Share

Temen Tapi Demen 5

TEMEN TAPI DEMEN 5

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

      Cemburu memang sakit, tetapi lebih menyakitkan lagi jika cemburu kepada seseorang yang bukan pacar apalagi gebetan. Melainkan hanya sekedar temen yang lama kelamaan menjadi demen.

Soni baru menyadari jika hatinya kini mulai berbeda.

Soni masih melihat tingkah Rey yang masih saja menatap Shasa tanpa berkedip dan senyumnya yang tertarik tipis di sudut bibir.

Ada yang ingin meledak di dalam sini, tetapi bukan gas elpiji.

“Ehem! Buruan berangkat lah, entar keburu macet,” ucap Soni yang sengaja mengalihkan pandangan Rey ke arah lain.

“Kuy lah! Udah gak sabar juga,” balas Rea penuh semangat.

Sedangkan Rey, langsung mengalihkan kedua matanya ke arah lain dan melajukan roda duanya dengan hati yang mulai membentuk sebuah orkestra menyanyikan lagu cinta.

Soni memilih melajukan roda duanya di depan Rey. Ia sengaja melakukan itu agar dia bisa paham akan kedekatan yang tidak biasa dengan Shasa.

Biar Rey bisa membaca hubungan kami yang berlabel teman tetapi saling peduli. Dan semoga dia menjadi sadar diri.

Rey sendiri mulai berpikir kedekatan mereka memang begitu mendalam, terlebih lagi melihat kedua tangan Shasa yang melingkari perut Soni dengan erat.

Walapun begitu, kesempatan masih bisa terbuka lebar mengingat mereka hanya sekedar teman.

Diam-diam Rey menguatkan tekadnya untuk mendekati Shasa setelah pertemuannya malam ini.

Selama janur kuning belum melengkung, tentunya masih aman untuk ditikung.

Shasa menatap jalanan sekeliling yang dipenuhi banyak laju kendaraan. Menikmati suara deru mesin yang mampu membangkitkan suasana hatinya yang tengah mulai berisik karena jeritan kebahagiaan.

“Kayaknya nanti bakal ramai banget deh, Son! Jalanan aja macet kayak gini,” ucap Shasa sedikit berteriak di samping kiri helm Soni.

“Nanti jangan jauh-jauh dari aku. Takut ilang!” teriak Soni sambil menengok Shasa sekilas.

Shasa pun mengangguk sebagai jawaban.

Setelah hampir setengah jam bergelut dengan kemacetan, akhirnya mereka semua sampai di Alun-Alun. Banyak jalan yang ditutup untuk memberi ruang parkir dan para penonton yang berdatangan. 

Setelah berpikir panjang, Soni dan Rey akhirnya memilih tempat parkir di depan sekolah menengah atas terfavorit di kota. Berjalan sedikit jauh tidak masalah bagi mereka, asal bisa mendapat ruang untuk bergerak dan tidak saling berdesakan.

Rea berjalan di samping abangnya. Agar tidak tersesat atau menyesat, Rea memilih memegang lengan Rey.

Sementara Soni, menggandeng erat jemari Shasa agar tidak terlepas karena berdesakan dengan banyak orang.

“Wah, Gila!  Ramai banget, Son. Pada rindu hiburan gratis kayaknya?” ucap Shasa takjub melihat keadaan Alun-Alun yang sudah penuh sesak akan lautan manusia.

Soni melirik sekilas wajah Shasa yang berbinar penuh kebahagiaan karena sebentar lagi bisa melompat lebih tinggi bersama Sheila.

Soni masih terus mengenggam jemari Shasa dengan erat ketika melewati banyak orang hingga menemukan tempat yang tidak terlalu ramai.

Begitu juga dengan Rea dan Rey yang mengikuti mereka dari belakang.

Ketika tengah melewati gerombolan pemuda yang agak aneh, pundak Shasa tidak sengaja tersenggol hingga membuatnya sedikit terhuyung.

Karena posisi Rey yang tepat di belakang Shasa, dengan sigap kedua tangan Rey menahan tubuh Shasa yang hampir terjatuh.

“Kamu gak apa kan?” tanya Rey yang tangannya masih menahan tubuh Shasa.

Shasa menatap mata Rey yang irisnya kehitaman. Kepalanya pun mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan bibirnya seakan tertutup rapat hingga tidak ada satu kata pun yang terucap.

Rey memang tampan dan mempesona, tetapi bagi seorang Shasa masih lebih tampan Soni. Kenapa? Karena Soni selalu ada di mana pun dan kapan pun ia membutuhkan.

Lagi, Soni merasa dadanya bergetar dan memanas. Tanpa bicara, Soni langsung menarik tangan Shasa agar bisa berdiri kembali.

Rey pun dengan pasrah melepaskan kedua tangannya.

“Ada yang sakit gak, Sha?” tanya Soni khawatir.

“Gak. Tadi cuma kaget aja,” jawab Shasa lalu memandang sekeliling area Alun-Alun. 

Saat kembali berjalan menyusuri manusia yang begitu padat kemudian menemukan tempat yang sedikit leluasa. Shasa menatap panggung sekilas yang cukup berukuran besar dengan mata terharu.

Bahkan lampu warna-warni menambah kemewahan panggung untuk seorang super star.

Walau jaraknya cukup jauh, Shasa masih bisa melihat Om Brian yang berada di belakang drum. Begitu juga Om Adam yang selalu setia dengan gitar bass-nya. 

Sedangkan dua pilar dari Sheila On 7 yakni Om Eross dengan gitar kesayangannya, dan juga Om Duta selaku vokalis.

“Sha, jangan nangis dong ....” ucap Soni yang melihat mata Shasa mulai berkaca-kaca.

Soni tahu, Shasa sudah mengagumi Sheila dari sejak personilnya masih lengkap, hingga sekarang tinggal empat.

“Aku gak nangis. Aku hanya seneng bisa melihat mereka manggung dengan mata kepala sendiri,” jawab Shasa sambil mengusap air matanya kasar.

Sedangkan Rey melihat tingkah Soni dengan banyak pertanyaan. “Dia pasti memiliki rasa lebih dari sekedar temen,” batinnya dalam hati.

“Jangan liatin mereka terus, Bang! Entar kesengsem sama Shasa. Mereka itu temenan tapi dijuluki pasangan,” bisik Rea di rungu Rey.

Rey melirik adeknya tajam. Bisa-bisanya yang hanya temenan bisa dijuluki pasangan?

“Emang mereka ada kata jadian?” tanya Rey ingin tahu.

“Gak tahu juga. Shasa gak pernah cerita soal itu. Yang aku tahu, mereka berdua selalu bersama di setiap moment. Entah sedih atau bahagia, entah tertawa atau menangis, mereka akan membaginya satu sama lain,” jelas Rea panjang lebar.

Rey yang mendengar pun mulai sedikit memahami hubungan apa yang mereka jalani.

“Selamat malam warga Kebumen? Seneng banget kita semua bisa berkumpul malam ini. InsyaAllah nanti kami akan membawakan beberapa lagu.”

Suara Om Duta mampu memusatkan beratus pasang mata dan siap menghipnotis semua manusia. Apalagi Shasa, wajahnya tak pernah berhenti tersenyum. Bahkan terlihat banyak emoji love di kedua matanya.

Suara riuh dan tepuk tangan dari penonton yang begitu banyak membuat Shasa sedikit merinding.

Inilah euforia yang sebenarnya.

Apalagi saat Om Eross mulai memetik sinar gitarnya yang disusul oleh suara gebukan drum milik Om Brian. Para wanita menjadi berteriak histeris. Ditambah lagi suasana semakin memanas ketika irama sudah mulai menggema di seluruh Alun-Alun.

Om Duta membawakan lagu ‘Khalyla’ dengan sempurna. Bahkan lagu yang kedua dan ketiga juga seterusnya mampu membuat para penonton ikut melompat lebih tinggi.

Para penonton semakin antusias dan tenggelam akan lagu yang tengah mereka nyanyikan. 

Shasa pun sesekali ikut bernyanyi dan melompat bahkan melambaikan tangannya ke kanan dan kiri.

“Satu lagu sebagai penutup pertemuan yang tidak akan pernah kami lupakan. Terima kasih atas sambutan kalian semua. Saya yakin semua pasti pada tahu lagu ini.” Ucapan Om Duta lagi dan lagi mampu menghipnotis para penonton. Khusunya Shasa.

Terdengar suara intro dari lagu lawas mereka yang hampir semua penonton hapal dengan lirik lagunya. 

Apalagi kalau bukan lagu yang berjudul ‘Kita.’

“Yang tahu lagunya boleh nyanyi bareng,” ucap Om Duta lagi sambil memegang mic-nya.

“Uuuuuuuuu ....”

Suara teriakan riuh para penonton semakin bertambah kencang saat Om Eross kembali mulai memetik sinar gitarnya.

Shasa pun mulai ikut bernyanyi. Dengan satu tangan yang masih digenggam erat oleh Soni.

Sementara Rey masih menatap kedekatan mereka dengan perasaan yang entah apa ia pun tidak tahu.

Ketika lagu sampai di bait reff, Om Duta melepas mic dan memberikan kepada penonton untuk melanjutkan lagunya.

“Dan kau bisikkan kata cinta. Kau t'lah percikan rasa sayang. Pastikan kita seirama, walau terikat rasa hina ....”

“Terima kasih semuanya. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan,” ucap Om Duta di akhir lagunya.

Sebelum alunan musik berhenti, Soni memilih meninggalkan Alun-Alun dengan langkah pelan dan sangat hati-hati.

Takut Shasa tersenggol lagi oleh para pria yang berseliweran mencari jalan untuk pulang.

Soni pun mengenggam erat tangan Shasa hingga sampai ke parkiran motor.

“Langsung pulang ya, Sha? Udah malem banget soalnya,” tawar Soni yang tengah mengenakan helm ke kepalanya.

“He'em. Udah jam dua belas-an kayaknya. Takut Ibu marah nanti,” jawab Shasa.

Soni memasangkan helm ke kepala Shasa saat dirinya sudah selesai mengambil motor dari parkiran.

Sementara Rey, lagi dan lagi hanya bisa melihat perhatian mereka yang menyiratkan banyak arti.

“Em, maaf, Sha. Boleh minta nomer ponsel kamu gak?” tanya Rey tiba-tiba saat Shasa akan naik ke boncengan.

Shasa menatap Rey sejenak. Kemudian beralih menatap Soni. Kedua mata Shasa seolah meminta izin Soni untuk memberikan keinginan Rey.

Soni hanya bisa menganggukan kepalanya. Tidak mungkin dia akan melarang hal yang sudah menjadi ranah privasi Shasa mau berteman dengan siapa saja.

Toh hubungan mereka hanya sekedar teman, bukan pacar, apalagi gebetan.

“Ya udah. Sini ponselmu,” pinta Shasa.

Rey langsung menyerahkan ponselnya ke tangan Shasa. Langkah awal yang cukup mulus.

Dengan gerak dua jempol, Shasa langsung menuliskan nomor dan namanya di dalam kontak ponsel Rey.

“Ini, udah.”

“Makasih, Sha. Next time aku kirim pesan,” jawab Rey seraya menerima ponsel yang diserahkan oleh Shasa.

“Oke.” jawab Shasa sambil sedikit tersenyum.

Soni pun mengalihkan pandangan matanya ke arah yang sedikit lebih gelap untuk menyembunyikan rasa cemburunya.

Setelah berusaha meredamnya, Soni kembali menatap Shasa dengan berani.

“Udah belum kenalannya? Kalau udah buruan kita balik. Udah malem banget soalnya,” ajak Soni yang langsung mendapat respon dari Rey.

“Ya udah, kamu duluan, Son.”  Rey menyuruh Soni pulang lebih dulu.

Dengan cepat Shasa langsung naik dalam boncengan dengan posisi sempurna. Kemudian Rey menyusul dari belakang bersama Rea.

“Awas, Bang ... jangan macem-macem sama Shasa! Kalau sampai Shasa kenapa-kenapa, pasti Soni akan maju lebih dulu,” ucap Rea saat roda dua melaju dengan kecepatan sedang.

“Kamu tenang aja. Aku gak akan nyakiti wanita cantik seperti Shasa,” jawab Rey mantap.

Rey pun melajukan roda duanya dengan perasaan yang luar biasa. Yakni bertemu dengan wanita yang langsung mencuri hatinya pada pandangan pertama.

Mereka berdua berpisah di pertigaan dekat perbatasan desa. Rey ke arah utara, dan Soni ke arah barat.

Soni mengantar Shasa sampai di depan rumah.

“Helm-nya balikin kapan-kapan aja. Ini udah malem. Buruan masuk gih! Maaf cuma sampai sini ya? Takut rumah udah dikunci,” pamit Soni.

Sebelum benar-benar pergi, Soni berbalik dan memanggil Shasa yang hendak berjalan ke rumah.

“Sha ...?”

Shasa menoleh.

“Hem ....”

“Jangan deket-deket sama abangnya Rea. Kan baru kenal.”

“Emang kenapa? Aku gak boleh temenan sama Rey?”

“Buat jaga-jaga aja.”

“Kamu cemburu ...?”

Pertanyaan Shasa sukses membungkam mulut Soni. Bibirnya terasa kaku dan tertahan. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Apa benar aku cemburu?”

---------***--------

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status