"Dik, aku sudah di sini, tapi kamu selalu mengacuhkan aku," protes Ibra saat dia sedang membuat surat lamaran pekerjaan.
"Oh, maaf, Mas. Mungkin karena aku terbiasa tanpa ada kamu di sini kali ya.""Kamu tumben rapi banget hari ini, apa mau sesuatu dari ku, Dik?""Nggak lah, Mas. Kan aku udah pernah bilang, kalau kamu mau yang intens silakan terbang ke rumah adik maduku, aku belum siap.""Ngilu hatiku, Dik. Dengar kamu berujar seperti itu. Padahal aku kangen sama kamu, bukan Annisa.""Oh iya, tapi sayangnya, aku belum siap menyambut kangen kamu, Mas. Tolong pahami, ya! Kamu ingat dan nggak akan ingkar janji atas kesepakatan kita 'kan? Aku yakin kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan ya 'kan, Mas.""Iya, Dik. Iya, meski sakit, aku coba untuk mengerti kamu. Semoga segera kamu bisa menjawab rasa kangen aku, Dik.""Aku pamit, ya, Mas. Buru-buru soalnya ada kegiatan. Jangan lupa, nanti tolong jemput Kinara sekolah sama suapin dia makan siang, ya! Jangan sampai telat jemput Kinaranya!""Kegiatan apa emangnya, Dik? Kok nggak ngasih tahu dari tadi?""Ada lah pokoknya, Mas."Rasa bosan menyelimuti Ibra yang baru saja ditinggal pergi oleh Laras. Bukannya meneruskan membuat surat lamaran, Ibra malah meraih ponselnya yang tergeletak manis di dekat notebook-nya."Ya, Mas. Ada apa? Kamu kangen ya sama aku?" Terdengar suara manja Annisa di seberang sana."Iya, aku kangen, Sayang.""Halah, paling kangen di mulut tanpa tindakan aja kamu, Mas!""Iya, serius. Aku kangen banget sama kamu, Sayang.""Kalau kangen, buktikan dong!"Ibra tampak gusar, menepis bayangan gaya Annisa yang sangat pandai melayaninya."Dik, kamu di mana?" Ibra akhirnya menelepon Laras, setelah setengah jam mempertimbangkan keinginan jiwanya."Ya, Mas. Ada apa? Aku belum selesai.""Iya, ini, aku cuma mau ngabarin. Aku terbang ke Jakarta sekarang ya! Soalnya kamu tidak bisa menyambut rasa kangennya aku, kamu tahu sendiri 'kan, Dik. Kamu paham 'kan?""Oh jelas aku paham, Mas. Silakan! Pergi saja! Titip saja kunci rumah dengan bu Ririn, nanti biar aku ambil ke sana.""Dik, kamu serius membiarkan aku pergi? Kamu tidak marah?""Nggak kok, Mas. Aku biasa saja. Lagian juga selama lima tahun belakang harimu sama rasa kangenmu juga sering Annisa yang menuntaskan, bukan?"Meski sesak terasa, akan tetapi Laras semakin tahu, bagaimana suaminya saat ini. Dia lengah dengan perasaan Laras, wanita tinggi semampai ini berusaha menerima, akan tetapi dia sakit, kala suaminya memprioritaskan n*fsu ketimbang Kinara. Rela terbang ke Jakarta daripada menjemput Kinara ke sekolah."Mama hanya ingin menguatkan hati, Nak. Ketika berpisah nanti, tidak ada sesal di hati mama. Hari ini, papa kamu perlahan memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya," gumam Laras kala duduk di warung di seberang sekolah Kinara.Laras lebih bisa menerima Ibra melepaskan kangennya pada Liana, daripada dia yang harus menuntaskannya. J*j*k, begitu yang tersirat dalam pikirannya. Belum lagi setiap bayangan perlakuan Ibra padanya, saat itu juga Laras terbayang sosok Liana."Ma, kok mama yang jemput aku? Papa mana, Ma?" Kinara berlari menghampiri Laras yang berdiri di ambang gerbang sekolah. Senyum yang sempat terkembang ketika berlari kecil, menciut datar seketika kala tak dia temukan sosok lelaki yang begitu dia kagumi selama ini.Bagi seorang ibu, lebih menyakitkan jika lelaki yang dicintainya menyakiti buah cinta mereka. Dia yang lebih terluka. Dalam getaran emosi yang berusaha dia sembunyikan, Laras masih menyuguhkan seulas senyum di bibir berpoles lipstik warna merah bata.Dia berjongkok supaya bisa sejajar dalam menatap."Papa ada urusan, Ki. Makanya mama yang jemput kamu.""Papa ke Jakarta lagi, Ma?""Iya, mendadak, ada urusan katanya. Hmm ... gimana kalau kita pergi makan aja setelah itu kita pergi beli buku cerita, Kinara mau?" tawar Laras yang tak ingin anaknya sedih berlarut.Selepas Isya, Laras semakin gelisah, anak semata wayangnya tidak banyak bicara sejak pulang sekolah. Tadi, ketika Laras menjemput anaknya di sekolah, Bu Sonya, gurunya Kinara pun bercerita bahwa Kinara murung karena merindukan papanya.Selesai sholat Magrib, Laras pun mencoba membujuk anaknya. Memang sadari pulang sekolah tadi sampai sekarang, tak ada senyum yang diperlihatkan Kinara."Kita telpon papa, ya!"Wajah Kinara seketika berseri mendengarnya. "Mama serius?" tanya tak percaya. Dan, Laras membalas dengan sebuag anggukan. Tak lama kemudian, beranjak mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas."Mas ....""Laras, aku senang kamu menelepon, maaf aku belum sengaja belum menghubungi kamu. Takut kamu marah.""Mas, ini Kinara mau bicara," Tanpa merespon apa yang diutarakan Ibra, Laras langsung menyerahkan ponsel miliknya pada Kinara.Kinara terlihat bahagia, matanya berbinar, senyumnya terkembang."Pa, papa cepat pulang. Kinara kangen sama papa. Papa 'kan janji tidak pergi-pergi lagi.""Iya, Sayang. Papa ada urusan, besok papa pulang, tunggu ya!""Hore!"Setelah lima belas menit mendengar cerita Kinara, sambungan telepon pun berakhir."Jadi kamu besok mau balik, Mas?" tanya Annisa tak senang. Sejak tadi dia memang mendengar percakapan antara Ibra juga Kinara."Iya, Sayang.""Aku nggak yakin kalau Kinara yang merengek supaya kamu pulang, Mas. Pasti mbak Laras yang menghasut.""Tidak apalah kalau Laras menghasut, Sayang. Toh dia juga istriku. Mungkin dia gengsi, padahal dia sayang banget sama aku.""Enak kamu, ya, Mas!""Jangan ngambek gitulah, Sayang. Kamu dari awal 'kan sudah tahu."Wajah Annisa sangat kusut, meskipun dia tahu dari awal, tapi dia ingin Ibra dan Laras segera berakhir, agar dia bisa memiliki Ibra seutuhnya.***Di kediaman Ibra, Laras terbaring tak sadarkan diri di dapur. Pekikan Kinara membuat Ibra terkejut. Dan langsung berlari ke sumber suara"Mama kenapa, Ki?" tanya Ibra. Kinara yang menangis pun tak bisa menjawab."Ma … jangan tinggalkan Kinara," ucapnya disela isak tangis."Iya, tapi saya kurang tahu apa isinya, karena privasi."Dua hari lalu, Ibra memang menitipkan surat tersebut pada petugas."Kalau boleh tahu siapa yang menjemputnya, Pak?""Tidak ada, Mbak. Tidak ada yang menjemput.""Begitu, ya. Hmm ... apa bapak menanyakan di mana rumah papa saya?""Tidak, Mbak.""Baik lah, Pak. Terima kasih. Maaf sudah menganggu."Kinara berjalan tak berdaya menuju area parkir.Saat sudah di dalam mobil barulah dia membuka surat yang diberikan pak Mulyono tadi. Dan, setelah dibuka, rupanya ada beberapa tiga lembar kertas.Surat yang berisikan permintaan maaf Ibra karena sudah menyakiti Laras, Kinara, dan Arkana. Panjang lebar dia tuliskan dan di lembar terakhir rupanya ada surat kuasa, dia menyerahkan kuasa pada Arkana untuk menjadi wali nikahnya minggu depan."Maafkan, aku, Pa ...." teriaknya sembari menundukkan kepalanya di stir mobil.Tiba-tiba air mata Kinara lolos deras dari bola matanya yang indah."Gimana, Ki? Apa kata papamu?" desak Laras saat dia baru saja
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 43Arkana mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan lumayan kencang. "Bro, gue titip absen ya!" titahnya pada Gio, teman yang bisa dikatakan cukup dekat dengannya. Arkana menghubungi Gio saat mobil yang dikemudi sudah terparkir."Kemana lu? Tumbenan mau cabut di kelasnya bu Rania?""Ada urusan lah pokoknya. Titip, ya!""Iya, kalau bisa. Kalau enggak ya takdir lu terdaftar absen."Setelah menutup sambungan telepon, Arkana menaruh ponsel canggihnya itu ke dalam tas kulit model salempang.Dengan sigap dia berjalan menuju ruang untuk melapor."Pak, bisa kah saya bertemu dengan bapak Ibra?" tanya Arkana tanpa basa-basi saat petugas menanyakan maksud kedatangannya."Tapi antri ya, Dik. Soalnya tadi bapak Ibra sudah ada yang besuk. Kalau boleh tahu adik siapanya?""Kira-kira berapa lama antrinya, Pak? Saya ... saya ... anaknya, Pak." Arkana memang ragu menjawab, entah apa yang membuat dia ragu walaupun beberapa detik kemudian dia tegas menjawab
Laras, Bryan, dan Liana hampir berdiri dengan serentak saat Ibra ingin kembali di bawa ke luar ruang sidang."Jangan berbangga hati kamu, Laras. Ini bukanlah akhir selagi aku masih hidup." Tatapan dendam itulah yang tersirat saat mantan suami ini saling bertatapan."Dan, kamu Bryan. Jangan menjadi manusia sok suci. Kamu tak lebih dari pengkhianat ulung. Jangan terlalu berbangga diri karena mereka memilihmu. Ingat! Suatu saat nanti, jika anak itu butuh aku, jangan harap." Tak hanya pada Laras, Ibra juga mengancam Bryan. Entah apa maksud dari yang diucapkannya itu. "Semoga kamu memanfaatkan waktu untuk bertaubat, Mas!" ucap Liana. Sisi lain, dia juga prihatin dengan kondisi yang menimpa Ibra. Sedikit banyaknya, dengan apa yang terjadi, tentu dia masih bersalah dengan apa yang dia perbuat. Kalau bukan karena dirinya, pasti perjalanan yang ditempuh tidak akan se-runyam dan menyakitkan seperti ini."Ck! Kamu Liana. Jangan pikir saya lupa apa yang kamu perbuat. Apa yang kamu hancurkan, sam
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 42"Tenang, Bry. Jangan pikir macam-macam dulu." Bryan kemudian menepis yang ada dalam pikirannya.Setelah menghela napas panjang, Bryan pun melanjutkan langkahnya menuju meja administrasi. Dia memesan kamar VVIP pokoknya demi kenyamanan Kinara. Lagian sejauh ini, uangnya juga tidak seberapa dibanding rezeki yang dia peroleh."Mama!" sentak Laras saat mendapati mertuanya datang ke rumah sakit."Kenapa bisa begini, Ras?" lirih Yati.Yati pun mencium kening Kinara sembari menangis. Untung Kinara masih lelap dalam tidurnya. Pedih juga bagi Yati mendapat kabar dari Bryan. Tadi, saat Laras ke ruangan dr. Rani, Bryan memutuskan untuk memberi kabar pada mamanya."Mama kok bisa tahu?" tanya Laras heran."Bryan yang nelpon. Kenapa kamu tidak kasih tahu mama, Ras?" Mereka berdua agak berjarak berdiri dari ranjang pasien yang ditiduri Kinara. Takut dia terjaga."Panjang ceritanya, Ma. Tapi aku bersyukur kalau Kinara selamat.""Kamu juga tadi kata Bryan
"Iya, boleh, Bu?" tanyanya lagi."Tidak apa, Ras. Periksa aja, demi kamu juga. Jangan sepele 'kan," tukas Bryan. "E-e, iya, Uda," sahut Laras gugup."Bu, kita usg ya!" titah sang dokter setelah memeriksa."Keluarga Kinara! Keluarga Kinara! Keluarga Kinara!" Rasa gugup tadi berubah saat Laras mendengar seruan itu. "Bentar, Dok. Saya seperti mendengar seruan panggilan untuk keluarga Kinara. Kamu dengar nggak, Uda?""Keluarga Kinara ... Keluarga Kinara ....""Iya, Bu. Itu panggilan untuk keluarga Kinara," jawab sang dokter. "Saya lihat anak dulu, Dok. Makasih, Dok." Laras yang sudah beringsut turun dari ranjang pasien dari pertama kali mendengar seruan itu berlari keluar ruangan."Nanti saya dan istri ke sini lagi, Dok. Makasih sebelumnya, Dok.""Baik, Pak."Bryan pun menyusul Laras kemudian."Aku sangat menyayangkan dia menyembunyikan sesuatu," gumam sang dokter sembari menggelengkan kepalanya."Bu ... Bu ... Bu ... tunggu!" seru Laras saat melihat petugas IGD ingin masuk ke dalam."
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 41Pintu kamar Kinara akhir terbuka juga saat pak Tony dan pak Budi tidak henti berusaha. Kadang menggunakan tubuhnya, sesekali menggunakan kaki. Puncaknya, saat keduanya menghempaskan tubuh dengan lebih kuat dari sebelumnya. Sampai-sampai lelaki berdua itu hilang kendali dan ikut masuk ke dalam kamar saat pintu kamar terbuka lebar. Napas kedua sopir itu jelas sudah tersengal-sengal, akan tetapi akan gurat puas. Sedangkan Laras berlari sigap bersama Bryan ke dalam kamar. Tak lupa asisten rumah tangga bik Minah dan bik Teti menyusul langkah majikannya dari belakang.Semua pasang mata yang ada di dalam kamar terbelalak bersamaan. Mata mereka tertuju pada obyek yang sama."Kinara ...," pekik Laras saat mendapati anak sulungnya tergeletak. Dia berlari lalu berjongkok, memegang kedua pangkal lengan anaknya. Dia guncang, akan tetapi tidak ada reaksi sama sekali. Ada darah yang membuat hati Laras semakin terasa tersayat. Pergelangan tangan selama