Share

Tentang Rasa
Tentang Rasa
Author: Mei Bertha

Bab 1 Rin

Rinjani merupakan anak semata wayang dari Hanna dan Tama. Kedua orang tuanya sangat memanjakan dia. Akan tetapi, hal itu tidak membuat Rinjani menjadi manja dan semena-mena. Dia justru tumbuh menjadi gadis mandiri dan paling tidak suka merepotkan orang lain. Namun, lain lagi jika dia sedang kesal atau sakit, maka manjanya bisa melebihi anak kecil.

Di luar, dia terlihat sangat kuat dan tegar. Tidak ada yang tahu jika terdapat luka menganga di hati Rinjani yang belum bisa disembuhkan. Sebuah luka yang merubah sikapnya menjadi sedingin kutub dan lebih tertutup.

Duduk di depan sebuah laptop dengan tangan menari-nari di atas papan ketik, sudah menjadi rutinitasnya setiap malam. Suasana yang sunyi dan begitu tenang membuat Rinjani merindukan sosok yang tidak seharusnya. Hanya dengan menulis dia bisa menumpahkan isi hatinya dengan gamblang. Segala kerinduan yang dia rasakan tercurahkan dalam kata demi kata yang tertulis.

Cuaca seolah mendukung Rinjani untuk menangis. Hujan rintik-rintik yang hadir sejak sore bertambah deras. Pintu balkon yang dibiarkan terbuka membuat angin malam masuk. Dinginnya malam menusuk kulit tidak membuat gadis berbaju pendek itu terusik.

Dia masih fokus dengan tulisannya, meski jam sudah menunjukkan tengah malam. Terkadang bibir ranum itu tersenyum mengikuti alur ceritanya, atau bahkan netranya banjir air mata. Hal itu biasa terjadi saat rasa bernama rindu tengah berkuasa. Rasa yang seharusnya tidak lagi hadir.

Suara rintik hujan di luar rumah menambah suasana sendu. Air matanya bertambah deras saja, hingga dering ponsel menariknya kembali sadar. Ternyata alarm yang dia pasang pukul satu pagi berbunyi.

Rinjani mematikan laptop kemudian menyimpannya kembali. Lalu dia bangkit dari duduknya menuju ke kamar mandi, untuk membasuh wajah guna menghilangkan jejak air mata di pipinya. Setelahnya, dia menuju ranjang dan bersiap untuk tidur.

Sebenarnya, dia sudah dilarang tidur terlalu larut oleh kedua orang tuanya. Tetapi penyakit susah tidurnya selalu menang, sedangkan Rinjani tidak mau mengonsumsi obat tidur. Jadi, sejak dua tahun lalu Rinjani sudah terbiasa tidur pukul satu.

Berkali-kali Rinjani merubah posisi tidurnya. Hingga akhirnya rasa kantuk benar-benar menguasainya dan membuat gadis itu tidur dengan lelap.

***

Suasana begitu ramai, ada banyak orang yang turut hadir. Tujuh belas tahun adalah usia yang sangat dinanti-nanti, begitu pula dengan Rinjani. Dia begitu antusias dengan perayaan ini. Terlebih, seseorang yang begitu spesial telah berjanji akan memberinya kejutan . Perayaan ulang tahun kali ini diadakan begitu meriah. Tama dan Hanna ingin menjadikan momen sweet seventeen untuk putri mereka menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.

Gadis bergaun abu-abu itu berdiri dengan anggun di balik meja tempat sebuah kue cokelat diletakkan. Di kanan dan kirinya berdiri kedua orang tua si gadis. Sementara disekelilingnya ada banyak teman satu sekolah Rinjani yang tengah tersenyum bahagia.

Lagu ulang tahun mulai mengalun, diringi musik dan tepuk tangan berirama. Akan tetapi, gadis berambut pirang yang disanggul itu terlihat gelisah. Dia tidak henti-hentinya melihat ke arah pintu. Berharap seseorang segera datang.

“Ada apa, Sayang? Ayo tiup lilinnya,” ujar Hanna saat melihat Rinjani tidak segera meniup lilin di depannya.

“Tidak bisa, Ma. Bagaimana mungkin, aku tidak menunggu Dava.” Mata gadis terus melihat pintu masuk, berharap orang terkasihnya segera datang.

“Nanti juga datang, yang penting sekarang kamu tiup dulu. Itu lilinnya udah leleh.”

Akhirnya dengan sangat terpaksa, Rinjani meniup lilin tersebut. Dia juga merasa tidak enak dengan teman-temannya yang sudah menunggu. Serta tidak ingin mempermalukan kedua orang tuanya di depan kolega bisnis mereka.

Suara tepuk tangan yang sangat meriah menyambut, saat lilin padam. Rinjani tersenyum walau terpaksa. Dia harus bisa menghargai orang-orang yang sudah hadir, meski hatinya begitu gelisah menunggu sang kekasih.

Kamu di mana Dav, kenapa belum datang? batin Rinjani bertanya-tanya.

“Sekarang potong kuenya, Sayang,” bisik Hanna.

“Iya, Ma.”

Rinjani mulai mengambil pisau yang sudah disediakan untuk memotong kue. Pisau sudah berada di atas kue cokelat tersebut dan siap memotongnya, hingga dering ponsel menghentikan kegiatan itu.

Rinjani kembali meletakkan pisau yang dia pegang lalu mengambil ponselnya yang berada di saku. Dia melihat siapa yang menghubunginya. Deretan angka tertera di layar ponselnya.

Rinjani tidak mengenal nomor tersebut. Tetapi anehnya dia begitu ingin menjawabnya,padahal biasanya akan diabaikan. Hatinya seolah berkata bahwa panggilan ini berkaitan dengan Dava.

“Halo ….” ujar Rinjani.

“Halo, Non Rinjani. Ini Adi, orang kepercayaan yang diminta menjaga Den Dava.”

“Iya, ada apa, ya?” tanya Rinjani dengan nada bergetar. Entah mengapa air mata mulai mengalir dan hatinya semakin gelisah.

“Saya mau kasih kabar bahwa Den Dava menjadi korban tabrak lari, dan sekarang sedang ditangani oleh dokter di rumah sakit Umum Semarang.”

Seketika, Rinjani merasa bahwa dunianya runtuh, hancur berkeping-keping. Dia tak berucap satu kata pun. Air mata terus saja mengalir membanjiri wajahnya. Kedua orang tua gadis it uterus saja bertanya tetapi tidak ada jawaban.

“Rin, kamu kenapa, Sayang? Jawab Mama, Rin,” desak Hanna.

Rinjani memberikan ponselnya yang masih terhubung. Hanna yang mengerti maksud dari putrinya, segera mengambil ponsel tersebut lalu mendekatkannya ke telinga. Ucapan dari orang di sebrang sana membuat Hanna terkejut. Dia menatap putrinya yang masih diam mematung sambil terus menangis.

“Ada apa, Ma?” tanya Tama.

Hanna menatap suaminya dengan mata sembam, “Dava, kecelakaan.”

Dua kata itu juga didengar oleh telinga Rinjani yang sedari tadi seolah dibuat tuli. Air mata Rinjani semakin deras. Dia kalut, bibirnya terus saja meracau, memanggil-manggil nama Dava.

Orang-orang yang hadir untuk pesta bahagia Rinjani menatap iba pada gadis itu. Mereka turut meneteskan air mata, menyaksikan Rinjani yang jatuh terduduk seraya terus menyebut nama sang kekasih sambil memegangi dadanya.

Rinjani bangkit dari posisinya yang luruh di lantai. Dia menghadap ke arah Hanna. “Dava, Ma, Dava …. Ayo, Ma …,” ucap Rinjani sangat pelan.

“Kamu yang kuat, Mama yakin Dava baik-baik saja. Ayo, Pa, kita ke rumah sakit sekarang.”

Pesta ulang tahun yang Rinjani tunggu-tunggu berakhir dibubarkan begitu saja. Dengan masih menggunakan gaun pesta, gadis itu menarik kedua orang tuanya meninggalkan para tamu. Yang ada di pikiran Rinjani saat ini hanya Dava.

***

Sesampainya di rumah sakit, Rinjani dan kedua orang tuannya bergegas bertanya pada resepsionis, lalu dipandu oleh suster untuk menemui Dava. Rinjani terus saja menangis dalam pelukan Hanna. Dia merasa sangat takut, kemungkinan-kemungkinan buruk terus saja berkeliaran di kepalanya.

“Sus, ini nggak salah jalan, ‘kan?” tanya Tama yang merasa aneh dengan tujuan mereka.

“Tidak, Pak.”

Rinjani melihat ke arah tujuan mereka, sebuah ruangan sepi di ujung lorong yang sedang dilalui. Tulisan yang tertera di atas pintu ruangan tersebut membuat pikirannya semakin kalut. Perasaannya semakin tidak karuan. Rinjani menggelengkan kepala sambil terus bergumam, “Nggak mungkin, ini nggak mungki. Dava nggak mungkin pergi.”

Hanna mengeratkan pelukannya pada Rinjani. Dia tahu anaknya sedang merasa hancur. “Kamu tenang dulu, Sayang. Mama yakin semua akan baik-baik saja.”

“Gimana bisa tenang, Ma. Ini jelas banget arahnya ke sana! Ke ruangan itu!”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Richa Susilo
Keren, Kak. 😻
goodnovel comment avatar
corn leaf
Ada typo di "Seketika, Rinjani merasa..." terus aja ke bawah. Nanti dapet.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status