Share

Bab 5

Penulis: Frands
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-30 20:13:28

Sebelum Wirya bisa bereaksi, para penjaga sudah melakukannya dengan paksa.

Adiwidya memandang “tonjolan” Wirya dengan ekspresi peneliti yang mengamati spesimen langka.

“Menarik... ini berbeda dengan deskripsi dalam kitab kuno,” bisiknya sambil mengambil catatan.

Dia tiba-tiba meraih barang milik Wirya dengan tangan lembutnya.

“SIALAN! Lepaskan!” Wirya menggeliat keras.

Adiwidya tetap tenang. “Diam. Ini ujian penting.”

Dari balik jubahnya, Adiwidya mengeluarkan sebuah botol kecil berisi bubuk keemasan.

“Ini akan membuktikan apakah kau layak,” katanya sambil menaburkan bubuk itu ke tubuh Wirya.

Bubuk itu terasa hangat saat menyentuh kulit. Tiba-tiba—

“Aduh—! Apa ini?!” Wirya merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada miliknya!

Adiwidya mengamati dengan seksama, lalu tersenyum puas. “Manjur. Sangat manjur sekali.”

Wirya merah padam. “Kalian gila ya?!”

Adiwidya tiba-tiba berbisik, “Dengar baik-baik. Ratu meragukan keaslianmu. Tapi aku yakin kau mempelai terbaik yang pernah kami dapatkan.”

Wirya bingung. “Mempelai? Aku tidak ingin menikah!”

“Percuma saja, kau tidak memiliki hak untuk memilih. Kau akan dipasangkan dengan Putri Kirani.”

Adiwidya perlahan berjalan mengelilingi Wirya yang telanjang dada. Jarinya yang dingin menyentuh otot-otot pria modern itu.

“Kau berbeda,” bisiknya. “Lebih... keras.”

Wirya menggeliat tak nyaman saat jari Adiwidya tiba-tiba mencubit dua pusat cakra di dada Wirya. “Apa-apaan ini?!”

Sang Perdana Menteri mengabaikan protesnya. Matanya tertuju pada bagian bawah tubuh Wirya yang mulai menunjukkan reaksi alami. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya yang merah.

“Oh?”

Tanpa peringatan, Adiwidya meraih bagian yang mengeras itu. Wirya terkesiap.

“Lepaskan!”

“Tenang,” desis Adiwidya sambil memperhatikan miliknya dengan seksama. “Ini hanya... pemeriksaan.”

Tapi gerakan tangannya berbicara lain. Perlahan namun pasti, sang Perdana Menteri mulai menggerakkan tangannya naik turun, ekspresinya berubah dari profesional menjadi penuh nafsu tersembunyi.

Wirya mengerang terjepit antara kemarahan dan kenikmatan yang tak diinginkan. “Kau gila... aku bukan...”

“Semua pria sama,” bisik Adiwidya, napasnya mulai berat. “Di kitab kuno disebutkan, mereka mudah terangsang. Ternyata benar.”

Tiba-tiba, pintu sel terbuka dengan keras.

“Perdana Menteri!”

Adiwidya berbalik cepat, menyembunyikan apa yang terjadi dengan jubahnya yang lebar. Panglima Amita berdiri di pintu dengan tatapan bingung.

“Ratu memanggil. Segera.”

Adiwidya menghela napas, lalu berbisik ke telinga Wirya: “Kita lanjutkan lain kali.”

Sebelum pergi, dia menyelipkan sesuatu ke tangan Wirya – sehelai kain sutra halus yang masih hangat dari tubuhnya.

Adiwidya terburu-buru meninggalkan penjara, wajahnya masih merah oleh hasrat yang terpendam. Saat tiba di istana, dia menemukan Ratu Arunya duduk di singgasananya dengan wajah pucat, menggenggam selembar surat berstempel emas.

"Perdana Menteri," sambut Ratu dengan suara tegang, "kau perlu melihat ini."

Adiwidya mengambil surat itu. Matanya melebar saat membaca isinya:

"Kepada Yang Mulia Raja Wanawaron,

*Dengan hormat, kami mengundang Tuan dan keluarga kerajaan untuk menghadiri jamuan di Karta Loka dalam rangka perayaan musim panen. Kami juga berharap dapat berkenalan dengan putri Tuan, Dewi Kirani..."

Sang Ratu menyela Adiwidya yang sedang membaca surat itu “Surat itu ditandatangani oleh Pangeran Chandra Damar dari Karta Loka.”

Adiwidya mengangkat alis. “Kenapa... mereka tahu tentang Wanawaron?"

"Menurutku tidak sepenuhnya," jawab Ratu Arunya gemetar. "Tidak ada yang tahu Wanawaron adalah kerajaan wanita. Selama berabad-abad, kita merahasiakannya dari dunia luar."

"Yang lebih mengkhawatirkan," lanjut Ratu, "bagaimana mereka tahu tentang Kirani? Tidak seharusnya ada yang mengetahui keberadaan putri kita!"

Perdana Menteri diam sejenak, lalu Adiwidya mengusulkan “Kita bisa mengirim utusan untuk menolak secara halus. Katakan sang Raja sedang sakit—”

“Tidak!” Ratu Arunya berdiri, wajahnya berubah dingin. “Kita tidak bisa menolak. Karta Loka adalah kerajaan besar. Jika mereka merasa dihina, pasukan mereka akan menyerbu kita sebelum bulan purnama berikutnya.”

Dia berjalan mondar-mandir. “Wanawaron bertahan selama ini karena isolasi. Jika perang terjadi... kita tidak akan mampu bertahan.”

“Tapi bagaimana? Kita tidak punya Raja untuk menghadiri undangan tersebut. Jika Ratu yang pergi ke sana itu akan membuat mereka memandang rendah kita kalau Wanawaron dipimpin oleh seorang ratu.”

Ratu Arunya menatap Adiwidya dengan pandangan tajam, tangannya mengepal erat di atas meja kayu jati.

“Kita akan bawa tawanan itu,” ujarnya dengan suara rendah. “Dia akan berpura-pura menjadi Raja Wanawaron.”

Adiwidya nyaris tersedak. “Yang Mulia, ini terlalu berisiko! Pria asing itu—”

“—adalah satu-satunya pilihan kita,” potong Ratu. “Kita tak bisa menolak undangan Karta Loka tanpa memicu perang. Dan kita tak bisa mengakui Wanawaron dipimpin perempuan tanpa membongkar rahasia selama berabad-abad.”

Dia berdiri, jubahnya berkibar. “Persiapkan dia. Ajari dia cara berperilaku sebagai raja. Dan beri dia ancaman yang jelas jika dia membocorkan kebenaran, kepalanya akan dipenggal sebelum kata-katanya sampai ke telinga Pangeran Chandra Damar.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawanan yang Menawan   Bab 37

    Malam telah menyelimuti desa ketika Wirya akhirnya memutuskan menyelinap keluar dari rumahnya. Bulan purnama menyapa menggantikan garis senja yang sirna, menerangi jalan setapak menuju ujung desa dengan cahaya peraknya yang dingin. Dia memilih jalan memutar, menghindari pos penjagaan utama. Setiap langkahnya diiringi oleh desir angin malam yang membawa aroma tanah lembap dan daun-daun kering. “Ini gila,” pikirnya sambil terus berjalan. “Apa aku harus benar-benar mempercayai orang asing?”Tapi rasa ingin tahu—dan mungkin juga naluri bertahannya—terlalu kuat untuk diabaikan. Saat mendekati batas hutan, bayangan tinggi seorang wanita berdiri di bawah pohon besar. Topi petaninya masih menutupi sebagian wajah, tapi mata hijau itu bersinar jelas dalam gelap. “Aku kira kau tak akan datang,” ujarnya saat Wirya berada dalam jarak beberapa langkah. Wirya berhenti, tetap waspada. “Aku masih belum yakin harus mempercayaimu.” Wanita itu tertawa pendek. “Kau memang orang yang bijaksan

  • Tawanan yang Menawan   Bab 36

    “Sudah mau pergi?” ujar Bu Puji ketika melihat Wirya berjalan menjauh.Wirya menoleh sebentar. “Aku ingin melihat-lihat desa. Menikmati udara sore mungkin menyenangkan.” “Tunggu sebentar,” balas Bu Puji sambil menyeka tangannya yang berdebu lalu memberikan beberapa koin ke Wirya. “Ini upahmu setelah membantuku. Kau bisa datang lagi esok pagi.” Wirya mengangguk, lalu berjalan menyusuri jalan tanah yang berdebu.Wirya tiba di sebuah Pasar yang tak jauh dari rumah Bu Puji.Suara riuh rendah pasar segera menyambutnya. Wanita-wanita dengan keranjang anyaman berjualan sayuran, buah, dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Beberapa mata langsung tertuju padanya saat ia melintas. “Lihat, itu orang dari istana!” bisik seorang wanita tua pada temannya. Wirya mencoba tersenyum ramah. “Selamat sore, Ibu. Berapa harga pisang ini?” Wanita itu terkejut ditanya langsung. “T-Tiga keping tembaga untuk satu sisir.” Dia mengeluarkan beberapa keping uang logam dari kantongnya—uang saku yang dib

  • Tawanan yang Menawan   Bab 35

    “Tiga kali,” bisik Ibu Puji, suaranya pecah. “Tiga kali melahirkan anak laki-laki. Tiga kali mendengar tangisan bayi di tengah malam sebelum mereka dibawa pergi selamanya.” Tangannya mengepal erat. “Sekarang aku sudah tiga puluh lima tahun. Aku sudah mulai menyerah untuk mendapatkan penerusku.”Wirya berdiri tegak, tubuhnya gemetar. “Itu biadab!” “Di sini, itu disebut hukum,” jawab Ibu Puji sambil memungut pahatnya. Wirya menggeleng, tak percaya. “Jadi para bangsawan istana menentukan kehidupan kalian.” Ibu Puji mengangguk pahit, serbuk kayu berjatuhan dari jemarinya yang kaku. “Ratu, panglima, para menteri... mereka punya hak istimewa. Bisa memilih dari tawanan terbaik, yang sehat dan kuat.” “Bagaimana dengan kalian?” “Kami dapat apa yang tersisa,” Ibu Puji memicingkan matanya. “Atau lebih sering satu orang untuk beberapa penduduk. Kalau tidak mau harus antre lama, kadang sampai giliran habis sebelum dapat kesempatan.” Wirya mengepalkan tangannya. “Itu tidak adil!” “D

  • Tawanan yang Menawan   Bab 34

    “Sungguh ironis sekali hidup ini, aku memang ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hubunganku dengan keluargaku.”Wirya menutup mata. Tiba-tiba, bayangan rumah ibunya di kampung halaman muncul begitu jelas. Suara televisi yang selalu diputar ibunya meski tak ada yang menonton. Foto-foto keluarga di dinding yang dulu selalu ia abaikan. “Tapi waktu menghukumku ke masa yang terlalu jauh, dimana tak ada keluargaku,” ucapnya lirih, sambil mengunyah makanan dalam mulutnya. Dia membayangkan ibunya sekarang—mungkin sedang duduk sendirian di ruang tamu, menunggu telepon yang tak kunjung datang. Tanpa tahu anaknya hilang di lorong waktu. “Maafkan aku, Bu,” bisiknya pada bayangan ibunya dalam pikirannya.Asap tungku dari api milik wanita pengrajin itu berhembus ke arah Wirya membuat matanya perih. Air mata Wirya menetes tanpa sadar. “Kau baik-baik saja?” tanya wanita pengrajin, Wirya mengangguk, menelan sesuap nasi yang tiba-tiba terasa pahit. “Hanya... rindu rumah.” Suas

  • Tawanan yang Menawan   Bab 33

    Matahari pagi mulai meninggi, Wirya berdiri di gerbang istana tanpa membawa apapun kecuali pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Dua prajurit wanita bersenjata lengkap sudah menunggu dengan sikap waspada. Salah seorang pelayan istana mendekat ke arah Wirya, menyerahkan kantong kulit berisi ramuan penawar. “Untuk sore nanti,” ucapnya singkat sebelum segera pergi. Dari balik tiang marmer, Kirani muncul dengan diiringi dua dayangnya. “Wirya,” panggilnya, suaranya berusaha tetap tenang. Para penjaga segera memberi jalan saat sang Putri mendekat. “Jaga dirimu,” bisik Kirani sambil berpura-pura menata kerah baju Wirya. Jarinya yang halus menyambar baju Wirya berpura-pura merapikannya.Wirya mengangguk hampir tak terlihat. “Aku akan pergi, Tuan Putri.” Panglima Amita yang mengawasi dari kejauhan tiba-tiba berseru, “Cukup! Sudah waktunya pergi!” Dengan langkah mantap, Wirya berbalik meninggalkan istana.Wirya melangkah keluar melewati gerbang istana, diiringi dua prajuri

  • Tawanan yang Menawan   Bab 32

    Maya menelan ludah, matanya berbinar. “Apa... apa yang kau inginkan?” Wirya tersenyum—senyum tanpa kegembiraan. “Katakan pada mereka di luar bahwa pemeriksaan sudah selesai. Dan hasilnya... positif.” Maya menggeleng, wajahnya memerah. “Tapi Baginda Ratu akan—“ “Kau ingin melihatnya, bukan?” Wirya memotong, suaranya tiba-tiba berubah menjadi bisikan yang dalam. Matanya menangkap tatapan penasaran Maya yang sesaat terlalu lama tertuju di bagian bawah tubuhnya. Dewi Kirani menahan napas di sudut ruangan, matanya berbinar penuh pertanyaan. Dengan gerakan lambat, Wirya melepas ikatan di pinggangnya. “Aku tahu kau penasaran,” bisiknya, melihat Maya yang tiba-tiba kesulitan menelan ludah. “Semua wanita di istana ini pasti penasaran.” Maya tidak bisa mengalihkan pandangannya ketika kain linen mulai melorot— “Baiklah!” serunya tiba-tiba, tangannya terangkat untuk menahan. “A-Aku... aku akan katakan apa yang kau mau.” Wirya berhenti, senyumnya semakin lebar. “Pintar.” Di lua

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status