“Yang mulia, sebentar lagi adalah waktu yang tepat melakukan ritual pembuahan!”
Seorang wanita cantik yang menggunakan kebaya lengkap dengan selendang yang disampirkan di lengannya, tengah berdiri dengan kepala tertunduk di depan singgasana. “Carilah laki-laki untuk sang putri!” Sahut wanita lain yang tengah duduk di singgasana dengan sangat berwibawa. Wanita itu, walaupun tegap dan terlihat ganas, memiliki tubuh yang tinggi dan begitu berisi. Otot-ototnya yang liat tak menutupi keanggunan gunungan miliknya yang begitu besar, tertutup kain sutra tipis yang membuat keduanya membayang jika ditatap dari arah berlawanan. Namun, tidak ada yang tergoda. Sebabnya, tak lain karena kerajaan tersebut seluruh penduduknya berjenis kelamin wanita! “Ta–tapi Yang Mulia, bukankah Tuan Putri masih sangat muda untuk ritual ini?” Wanita yang sedang duduk di singgasana langsung berdiri dengan mata yang melotot tajam. “Jangan membantah! Laksanakan!” Wanita yang menghadap itu langsung pergi meninggalkan ruangan dengan langkah sedikit cepat. Penampilannya cukup elegan, terlihat dari beberapa perhiasan simpel yang melekat di tubuhnya seperti kalung, anting, maupun gelang. Sementara itu di luar, wanita yang baru saja menghadap bercucuran keringat. Ia menatap seorang perempuan yang berpakaian hampir sama dengannya dengan gusar. “Bagaimana ini Panglima? Ratu menyuruh kita agar mencari pria untuk Tuan Putri. Aku rasa ini juga belum saatnya bagi Tuan Putri.” Panglima itu mengernyitkan dahi, “Bukankah harusnya giliran Ratu Arunya sendiri yang harus melakukan ritual itu?” –––-------––– Wiryana Pangestu terbangun karena terdengar suara langkah kaki yang bergesekan dengan dedaunan. Matanya terbuka, dia mendapati dirinya berada di sebuah hutan yang sangat lebat. Di hadapan Wirya terlihat sebuah mata tombak yang mengarah begitu dekat, beberapa inchi dari wajahnya. “A–ada apa ini?” Suara Wirya sedikit tercekat melihat beberapa wanita sudah mengelilinginya sambil mengacungkan tombak dan pedang. Para wanita itu memakai baju zirah sederhana yang terbuat dari kulit tebal, memperlihatkan perut mereka yang begitu mulus dengan kulit mereka yang kecoklatan. Beberapa dari mereka mereka memiliki kaki yang begitu jenjang. Sebagiannya lagi memiliki buah dada yang begitu membuat Wirya tergoda. Belum lagi wajah masing-masing dari mereka yang memiliki kecantikan yang begitu khas. “Tu–tunggu, tolong jelaskan di mana aku sekarang!” Bugh! Ujung kayu tombak tiba-tiba saja menerjang kening Wirya, membuatnya seketika sempoyongan. “Jangan melawan! Kamu telah memasuki wilayah kami!” Teriak salah seorang dari mereka dengan suara lantang. Meskipun yang di hadapan Wirya hanya lima orang wanita, namun mereka terlihat cukup kuat karena mereka adalah prajurit kerajaan yang terlatih. Hal itu dibuktikan dari bagaimana ketangkasan mereka mengikat Wirya dengan cepat. “A–apa yang kalian inginkan dariku?” Nada bicara Wirya masih dipenuhi ketakutan. Keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya yang sudah mulai terikat dengan kedua tangan di belakang. “Diam kamu! Penyusup!” Dengan kasar para wanita itu mulai menggiring Wirya untuk berjalan keluar dari hutan. Entah kesialan apa yang menimpa Wirya. Kehidupan yang sebelumnya tenang kini berubah setelah dianggap sebagai penyusup. “Sepertinya aku telah terlempar kembali ke masa lalu.” Dia hanya mengingat bahwa dirinya menemukan sebuah jam genggam kuno di sebuah rumah yang akan ia beli. Namun saat dia menekan tombol pada jam tersebut pandangannya menjadi gelap hingga dia sadar ketika para wanita itu menyergapnya. “Apa ini karena benda itu? Aku tidak percaya kalau hal seperti itu benar-benar ada.” Gumam Wirya. Sepanjang perjalanan Wirya berusaha mengamati keadaan sekitar meski dengan rasa takut dan bingung. Pakaian para wanita itu memang tampak asing bagi Wirya, tak sama seperti pakaian yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. “Ayo cepat jalan!” Para wanita itu bertindak semakin kasar seolah tak membiarkan Wirya menyadari apa yang sedang menimpanya. Wirya menunduk ke arah tubuhnya, dia mulai menyadari pakaian yang dikenakan bukan kaos atau kemeja yang sering dia pakai. Rupanya Wirya hanya memakai baju tanpa lengan yang terbuat dari katun tipis dengan warna cokelat. Wirya terus digiring hingga sampai di depan sebuah pemukiman yang tak begitu padat. Para penduduk seketika menghentikan aktivitas mereka ketika rombongan prajurit yang menggiring Wirya melintas. “Siapa itu yang ditangkap prajurit kerajaan?” Bisik beberapa penduduk dengan rasa takut. “Apa itu yang dinamakan pria?” “Aku tak pernah melihat jenis yang seperti mereka. Tapi dari berita yang beredar kita tidak boleh mendekat dengan manusia yang berjenis pria.” Bisik-bisik para penduduk terdengar samar karena ada larangan untuk membahas tentang laki-laki di kerajaan. Wirya sempat memandangi beberapa penduduk, namun ada hal aneh yang mengganjal di hatinya. Sejauh matanya menyapu, memang tak ada satu pun penduduk laki-laki yang dia temukan saat itu. Semuanya wanita, memakai kemben yang dililitkan di dada. Beberapa dari mereka ada yang memakai kebaya yang sederhana. Dalam kebingungan yang luar biasa, ada satu hal yang kini bisa Wirya pastikan. Dia merasa seperti di zaman kerajaan. Sebuah tembok besar menjulang tinggi di hadapannya seolah meyakinkan dirinya ini memang sebuah kerajaan. “Ma–maaf. Kalau aku boleh tahu, apa nama kerajaan ini?” Wirya bertanya kepada prajurit yang sedang menggiringnya. “Wanawaron. Apa kau tidak bisa membacanya?” Ternyata kerajaan itu adalah Wanawaron, hal itu tertulis dengan aksara kuno di atas gerbang kayu tinggi sebagai akses masuk yang tepat berada di tengah tembok besar. Wirya memang tak begitu mengerti tentang aksara kuno, maupun bahasa kuno. Kerajaan Wanawaron tak bisa kita temukan di buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tepat saat pintu gerbang di buka Wirya menjadi sangat ketakutan setelah menyadari semua yang terjadi saat ini. “Lepaskan aku! Aku tak mau menjadi tahanan kalian. Aku bukan orang sini.” Dengan gerakan meronta sebisanya, Wirya berusaha lari dari para prajurit dengan sekuat tenaga meski dalam kondisi tangan yang terikat. Wirya memang bukan orang dari jaman ini. Dia tanpa sadar melakukan perjalanan kembali ke masa lalu hingga sampai di jaman kerajaan Wanawaron. Berlari sekencang-kencangnya adalah hal yang bisa dilakukan Wirya saat itu untuk menghindari kejaran para prajurit. “Jangan lari!” Karena tubuh Wirya masih terikat, dia merasa sedikit kesusahan untuk berlari. Namun tiba-tiba seseorang muncul dari depan menghadang Wirya hingga terjengkang. Buk! Orang itu langsung duduk di atas perut Wirya yang terbaring di tanah. Namun, bukan itu yang mengejutkan Wirya! Wanita di depannya ini… tak mengenakan… Melihat apa yang ada di depannya, seketika ada yang berontak di balik celananya…“Tiga kali,” bisik Ibu Puji, suaranya pecah. “Tiga kali melahirkan anak laki-laki. Tiga kali mendengar tangisan bayi di tengah malam sebelum mereka dibawa pergi selamanya.” Tangannya mengepal erat. “Sekarang aku sudah tiga puluh lima tahun. Aku sudah mulai menyerah untuk mendapatkan penerusku.”Wirya berdiri tegak, tubuhnya gemetar. “Itu biadab!” “Di sini, itu disebut hukum,” jawab Ibu Puji sambil memungut pahatnya. Wirya menggeleng, tak percaya. “Jadi para bangsawan istana menentukan kehidupan kalian.” Ibu Puji mengangguk pahit, serbuk kayu berjatuhan dari jemarinya yang kaku. “Ratu, panglima, para menteri... mereka punya hak istimewa. Bisa memilih dari tawanan terbaik, yang sehat dan kuat.” “Bagaimana dengan kalian?” “Kami dapat apa yang tersisa,” Ibu Puji memicingkan matanya. “Atau lebih sering satu orang untuk beberapa penduduk. Kalau tidak mau harus antre lama, kadang sampai giliran habis sebelum dapat kesempatan.” Wirya mengepalkan tangannya. “Itu tidak adil!” “D
“Sungguh ironis sekali hidup ini, aku memang ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hubunganku dengan keluargaku.”Wirya menutup mata. Tiba-tiba, bayangan rumah ibunya di kampung halaman muncul begitu jelas. Suara televisi yang selalu diputar ibunya meski tak ada yang menonton. Foto-foto keluarga di dinding yang dulu selalu ia abaikan. “Tapi waktu menghukumku ke masa yang terlalu jauh, dimana tak ada keluargaku,” ucapnya lirih, sambil mengunyah makanan dalam mulutnya. Dia membayangkan ibunya sekarang—mungkin sedang duduk sendirian di ruang tamu, menunggu telepon yang tak kunjung datang. Tanpa tahu anaknya hilang di lorong waktu. “Maafkan aku, Bu,” bisiknya pada bayangan ibunya dalam pikirannya.Asap tungku dari api milik wanita pengrajin itu berhembus ke arah Wirya membuat matanya perih. Air mata Wirya menetes tanpa sadar. “Kau baik-baik saja?” tanya wanita pengrajin, Wirya mengangguk, menelan sesuap nasi yang tiba-tiba terasa pahit. “Hanya... rindu rumah.” Suas
Matahari pagi mulai meninggi, Wirya berdiri di gerbang istana tanpa membawa apapun kecuali pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Dua prajurit wanita bersenjata lengkap sudah menunggu dengan sikap waspada. Salah seorang pelayan istana mendekat ke arah Wirya, menyerahkan kantong kulit berisi ramuan penawar. “Untuk sore nanti,” ucapnya singkat sebelum segera pergi. Dari balik tiang marmer, Kirani muncul dengan diiringi dua dayangnya. “Wirya,” panggilnya, suaranya berusaha tetap tenang. Para penjaga segera memberi jalan saat sang Putri mendekat. “Jaga dirimu,” bisik Kirani sambil berpura-pura menata kerah baju Wirya. Jarinya yang halus menyambar baju Wirya berpura-pura merapikannya.Wirya mengangguk hampir tak terlihat. “Aku akan pergi, Tuan Putri.” Panglima Amita yang mengawasi dari kejauhan tiba-tiba berseru, “Cukup! Sudah waktunya pergi!” Dengan langkah mantap, Wirya berbalik meninggalkan istana.Wirya melangkah keluar melewati gerbang istana, diiringi dua prajuri
Maya menelan ludah, matanya berbinar. “Apa... apa yang kau inginkan?” Wirya tersenyum—senyum tanpa kegembiraan. “Katakan pada mereka di luar bahwa pemeriksaan sudah selesai. Dan hasilnya... positif.” Maya menggeleng, wajahnya memerah. “Tapi Baginda Ratu akan—“ “Kau ingin melihatnya, bukan?” Wirya memotong, suaranya tiba-tiba berubah menjadi bisikan yang dalam. Matanya menangkap tatapan penasaran Maya yang sesaat terlalu lama tertuju di bagian bawah tubuhnya. Dewi Kirani menahan napas di sudut ruangan, matanya berbinar penuh pertanyaan. Dengan gerakan lambat, Wirya melepas ikatan di pinggangnya. “Aku tahu kau penasaran,” bisiknya, melihat Maya yang tiba-tiba kesulitan menelan ludah. “Semua wanita di istana ini pasti penasaran.” Maya tidak bisa mengalihkan pandangannya ketika kain linen mulai melorot— “Baiklah!” serunya tiba-tiba, tangannya terangkat untuk menahan. “A-Aku... aku akan katakan apa yang kau mau.” Wirya berhenti, senyumnya semakin lebar. “Pintar.” Di lua
Wirya tiba-tiba maju ke depan. “Mohon izin, Yang Mulia,” suaranya menggelegar di seluruh ruangan, membuat semua mata tertuju padanya. Ratu Arunya mengangkat alis. “Ada apa, Wirya?” Wirya membungkuk rendah, tapi suaranya tetap tegas. “Bukankah lebih pantas pemeriksaan semacam ini dilakukan di ruang tertutup? Agar tidak mempermalukan sang Putri di hadapan banyak orang.” Perdana Menteri Adiwidya tersenyum sinis. “Kau berani memberi tahu kami tentang tata krama istana?” “Bukan tata krama yang kupikirkan,” jawab Wirya, matanya berbinar licik, “tapi bukti yang lebih meyakinkan. Jika Yang Mulia menghendaki kepastian mutlak, izinkan aku juga diperiksa.” Suasana aula mendadak hening. “Kau?” Panglima Amita tertawa kasar. “Apa hubungannya pemeriksaanmu dengan kesucian sang Putri?” Wirya tak gentar. “Ada tanda-tanda fisik pada pria setelah berhubungan intim. Seorang tabib yang terampil pasti bisa mengetahuinya.” Ia menatap langsung ke mata Ratu. “Bukankah Yang Mulia ingin bukti ya
Namun Perut Wirya mulai berdenyut-denyut oleh efek ramuan Lara Waktu yang pernah diberikan oleh Kerajaan agar Wirya tidak melawanKaki langkah ringan mendekat. "Tuan..." Suara itu membuat Wirya menoleh. Seorang dayang muda berdiri dengan mangkuk tembikar kecil di tangannya. Asap hangat mengepul dari cairan kehijauan di dalamnya. "Dayang Sari," Wirya mengenali gadis muda yang sering mengantarkan makanan kepadanya."Ramuan penawar," bisiknya, matanya menunduk tak berani menatap Wirya. "Anda harus segera meminumnya." Wirya menerima mangkuk itu, hidungnya mengerut mencium aroma pahit yang menyengat. Tanpa ragu, ia menenggaknya sekaligus. Cairan itu terasa seperti api menyusuri kerongkongannya. "Terima kasih, Sari." Ujar Wirya sambil mengembalikan mangkuk. Dayang Sari tersenyum kecil. "Tuan harus bersiap karena Yang Mulia Ratu sudah menunggu."Perlahan, rasa panas di perutnya mereda. Otot-otot yang tegang mulai mengendur. Wirya mengangguk, tapi dayang itu sudah berbalik pergi,