin pilihan yang tepat. Dia kuat dan disegani.”Wirya menggeleng. “Masih terlalu cepat untuk memikirkan itu. Kerajaan harus dibangun terlebih dahulu. Dan...” dia menatap Arunya, “apa yang baru saja terjadi antara kita...”“Adala

  • Tawanan yang Menawan   Bab 157

    “Aku...” gumamnya, suaranya bergetar. “Aku akan tinggal.”Dia berlutut menghadap Ratu Arunya, mengangkat tubuhnya perlahan. “Bangunlah, Yang Mulia. Aku bersumpah akan membantumu membangun kerajaan baru. Masa depanku... biarlah menjadi masa lalu.”Ratu Arunya memeluk Wirya erat, tangisnya pecah melegakan.Di tepi pantai, rombongan terakhir kerajaan yang hancur mulai menaiki perahu-perahu yang telah disiapkan. Wirya berdiri di samping Ratu Arunya, memandang lautan luas yang akan mereka seberangi.“Tanah baru itu bernama Nusantara,” ucap Ratu Arunya, matanya menerawang mengingat sesuatu. “Tempat di mana leluhur kita pertama kali menginjakkan kaki.”Amita mendekat dengan beberapa peta kuno di tangannya. “Menurut catatan, di sana terdapat tanah subur dengan sungai-sungai yang jernih. Tapi...” dia berhenti sejenak, “menurut legenda, tempat itu juga dijaga oleh roh-roh penjaga yang perkasa.”Wirya merasakan cincin di jarinya bergetar halus. “Aku merasa... ada yang memanggil dari sana. Sepert

  • Tawanan yang Menawan   Bab 156

    Wirya memeluk Arunya erat, mengarahkan telapak tangannya sekali lagi. Kali ini, dengan keyakinan penuh, dia membayangkan melindungi Arunya dan menghentikan Candra Damar untuk selamanya.Cincin itu menyala dengan intensitas luar biasa, membentuk perisai energi yang mendorong Candra Damar hingga terpental ke dalam terowongan. Batu-batu mulai runtuh, menutup pintu keluar.Saat debu mengendap, Wirya dan Arunya terduduk lelah. Mereka selamat, tapi kehilangan Surya. Di kejauhan, asap masih membubung dari istana yang hancur.“Perjuangan belum berakhir,” bisap Arunya, “tapi hari ini, kita masih punya harapan.”Wirya memapah tubuh Ratu Arunya yang lemah melalui hutan belantara menuju titik evakuasi di Pantai Gua Karang Timur. Dengan setiap langkah, harapan mereka untuk menemukan para pengungsi yang selamat semakin berkobar. Namun, yang menyambut mereka hanyalah pemandangan yang menghancurkan hati.“Tidak...!” tercekik Arunya begitu matanya menangkap sosok yang terbaring di antara reruntuhan pe

  • Tawanan yang Menawan   Bab 155

    Surya melemparkan busurnya dan menghunus pedang. “Laporan kematianku terlalu berlebihan, Candra. Dan sekarang, aku datang untuk mengembalikan kehormatan kerajaan!”Dia melompat ke tengah ruangan, pedangnya berkilat di cahaya bulan. “Anak muda! Lindungi Ratu! Aku yang akan menghadapi mereka!”Wirya segera berlari ke arah Arunya, melepaskan jubahnya sendiri untuk menutupi tubuh ratu yang setengah telanjang. Pertarungan sengit pun pecah antara Surya melawan pasukan Candra Damar, memberikan harapan baru di tengah keputusasaan.Surya bergerak lincah seperti harimau, pedangnya menari-nari membentuk lingkaran cahaya perak. Setiap tebasannya tepat sasaran, menjatuhkan prajurit Pasukan Bulan satu per satu. Darah berceceran di lantai candi yang dingin.“Wirya, bawa Ratu pergi dari sini!” teriak Surya sambil menangkis serangan tiga prajurit sekaligus.Wirya dengan sigap mengangkat tubuh Ratu Arunya yang masih lemah. “Ke mana kita harus pergi?”“Terowongan di balik patung dewa!” sahut Surya singk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status