Share

Bab 3

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-04-30 20:11:53

Wirya merenung di dalam penjara seorang diri memikirkan nasib malang yang tengah menimpanya saat ini.

“Kenapa aku justru di penjara? Padahal aku adalah seorang jaksa. Bukannya menuntut kini aku adalah orang yang dituntut.” Gerutu Wirya.

Dia memang baru saja dipromosikan sebagai jaksa penuntut umum di sebuah pengadilan Untuk merayakan jabatannya dia membeli rumah untuk kedua orang tuanya.

Wirya teringat dengan kedua orang tuanya dan seorang kakaknya, meski keluarganya jarang di rumah dan tak banyak mengobrol.

Namun keluarga tetaplah keluarga. Saat mereka jauh, di saat itu rindu melanda.

Wirya melihat tangannya yang sudah tak terikat lagi. “Ah! jam kuno itu!”

Dia kembali teringat akan jam kuno yang membuatnya bermigrasi ke zaman itu. Wirya memeriksa saku celananya, mencoba kemungkinan benda itu masih dibawa olehnya.

“Siaall!!”

Bukannya menemukan jam genggam kuno di sakunya, Wirya justru hanya menemukan selembar uang kertas seratus ribu yang tak berharga sama sekali di sana.

Sementara itu, Dewi Kirani lanjut mengendap-endap menuju ruang bawah tanah. Dinding alami yang terbuat dari batu menandakan bahwa dia sudah sampai di penjara.

Penjara yang berada di bawah tanah ini memang merupakan sebuah gua yang tidak terlalu besar dan panjang. Kerajaan Wanawaron menyebut tempat itu adalah penjara tak berujung, meskipun sebutan itu tak sesuai dengan kondisi yang ada.

“Putri Kirani? Mengapa Anda berada di sini?”

Suara dari belakang Dewi Kirani membuatnya setengah terkejut. “Aku hanya ingin melihat orang yang ada di penjara ini. Menteri Adiwidya sudah memberiku ijin untuk melihat orang yang akan melakukan pengorbanan.”

Dewi Kirani mencoba untuk bersikap tenang agar penjaga tersebut tak curiga padanya.

Benar saja, selain ketenangan Dewi Kirani. Penjaga tersebut sebenarnya tak berani untuk ikut campur urusan seorang Putri Kerajaan.

“Bisakah kalian berjaga di depan pintu masuk, jangan biarkan seorang pun masuk sebelum aku keluar!” Perintah Dewi Kirani dengan nada tegas dan tenang.

Para penjaga yang terdiri dari dua orang yang berdiri di depan penjara Wirya langsung mengangguk dan bergegas keluar dari dalam gua.

Wirya yang sejak tadi diam dan mengamati suasana akhirnya berbicara terlebih dahulu saat Dewi Kirani mendekat.

“Apa kau seorang Putri di Kerajaan ini?” Tanya Wirya.

“Aku tahu kau bukan orang bodoh, kau menyebut dirimu bukan dari jaman ini.” Balas Dewi Kirani tanpa menjawab pertanyaan Wirya secara langsung.

Wirya kini melangkah mendekat ke terali besi untuk berbicara lebih serius dengan Dewi Kirani.

“Iya, aku memang dari masa depan.” Kata Wirya dengan tegas.

“Apa maksudmu dengan masa depan?” Dewi Kirana mengernyitkan dahi seolah tak percaya dengan ucapan Wirya.

“Di jamanku hanya sedikit wilayah yang berbentuk kerajaan, yang ada paling banyak adalah Negara.” Wirya menundukkan kepalanya, merasa rindu dengan rumahnya.

“Apa kamu ingin pulang?” Tanya Dewi Kirani dengan lembut.

Wirya hanya mengangguk tak ingin banyak berbicara dengan Dewi Kirani.

“Wirya, aku merasa kasihan padamu. Aku tahu kamu akan dijadikan korban dari kebiasaan aneh yang di kerajaan ini.” Dewi Kirani menggenggam tangan pria itu dengan lemah lembut.

Wirya langsung mendongak dengan cepat. “Kebiasaan aneh? Apa maksudnya?”

“Entahlah.. Tapi yang aku tahu pasukan kerajaan menangkap orang yang tidak memiliki benjolan di dada. Kemudian di penjara di sini selama tiga bulan, lalu setelah itu...” Dewi Kirani menghentikan ucapannya menahan kesedihan.

“Setelah itu, apa? Dan apa maksudnya orang yang tidak memiliki benjolan di dadanya?” Suara Wirya bergetar, pikirannya dipenuhi rasa penasaran.

“Orang yang di penjara di sini tak tahu ke mana, ada yang bilang mereka di buang ke ke hutan atau ke laut.” Suara Dewi Kirani mulai terdengar berat.

Wirya sedikit mengerti maksud dari Dewi Kirani, orang yang ditangkap akan dimusnahkan.

“A–aku bukan orang yang kalian maksud. Aku bukan orang yang tidak memiliki benjolan di dadaku.”

Dewi Kirani kemudian menarik tangan Wirya, perlahan menuntunnya menuju ke bagian yang tak pernah di duga oleh Wirya.

Di dada Wirya sendiri.

“Coba kamu rasakan, kamu adalah salah satu dari mereka.” Tutur Dewi Kirani pelan.

Wirya mengernyitkan dahinya, “sekarang aku mulai paham maksudmu. Orang yang kalian maksud tidak memiliki benjolan itu di sebut pria. Sedangkan kamu yang memiliki benjolan di dada disebut wanita.”

“Oh, jadi seperti itu ya.” Terlihat wajah Dewi Kirani yang masih kebingungan.

Wirya mendengus sedikit kesal. “Apa kamu ini tidak pernah sekolah? Masa pria dan wanita saja tidak tahu.”

“Sekolah?”

Dewi Kirani kembali menunjukkan wajah bingung. Namun dia masih terlihat cantik dan menawan hati setiap pria yang melihatnya.

Wirya menepuk jidatnya sendiri, merasa sedikit frustasi. “Sekolah itu tempat untuk kita belajar. Jangan-jangan kamu juga gak tahu tentang belajar.”

“Biasanya kami belajar di padepokan. Tapi kami hanya diajarkan tentang cara bela diri dan peraturan di kerajaan ini.” Kata Dewi Kirani dengan nada lembut.

Wirya menghela napas yang berat seolah dirinya baru saja terlepas dari impitan dua batu besar saat mengobrol dengan Dewi Kirani.

“Apa kamu akan membebaskanku?” Wiryana menggenggam erat tangan Dewi Kirani yang halus dan lembut bagai sutra.

Dewi Kirani menunduk lemas, dia ingin mengucapkan satu kalimat namun tertahan oleh ketakutannya.

“Kalau kamu tak mau membebaskanku kenapa kamu menemuiku di sini?” Lanjut Wirya mendesak Dewi Kirani untuk memberikan pernyataan

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 160

    Beberapa minggu telah berlalu sejak penobatan Wirya, dan istana kerajaan Nusantara mengalami perubahan drastis. Aturan baru yang ditetapkan Wirya—bahwa semua penghuni istana harus telanjang—telah menciptakan atmosfer yang penuh dengan hawa nafsu. Suatu pagi, ketika Wirya sedang duduk di singgasananya dengan beberapa wanita telanjang mengelilinginya, tiba-tiba muncul kilatan cahaya terang di tengah ruang takhta. Dari cahaya itu muncul dua sosok—Joko Loyo yang tampak tua dan bijaksana, serta Murni, istrinya yang cantik dengan mata penuh kelembutan.“Wirya!” hardik Joko Loyo, matanya menyala-nyala melihat pemandangan tak senonoh di istana. “Apa yang telah kau lakukan?”Wirya bangkit dari singgasana, dengan sombongnya menunjukkan tubuh telanjangnya yang perkasa. “Joko Loyo! Lihatlah kerajaanku! Aku memiliki segalanya di sini!”Murni menutup matanya, malu melihat kemerosotan moral Wirya. “Wirya, kami mengirimmu ke masa lalu untuk menyelamatkan sejarah, bukan untuk menghancurkannya!”Joko

  • Tawanan yang Menawan   Bab 159

    Wirya menarik napas dalam. “Cincin ini... lagi-lagi...”Amita meletakkan gelas dan mendekat. “Kau tidak harus melawan hasratmu sendiri, Wirya. Kau adalah raja sekarang.”Dia berlutut di depan Wirya, tangan hangatnya menyentuh kaki Wirya. “Biarkan aku membantumu malam ini.”Cincin itu berdenyut lebih kencang, seakan menyetujui. Dan untuk malam ini, Wirya memutuskan untuk menyerah pada takdir dan hasrat yang telah dipilihkan untuknya.Amita mendekat dengan langkah yang penuh keyakinan, matanya tidak lagi memancarkan sikap prajurit yang tegas, melainkan kelembutan seorang wanita. Cahaya bulan dari balkon menerpa sisi wajahnya, menciptakan siluet yang memesona.“Wirya,” bisiknya, tangannya yang biasanya memegang pedang kini dengan lembut melepaskan jubah kerajaan yang dikenakan Wirya. “Kau tidak perlu melawan ini. Cincin itu adalah bagian dari takdirmu, dan hasrat ini adalah bagian dari kekuatanmu.”Wirya menarik napas dalam, mencoba melawan gelombang gairah yang semakin menjadi. “Tapi...

  • Tawanan yang Menawan   Bab 158

    Hampir tiap hari Wirya dan Ratu Arunya sering mengunjungi gua tersebut.Di dalam gua yang diterangi cahaya keemasan dari cincin Wirya, ketika dua tubuh itu terpisah dengan napas masih tersengal. Arunya berbaring di atas jubahnya yang terhampar, wajahnya memancarkan kepuasan dan kedamaian yang lama hilang. Dari luar gua, suara Amita memanggil dengan hormat. “Yang Mulia? Pemukiman pertama sudah siap. Rakyat menanti perintah berikutnya.”Wirya dan Arunya saling memandang. Saatnya kembali kepada tanggung jawab. Dengan gerakan perlahan, mereka mengenakan kembali pakaian mereka. Wirya membantu Arunya berdiri, dan di matanya kini terlihat penghormatan yang berbeda.“Siapakah yang akan kau pilih sebagai permaisuri?” tanya Arunya sambil merapikan rambutnya. “Amita mungkin pilihan yang tepat. Dia kuat dan disegani.”Wirya menggeleng. “Masih terlalu cepat untuk memikirkan itu. Kerajaan harus dibangun terlebih dahulu. Dan...” dia menatap Arunya, “apa yang baru saja terjadi antara kita...”“Adala

  • Tawanan yang Menawan   Bab 157

    “Aku...” gumamnya, suaranya bergetar. “Aku akan tinggal.”Dia berlutut menghadap Ratu Arunya, mengangkat tubuhnya perlahan. “Bangunlah, Yang Mulia. Aku bersumpah akan membantumu membangun kerajaan baru. Masa depanku... biarlah menjadi masa lalu.”Ratu Arunya memeluk Wirya erat, tangisnya pecah melegakan.Di tepi pantai, rombongan terakhir kerajaan yang hancur mulai menaiki perahu-perahu yang telah disiapkan. Wirya berdiri di samping Ratu Arunya, memandang lautan luas yang akan mereka seberangi.“Tanah baru itu bernama Nusantara,” ucap Ratu Arunya, matanya menerawang mengingat sesuatu. “Tempat di mana leluhur kita pertama kali menginjakkan kaki.”Amita mendekat dengan beberapa peta kuno di tangannya. “Menurut catatan, di sana terdapat tanah subur dengan sungai-sungai yang jernih. Tapi...” dia berhenti sejenak, “menurut legenda, tempat itu juga dijaga oleh roh-roh penjaga yang perkasa.”Wirya merasakan cincin di jarinya bergetar halus. “Aku merasa... ada yang memanggil dari sana. Sepert

  • Tawanan yang Menawan   Bab 156

    Wirya memeluk Arunya erat, mengarahkan telapak tangannya sekali lagi. Kali ini, dengan keyakinan penuh, dia membayangkan melindungi Arunya dan menghentikan Candra Damar untuk selamanya.Cincin itu menyala dengan intensitas luar biasa, membentuk perisai energi yang mendorong Candra Damar hingga terpental ke dalam terowongan. Batu-batu mulai runtuh, menutup pintu keluar.Saat debu mengendap, Wirya dan Arunya terduduk lelah. Mereka selamat, tapi kehilangan Surya. Di kejauhan, asap masih membubung dari istana yang hancur.“Perjuangan belum berakhir,” bisap Arunya, “tapi hari ini, kita masih punya harapan.”Wirya memapah tubuh Ratu Arunya yang lemah melalui hutan belantara menuju titik evakuasi di Pantai Gua Karang Timur. Dengan setiap langkah, harapan mereka untuk menemukan para pengungsi yang selamat semakin berkobar. Namun, yang menyambut mereka hanyalah pemandangan yang menghancurkan hati.“Tidak...!” tercekik Arunya begitu matanya menangkap sosok yang terbaring di antara reruntuhan pe

  • Tawanan yang Menawan   Bab 155

    Surya melemparkan busurnya dan menghunus pedang. “Laporan kematianku terlalu berlebihan, Candra. Dan sekarang, aku datang untuk mengembalikan kehormatan kerajaan!”Dia melompat ke tengah ruangan, pedangnya berkilat di cahaya bulan. “Anak muda! Lindungi Ratu! Aku yang akan menghadapi mereka!”Wirya segera berlari ke arah Arunya, melepaskan jubahnya sendiri untuk menutupi tubuh ratu yang setengah telanjang. Pertarungan sengit pun pecah antara Surya melawan pasukan Candra Damar, memberikan harapan baru di tengah keputusasaan.Surya bergerak lincah seperti harimau, pedangnya menari-nari membentuk lingkaran cahaya perak. Setiap tebasannya tepat sasaran, menjatuhkan prajurit Pasukan Bulan satu per satu. Darah berceceran di lantai candi yang dingin.“Wirya, bawa Ratu pergi dari sini!” teriak Surya sambil menangkis serangan tiga prajurit sekaligus.Wirya dengan sigap mengangkat tubuh Ratu Arunya yang masih lemah. “Ke mana kita harus pergi?”“Terowongan di balik patung dewa!” sahut Surya singk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status