Dewi Kirani yang awalnya menunduk, mulai mengangkat kepalanya perlahan.
“Apa yang kamu lakukan di sini Putri?!” Teriakan Panglima Amita terdengar dari mulut gua, mengejutkan Dewi Kirani dan Wiryana. “A–aku hanya kebetulan saja lewat sini. Dia sedari tadi berteriak, sehingga membuatku penasaran.” ujar Dewi Kirani sambil menunjuk ke arah Wiryana. Tentu saja ucapan Dewi Kirani yang terdengar gugup itu tak membuat Amita percaya begitu saja. Amita seolah tahu bahwa Dewi Kirani tak pandai berbohong. “Kamu tidak boleh membuat kekacauan lagi, Putri. Apa kamu tidak ingat apa yang telah kamu perbuat terhadap korban sebelum dia?” Perkataan Amita langsung mengingatkan kembali kejadian saat Dewi Kirani mencoba membebaskan tawanan beberapa tahun lalu. Pasukan kerajaan mengejar tawanan itu kemudian menghabisi orang itu karena sudah membahayakan kerajaan. “Aku hanya kasihan melihat orang yang tak bersalah harus dihukum tanpa sebab oleh kita.” Mata Dewi Kirani kembali berkaca-kaca sesaat setelah mengingat kejadian tersebut. Panglima Amita seolah tanpa peduli dengan air mata yang mengalir di pipi sang Putri. Dia menarik tangan Dewi Kirani dengan kasar hendak menyeretnya keluar dari ruangan bawah tanah. “Tu–tunggu! Tolong jelaskan apa yang terjadi dengan semua ini!” Wirya mencoba menahan langkah Panglima Amita. Hal tersebut membuat sang Panglima dari kerajaan Wanawaron menjadi geram. “Lebih baik kamu diam dan menurut saja. Jangan melawan atau melarikan diri, karena kami bisa saja membunuhmu dengan mudah.” “A–apa kalian semua ini sudah gila?” Gerutu Wirya dengan tatapan kesal. Amita menghela napas, lalu memandang Wirya dengan sinis. “Tuan Putri, kau tidak seharusnya ada di sini. Ini tempat terlarang untukmu.” “Dia tidak bersalah!” Kirani bersikeras. “Bibi, kenapa kita menahannya? Apa ritual itu akan menyakitinya?” Amita memandang Kirani dengan ekspresi campur aduk—marah, tapi juga iba. “Kau tidak mengerti, Putri Kirani. Ini bukan urusanmu.” “Aku putri kerajaan! Aku berhak tahu!” Kirani membentak, sesuatu yang jarang dilakukannya. Amita menatapnya lama, lalu menarik Kirani ke sudut ruangan, jauh dari pendengaran Wirya. “Dengarkan baik-baik. Makhluk itu disebut pria. Kamu tidak bisa menemukannya di Kerajaan ini, dan hanya para bangsawan tinggi yang tahu tentang mereka.” Kirani mengernyit. “Tapi... kenapa?” “Karena mereka diperlukan untuk satu hal saja. Memberikan keturunan.” “Keturunan? Tapi bukankah kita diciptakan langsung oleh para dewa.” Kirani bingung. Amita menghela napas. “Sepertinya sudah saatnya aku menjelaskan kepadamu. Wanita bisa melahirkan anak sebagai penerus di kerajaan. Tapi untuk melahirkan, kita membutuhkan pria.” Kirani masih tak paham. “Jadi... apa yang akan terjadi padanya?” Amita menatapnya tegas. “Dia akan dipasangkan dengan seseorang yang terpilih—bisa ibumu, atau salah satu petinggi di kerajaan. Lalu, setelah tugasnya selesai... dia akan diusir.” Kirani terkejut. “Tapi itu—!” “Jangan protes!” Amita memotong. “Ini rahasia kerajaan. Jika rakyat tahu tentang pria mereka akan panik. Selama ini, mereka percaya kita semua tercipta dari kekuatan para dewa.” Saat mereka berbicara, Wirya memperhatikan dari kejauhan. Wajah Kirani yang polos berubah bingung, lalu sedih. “Bibi Amita... aku tidak mau dia disakiti,” bisik Kirani. Amita menarik napas dalam. “Lebih baik kamu kembali ke ruanganmu. Jika Ratu tahu, kau akan dalam bahaya.” Sebelum pergi, Kirani menoleh ke Wirya, matanya penuh pertanyaan yang tak tersampaikan. Wirya hanya bisa memandangnya, bingung dengan dunia aneh ini—di mana keberadaannya adalah rahasia, dan nasibnya ditentukan oleh ritual yang bahkan sang putri tak paham. Suasana penjara bawah tanah yang lembap tiba-tiba berubah ketika para penjaga bersiap dalam formasi sempurna. Pintu besi berderit dibuka, dan masuklah seorang wanita dengan pakaian kebesaran berwarna ungu—Perdana Menteri Adiwidya. Dia tinggi, rambutnya disanggul rapi, dan matanya tajam seperti elang. Di tangannya, ia membawa sebuah kitab kuno bertuliskan simbol-simbol aneh. “Keluar,” perintahnya pada Wirya, suaranya dingin namun penuh wibawa. Wirya dibawa ke ruang tengah penjara, di mana sebuah kursi kayu berat sudah disiapkan. Adiwidya duduk di hadapannya, mengamatinya seperti seorang ilmuwan memandang spesimen langka. “Kau tahu kenapa kau ada di sini?” tanya Adiwidya. “Tidak sepenuhnya,” jawab Wirya. “Tapi sepertinya aku sedikit mendengar kalian akan menjadikanku bahan ritual.” Adiwidya tersenyum tipis. “Tidak salah. Tapi sebelum itu, kau harus lulus ujian.” Tanpa peringatan, dua prajurit wanita kuat masuk, menarik Wirya berdiri. "Buka bajunya," perintah Adiwidya pada penjaga tanpa basa-basi. Wirya terkejut ketika dua prajurit wanita kuat mencengkeramnya dan mulai melepas pakaiannya yang sudah compang-camping. "H-Hey! Apa yang kalian lakukan?!" protesnya sambil berusaha melawan, tapi tidak berguna. Adiwidya mendekati Wirya yang sekarang hanya mengenakan celana pendek, matanya menyapu setiap inci tubuhnya dengan analitis. “Tidak seperti yang kubayangkan,” gumamnya, lalu tiba-tiba meraih lengan Wirya dan meraba ototnya. “Kurang terlatih, tapi struktur tulangmu cukup bagus.” Wirya merasa sangat tidak nyaman. “Apa maksud semua ini?!” Adiwidya mengabaikannya. “Turunkan celananya.” “APA?!”“Di manakah Putri Dewi Kirani?" tanya Wirya, mencoba memecah kesunyian yang membuatnya tidak nyaman. "Aku ingin bertemu dengannya."Salah satu penjaga meliriknya, wajahnya tetap netral. "Yang Mulia Putri juga sedang mempersiapkan diri untuk upacara nanti. Anda akan bertemu dengannya pada waktunya."Penjaga yang satunya menambahkan dengan suara datar, "Tidak perlu khawatir. Semua sudah diatur untuk... kenyamanan Anda berdua."Jawaban yang samar dan menghindar itu justru membuat Wirya semakin gelisah. Dia mencoba lagi, "Apa yang akan terjadi dalam upacara itu? Apa aku masih harus menghamili Tuan Putri?"Kedua penjaga saling memandang sejenak sebelum yang pertama menjawab, "Itu bukan urusan kami untuk menjelaskan. Anda hanya perlu mengikuti arahan."Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar yang diukir dengan simbol bulan sabit. Salah satu penjaga membukanya, memperlihatkan kamar yang luas dengan bak mandi beruap dan pakaian bersih yang sudah disiapkan."Beristirahatlah," ujar pen
Wirya menyoroti keraguan dalam suaranya. “Tapi apa kau yakin Ratu akan mendengarkanmu?”Amita menghela napas, Wirya melihat kerentanan yang jelas dalam diri sang panglima. “Arunya adalah ratu yang bijaksana, tapi... dia juga sangat teguh pada pendiriannya. Terutama mengenai tradisi.” Dia menunduk, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku hanyalah adik. Dan dalam hal ini... mungkin pengaruhku tidak sebesar yang kuharapkan.”“Tapi setelah semua yang terjadi? Setelah aku melarikan diri?” tanya Wirya lagi.“Mungkin hal itu bisa mengubah cara pandangnya,” jawab Amita, suaranya sedikit lebih keras, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kau telah menunjukkan keberanian, kecerdasan, dan... karakter yang layak dihormati.” Dia berhenti lagi, dan kali ini suaranya nyaris berbisik, “Dan mungkin... hanya mungkin... Wanawaron memang perlu mempertimbangkan kembali beberapa tradisinya.”Pengakuan itu terasa berat baginya, seperti mengucapkan sesuatu yang hampir bersifat penghujatan.Wirya
Pertarungan sengit terjadi. Amita bertahan dengan disiplin tinggi, mencoba mencari celah untuk melumpuhkan tanpa membunuh. Tiba-tiba, dari atas kuda, Wirya berteriak keras.“NINGRUM, HENTIKAN! AMBARANI TIDAK BERSAMA KAMI!”Nama itu mengguncang Amita seperti sambaran petir. Matanya membelalak, memperhatikan lebih cermat wajah wanita yang sedang bertarung dengannya. Di balik coretan darah, keringat, dan amarah yang mendistorsi fitur wajahnya, Amita mulai mengenali sesuatu—sebuah kenangan dari masa lalu yang jauh.“Tunggu...” gumam Amita, langkahnya tiba-tara menjadi kurang ofensif, lebih defensif. “Ningrum? Ningrum yang dulu saat kecil selalu mencuri jambu di kebun istana?”Ningrum mendadak terhenti, serangannya melambat. Napasnya tersengal-sengal, matanya menyipit penuh kebingungan. "Bagaimana kau—?""Kita pernah berlatih pedang bersama di bawah bimbingan Guru Senja!" teriak Amita, mencoba menembus kabut amarah di pikiran Ningrum. "Kau selalu kalah dariku, tapi tidak pernah menyerah!"
Amita menghentikan kudanya, menatap jauh ke arah pepohonan. "Kami bertiga dibesarkan dengan prinsip yang sama: Wanawaron adalah segalanya. Tapi kami memilih jalan yang berbeda untuk menunjukkannya."Dia menoleh, memandang Wirya. "Arunya percaya bahwa mempertahankan tradisi adalah cara terbaik melestarikan Wanawaron. Ambarani yakin bahwa mengubah tradisi adalah satu-satunya cara menyelamatkannya. Dan aku..." Dia menghela napas, "Aku hanya percaya pada hierarki dan disiplin. Aku melayani ratuku, tapi juga melindungi rakyatku—termasuk dari diri mereka sendiri jika diperlukan.""Jadi pada intinya," simpul Wirya, "kalian bertiga sama-sama mencintai Wanawaron, hanya dengan cara yang berbeda."Untuk pertama kalinya, senyum kecil muncul di bibir Amita. "Kau memang bijaksana, Tuan Jaksa. Mungkin itulah sebabnya Ambarani memilih mempertaruhkan segalanya untukmu."Sebutan itu menggantung di udara antara mereka seperti tamparan. Wirya mengeras di tempat duduknya, cengkeramannya pada pinggang Ami
“Jangan menyebut nama itu di hadapanku,” desisnya, suara tiba-tiba penuh dengan getaran emosi yang jarang terlihat.“Kenapa?” tanya Wirya, penasaran. “Meski dia adalah musuh kalian. Tapi yang kulihat... dia tidak seperti yang kau gambarkan.”Amita menarik napas dalam. “Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.”“Yang kukatakan, dia memiliki sisi lembut yang tersembunyi, seperti dirimu,” tukas Wirya. “Dan dia bercerita padaku bahwa dia sebenarnya—““—adik kandung Ratu Arunya,” sela Amita, suara tiba-tara lembut namun penuh beban. “Dan... kakak kandungku.”Wirya tertegun. “Jadi kau sudah tahu?”“Ya,” bisik Amita, matanya menerawang.“Dia memang kakakku. Dia melarikan diri dari Wanawaron karena menentang tradisi kita—ritual yang sekarang akan kau jalani. Dia menganggapnya tidak manusiawi.”Dia menatap Wirya, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan yang dalam di balik armor kekuatan sang panglima."Dia bukan hanya pengkhianat bagi kerajaan, Wirya. Dia adalah pengkhianat bagi kel
Wirya merasa darahnya memanas, campuran dari malu dan sebuah keberanian aneh. “Apa kau belum pernah melihat benda seperti ini, Panglima?”Amita mengangkat pandangannya, bertemu dengan mata Wirya. Wajahnya masih berusaha netral, tetapi ada sesuatu yang berubah di matanya. “Di Wanawaron, banyak wanita yang menginginkan... apa yang kau miliki. Mereka menunggu giliran untuk merasakan.”“Dan kau?” tanya Wirya, berani yang tidak dia kenali dalam dirinya sendiri. “Apakah kau juga menunggu giliran itu, Panglima Amita?”Diam sejenak. Hanya suara sungai yang mengalir.“Aku adalah panglima,” jawabnya akhirnya, suara rendah. “Aku menjalankan tugas. Aku tidak... memperdulikan hal seperti itu.”“Jadi kau belum pernah?” Wirya mendesak, merasa anehnya kekuasaan berada di tangannya sekarang.Amita menghela napas, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan dalam diri wanita perkasa ini. “Tugasku adalah melindungi kerajaan, bukan... memenuhi nafsu. Tapi melihatmu sekarang...” Matanya kembali m