Ruby menatap sendu pada gundukan tanah dengan bibir bergetar yang tidak dapat berhenti menangis. Netranya mengabur ketika air mata luruh melewati pipinya. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan hadiah perpisahan sekolah dengan perpisahan yang sesungguhnya.
Padahal baru satu tahun yang lalu dia mengunjungi pemakaman Ibunya dengan rasa kehilangan dan tidak percaya. Hari ini dia harus kembali menghadapi kenyataan pahit bahwa yang di ambil darinya kali ini adalah Ayahnya. Bahkan Ruby tidak tahu apa penyebab kecelakaannya karena otaknya mendadak berhenti berfungsi ketika Polisi dan para orang dewasa menjelaskan. Yang keluar hanya tangis tanpa kata apapun. Ruby sangat menyayangi Sapta meskipun dia bukan Ayah kandung Ruby. Dia menyayangi Sapta sebagai Ayahnya. "Ruby, kamu yang tenang, ya? Harus kuat." Ujar Hani, wanita berumur yang merupakan Ibu dari Andra. Ruby menggeleng pelan, dipaksa kuat pun, dunianya benar-benar sedang hancur. Bagaimana mungkin Ruby kuat menjalani hidup tanpa penopang yang di sebut orang tua. Bisakah dia? ** "Terimakasi sudah datang hari ini, Ruby. Saya tahu baru satu hari setelah kepergian almarhum Sapta, tapi kami terpaksa mengundang kamu kemari untuk membuat keputusan. Memang kita tidak terikat darah, saya hanyalah teman dari almarhum Ayah kamu. Tapi tetap saya merasa punya tanggung jawab untuk membantu kamu, terlebih karena kamu adalah anak dari sahabat saya. Sapta meninggal karena tertabrak oleh mobil dan jatuh ke laut. Saya berada di sana tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, sekali lagi maafkan saya." Ujar Andra yang duduk di sofa single. Ruby mendengarkan dalam diam sebelum mengangguk pelan, meskipun ada rasa sedikit belum terima, tapi dia tahu bahwa kematian Ayahnya bukanlah salah Andra. Hani, wanita berumur yang merupakan Ibu dari Andra itu merangkul Ruby, berharap bisa menghantarkan kekuatan. "Bukannya saya ingin ikut campur dan mengatur hidup kamu, tapi disini kamu harus membuat keputusan. Sekarang kamu sendirian, dalam artian sebenarnya. Kamu harus membuat keputusan yang akan menentukan hidup kamu ke depannya." Ujar Andra membuat Ruby mengernyit karena kepalanya pusing. Dia belum siap. Dunia terasa berputar lebih cepat di sekitarnya. Ruby masih perlu waktu untuk menatah hatinya yang pecah tapi dunia benar-benar tidak memberi waktu pada dirinya bahkan untuk sekedar bernapas dan berduka atas kematian Ayahnya. "Maaf sebelumnya, tapi bisakah Bapak memberi waktu pada saya? Sa-saya belum siap. Hati dan pikiran saya masih belum sinkron. Saya tidak dapat memikirkan apapun. Ini terlalu cepat." Ujar Ruby. "Begitulah menjadi dewasa, Ruby. Kamu dituntut untuk menelan rasa sakit bulat-bulat dan membuat pilihan hidup. Karena dunia tidak akan menunggu kamu, dia bahkan berputar lebih cepat dan meninggalkan kamu jika kamu masih belum move on dari satu situasi." Ujar Andra menyandarkan punggungnya ke kursi. "Biarkan dia tenang dulu, Ndra. Ruby baru berusia tujuh belas, meskipun harus menjadi dewasa tapi tetap ini adalah yang pertama kali untuk dia membuat pilihan hidup sendiri. Dia baru saja kehilangan orang yang di sayang, mari kita mengerti keadannya. Bagaimanapun Ruby masih tahap menginjak dewasa dan mandiri. Tidak apa memberi waktu sebentar." Ujar Hani. Andra menghembuskan napas kasar, pemikirannya Ibunya sangat tidak cocok dengan prinsipnya yang serba cepat dan tidak bertele-tele. Tapi kali ini Andra harus mengalah. "Kalau begitu, bicara dan cari saya jika kamu sudah siap. Saya ingin membantu kamu karena kewajiban dan juga saya tahu tidak ada saudara dari pihak kedua orang tua kamu yang hadir saat ini, kan? Maka dari itu kamu leluasa meminta bantuan, entah itu pendapat atau yang lain pada saya." Ujar Andra sebelum beranjak berdiri. "Beri saya waktu satu jam, Pak!" Andra mengangkat alisnya, "Apa itu cukup?" Dia pikir Ruby akan meminta waktu yang lebih lama. Ruby mengangguk yakin, "Lagipula jika diberi lebih banyak waktu, saya malah akan makin terpuruk dalam kesedihan. Jadi biarkan saya menatah hati saya dalam satu jam, setelah itu saya akan membuat keputusan." Andra mengangguk sebelum beranjak pergi. Senyuman hangat menghiasi wajah keriput Hani, "Kamu boleh istirahat di sini, Nak. Panggil Nenek jika butuh bantuan." "Makasih Nek." ** "Jadi, keputusan kamu?" Tanya Andra setelah kembali duduk di sofa ruang tamunya setelah menunggu satu jam. "Saya memutuskan untuk sewa kos karena tidak mungkin saya tinggal bersama saudara pihak Ibu, Bapak tahu sendiri mereka memutus hubungan semenjak Ibu menikah dengan Ayah. Tinggal dengan saudara pihak Ayah pun saya tidak mau karena mereka berbeda provinsi. Untuk rumah akan saya jual. Untuk penjualannya, saya ingin minta tolong Pak Andra mengurusnya, apa boleh?" "Saya tidak keberatan mengurus penjualan rumah kamu. Tapi jika kamu ingin tinggal dengan saudara pihak Ayah, masalah berbeda provinsi mudah. Saya yang akan menanggung ongkosnya dan mengantarkan kamu dengan selamat." Ujar Andra membuat Ruby menggeleng pelan. "Alasan yang lainnya karena saya tidak terlalu kenal dengan mereka. Kami hanya bertemu sekali, karena Ayah jarang membawa keluarga ke sana. Dan lagi, saya masih ingin menggapai mimpi, berkuliah lalu bekerja disini." "Tapi, Ruby. Uang penjualan rumah tidak akan cukup menanggung seluruh biaya hidup kamu. Mungkin itu hanya bisa membiayai kamu selama beberapa bulan ke depan." Ujar Pak Andra membuat Hani mengangguk setuju. "Saya seorang tiktoker Pak. Saya membuat konten tutorial make-up. Meskipun gaji saya belum besar dan masih belum cukup menghidupi biaya sehari-hari, tapi saya ingin berjuang demi hidup dan pendidikan. Selain jadi tiktokers, saya akan bekerja serabutan, entah sampai berapa tahun ke depan, yang penting sampai saya bisa mandiri dan semua tabungan yang saya kumpulkan cukup." Ujar Ruby. "Kalau begitu kamu tinggal disini saja, Nak. Lumayan dapat menghemat pengeluaran kamu untuk bayar sewa kos, kan? Dan lagi disini juga aman." Sontak Ruby terkejut dengan penuturan Hani. "Tapi itu agak--," ujar Ruby menggaruk belakang kepala ragu. "Mungkin memang agak nekat. Tapi jika kamu akan tinggal di sini, kamu tidak perlu khawatir karena saya tinggal dengan Ibu saya." Ujar Andra membuat Ruby lebih terkejut. "Bapak masih tinggal dengan orang tua?" "Ayah saya sudah meninggal dua tahun lalu, dan para kakak saya sudah menikah. Saya tidak tega membiarkan Ibu saya tinggal sendiri, maka dari itu kami tinggal bersama." Ujar Andra membuat Ruby membulatkan bibirnya paham. Ternyata Pak tua menyebalkan ini anak berbakti juga. "Jadi keputusan kamu?" Tanya Andra. Ruby menghembuskan napas dalam, sebenarnya tawarannya tidak buruk juga, apalagi Ruby dapat menghemat pendapatan dan nanti dia akan menyisihkan uangnya untuk membayar biaya makan dan hidup pada Andra dan Hani meskipun mereka tidak meminta, tapi Ruby tahu diri. "Baik, saya sudah memutuskan untuk tinggal bersama Pak Andra." Ujar Ruby menatap Andra yang juga menatapnya. Andra mengangguk sebelum meminum kopinya dengan Hani yang menepuk punggung Ruby senang karena akan ada teman mengobrol. Ruby memilin jemarinya, entah bagaimana kedepannya ketika dia tinggal bersama Andra.Ruby menyandarkan punggung pada kursi taman, pandangannya menatap lurus pada orang-orang yang tengah melakukan kegiatan akhir pekan mereka, berpiknik dengan keluarga atau pacar, banyak anak-anak berlarian bermain gelembung sabun dan layangan juga permainan lain.Meskipun begitu, pikiran Ruby melanglang buana, ini sudah sebulan semenjak dirinya putus dengan Dika. Selama tiga hari, mantannya terus menghubungi dan beromong kosong soal permintaan maaf namun Ruby menutup hati.Sudah terlanjur kecewa karema dihianati, dan Ruby ini masuk golongan orang keras kepala, maka dari itu dia melancarkan penolakan keras pada Dika tanpa goyah.Dika sudah meninggalkan luka paling dalam di hatinya yang kini sudah berangsur-angsur sembuh, karena luka paling dalam tetap dipegang oleh kematian Ayahnya. Ruby jadi tersadar, bahwa Dika bukan segalanya dan kejadian perselingkuhan itu bukan akhir.Ruby juga sudah pindah dari kediaman Andra meskipun awalnya ditentang keras, tapi ternyata Ruby lebih keras kepala,
"Ruby!"Gadis berambut panjang dengan dress lilac selutut itu menoleh, keningnya berkerut dengan raut wajah mengeras tatkala menemukan Dika berlari sepanjang koridor ke arahnya."Kamu kemana aja? Udah tiga hari gak ada kabar. Pak Andra juga gak bilang apa-apa. Kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu sakit sampai gak masuk?" Tanya Dika dengan napas memburu, mencekal kedua bahu Ruby dan mengecek tubuhnya.Ruby menggeleng pelan, dalam hati dia memuji teknik make upnya sendiri karena berhasil mengelabui semua orang untuk menutup bengkak di matanya."Gue gak papa."Kening Dika berkerut. "Gue?" Padahal mereka sepakat untuk mengubah panggilan satu sama lain setelah menjalin hubungan."Kita harus ngobrol ... berdua."..."Kamu kenapa? Kalau kamu gak ngomong, aku gak akan tahu keadaan kamu, Ruby. Kenapa kamu tiba-tiba lari dari rumah aku?" Tanya Dika beruntun, duduk di sebrang.Ruby meneguk minumannya, dia menatap malas ke arah lain, jantungnya bergemuruh antara sakit hati, benci, kesal, muak dan ji
Netra Andra melebar dengan jantung mencelos tatkala mendapati untuk pertama kalinya Ruby menginginkan untuk menyentuh bahkan memeluk Andra dengan kesadarannya sendiri. Kening Andra mengernyit, hatinya ikut sakit saat mendapati pundak Ruby bergetar dengan tangisnya yang menyayat pilu. Andra segera membawanya ke pelukan lebih erat, mengusap punggungnya mencoba menenangkan sebelum menggendong Ruby tanpa mengubah posisinya dengan muda dan membawanya masuk ke mobil.Andra menempatkan Ruby di kursi samping kemudi sebelum dia beralih ke kursinya sendiri. Andra mengambil selimut, memakaikannya pada tubuh Ruby yang menggigil kedinginan baru Andra mendekat untuk membantu memasangkan sealt belt. Tangis Ruby tidak reda, namun bibirnya tetap bergetar dan terisak.Andra mengambil beberapa lembar tisu, melap wajahnya yang basah juga sisi wajahnya yang kotor karena tanah kuburan yang menempel di sana. Setelahnya Andra baru memberikan mug hangat berisi air hangat, memaksa kedua tel
Tangan Ruby bergetar, napasnya memberat dengan netra memburam karena air mata melesak berlomba agar keluar dan turun membasahi mata. Napasnya mulai memburu namun dengan cepat dia memfoto semua riwayat chat Dika dan wanita itu yang diberi nama 'Penjual Galon' oleh Dika. Setelah mendapatkan semua bukti, Ruby melempar ponsel Dika ke kursi, dia menyambar tasnya dan segera berlari keluar dari sana dengan kaki pincang dan menjeritkan tangis pilu. Ruby masih terus berlari menjauhi rumah Dika, dia membelah jalanan komplek sebelum berbelok ke gang sempit antar celah rumah setelah mendengar suara Dika meneriakan namanya keluar rumah. Ruby memaksa kakinya yang pincang untuk berlari keluar dari gang sempit, dia menginjak jalanan besar perumahan kembali sebelum berlari untuk keluar dari sana. Tangisnya tidak berhenti, malah semakin keras dan keras. Dia mematikan ponselnya agar Dika tidak bisa melacak keberadaannya lewat aplikasi track girlfriend. Air
"Kemana pacar kamu? Udah pulang?" Tanya Andra setelah menginjak anak tangga terakhir. Wajahnya sudah lebih segar setelah mandi, mengenakan kaos rumahan dan celana joger panjang.Ruby yang tengah duduk di sofa jadi menoleh. "Dika di toilet. Kita mau jalan sekarang."Andra bisa melihat Ruby tampil lebih segar dengan dress polkadot merah semata kaki dibalut kardigan berwarna tulang. Rambut panjang diikat kuda.'Cantik seperti biasa.' Puji Andra dalam benaknya."Jalan kemana? Mau kukuh padahal kaki kamu lagi sakit?" Tanya Andra tidak habis pikir."Mau kemana pun bukan urusan Bapak, kan? Lagipula saya cuman main ke rumah Dika. Itupun gak akan banyak gerak, karena dia bisa gendong saya kapanpu. Kita cuman mau nonton." Jawab Ruby agak kesal karena tidak mau dikekang oleh seseorang yang bahkan bukan siapa-siapanya.Andra jadi mengernyit, nonton film? Di rumah cowok? Berduaan?Andra jadi teringat pernah menggep Ruby dan Dika yang
"Kenapa? Lo ketemu pacarnya Ruby?" Tanya Brian, nadanya lebih tenang sambil menahan tawa geli. Ini pertama kalinya, sahabatnya Andra uring-uringan karena seorang wanita.Mungkin ini akan menjadi hal penting dalam pertumbuhan perasaannya, sepertinya Brian akan merecord percakapan ini dan menyebarkan ceritanya di grup chatting circle mereka. Hitung-hitung hiburan di tengah hiruk pikuknya dunia kerja. Dan Andra yang menjadi topik hiburannya.Andra menghela napas kotor, menyugar rambutnya frutasi sebelum menahan tubuhnya pada tembok. "Dia datang ke rumah, jemput Ruby buat date. Kaki Ruby lagi cedera, gue pikir itu bisa jadi alesan buat mereka gagal date. Sialannya, mereka malah mesra-mesraan depan gue, mana nyokap welcome dan nawarin sarapan bareng lagi."Brian sontak terbahak lebar, bisa dipastikan dia tengah menahan perutnya yang geli sambil memukuli pahanya sendiri berkali-kali sekarang."Udah ketawanya?" Tanya Andra jengah."Ha ha ha. Hab