“Jangan coba-coba untuk lari.”
Ternyata wanita yang duduk di atas perut Wirya adalah Panglima kerajaan yang bernama Amita Jayani. Sementara Wirya hanya bisa menelan ludah, tubuhnya membeku. Amita menarik tubuh Wirya dengan paksa agar berdiri. “A–apa salahku? Kenapa aku diperlakukan seperti ini?” Keringat di tubuh Wirya mengalir deras. Dia memang tak mengerti kenapa dia harus ditangkap oleh Para Prajurit Kerajaan. Amita memang prajurit terbaik di kerajaan Wanawaron. Seorang diri dia menyeret paksa tubuh Wiryana Pangestu memasuki istana kerajaan. “Ayo cepat jalan! Dasar Pria!” Setelah melewati pelataran istana yang lumayan luas, Amita yang masih menguasai Wirya bertemu Perdana Menteri kerajaan yang sedang berdiri di depan pintu masuk. “Apakah dia yang akan kita jadikan korban?” Tanya Adiwidya. Amita mengangguk dengan percaya diri. Wirya kembali meronta sebelum mereka memasuki aula kerajaan. “Aku mau dijadikan korban apa? Lepaskan aku!” Namun Amita justru melingkarkan belati ke leher Wirya, membuat satu-satunya pria di ruangan itu tercekat! Adiwidya yang berjalan di depan memasuki aula terlebih dahulu. Kemudian disusul Amita yang masih dengan kekerasannya memaksa Wirya. Amita mendorong tubuh Wirya yang masih terikat ke depan hingga tersungkur, “Beri hormat pada Ratu!” Adiwidya selaku perdana menteri maju sedikit ke depan sambil menunduk. “Mohon maaf, Yang Mulia Ratu. Pria ini adalah kandidat untuk tumbal kita.” Ratu Arunya perlahan turun dari singgasananya. Kedua kakinya melangkah dengan sangat elegan menuruni anak tangga. Gaunnya yang panjang menyeret ke tanah menambah kesan anggun dalam setiap gerakannya. “Jadi, siapa namamu?” Arunya sudah berdiri tepat di depan Wirya yang masih tersungkur di lantai. Suara lantang Arunya menggema di ruang sidang kerajaan. “...” Wirya masih tetap diam sambil meringis kesakitan. Di saat Wirya menahan sakit, dari balik pintu sepasang mata sedang mengintip apa yang sedang terjadi di ruang kerajaan. Pintu itu memang memiliki motif melingkar yang memiliki lubang kecil menambah kesan tradisional yang elegan. Mata itu memanfaatkan lubang tersebut untuk terus melihat kejadian demi kejadian. Terlihat Amita memaksa tubuh Wirya untuk berdiri. “Kamu benar sekali, Amita. Jika tidak kasar dia akan melawan.” Arunya mengangkat dagu Wirya dengan ujung jarinya. Amita mengangguk dengan senyuman sambil memegang tubuh Wirya dari belakang. Arunya melangkah mondar-mandir di depan Wirya. “Kita harus mendapatkan bibit unggul untuk Tuan Putri. Aku ingin kita menguji dia terlebih dahulu sebelum ritual benar-banar dilakukan. Jika dia tak layak, langsung lenyapkan saja agar rahasia kerajaan tidak bocor.” Amita dan Adiwidya kompak mengangguk perlahan seolah mereka sudah biasa mendengarkan perintah Sang Ratu. “Amita, bawa dia ke penjara!” “Adiwidya, kamu urus pengujiannya.” Lanjut Ratu Arunya memberi titah dengan sangat lantang. Di balik sikap kasarnya terhadap Wirya, Ratu Arunya Jasarani dikenal rakyat sebagai pemimpin yang baik. Selain baik dia juga memiliki paras cantik dan menjunjung tinggi kebiasaan yang diturunkan dari leluhur pendiri Wanawaron. ––– Wirya akan dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Saat dalam perjalanan rombongan Amita, Adiwidya dan Wirya yang hendak menuju ruang bawah tanah berpapasan dengan seorang wanita yang cantik. Memakai jubah terbuat dari katun tipis, dengan aksesoris perhiasan yang terlihat tampak elegan. “Perdana Menteri, Panglima. Siapa dia?” Suara lembut gadis itu menyapa. Adiwidya dengan sopan sedikit melangkah ke depan, penuh perhatian. “Dia adalah calon untuk ritual pembuahan minggu depan, Tuan Putri.” Ternyata wanita itu adalah Putri dari kerajaan Wanawaron, itu berarti dia adalah anak dari Ratu Arunya Jasarani. Dewi Kirani. Kulitnya yang putih mulus dan bersih tanpa noda kontras dengan rambut hitamnya yang digelung ke belakang. Tubuhnya yang proporsional dengan ukuran bahu, pinggang dan pinggul yang hampir sama tertutup oleh jubah lebar berwarna putih yang sedikit terawang. Hal itu membuatnya menjadi wanita paling cantik di seluruh kerajaan Wanawaron. Kecantikannya tak banyak diketahui oleh kerajaan-kerajaan lain, sehingga disebut sebagai mitos belaka. Dewi Kirani menatap Wirya dengan saksama. Pandangan teduh terpancar dari sorot matanya. “Siapa namamu?” Tanya sang Putri dengan lemah lembut. Wirya yang sejak tadi menunduk, mulai memberanikan diri untuk membalas tatapan Dewi Kirani. Tak sama saat berhadapan dengan Ratu sebelumnya, Wirya membalas ucapan Dewi Kirani. “Wiryana Pangestu.” “Kamu berasal dari mana, Wirya?” Suara lembut Dewi Kirani seperti tiupan seruling yang menghipnotis Wirya. “A–aku.. bukan dari jaman ini.” Setelah mendengar itu, Dewi Kirani mempersilahkan Amita dan Adiwidya melanjutkan perjalanan membawa Wirya ke penjara. Dewi Kirani masih memperhatikan Wirya dari kejauhan. Meski ada pandangan yang aneh dalam tatapan Dewi Kirani. Bukan dari jaman ini! Kalimat itu kian membuat Dewi Kirani penasaran.“Di manakah Putri Dewi Kirani?" tanya Wirya, mencoba memecah kesunyian yang membuatnya tidak nyaman. "Aku ingin bertemu dengannya."Salah satu penjaga meliriknya, wajahnya tetap netral. "Yang Mulia Putri juga sedang mempersiapkan diri untuk upacara nanti. Anda akan bertemu dengannya pada waktunya."Penjaga yang satunya menambahkan dengan suara datar, "Tidak perlu khawatir. Semua sudah diatur untuk... kenyamanan Anda berdua."Jawaban yang samar dan menghindar itu justru membuat Wirya semakin gelisah. Dia mencoba lagi, "Apa yang akan terjadi dalam upacara itu? Apa aku masih harus menghamili Tuan Putri?"Kedua penjaga saling memandang sejenak sebelum yang pertama menjawab, "Itu bukan urusan kami untuk menjelaskan. Anda hanya perlu mengikuti arahan."Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar yang diukir dengan simbol bulan sabit. Salah satu penjaga membukanya, memperlihatkan kamar yang luas dengan bak mandi beruap dan pakaian bersih yang sudah disiapkan."Beristirahatlah," ujar pen
Wirya menyoroti keraguan dalam suaranya. “Tapi apa kau yakin Ratu akan mendengarkanmu?”Amita menghela napas, Wirya melihat kerentanan yang jelas dalam diri sang panglima. “Arunya adalah ratu yang bijaksana, tapi... dia juga sangat teguh pada pendiriannya. Terutama mengenai tradisi.” Dia menunduk, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku hanyalah adik. Dan dalam hal ini... mungkin pengaruhku tidak sebesar yang kuharapkan.”“Tapi setelah semua yang terjadi? Setelah aku melarikan diri?” tanya Wirya lagi.“Mungkin hal itu bisa mengubah cara pandangnya,” jawab Amita, suaranya sedikit lebih keras, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kau telah menunjukkan keberanian, kecerdasan, dan... karakter yang layak dihormati.” Dia berhenti lagi, dan kali ini suaranya nyaris berbisik, “Dan mungkin... hanya mungkin... Wanawaron memang perlu mempertimbangkan kembali beberapa tradisinya.”Pengakuan itu terasa berat baginya, seperti mengucapkan sesuatu yang hampir bersifat penghujatan.Wirya
Pertarungan sengit terjadi. Amita bertahan dengan disiplin tinggi, mencoba mencari celah untuk melumpuhkan tanpa membunuh. Tiba-tiba, dari atas kuda, Wirya berteriak keras.“NINGRUM, HENTIKAN! AMBARANI TIDAK BERSAMA KAMI!”Nama itu mengguncang Amita seperti sambaran petir. Matanya membelalak, memperhatikan lebih cermat wajah wanita yang sedang bertarung dengannya. Di balik coretan darah, keringat, dan amarah yang mendistorsi fitur wajahnya, Amita mulai mengenali sesuatu—sebuah kenangan dari masa lalu yang jauh.“Tunggu...” gumam Amita, langkahnya tiba-tara menjadi kurang ofensif, lebih defensif. “Ningrum? Ningrum yang dulu saat kecil selalu mencuri jambu di kebun istana?”Ningrum mendadak terhenti, serangannya melambat. Napasnya tersengal-sengal, matanya menyipit penuh kebingungan. "Bagaimana kau—?""Kita pernah berlatih pedang bersama di bawah bimbingan Guru Senja!" teriak Amita, mencoba menembus kabut amarah di pikiran Ningrum. "Kau selalu kalah dariku, tapi tidak pernah menyerah!"
Amita menghentikan kudanya, menatap jauh ke arah pepohonan. "Kami bertiga dibesarkan dengan prinsip yang sama: Wanawaron adalah segalanya. Tapi kami memilih jalan yang berbeda untuk menunjukkannya."Dia menoleh, memandang Wirya. "Arunya percaya bahwa mempertahankan tradisi adalah cara terbaik melestarikan Wanawaron. Ambarani yakin bahwa mengubah tradisi adalah satu-satunya cara menyelamatkannya. Dan aku..." Dia menghela napas, "Aku hanya percaya pada hierarki dan disiplin. Aku melayani ratuku, tapi juga melindungi rakyatku—termasuk dari diri mereka sendiri jika diperlukan.""Jadi pada intinya," simpul Wirya, "kalian bertiga sama-sama mencintai Wanawaron, hanya dengan cara yang berbeda."Untuk pertama kalinya, senyum kecil muncul di bibir Amita. "Kau memang bijaksana, Tuan Jaksa. Mungkin itulah sebabnya Ambarani memilih mempertaruhkan segalanya untukmu."Sebutan itu menggantung di udara antara mereka seperti tamparan. Wirya mengeras di tempat duduknya, cengkeramannya pada pinggang Ami
“Jangan menyebut nama itu di hadapanku,” desisnya, suara tiba-tiba penuh dengan getaran emosi yang jarang terlihat.“Kenapa?” tanya Wirya, penasaran. “Meski dia adalah musuh kalian. Tapi yang kulihat... dia tidak seperti yang kau gambarkan.”Amita menarik napas dalam. “Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.”“Yang kukatakan, dia memiliki sisi lembut yang tersembunyi, seperti dirimu,” tukas Wirya. “Dan dia bercerita padaku bahwa dia sebenarnya—““—adik kandung Ratu Arunya,” sela Amita, suara tiba-tara lembut namun penuh beban. “Dan... kakak kandungku.”Wirya tertegun. “Jadi kau sudah tahu?”“Ya,” bisik Amita, matanya menerawang.“Dia memang kakakku. Dia melarikan diri dari Wanawaron karena menentang tradisi kita—ritual yang sekarang akan kau jalani. Dia menganggapnya tidak manusiawi.”Dia menatap Wirya, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan yang dalam di balik armor kekuatan sang panglima."Dia bukan hanya pengkhianat bagi kerajaan, Wirya. Dia adalah pengkhianat bagi kel
Wirya merasa darahnya memanas, campuran dari malu dan sebuah keberanian aneh. “Apa kau belum pernah melihat benda seperti ini, Panglima?”Amita mengangkat pandangannya, bertemu dengan mata Wirya. Wajahnya masih berusaha netral, tetapi ada sesuatu yang berubah di matanya. “Di Wanawaron, banyak wanita yang menginginkan... apa yang kau miliki. Mereka menunggu giliran untuk merasakan.”“Dan kau?” tanya Wirya, berani yang tidak dia kenali dalam dirinya sendiri. “Apakah kau juga menunggu giliran itu, Panglima Amita?”Diam sejenak. Hanya suara sungai yang mengalir.“Aku adalah panglima,” jawabnya akhirnya, suara rendah. “Aku menjalankan tugas. Aku tidak... memperdulikan hal seperti itu.”“Jadi kau belum pernah?” Wirya mendesak, merasa anehnya kekuasaan berada di tangannya sekarang.Amita menghela napas, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan dalam diri wanita perkasa ini. “Tugasku adalah melindungi kerajaan, bukan... memenuhi nafsu. Tapi melihatmu sekarang...” Matanya kembali m