Wirya merenung di dalam penjara seorang diri memikirkan nasib malang yang tengah menimpanya saat ini.
“Kenapa aku justru di penjara? Padahal aku adalah seorang jaksa. Bukannya menuntut kini aku adalah orang yang dituntut.” Gerutu Wirya. Dia memang baru saja dipromosikan sebagai jaksa penuntut umum di sebuah pengadilan Untuk merayakan jabatannya dia membeli rumah untuk kedua orang tuanya. Wirya teringat dengan kedua orang tuanya dan seorang kakaknya, meski keluarganya jarang di rumah dan tak banyak mengobrol. Namun keluarga tetaplah keluarga. Saat mereka jauh, di saat itu rindu melanda. Wirya melihat tangannya yang sudah tak terikat lagi. “Ah! jam kuno itu!” Dia kembali teringat akan jam kuno yang membuatnya bermigrasi ke zaman itu. Wirya memeriksa saku celananya, mencoba kemungkinan benda itu masih dibawa olehnya. “Siaall!!” Bukannya menemukan jam genggam kuno di sakunya, Wirya justru hanya menemukan selembar uang kertas seratus ribu yang tak berharga sama sekali di sana. Sementara itu, Dewi Kirani lanjut mengendap-endap menuju ruang bawah tanah. Dinding alami yang terbuat dari batu menandakan bahwa dia sudah sampai di penjara. Penjara yang berada di bawah tanah ini memang merupakan sebuah gua yang tidak terlalu besar dan panjang. Kerajaan Wanawaron menyebut tempat itu adalah penjara tak berujung, meskipun sebutan itu tak sesuai dengan kondisi yang ada. “Putri Kirani? Mengapa Anda berada di sini?” Suara dari belakang Dewi Kirani membuatnya setengah terkejut. “Aku hanya ingin melihat orang yang ada di penjara ini. Menteri Adiwidya sudah memberiku ijin untuk melihat orang yang akan melakukan pengorbanan.” Dewi Kirani mencoba untuk bersikap tenang agar penjaga tersebut tak curiga padanya. Benar saja, selain ketenangan Dewi Kirani. Penjaga tersebut sebenarnya tak berani untuk ikut campur urusan seorang Putri Kerajaan. “Bisakah kalian berjaga di depan pintu masuk, jangan biarkan seorang pun masuk sebelum aku keluar!” Perintah Dewi Kirani dengan nada tegas dan tenang. Para penjaga yang terdiri dari dua orang yang berdiri di depan penjara Wirya langsung mengangguk dan bergegas keluar dari dalam gua. Wirya yang sejak tadi diam dan mengamati suasana akhirnya berbicara terlebih dahulu saat Dewi Kirani mendekat. “Apa kau seorang Putri di Kerajaan ini?” Tanya Wirya. “Aku tahu kau bukan orang bodoh, kau menyebut dirimu bukan dari jaman ini.” Balas Dewi Kirani tanpa menjawab pertanyaan Wirya secara langsung. Wirya kini melangkah mendekat ke terali besi untuk berbicara lebih serius dengan Dewi Kirani. “Iya, aku memang dari masa depan.” Kata Wirya dengan tegas. “Apa maksudmu dengan masa depan?” Dewi Kirana mengernyitkan dahi seolah tak percaya dengan ucapan Wirya. “Di jamanku hanya sedikit wilayah yang berbentuk kerajaan, yang ada paling banyak adalah Negara.” Wirya menundukkan kepalanya, merasa rindu dengan rumahnya. “Apa kamu ingin pulang?” Tanya Dewi Kirani dengan lembut. Wirya hanya mengangguk tak ingin banyak berbicara dengan Dewi Kirani. “Wirya, aku merasa kasihan padamu. Aku tahu kamu akan dijadikan korban dari kebiasaan aneh yang di kerajaan ini.” Dewi Kirani menggenggam tangan pria itu dengan lemah lembut. Wirya langsung mendongak dengan cepat. “Kebiasaan aneh? Apa maksudnya?” “Entahlah.. Tapi yang aku tahu pasukan kerajaan menangkap orang yang tidak memiliki benjolan di dada. Kemudian di penjara di sini selama tiga bulan, lalu setelah itu...” Dewi Kirani menghentikan ucapannya menahan kesedihan. “Setelah itu, apa? Dan apa maksudnya orang yang tidak memiliki benjolan di dadanya?” Suara Wirya bergetar, pikirannya dipenuhi rasa penasaran. “Orang yang di penjara di sini tak tahu ke mana, ada yang bilang mereka di buang ke ke hutan atau ke laut.” Suara Dewi Kirani mulai terdengar berat. Wirya sedikit mengerti maksud dari Dewi Kirani, orang yang ditangkap akan dimusnahkan. “A–aku bukan orang yang kalian maksud. Aku bukan orang yang tidak memiliki benjolan di dadaku.” Dewi Kirani kemudian menarik tangan Wirya, perlahan menuntunnya menuju ke bagian yang tak pernah di duga oleh Wirya. Di dada Wirya sendiri. “Coba kamu rasakan, kamu adalah salah satu dari mereka.” Tutur Dewi Kirani pelan. Wirya mengernyitkan dahinya, “sekarang aku mulai paham maksudmu. Orang yang kalian maksud tidak memiliki benjolan itu di sebut pria. Sedangkan kamu yang memiliki benjolan di dada disebut wanita.” “Oh, jadi seperti itu ya.” Terlihat wajah Dewi Kirani yang masih kebingungan. Wirya mendengus sedikit kesal. “Apa kamu ini tidak pernah sekolah? Masa pria dan wanita saja tidak tahu.” “Sekolah?” Dewi Kirani kembali menunjukkan wajah bingung. Namun dia masih terlihat cantik dan menawan hati setiap pria yang melihatnya. Wirya menepuk jidatnya sendiri, merasa sedikit frustasi. “Sekolah itu tempat untuk kita belajar. Jangan-jangan kamu juga gak tahu tentang belajar.” “Biasanya kami belajar di padepokan. Tapi kami hanya diajarkan tentang cara bela diri dan peraturan di kerajaan ini.” Kata Dewi Kirani dengan nada lembut. Wirya menghela napas yang berat seolah dirinya baru saja terlepas dari impitan dua batu besar saat mengobrol dengan Dewi Kirani. “Apa kamu akan membebaskanku?” Wiryana menggenggam erat tangan Dewi Kirani yang halus dan lembut bagai sutra. Dewi Kirani menunduk lemas, dia ingin mengucapkan satu kalimat namun tertahan oleh ketakutannya. “Kalau kamu tak mau membebaskanku kenapa kamu menemuiku di sini?” Lanjut Wirya mendesak Dewi Kirani untuk memberikan pernyataan“Ambarani...” Ratu Arunya menyandarkan punggungnya ke belakang sebelum melanjutkan cerita. “Salah satu penduduk dari Kerajaan Wanawaron. Karena kesalahan besar, dia dihukum tapi dia berhasil melarikan diri dari dari penjara.”“Kesalahan apa yang dia lakukan?”Suasana tiba-tiba hening sejenak di dalam kabin kereta. Ratu Arunya tak langsung menjawab pertanyaan Wirya.Dia melempar pandangannya ke samping, memalingkan wajah dari Wirya. Ada hal yang disembunyikan yang begitu berat untuk diungkapkan.“Kalau tak mau cerita juga tak masalah. Lagipula aku tak mau ikut campur urusan kerajaanmu.” Wirya memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh.Wirya bukanlah orang yang bodoh, pekerjaannya sebagai jaksa membuatnya belajar untuk membaca situasi dan kondisi. Dalam pikirannya dia sudah mulai merencanakan sesuatu yang rahasia.Perjalanan dilanjutkan dengan keheningan yang menciptakan dinding di antara mereka berdua.Tak ada lagi percakapan, tak ada lagi hambatan. Rombongan kerajaan Wanawaron
“Sayang?” Wirya memiringkan wajahnya ke samping. “Bukankah itu agak sedikit aneh?”Ratu Arunya langsung mengernyitkan dahinya. “Itu wajar saja, karena seorang Raja selalu memiliki panggilan mesra kepada Ratunya.”Wirya menghela napas panjang. “Usia kita terlihat tidak sepadan. Lagipula kau terlalu tu–”Amita yang berada di samping Wirya langsung membungkam mulut Wirya sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya.“Jangan pernah sedikitpun kamu mengatakan tua di hadapan Ratu.” Bisik Amita di telinga Wirya dengan nada sedikit mengancam.“Memangnya aku terlalu apa?” Tanya Ratu penasaran dengan ucapan Wirya.Wirya dan Amita saling memandang. “Kau terlalu tulus untuk dipanggil dengan sebutan sayang olehku.”Ratu Arunya langsung masuk ke dalam kereta. “Terserah kamu mau memanggilku dengan sebutan apa, asalkan kita harus terlihat sebagai sepasang kekasih di hadapan orang-orang dari Karta Loka.”Setelah Ratu Arunya kembali masuk, Amita kembali menoleh ke arah Wirya dengan tatapan sinis.
“Hidup Wanawaron!!”Tiba-tiba kembali terdengar suara gemuruh. Wirya dengan cepat menarik mundur tubuhnya menjauh dari Dewi Kirani.“Lebih baik kita keluar saja sekarang.” Pinta Dewi Kirani dengan suara lembut.Wirya mengangguk dengan cepat meski sedikit gelagapan karena hampir saja dia mencium Dewi Kirani.Mereka berdua akhirnya melangkah keluar dari bilik kecil yang berada di tengah aula.Baru saja mereka tiba di luar bilik Ratu Arunya, Amita dan Adiwidya menyambut dengan senyum ramah yang merekah.Tak lupa lemparan bunga seroja dari semua pengunjung yang hadir terlihat seperti hujan deras yang menerpa tubuh mereka berdua.“Kami akan memberikan waktu selama satu bulan. Jika Dewi Kirani bisa hamil maka kamu akan mendapat penangguhan bagi nyawamu.” Kata Ratu Arunya dengan tegas.“Ba–bagaimana kalau Dewi Kirani tidak hamil dalam waktu satu bulan?” Wirya menatap Ratu Arunya dengan tegas.Dalam tatapan itu ada sedikit ketakutan di wajah Wirya yang tak bisa diungkapkan dengan kat
“Tentu saja ini adalah tugasmu sebagai korban ritual ini.” Jawab Ratu Arunya dengan tegas.Tampak perasaan bingung menyelimuti wajah Dewi Kirani. “Ta—tapi, Bunda. Kami tidak tahu cara agar aku hamil.”Dewi Kirani memang belum diajari tentang ilmu biologi. Karena usia 18 tahun masih dianggap terlalu muda di kerajaan Wanawaron.“Tenang saja, anakku. Pria ini sudah memiliki naluri alami yang akan mengerti hal itu setelah kalian masuk ke dalam bilik.” Ujar Ratu Arunya tersenyum sambil menunjuk ke arah Wirya.Lagi dan lagi untuk ke sekian kalinya Wirya menelan ludah. Tatkala Dewi Kirani memeluk lengannya dengan lembut. Tanpa dia sadari kakinya kembali melangkah menuju bilik diiringi Dewi Kirani.Samar-samar terdengar bisikan-bisikan di belakang saat Wirya dan Dewi Kirani baru saja masuk.“Apa tidak apa-apa membiarkan Tuan Putri bersama dengan orang asing berdua saja, Mbak?” Tirai ditutup meninggalkan Wirya berdua saja dengan Dewi Kirani yang seolah terjebak dalam rasa canggung.“H
Drap... Drap.. Drap... Tiba-tiba lorong menuju sel tahanan bergetar oleh derap kaki para penjaga wanita bersenjata. "Permisi, Ratu," ujar salah satunya sambil menunduk. “Persiapan di aula kerajaan sudah selesai.” Terlihat senyum yang menungging di wajah Ratu Arunya mendengar kabar tersebut. “Panglima! Kau atur dia. Aku akan pergi terlebih dahulu menuju Aula.” Perintah Ratu Arunya kepada Amita sebelum akhirnya berbalik pergi. Diikuti oleh Adiwidya dan Dewi Kirani serta beberapa pelayan. Ratu Arunya meninggalkan Wirya yang masih sibuk mengenakan perhiasan dengan dibantu Amita. “Bagaimana kalau aku tidak bisa membuat Dewi Kirani hamil?” Tanya Wirya kepada Amita. Amita menghentikan gerakan tangannya dalam mengatur perhiasan yang akan dipakai Wirya. “Kepala akan dipisahkan dari tubuhmu.” Deg.. Jantung Wirya seolah berhenti berdetak. Dia tak pernah memikirkan hal seperti ini sebelumnya. Di satu sisi dia bersyukur bisa menikahi seorang Putri cantik dari Kerajaan Wanawaron
“Tunggu!” Seruan itu keluar tanpa kendali. Wirya merangkak ke depan. “Tolong hentikan rasa sakit ini!” Kata-kata itu terasa seperti kaca di kerongkongan. Adiwidya berjongkok, jarinya yang bersarung menyentuh leher Wirya yang berdenyut kencang. "Salah!" bisiknya lembut. “Kau harus mengucapkan Tolong... Perdana Menteri Adiwidya. Anugerahkan aku obat itu untuk mengurangi rasa sakitku. Lakukan dengan tunduk yang benar.” Dengan gemetar, Wirya menekan dahinya ke lantai dengan gerakan cepat dan berulang. “TOLONG!” teriaknya, suara parau pecah. “Aku mohon Perdana Menteri... aku tak tahan lagi...” Dengan gerakan cepat, Adiwidya menyelipkan kapsul ke mulut Wirya. Rasa pahit menyebar, tapi dalam hitungan detik, kejang di perutnya mereda seperti ombak yang tiba-tiba tenang. Wirya tetap terbaring di lantai, bau debu dan aibnya sendiri menusuk hidung. Di balik efek kapsul yang menenangkan, rasa yang lebih dalam menggerogotinya: rasa malu. “Ayo kita tinggalkan dia!” Perintah Adiwidya kepad
“Apa yang kamu lakukan Tuan Putri?” Adiwidya terkejut melihat kejadian itu.Dewi Kirani sudah berdiri di hadapan Wirya dengan wajah yang begitu kesal.“Aku sangat membencimu sekarang.”Semua orang yang berada di sana saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Ratu Arunya yang juga merasa bingung.“Apa yang kamu lakukan padanya, anakku?” Ratu Arunya menghampiri Dewi Kirani yang masih terlihat kesal.Saat Ratu sudah berdiri di sebelahnya, Dewi Kirani langsung memeluknya dengan erat sambil menangis. “Ibunda, kamu harus mengusirnya dari kerajaan.. Dia mencoba menyerangku saat aku tak sengaja bertemu di dalam penjara.”Sejenak Ratu Arunya menoleh ke arah Perdana Menteri. “Tentu saja anakku, Kita akan mengusir dia.”Dewi Kirani melepas pelukannya sambil mencoba menghentikan tangisnya. “Benarkah itu Ibunda?”Ratu Arunya mengangguk perlahan sambil menggenggam kedua pundak Dewi Kirani. “Benar anakku! Aku akan mengusirnya setelah dia selesai melakukan tugas untuk kerajaan Wanawaron.”D
Tiba-tiba, tirai di sisi pintu masuk dibuka. Ratu Arunya muncul dengan langkah anggun, gaunnya yang berlapis-lapis berdesir di lantai marmer. “Kelihatannya pelajaran kita perlu disesuaikan,” ujarnya dengan suara dingin. “Mari kita beralih ke pelajaran yang lebih... praktis.”Di tangannya memegang kantong kulit berisi dadu gading. “Kau jangan terlalu keras padanya, Perdana Menteri.” suaranya mendayu. “Mari kita coba dia untuk bertaruh dalam bermain dadu.”Wirya mengamati papan tersebut—sebuah permainan dadu kuno dengan delapan lubang berjejer, dihiasi ukiran naga yang saling melilit.Sang Ratu duduk di seberang Wirya dengan gerakan anggun, mengeluarkan tiga dadu bertatahkan batu rubi. “Jika aku menang,” bisiknya sambil menggulirkan dadu di telapak tangan, “kau harus menuruti semua yang ada di kerajaan ini meskipun nyawa menjadi taruhannya.”Wirya menyeringai. “Dan... bagaimana jika aku yang menang?”“Kau boleh bebas dan kami tak akan menangkapmu dikemudian hari,” jawab Ratu sambil me
Krang.. Wirya terkejut oleh suara jeruji besi yang dibuka kasar. Tiga prajurit wanita bersenjata masuk ke sel bawah tanahnya, wajah mereka tertutup kain kecuali mata yang tajam mengawasi. “Bangun, tawanan,” geram salah satunya sambil memasang rantai yang membelenggu pergelangan tangan Wirya. Dengan kasar, mereka memaksa tubuh Wirya agar cepat berdiri. Saat sudah dalam posisi berdiri sikapnya tetap tegak meski pergelangan tangannya masih terbelenggu. "Jika kalian ingin membawaku ke suatu tempat, setidaknya beri aku kesempatan untuk berjalan sendiri," ujarnya dengan suara datar namun penuh wibawa. Para prajurit terkejut, saling pandang sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Mereka membawanya melalui koridor batu yang lembap, tetapi kali ini tanpa menyeretnya. Wirya diarahkan masuk ke sebuah kamar mandi megah. Uap panas menyambutnya, berasal dari kolam marmer persegi yang penuh air berbusa. Dua belas pelayan wanita sudah menunggu dengan gayung emas dan botol-botol minyak. Salah sa