Sebelum Wirya bisa bereaksi, para penjaga sudah melakukannya dengan paksa.
Adiwidya memandang “tonjolan” Wirya dengan ekspresi peneliti yang mengamati spesimen langka. “Menarik... ini berbeda dengan deskripsi dalam kitab kuno,” bisiknya sambil mengambil catatan. Dia tiba-tiba meraih barang milik Wirya dengan tangan lembutnya. “SIALAN! Lepaskan!” Wirya menggeliat keras. Adiwidya tetap tenang. “Diam. Ini ujian penting.” Dari balik jubahnya, Adiwidya mengeluarkan sebuah botol kecil berisi bubuk keemasan. “Ini akan membuktikan apakah kau layak,” katanya sambil menaburkan bubuk itu ke tubuh Wirya. Bubuk itu terasa hangat saat menyentuh kulit. Tiba-tiba— “Aduh—! Apa ini?!” Wirya merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada miliknya! Adiwidya mengamati dengan seksama, lalu tersenyum puas. “Manjur. Sangat manjur sekali.” Wirya merah padam. “Kalian gila ya?!” Adiwidya tiba-tiba berbisik, “Dengar baik-baik. Ratu meragukan keaslianmu. Tapi aku yakin kau mempelai terbaik yang pernah kami dapatkan.” Wirya bingung. “Mempelai? Aku tidak ingin menikah!” “Percuma saja, kau tidak memiliki hak untuk memilih. Kau akan dipasangkan dengan Putri Kirani.” Adiwidya perlahan berjalan mengelilingi Wirya yang telanjang dada. Jarinya yang dingin menyentuh otot-otot pria modern itu. “Kau berbeda,” bisiknya. “Lebih... keras.” Wirya menggeliat tak nyaman saat jari Adiwidya tiba-tiba mencubit dua pusat cakra di dada Wirya. “Apa-apaan ini?!” Sang Perdana Menteri mengabaikan protesnya. Matanya tertuju pada bagian bawah tubuh Wirya yang mulai menunjukkan reaksi alami. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya yang merah. “Oh?” Tanpa peringatan, Adiwidya meraih bagian yang mengeras itu. Wirya terkesiap. “Lepaskan!” “Tenang,” desis Adiwidya sambil memperhatikan miliknya dengan seksama. “Ini hanya... pemeriksaan.” Tapi gerakan tangannya berbicara lain. Perlahan namun pasti, sang Perdana Menteri mulai menggerakkan tangannya naik turun, ekspresinya berubah dari profesional menjadi penuh nafsu tersembunyi. Wirya mengerang terjepit antara kemarahan dan kenikmatan yang tak diinginkan. “Kau gila... aku bukan...” “Semua pria sama,” bisik Adiwidya, napasnya mulai berat. “Di kitab kuno disebutkan, mereka mudah terangsang. Ternyata benar.” Tiba-tiba, pintu sel terbuka dengan keras. “Perdana Menteri!” Adiwidya berbalik cepat, menyembunyikan apa yang terjadi dengan jubahnya yang lebar. Panglima Amita berdiri di pintu dengan tatapan bingung. “Ratu memanggil. Segera.” Adiwidya menghela napas, lalu berbisik ke telinga Wirya: “Kita lanjutkan lain kali.” Sebelum pergi, dia menyelipkan sesuatu ke tangan Wirya – sehelai kain sutra halus yang masih hangat dari tubuhnya. Adiwidya terburu-buru meninggalkan penjara, wajahnya masih merah oleh hasrat yang terpendam. Saat tiba di istana, dia menemukan Ratu Arunya duduk di singgasananya dengan wajah pucat, menggenggam selembar surat berstempel emas. "Perdana Menteri," sambut Ratu dengan suara tegang, "kau perlu melihat ini." Adiwidya mengambil surat itu. Matanya melebar saat membaca isinya: "Kepada Yang Mulia Raja Wanawaron, *Dengan hormat, kami mengundang Tuan dan keluarga kerajaan untuk menghadiri jamuan di Karta Loka dalam rangka perayaan musim panen. Kami juga berharap dapat berkenalan dengan putri Tuan, Dewi Kirani..." Sang Ratu menyela Adiwidya yang sedang membaca surat itu “Surat itu ditandatangani oleh Pangeran Chandra Damar dari Karta Loka.” Adiwidya mengangkat alis. “Kenapa... mereka tahu tentang Wanawaron?" "Menurutku tidak sepenuhnya," jawab Ratu Arunya gemetar. "Tidak ada yang tahu Wanawaron adalah kerajaan wanita. Selama berabad-abad, kita merahasiakannya dari dunia luar." "Yang lebih mengkhawatirkan," lanjut Ratu, "bagaimana mereka tahu tentang Kirani? Tidak seharusnya ada yang mengetahui keberadaan putri kita!" Perdana Menteri diam sejenak, lalu Adiwidya mengusulkan “Kita bisa mengirim utusan untuk menolak secara halus. Katakan sang Raja sedang sakit—” “Tidak!” Ratu Arunya berdiri, wajahnya berubah dingin. “Kita tidak bisa menolak. Karta Loka adalah kerajaan besar. Jika mereka merasa dihina, pasukan mereka akan menyerbu kita sebelum bulan purnama berikutnya.” Dia berjalan mondar-mandir. “Wanawaron bertahan selama ini karena isolasi. Jika perang terjadi... kita tidak akan mampu bertahan.” “Tapi bagaimana? Kita tidak punya Raja untuk menghadiri undangan tersebut. Jika Ratu yang pergi ke sana itu akan membuat mereka memandang rendah kita kalau Wanawaron dipimpin oleh seorang ratu.” Ratu Arunya menatap Adiwidya dengan pandangan tajam, tangannya mengepal erat di atas meja kayu jati. “Kita akan bawa tawanan itu,” ujarnya dengan suara rendah. “Dia akan berpura-pura menjadi Raja Wanawaron.” Adiwidya nyaris tersedak. “Yang Mulia, ini terlalu berisiko! Pria asing itu—” “—adalah satu-satunya pilihan kita,” potong Ratu. “Kita tak bisa menolak undangan Karta Loka tanpa memicu perang. Dan kita tak bisa mengakui Wanawaron dipimpin perempuan tanpa membongkar rahasia selama berabad-abad.” Dia berdiri, jubahnya berkibar. “Persiapkan dia. Ajari dia cara berperilaku sebagai raja. Dan beri dia ancaman yang jelas jika dia membocorkan kebenaran, kepalanya akan dipenggal sebelum kata-katanya sampai ke telinga Pangeran Chandra Damar.”“Di manakah Putri Dewi Kirani?" tanya Wirya, mencoba memecah kesunyian yang membuatnya tidak nyaman. "Aku ingin bertemu dengannya."Salah satu penjaga meliriknya, wajahnya tetap netral. "Yang Mulia Putri juga sedang mempersiapkan diri untuk upacara nanti. Anda akan bertemu dengannya pada waktunya."Penjaga yang satunya menambahkan dengan suara datar, "Tidak perlu khawatir. Semua sudah diatur untuk... kenyamanan Anda berdua."Jawaban yang samar dan menghindar itu justru membuat Wirya semakin gelisah. Dia mencoba lagi, "Apa yang akan terjadi dalam upacara itu? Apa aku masih harus menghamili Tuan Putri?"Kedua penjaga saling memandang sejenak sebelum yang pertama menjawab, "Itu bukan urusan kami untuk menjelaskan. Anda hanya perlu mengikuti arahan."Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar yang diukir dengan simbol bulan sabit. Salah satu penjaga membukanya, memperlihatkan kamar yang luas dengan bak mandi beruap dan pakaian bersih yang sudah disiapkan."Beristirahatlah," ujar pen
Wirya menyoroti keraguan dalam suaranya. “Tapi apa kau yakin Ratu akan mendengarkanmu?”Amita menghela napas, Wirya melihat kerentanan yang jelas dalam diri sang panglima. “Arunya adalah ratu yang bijaksana, tapi... dia juga sangat teguh pada pendiriannya. Terutama mengenai tradisi.” Dia menunduk, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku hanyalah adik. Dan dalam hal ini... mungkin pengaruhku tidak sebesar yang kuharapkan.”“Tapi setelah semua yang terjadi? Setelah aku melarikan diri?” tanya Wirya lagi.“Mungkin hal itu bisa mengubah cara pandangnya,” jawab Amita, suaranya sedikit lebih keras, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kau telah menunjukkan keberanian, kecerdasan, dan... karakter yang layak dihormati.” Dia berhenti lagi, dan kali ini suaranya nyaris berbisik, “Dan mungkin... hanya mungkin... Wanawaron memang perlu mempertimbangkan kembali beberapa tradisinya.”Pengakuan itu terasa berat baginya, seperti mengucapkan sesuatu yang hampir bersifat penghujatan.Wirya
Pertarungan sengit terjadi. Amita bertahan dengan disiplin tinggi, mencoba mencari celah untuk melumpuhkan tanpa membunuh. Tiba-tiba, dari atas kuda, Wirya berteriak keras.“NINGRUM, HENTIKAN! AMBARANI TIDAK BERSAMA KAMI!”Nama itu mengguncang Amita seperti sambaran petir. Matanya membelalak, memperhatikan lebih cermat wajah wanita yang sedang bertarung dengannya. Di balik coretan darah, keringat, dan amarah yang mendistorsi fitur wajahnya, Amita mulai mengenali sesuatu—sebuah kenangan dari masa lalu yang jauh.“Tunggu...” gumam Amita, langkahnya tiba-tara menjadi kurang ofensif, lebih defensif. “Ningrum? Ningrum yang dulu saat kecil selalu mencuri jambu di kebun istana?”Ningrum mendadak terhenti, serangannya melambat. Napasnya tersengal-sengal, matanya menyipit penuh kebingungan. "Bagaimana kau—?""Kita pernah berlatih pedang bersama di bawah bimbingan Guru Senja!" teriak Amita, mencoba menembus kabut amarah di pikiran Ningrum. "Kau selalu kalah dariku, tapi tidak pernah menyerah!"
Amita menghentikan kudanya, menatap jauh ke arah pepohonan. "Kami bertiga dibesarkan dengan prinsip yang sama: Wanawaron adalah segalanya. Tapi kami memilih jalan yang berbeda untuk menunjukkannya."Dia menoleh, memandang Wirya. "Arunya percaya bahwa mempertahankan tradisi adalah cara terbaik melestarikan Wanawaron. Ambarani yakin bahwa mengubah tradisi adalah satu-satunya cara menyelamatkannya. Dan aku..." Dia menghela napas, "Aku hanya percaya pada hierarki dan disiplin. Aku melayani ratuku, tapi juga melindungi rakyatku—termasuk dari diri mereka sendiri jika diperlukan.""Jadi pada intinya," simpul Wirya, "kalian bertiga sama-sama mencintai Wanawaron, hanya dengan cara yang berbeda."Untuk pertama kalinya, senyum kecil muncul di bibir Amita. "Kau memang bijaksana, Tuan Jaksa. Mungkin itulah sebabnya Ambarani memilih mempertaruhkan segalanya untukmu."Sebutan itu menggantung di udara antara mereka seperti tamparan. Wirya mengeras di tempat duduknya, cengkeramannya pada pinggang Ami
“Jangan menyebut nama itu di hadapanku,” desisnya, suara tiba-tiba penuh dengan getaran emosi yang jarang terlihat.“Kenapa?” tanya Wirya, penasaran. “Meski dia adalah musuh kalian. Tapi yang kulihat... dia tidak seperti yang kau gambarkan.”Amita menarik napas dalam. “Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.”“Yang kukatakan, dia memiliki sisi lembut yang tersembunyi, seperti dirimu,” tukas Wirya. “Dan dia bercerita padaku bahwa dia sebenarnya—““—adik kandung Ratu Arunya,” sela Amita, suara tiba-tara lembut namun penuh beban. “Dan... kakak kandungku.”Wirya tertegun. “Jadi kau sudah tahu?”“Ya,” bisik Amita, matanya menerawang.“Dia memang kakakku. Dia melarikan diri dari Wanawaron karena menentang tradisi kita—ritual yang sekarang akan kau jalani. Dia menganggapnya tidak manusiawi.”Dia menatap Wirya, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan yang dalam di balik armor kekuatan sang panglima."Dia bukan hanya pengkhianat bagi kerajaan, Wirya. Dia adalah pengkhianat bagi kel
Wirya merasa darahnya memanas, campuran dari malu dan sebuah keberanian aneh. “Apa kau belum pernah melihat benda seperti ini, Panglima?”Amita mengangkat pandangannya, bertemu dengan mata Wirya. Wajahnya masih berusaha netral, tetapi ada sesuatu yang berubah di matanya. “Di Wanawaron, banyak wanita yang menginginkan... apa yang kau miliki. Mereka menunggu giliran untuk merasakan.”“Dan kau?” tanya Wirya, berani yang tidak dia kenali dalam dirinya sendiri. “Apakah kau juga menunggu giliran itu, Panglima Amita?”Diam sejenak. Hanya suara sungai yang mengalir.“Aku adalah panglima,” jawabnya akhirnya, suara rendah. “Aku menjalankan tugas. Aku tidak... memperdulikan hal seperti itu.”“Jadi kau belum pernah?” Wirya mendesak, merasa anehnya kekuasaan berada di tangannya sekarang.Amita menghela napas, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan dalam diri wanita perkasa ini. “Tugasku adalah melindungi kerajaan, bukan... memenuhi nafsu. Tapi melihatmu sekarang...” Matanya kembali m