Kematian ayahnya yang merupakan keluarga satu-satunya membuat Ruby tinggal bersama teman Ayahnya, Andra dan Ibunya bertiga. Semakin dewasa dan seiring bertambahnya waktu membuat Ruby nyaman tinggal bersama mereka dan akhirnya menunjukan jati diri. Dia tidak segan memakai tanktop dan hot pants yang membuat Andra meneguk ludah dan mulai menunjukan ketertarikan dengan menganggap Ruby sebagai wanita, bukan semata-mata hanya sebagai mahasiswi yang dia dia ajari dan bimbing.
View MoreJarinya tidak berhenti menggulir layar ponsel yang dia angkat di depan wajah sedangkan badannya rebah di atas ranjang. Rambut panjang lurusnya terurai sampai sisi ranjang dengan beberapa buku yang berserakan di sekitar tubuhnya.
Setelah menghabiskan hampir tiga jam untuk belajar tes masuk ke perguruan tinggi, gadis berparas cantik itu memutuskan untuk beristirahat dengan berselancar di sosial media sebentar sebelum pergi tidur. Netranya mengerjap lelah setelah seharian melakukan acara perpisahan di sekolah, belum lagi dia harus belajar karena tanggal tes masuk ke perguruan tinggi sebentar lagi. Dia harus berusaha keras untuk mimpinya. Netranya terpejam dengan ponsel yang terjatuh ke perutnya sebelum badannya tersentak kecil ketika mendengar seruan dari luar pintunya. "Ruby! Ayah kedatangan tamu, tolong bikinin minum!" Ruby berdecak sebelum menendang-nendang udara dengan kesal. Padahal sedikit lagi dia bisa bertemu idola koreanya dan berjabat tangan dalam mimpi. "Siapa sih, yang datang malam-malam? Bertamu juga ada tatakramanya!" Pekik Ruby sebal sebelum beranjak malas dan pergi keluar kamar tanpa berganti baju terlebih dahulu, pikirannya sudah diisi dengan membuat minum dan langsung tidur, dia tidak sempat memikirkan apapun lagi. Ruby datang dengan nampan berisi dua kopi dan beberapa kotak makanan ringan. Netranya mengerjap ketika mendapati pria paruh baya yang berpakaian jas hitam dengan rambut ditata rapi, duduk di ruang tamunya. "Silahkan, Pak!" Ujar Ruby pelan sambil meletakan nampan di mejanya. Pria tersebut menatap Ruby sebelum dia menggeleng pelan mendapati Ruby yang memakai kaos putih polos oblong oversize yang membuat kerahnya terbuka dan memperlihat tulang selangka ketika Ruby membungkuk. Belum lagi celana pendek yang dia kenakan hampir tidak terlihat karena tertutup oleh kaosnya yang kebesaran. "Ayah saya kemana?" Tanya Ruby menatap sekeliling sebelum netranya bergulir ke pintu depan yang terbuka dan dia menangkap asap rokok di udara. "Apakah kamu tidak punya rasa malu?" "Maaf?" Tanya Ruby mengangkat alisnya. "Bukankah sebaiknya berpakaian tertutup ketika ada seseorang yang bertamu ke rumah, apalagi tamu tersebut adalah seorang pria." Ruby memutar netranya kesal mendengar penuturan itu, "Ini baju tidur dan baju rumahan saya, jadi saya wajar menggunakannya karena ini di rumah saya. Disini anda yang salah karena bertamu tidak tahu waktu!" "Seharusnya kamu diam ketika orang yang lebih tua memberikan nasihat." Ruby tersenyum segaris sebelum mengangguk terpaksa. Untuk apa dirinya menghabiskan waktu mengobrol dengan orang tua seperti dia. Meskipun wajahnya tampan dan karismanya kuat, tetap saja dia bukan tipe Ruby, masih lebih ganteng idolanya. "Ruby." Ruby memejamkan netra, bersumpah serapah dalam hati ketika namanya dipanggil sebelum berbalik dan memasang senyum palsu. "Kenapa, pak Andra?" Tanya Ruby. Keduanya sudah saling mengetahui rupa dan nama masing-masing karena bukan hanya sekali dua kali pria paruh baya bernama lengkap Andra Wijaya itu datang ke rumah Ruby. Apalagi setelah Ayah dan dirinya kehilangan orang yang paling berharga, Ibunya. Andra sering datang untuk menjenguk Ayah yang benar-benar terpuruk. Maka dari itu mereka sering bertemu pandang namun baru kali keduanya bertukar perbincangan. "Kamu udah lulus, kan? Ada rencana di lanjut ke perguruan tinggi?" Tanya Andra sambil menyesap kopi buatan Ruby sebelum alisnya mengkerut. "Kamu tidak menambahkan gula di kopinya?" "Karena Ayah suka kopi pahit. Aku pikir selera kopi kalian sama karena kalian bersahabat." Ujar Ruby mengedikan bahunya acuh. "Bersahabat bukan berarti semua hal yang disukai sama. Justru persahabatan yang bertahan lama biasanya didasari oleh dua orang yang sangat berbeda satu sama lain. Seperti Ayah kamu dan saya." Ujar Andra membuat Ruby mengangguk-angguk acuh, dia paling tidak suka orang tua yang banyak bicara seperti Andra. Sungguh. "Mau saya tambahkan gula, Pak?" Tawar Ruby, berharap bisa pergi dari hadapan Andra. "Tidak usah. Saya akan meminum air putih saja. Kamu belum menjawab pertanyaan saya." Jawab Andra. Ruby tidak berkedip ketika Andra mendongkak untuk menenggak air dari botol membuat jakunnya naik turun. Ruby meneguk ludah sebelum memukul kepalanya sendiri dengan keras. Sepertinya dia gila karena baru saja terpesona pada pria tua, teman Ayahnya sendiri. "Niatnya saya mau lanjutin kuliah ke Universitas Ratama, jurusan ()." "Itu Universitas tempat saya bekerja dan jurusan tempat saya mengajar. Kebetulan sekali." Ruby mengangguk sekali sebelum mengusap sikunya, "Itu memang sudah jadi tujuan saya dari awal." "Kalau begitu, semoga kita bisa bertemu di sana." Ruby menolak dalam hati namun bibirnya tersenyum. Dilihat-lihat, Andra ini tipe dosen galak yang pelit nilai. Apalagi Andra tipe pengatur dan banyak memberikan nasihat seperti orang tua. Memang sudah tua, deh. Dan Ruby merupakan anak perempuan yang tidak mau di atur dan dinasihati panjang lebar. Tipe anak muda. "Kalau gitu saya permisi, Pak." Pamit Ruby sebelum mengangkat alis ketika Andra juga beranjak berdiri. "Bapak mau kemana?" "Saya mau ke toilet." Harum maskulin dengan perpaduan kayu manis membuai hidung Ruby begitu Andra melewatinya membuat Ruby sampai membalikan badan untuk menatap punggung kekar itu. Ruby mengikuti di belakang untuk pergi arah dapur ketika tenggorokannya terasa kering, dia meraih sebotol air mineral untuk dibawa ke kamar sebelum beranjak pergi. Netra Ruby membelalak dan menjerit kecil ketika lantai yang dia pijak licin membuat badannya limbung dengan belakang kepala yang tertarik gravitasi terlebih dahulu. Untungnya Andra sigap meraih belakang kepalanya namun badannya limbung ke depan ketika telapak kakinya juga menginjak lantai yang licin membuat Ruby jatuh dengan Andra yang menindih tubuhnya dari atas. Ruby meringis merasakan punggungnya serasa retak karena menghantam lantai apalagi beban berat yang diberikan Andra di atasnya, untungnya belakang kepalanya tidak langsung menghantam lantai karena terhalang telapak tangan Andra. Ruby mengerjap sebelum menatap Andra yang juga menatapnya. Posisi mereka ambigu membuat detak jantung Ruby berdegup kencang, dia mendorong tubuh Andra membuat Andra segera bangun dan menarik tangan Ruby. Ruby meraba punggungnya sambil meringis pelan membuat Andra menatapnya. "Ada bekas tumpahan kopi di lantai. Sebaiknya jika setelah menyeduh kopi, kamu pastikan bahwa tidak air yang tumpah ke lantai. Ini akibatnya jika kamu tidak memeriksa kebersihan dan kerapihan dengan benar." Omel Andra membuat Ruby menganga kecil. "Iya, saya baik-baik saja, Pak. Terimakasih karena telah menindih saya membuat punggung saya serasa patah." Ujar Ruby sarkas sambil menatap Andra sengit. Heran deh, orang tua satu ini. Bukankah seharusnya dia menanyakan keadaan Ruby terlebih dahulu sebelum mengomel? "Kamu kalau di nasehatin selalu menjawab begini, Ruby?" Tanya Andra menggeleng pelan. "Saya termasuk anak yang patuh kok kalau sama Ayah saya." Balas Ruby sebelum mengambil kembali botol dan beranjak ke kamarnya. "Dasar tidak sopan." Gumam Andra menatap punggung Ruby. "Dasar Pak Tua." Gumam Ruby sambil meringis meraba punggungnya. ** "Kamu sudah gila, Sapta? Jangan berperilaku diluar nalar! Almarhum istri kamu menitipkan Ruby dengan penuh rasa percaya dan kamu harus bertanggung jawab sepenuhnya!" Ujar Andra menaikan intonasinya sebelum mengacak belakang kepalanya dengan gusar. Sapta yang duduk di kursi depan rumah itu menggeleng, memijit kepalanya yang berdenyut. "Aku pun tidak tahu mengapa aku seperti ini, Ndra. Kamu harus mengerti aku! Gak ada yang salah dari perilaku dan perasaan ini! Ini wajar dan normal!" Balas Sapta beranjak berdiri. "Gila kamu, Sapta!" Andra menggeleng pelan, sudah kehilangan kata-kata dan tidak habis pikir dengan pola pikir Sapta. "Seharusnya kamu bersyukur gak aku habisin sekarang juga!" Ujar Andra menekankan setiap katanya ketika emosi mulai naik ke ubun-ubun. "Terserah! Aku pikir bercerita yang sebenarnya dengan kamu akan menjadi lebih baik, ternyata tidak!" "Itu karena aku waras! Sapta! Kamu mau kemana dalam keadaan mabuk?!" Andra berteriak ketika Sapa masuk ke dalam mobilnya dan keluar dari halaman rumah. Andra mengacak rambutnya sebelum mengumpat pelan dan bergegas menaiki mobil miliknya sendiri untuk mengejar Sapta, meninggalkan Ruby sendirian di rumah dengan pintu depan terbuka. Sampai waktu tepat pukul tiga malam, Ruby menarik selimutnya karena hawa dingin masuk lewat jendelanya yang sedikit terbuka dengan ponsel menyala ketika notifikasi pesan masuk. Pak Andra : Ruby. Pak Andra : Ayah kamu meninggal.Ruby menyandarkan punggung pada kursi taman, pandangannya menatap lurus pada orang-orang yang tengah melakukan kegiatan akhir pekan mereka, berpiknik dengan keluarga atau pacar, banyak anak-anak berlarian bermain gelembung sabun dan layangan juga permainan lain.Meskipun begitu, pikiran Ruby melanglang buana, ini sudah sebulan semenjak dirinya putus dengan Dika. Selama tiga hari, mantannya terus menghubungi dan beromong kosong soal permintaan maaf namun Ruby menutup hati.Sudah terlanjur kecewa karema dihianati, dan Ruby ini masuk golongan orang keras kepala, maka dari itu dia melancarkan penolakan keras pada Dika tanpa goyah.Dika sudah meninggalkan luka paling dalam di hatinya yang kini sudah berangsur-angsur sembuh, karena luka paling dalam tetap dipegang oleh kematian Ayahnya. Ruby jadi tersadar, bahwa Dika bukan segalanya dan kejadian perselingkuhan itu bukan akhir.Ruby juga sudah pindah dari kediaman Andra meskipun awalnya ditentang keras, tapi ternyata Ruby lebih keras kepala,
"Ruby!"Gadis berambut panjang dengan dress lilac selutut itu menoleh, keningnya berkerut dengan raut wajah mengeras tatkala menemukan Dika berlari sepanjang koridor ke arahnya."Kamu kemana aja? Udah tiga hari gak ada kabar. Pak Andra juga gak bilang apa-apa. Kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu sakit sampai gak masuk?" Tanya Dika dengan napas memburu, mencekal kedua bahu Ruby dan mengecek tubuhnya.Ruby menggeleng pelan, dalam hati dia memuji teknik make upnya sendiri karena berhasil mengelabui semua orang untuk menutup bengkak di matanya."Gue gak papa."Kening Dika berkerut. "Gue?" Padahal mereka sepakat untuk mengubah panggilan satu sama lain setelah menjalin hubungan."Kita harus ngobrol ... berdua."..."Kamu kenapa? Kalau kamu gak ngomong, aku gak akan tahu keadaan kamu, Ruby. Kenapa kamu tiba-tiba lari dari rumah aku?" Tanya Dika beruntun, duduk di sebrang.Ruby meneguk minumannya, dia menatap malas ke arah lain, jantungnya bergemuruh antara sakit hati, benci, kesal, muak dan ji
Netra Andra melebar dengan jantung mencelos tatkala mendapati untuk pertama kalinya Ruby menginginkan untuk menyentuh bahkan memeluk Andra dengan kesadarannya sendiri. Kening Andra mengernyit, hatinya ikut sakit saat mendapati pundak Ruby bergetar dengan tangisnya yang menyayat pilu. Andra segera membawanya ke pelukan lebih erat, mengusap punggungnya mencoba menenangkan sebelum menggendong Ruby tanpa mengubah posisinya dengan muda dan membawanya masuk ke mobil.Andra menempatkan Ruby di kursi samping kemudi sebelum dia beralih ke kursinya sendiri. Andra mengambil selimut, memakaikannya pada tubuh Ruby yang menggigil kedinginan baru Andra mendekat untuk membantu memasangkan sealt belt. Tangis Ruby tidak reda, namun bibirnya tetap bergetar dan terisak.Andra mengambil beberapa lembar tisu, melap wajahnya yang basah juga sisi wajahnya yang kotor karena tanah kuburan yang menempel di sana. Setelahnya Andra baru memberikan mug hangat berisi air hangat, memaksa kedua tel
Tangan Ruby bergetar, napasnya memberat dengan netra memburam karena air mata melesak berlomba agar keluar dan turun membasahi mata. Napasnya mulai memburu namun dengan cepat dia memfoto semua riwayat chat Dika dan wanita itu yang diberi nama 'Penjual Galon' oleh Dika. Setelah mendapatkan semua bukti, Ruby melempar ponsel Dika ke kursi, dia menyambar tasnya dan segera berlari keluar dari sana dengan kaki pincang dan menjeritkan tangis pilu. Ruby masih terus berlari menjauhi rumah Dika, dia membelah jalanan komplek sebelum berbelok ke gang sempit antar celah rumah setelah mendengar suara Dika meneriakan namanya keluar rumah. Ruby memaksa kakinya yang pincang untuk berlari keluar dari gang sempit, dia menginjak jalanan besar perumahan kembali sebelum berlari untuk keluar dari sana. Tangisnya tidak berhenti, malah semakin keras dan keras. Dia mematikan ponselnya agar Dika tidak bisa melacak keberadaannya lewat aplikasi track girlfriend. Air
"Kemana pacar kamu? Udah pulang?" Tanya Andra setelah menginjak anak tangga terakhir. Wajahnya sudah lebih segar setelah mandi, mengenakan kaos rumahan dan celana joger panjang.Ruby yang tengah duduk di sofa jadi menoleh. "Dika di toilet. Kita mau jalan sekarang."Andra bisa melihat Ruby tampil lebih segar dengan dress polkadot merah semata kaki dibalut kardigan berwarna tulang. Rambut panjang diikat kuda.'Cantik seperti biasa.' Puji Andra dalam benaknya."Jalan kemana? Mau kukuh padahal kaki kamu lagi sakit?" Tanya Andra tidak habis pikir."Mau kemana pun bukan urusan Bapak, kan? Lagipula saya cuman main ke rumah Dika. Itupun gak akan banyak gerak, karena dia bisa gendong saya kapanpu. Kita cuman mau nonton." Jawab Ruby agak kesal karena tidak mau dikekang oleh seseorang yang bahkan bukan siapa-siapanya.Andra jadi mengernyit, nonton film? Di rumah cowok? Berduaan?Andra jadi teringat pernah menggep Ruby dan Dika yang
"Kenapa? Lo ketemu pacarnya Ruby?" Tanya Brian, nadanya lebih tenang sambil menahan tawa geli. Ini pertama kalinya, sahabatnya Andra uring-uringan karena seorang wanita.Mungkin ini akan menjadi hal penting dalam pertumbuhan perasaannya, sepertinya Brian akan merecord percakapan ini dan menyebarkan ceritanya di grup chatting circle mereka. Hitung-hitung hiburan di tengah hiruk pikuknya dunia kerja. Dan Andra yang menjadi topik hiburannya.Andra menghela napas kotor, menyugar rambutnya frutasi sebelum menahan tubuhnya pada tembok. "Dia datang ke rumah, jemput Ruby buat date. Kaki Ruby lagi cedera, gue pikir itu bisa jadi alesan buat mereka gagal date. Sialannya, mereka malah mesra-mesraan depan gue, mana nyokap welcome dan nawarin sarapan bareng lagi."Brian sontak terbahak lebar, bisa dipastikan dia tengah menahan perutnya yang geli sambil memukuli pahanya sendiri berkali-kali sekarang."Udah ketawanya?" Tanya Andra jengah."Ha ha ha. Hab
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments