Share

Bab 4

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-04-30 20:12:42

Dewi Kirani yang awalnya menunduk, mulai mengangkat kepalanya perlahan.

“Apa yang kamu lakukan di sini Putri?!”

Teriakan Panglima Amita terdengar dari mulut gua, mengejutkan Dewi Kirani dan Wiryana.

“A–aku hanya kebetulan saja lewat sini. Dia sedari tadi berteriak, sehingga membuatku penasaran.” ujar Dewi Kirani sambil menunjuk ke arah Wiryana.

Tentu saja ucapan Dewi Kirani yang terdengar gugup itu tak membuat Amita percaya begitu saja. Amita seolah tahu bahwa Dewi Kirani tak pandai berbohong.

“Kamu tidak boleh membuat kekacauan lagi, Putri. Apa kamu tidak ingat apa yang telah kamu perbuat terhadap korban sebelum dia?”

Perkataan Amita langsung mengingatkan kembali kejadian saat Dewi Kirani mencoba membebaskan tawanan beberapa tahun lalu. Pasukan kerajaan mengejar tawanan itu kemudian menghabisi orang itu karena sudah membahayakan kerajaan.

“Aku hanya kasihan melihat orang yang tak bersalah harus dihukum tanpa sebab oleh kita.” Mata Dewi Kirani kembali berkaca-kaca sesaat setelah mengingat kejadian tersebut.

Panglima Amita seolah tanpa peduli dengan air mata yang mengalir di pipi sang Putri. Dia menarik tangan Dewi Kirani dengan kasar hendak menyeretnya keluar dari ruangan bawah tanah.

“Tu–tunggu! Tolong jelaskan apa yang terjadi dengan semua ini!” Wirya mencoba menahan langkah Panglima Amita.

Hal tersebut membuat sang Panglima dari kerajaan Wanawaron menjadi geram. “Lebih baik kamu diam dan menurut saja. Jangan melawan atau melarikan diri, karena kami bisa saja membunuhmu dengan mudah.”

“A–apa kalian semua ini sudah gila?” Gerutu Wirya dengan tatapan kesal.

Amita menghela napas, lalu memandang Wirya dengan sinis. “Tuan Putri, kau tidak seharusnya ada di sini. Ini tempat terlarang untukmu.”

“Dia tidak bersalah!” Kirani bersikeras. “Bibi, kenapa kita menahannya? Apa ritual itu akan menyakitinya?”

Amita memandang Kirani dengan ekspresi campur aduk—marah, tapi juga iba. “Kau tidak mengerti, Putri Kirani. Ini bukan urusanmu.”

“Aku putri kerajaan! Aku berhak tahu!” Kirani membentak, sesuatu yang jarang dilakukannya.

Amita menatapnya lama, lalu menarik Kirani ke sudut ruangan, jauh dari pendengaran Wirya.

“Dengarkan baik-baik. Makhluk itu disebut pria. Kamu tidak bisa menemukannya di Kerajaan ini, dan hanya para bangsawan tinggi yang tahu tentang mereka.”

Kirani mengernyit. “Tapi... kenapa?”

“Karena mereka diperlukan untuk satu hal saja. Memberikan keturunan.”

“Keturunan? Tapi bukankah kita diciptakan langsung oleh para dewa.” Kirani bingung.

Amita menghela napas. “Sepertinya sudah saatnya aku menjelaskan kepadamu. Wanita bisa melahirkan anak sebagai penerus di kerajaan. Tapi untuk melahirkan, kita membutuhkan pria.”

Kirani masih tak paham. “Jadi... apa yang akan terjadi padanya?”

Amita menatapnya tegas. “Dia akan dipasangkan dengan seseorang yang terpilih—bisa ibumu, atau salah satu petinggi di kerajaan. Lalu, setelah tugasnya selesai... dia akan diusir.”

Kirani terkejut. “Tapi itu—!”

“Jangan protes!” Amita memotong. “Ini rahasia kerajaan. Jika rakyat tahu tentang pria mereka akan panik. Selama ini, mereka percaya kita semua tercipta dari kekuatan para dewa.”

Saat mereka berbicara, Wirya memperhatikan dari kejauhan. Wajah Kirani yang polos berubah bingung, lalu sedih.

“Bibi Amita... aku tidak mau dia disakiti,” bisik Kirani.

Amita menarik napas dalam. “Lebih baik kamu kembali ke ruanganmu. Jika Ratu tahu, kau akan dalam bahaya.”

Sebelum pergi, Kirani menoleh ke Wirya, matanya penuh pertanyaan yang tak tersampaikan. Wirya hanya bisa memandangnya, bingung dengan dunia aneh ini—di mana keberadaannya adalah rahasia, dan nasibnya ditentukan oleh ritual yang bahkan sang putri tak paham.

Suasana penjara bawah tanah yang lembap tiba-tiba berubah ketika para penjaga bersiap dalam formasi sempurna. Pintu besi berderit dibuka, dan masuklah seorang wanita dengan pakaian kebesaran berwarna ungu—Perdana Menteri Adiwidya.

Dia tinggi, rambutnya disanggul rapi, dan matanya tajam seperti elang. Di tangannya, ia membawa sebuah kitab kuno bertuliskan simbol-simbol aneh.

“Keluar,” perintahnya pada Wirya, suaranya dingin namun penuh wibawa.

Wirya dibawa ke ruang tengah penjara, di mana sebuah kursi kayu berat sudah disiapkan. Adiwidya duduk di hadapannya, mengamatinya seperti seorang ilmuwan memandang spesimen langka.

“Kau tahu kenapa kau ada di sini?” tanya Adiwidya.

“Tidak sepenuhnya,” jawab Wirya. “Tapi sepertinya aku sedikit mendengar kalian akan menjadikanku bahan ritual.”

Adiwidya tersenyum tipis. “Tidak salah. Tapi sebelum itu, kau harus lulus ujian.”

Tanpa peringatan, dua prajurit wanita kuat masuk, menarik Wirya berdiri.

"Buka bajunya," perintah Adiwidya pada penjaga tanpa basa-basi.

Wirya terkejut ketika dua prajurit wanita kuat mencengkeramnya dan mulai melepas pakaiannya yang sudah compang-camping.

"H-Hey! Apa yang kalian lakukan?!" protesnya sambil berusaha melawan, tapi tidak berguna.

Adiwidya mendekati Wirya yang sekarang hanya mengenakan celana pendek, matanya menyapu setiap inci tubuhnya dengan analitis.

“Tidak seperti yang kubayangkan,” gumamnya, lalu tiba-tiba meraih lengan Wirya dan meraba ototnya. “Kurang terlatih, tapi struktur tulangmu cukup bagus.”

Wirya merasa sangat tidak nyaman. “Apa maksud semua ini?!”

Adiwidya mengabaikannya. “Turunkan celananya.”

“APA?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 160

    Beberapa minggu telah berlalu sejak penobatan Wirya, dan istana kerajaan Nusantara mengalami perubahan drastis. Aturan baru yang ditetapkan Wirya—bahwa semua penghuni istana harus telanjang—telah menciptakan atmosfer yang penuh dengan hawa nafsu. Suatu pagi, ketika Wirya sedang duduk di singgasananya dengan beberapa wanita telanjang mengelilinginya, tiba-tiba muncul kilatan cahaya terang di tengah ruang takhta. Dari cahaya itu muncul dua sosok—Joko Loyo yang tampak tua dan bijaksana, serta Murni, istrinya yang cantik dengan mata penuh kelembutan.“Wirya!” hardik Joko Loyo, matanya menyala-nyala melihat pemandangan tak senonoh di istana. “Apa yang telah kau lakukan?”Wirya bangkit dari singgasana, dengan sombongnya menunjukkan tubuh telanjangnya yang perkasa. “Joko Loyo! Lihatlah kerajaanku! Aku memiliki segalanya di sini!”Murni menutup matanya, malu melihat kemerosotan moral Wirya. “Wirya, kami mengirimmu ke masa lalu untuk menyelamatkan sejarah, bukan untuk menghancurkannya!”Joko

  • Tawanan yang Menawan   Bab 159

    Wirya menarik napas dalam. “Cincin ini... lagi-lagi...”Amita meletakkan gelas dan mendekat. “Kau tidak harus melawan hasratmu sendiri, Wirya. Kau adalah raja sekarang.”Dia berlutut di depan Wirya, tangan hangatnya menyentuh kaki Wirya. “Biarkan aku membantumu malam ini.”Cincin itu berdenyut lebih kencang, seakan menyetujui. Dan untuk malam ini, Wirya memutuskan untuk menyerah pada takdir dan hasrat yang telah dipilihkan untuknya.Amita mendekat dengan langkah yang penuh keyakinan, matanya tidak lagi memancarkan sikap prajurit yang tegas, melainkan kelembutan seorang wanita. Cahaya bulan dari balkon menerpa sisi wajahnya, menciptakan siluet yang memesona.“Wirya,” bisiknya, tangannya yang biasanya memegang pedang kini dengan lembut melepaskan jubah kerajaan yang dikenakan Wirya. “Kau tidak perlu melawan ini. Cincin itu adalah bagian dari takdirmu, dan hasrat ini adalah bagian dari kekuatanmu.”Wirya menarik napas dalam, mencoba melawan gelombang gairah yang semakin menjadi. “Tapi...

  • Tawanan yang Menawan   Bab 158

    Hampir tiap hari Wirya dan Ratu Arunya sering mengunjungi gua tersebut.Di dalam gua yang diterangi cahaya keemasan dari cincin Wirya, ketika dua tubuh itu terpisah dengan napas masih tersengal. Arunya berbaring di atas jubahnya yang terhampar, wajahnya memancarkan kepuasan dan kedamaian yang lama hilang. Dari luar gua, suara Amita memanggil dengan hormat. “Yang Mulia? Pemukiman pertama sudah siap. Rakyat menanti perintah berikutnya.”Wirya dan Arunya saling memandang. Saatnya kembali kepada tanggung jawab. Dengan gerakan perlahan, mereka mengenakan kembali pakaian mereka. Wirya membantu Arunya berdiri, dan di matanya kini terlihat penghormatan yang berbeda.“Siapakah yang akan kau pilih sebagai permaisuri?” tanya Arunya sambil merapikan rambutnya. “Amita mungkin pilihan yang tepat. Dia kuat dan disegani.”Wirya menggeleng. “Masih terlalu cepat untuk memikirkan itu. Kerajaan harus dibangun terlebih dahulu. Dan...” dia menatap Arunya, “apa yang baru saja terjadi antara kita...”“Adala

  • Tawanan yang Menawan   Bab 157

    “Aku...” gumamnya, suaranya bergetar. “Aku akan tinggal.”Dia berlutut menghadap Ratu Arunya, mengangkat tubuhnya perlahan. “Bangunlah, Yang Mulia. Aku bersumpah akan membantumu membangun kerajaan baru. Masa depanku... biarlah menjadi masa lalu.”Ratu Arunya memeluk Wirya erat, tangisnya pecah melegakan.Di tepi pantai, rombongan terakhir kerajaan yang hancur mulai menaiki perahu-perahu yang telah disiapkan. Wirya berdiri di samping Ratu Arunya, memandang lautan luas yang akan mereka seberangi.“Tanah baru itu bernama Nusantara,” ucap Ratu Arunya, matanya menerawang mengingat sesuatu. “Tempat di mana leluhur kita pertama kali menginjakkan kaki.”Amita mendekat dengan beberapa peta kuno di tangannya. “Menurut catatan, di sana terdapat tanah subur dengan sungai-sungai yang jernih. Tapi...” dia berhenti sejenak, “menurut legenda, tempat itu juga dijaga oleh roh-roh penjaga yang perkasa.”Wirya merasakan cincin di jarinya bergetar halus. “Aku merasa... ada yang memanggil dari sana. Sepert

  • Tawanan yang Menawan   Bab 156

    Wirya memeluk Arunya erat, mengarahkan telapak tangannya sekali lagi. Kali ini, dengan keyakinan penuh, dia membayangkan melindungi Arunya dan menghentikan Candra Damar untuk selamanya.Cincin itu menyala dengan intensitas luar biasa, membentuk perisai energi yang mendorong Candra Damar hingga terpental ke dalam terowongan. Batu-batu mulai runtuh, menutup pintu keluar.Saat debu mengendap, Wirya dan Arunya terduduk lelah. Mereka selamat, tapi kehilangan Surya. Di kejauhan, asap masih membubung dari istana yang hancur.“Perjuangan belum berakhir,” bisap Arunya, “tapi hari ini, kita masih punya harapan.”Wirya memapah tubuh Ratu Arunya yang lemah melalui hutan belantara menuju titik evakuasi di Pantai Gua Karang Timur. Dengan setiap langkah, harapan mereka untuk menemukan para pengungsi yang selamat semakin berkobar. Namun, yang menyambut mereka hanyalah pemandangan yang menghancurkan hati.“Tidak...!” tercekik Arunya begitu matanya menangkap sosok yang terbaring di antara reruntuhan pe

  • Tawanan yang Menawan   Bab 155

    Surya melemparkan busurnya dan menghunus pedang. “Laporan kematianku terlalu berlebihan, Candra. Dan sekarang, aku datang untuk mengembalikan kehormatan kerajaan!”Dia melompat ke tengah ruangan, pedangnya berkilat di cahaya bulan. “Anak muda! Lindungi Ratu! Aku yang akan menghadapi mereka!”Wirya segera berlari ke arah Arunya, melepaskan jubahnya sendiri untuk menutupi tubuh ratu yang setengah telanjang. Pertarungan sengit pun pecah antara Surya melawan pasukan Candra Damar, memberikan harapan baru di tengah keputusasaan.Surya bergerak lincah seperti harimau, pedangnya menari-nari membentuk lingkaran cahaya perak. Setiap tebasannya tepat sasaran, menjatuhkan prajurit Pasukan Bulan satu per satu. Darah berceceran di lantai candi yang dingin.“Wirya, bawa Ratu pergi dari sini!” teriak Surya sambil menangkis serangan tiga prajurit sekaligus.Wirya dengan sigap mengangkat tubuh Ratu Arunya yang masih lemah. “Ke mana kita harus pergi?”“Terowongan di balik patung dewa!” sahut Surya singk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status