"Aku ingin kamu tahu dari mulut ibumu sendiri, Mas, tidak dari aku, yang perlu kamu ketahui, ucapan Ibu sangat menyayat hati," terang Lira membuatku semakin penasaran.
Aku menggoyangkan bahunya seraya memaksa Lira bicara.
"Kamu tidak anggap aku sebagai suami?"
"Kalau tidak menganggap suami, tentu aku dan Andara sudah pergi dari rumah ini, justru karena aku sayang sama kamu, tidak ingin merusak hubungan antara seorang anak dan ibunya, terlebih ibumu sudah menjadi janda sejak Januari lalu," tutur Lira membuatku terenyuh.
Kemudian, tangan ini mencekal pergelangan tangannya. Lalu menyuruhnya berdiri dan mengajaknya keluar dari kamar. Ya, aku akan bawa Lira ke hadapan ibu. Biarkan masalah ini kami bicarakan bertiga.
Aku anak lelaki satu-satunya, memang berkewajiban menafkahi ibu. Namun, tanggung jawab terhadap anak dan istriku adalah suatu prioritas.
"Kita mau ke mana, Mas?" tanya Lira sambil mencoba membanting tangannya dan melepaskan dari genggaman tangan ini.
"Kita ke kamar Ibu," jawabku setelah menghentikan langkah tepat di depan ruangan keluarga, kamar ibu berada di ujung dekat dapur, kurang lebih jaraknya masih lima meter.
"Nggak usah, Mas, kita masuk kamar aja, aku nggak mau ribut, Ibu kan belum ada setahun kehilangan Bapak," jawab Lira. Ia memintaku untuk menghentikan langkah.
Ibuku bernama Sani, Januari silam bapakku meninggal karena terpeleset di kamar mandi.
Aku terdiam sejenak, ibuku tiba-tiba keluar dari kamarnya seorang diri. Ia menutup pintu dengan pelan sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
"Andara tidur, jangan berisik, kalian ribut soal apa sih? Kebiasaan nggak bisa jaga sikap di depan orang tua." Ibu berjalan ke arah kami sambil menerobos bicara.
"Nggak, Bu. Mas Adit cuma mau ngajak makan malam," sahut Lira. Kenapa dia mengalihkan pembicaraan? Apa itu artinya dia tidak mau dicecar sekarang?
"Oh gitu, ya sudah ajak suamimu makan dulu sana!" suruh ibu. "Kalian duluan makan aja, Ibu mau telepon kampung dulu," sambungnya.
Akhirnya aku mengurungkan niat untuk membicarakan ini bertiga, aku memilih makan bersama Lira di meja makan.
Saat makan, Lira banyak diam, ini tidak seperti biasanya, padahal istriku biasanya selalu banyak tanya tentang kerjaanku.
Kuletakkan sendok dan garpu setelah menghabiskan makanan yang tersedia. Lalu mengusap bibir yang penuh minyak dengan menggunakan tisu.
"Aku aneh sama kamu, tadi ditanya katanya tunggu ibuku bicara, tapi ketika aku ingin mempertemukan kalian dan bicarakan ini semua malah nolak, jadi aku musti cari tahu sendiri?" Aku berusaha menyecar dengan cara halus.
"Aku ingin cerita, tapi nanti," jawab Lira.
Rasanya aku sudah nggak sabar lagi, menunggu ibu yang mengungkapkan kejanggalan ini semua.
"Ya sudah, kamu tunggu di sini, biar aku ke depan dan tanya langsung ke ibu," pesanku sambil bangkit dari duduk.
Aku berjalan pelan ke tempat ibuku berada, melihat pintu depan terbuka, aku langsung berinisiatif ke luar, karena yakin ibu tengah berada di teras. Namun, setelah berada di ambang pintu, aku menghentikan langkah. Sebab, suara ibuku yang tengah bicara dengan adik kandungnya di kampung membuatku benar-benar mengurungkan niat untuk menegurnya.
"Uang yang terkumpul sih baru dua puluh delapan juta, Marni, kurang dua puluh dua juta lagi," kata ibuku pada adiknya.
'Apa maksudnya ucapan ibu barusan? Lalu uang sebanyak itu ibu kumpulkan sendiri? Apa ini ada hubungannya dengan catatan istriku?' tanyaku dalam hati.
Kudengarkan lagi obrolan ibu melalui sambungan telepon.
"Mau minta pada Adit nanti keenakan istrinya, biarin aja uang Adit mah ditabung, lagian uang belanja aku yang pegang kok," paparnya lagi.
Kenapa ibu bilang bahwa uang belanja dipegang olehnya? Lalu Lira dikasih uang atau tidak selama ibu di sini? Bukankah tiap kali bagi-bagi uang selalu transparan?
Semenjak ada ibu di rumah, aku usahakan adil pada keduanya. Dikarenakan Lira ibu rumah tangga, dan biasanya juga aku kasih dia tiga juta rupiah, tapi setelah ibu tinggal di sini memang aku tambah jadi empat juta rupiah, khawatir untuk tambah beli beras. Di depan Lira juga aku berikan jatah untuk ibu satu juta rupiah, itu hanya untuk pegangannya saja.
"Aku yang urus semuanya, setelah Adit bagi uang bulanan, aku ambil duit yang dipegang Lira, jadi dia nggak pegang sepeserpun, biar tahu rasa gimana rasanya saat suamiku dulu sakit minta kirim uang tapi nggak dikirim," terang ibuku.
'Apa? Saat Bapak sakit nggak kirim uang? Perasaanku saat Bulek Marni mengabarkan Bapak terpeleset dan dirawat, aku dan Lira langsung transfer sejumlah uang,' batinku mengeluh keanehan ini.
"Entahlah dia kerja apa selama ini, aku nggak pernah tahu, yang jelas Lira itu berangkat setelah Adit bergegas ke kantor, sampai sore barulah Lira pulang bersama Andara, dia bawa anaknya, mungkin ngemis." Kudengar ibu terkekeh saat mengatakan hal itu, mengemis dia bilang? Ah nggak mungkin, Lira tidak mungkin melakukan itu.
Namun, dari perkataan yang terakhir, aku bisa menangkap sesuatu, bahwa ada sesuatu yang terjadi di dalam rumah tanggaku. Sebagai tulang punggung dan kepala keluarga, aku harus segera mencari tahu hal ini. Ya, baiklah, aku akan keluar menanyakan hal ini pada ibuku sendiri.
Aku berdecak kesal saat muncul dari balik pintu, wajah ibu pun membeku, dan tiba-tiba saja posisinya berubah jadi berdiri, padahal tadi lagi duduk santai sambil bersua di telepon dengan Bulek Marni.
"Adit," sapa ibu dengan wajah merah padam.
Bersambung
"Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena
"Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat
Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay
"Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan
Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan
"Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o