"Kumohon buka matamu." Aaro menatap sang istri yang tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan merana seraya menggenggam erat tangan sang istri.
Jika masih bisa menangis, mungkin saat ini Aaro masih akan terus mengeluarkan air mata akibat rasa bersalah karena telah membuat istrinya sampai mengalami pendarahan. Meski hanya sebuah pendarahan ringan, tapi rasa bersalah yang ia tanggung sangatlah besar, karena golongan darah yang dimiliki Zahra termasuk langka, yaitu golongan darah O Bombay.
"Aku minta maaf," bisik Aaro seraya merebahkan kepalanya di samping bantal Zahra. "Apa pun salahku, aku minta maaf."
Sebuah usapan lembut di kepala membuat Aaro kembali menegakkan badan. Tanpa menoleh pun, ia tahu bahwa yang sedang berdiri di sebelahnya sambil terus membelai dengan lembut kepalanya adalah bundanya.
"Dia pasti akan bangun setelah pengaruh obatnya memudar," ujar sang bunda. "Dia akan b
"Maaf, aku tak percaya meski kamu banting HP!" Zahra menggelengkan kepalanya kemudian kembali berbaring dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, termasuk kepalanya.Aaro mengembuskan napas keras untuk menjaga agar kewarasannya tetap terkendali. Jika itu bukan Zahra, mungkin saat ini dirinya sudah kalap dan mencekik leher siapa saja yang berani bersikap kurang ajar padanya. Namun, karena ini adalah wanita yang ia cintai, Aaro benar-benar harus menahan diri meski dirinya telah direndahkan sampai pada titik paling memalukan. Seorang Aaro, yang dikenal oleh banyak orang sebagai sosok yang ditakuti dan disegani sudah merendahkan diri di hadapannya, Zahra tetap belum bersedia memberikan maaf.Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia kesal sekaligus bingung dengan semua sikap kekanakan Zahra padanya. Bukan kesal pada Zahra, tapi kesal pada dirinya sendiri yang entah kenapa belum mau menyerah untuk sekedar mendapatkan satu k
"Aa, ini?" Zahra menoleh ke arah Aaro bingung. Pasalnya selepas menjemput dirinya dari rumah sakit, suaminya itu tidak langsung membawanya pulang ke rumah, tapi malah mengajaknya ke tempat ini. Sebuah bangunan dua lantai yang terletak di kompleks pertokoan pinggir jalan tak jauh dari SMA Biru Berlian. "Tunggu sebentar." Aaro melepas tangannya yang melingkar di pinggang sang istri, kemudian mengeluarkan sebuah kain hitam panjang dari dalam saku celananya. "Tutup dulu matanya. Cuma sebentar, kok.""Iya, tapi kenapa?" "Sst!" Aaro membungkam sang istri dengan sebuah ciuman singkat di bibir. "Karena ini kejutan, jadi memang harus ditutup dulu matanya. Ayo, aku akan menuntunmu."Zahra menurut. I
"Ihh, kok mau aja sih cowoknya?"Zahra memperlambat langkahnya untuk membuat jarak dengan Aaro. Awalnya, mereka masih berjalan beriringan sambil bergandengan tangan, tapi ketika mendengar suara sumbang yang menerpa telinganya, Zahra pun sadar diri. Ia berjalan sedikit di belakang Aaro meski tangan mereka masih saling bertautan. Minder.Selama perjalanan dari tempat tinggal mereka sampai ke kawasan Car Free Day di stadion, tidak sekali dua kali Zahra melihat tatapan mencibir yang ditujukan padanya. Ia pun sadar diri. Mereka pasti sedang membandingkan dirinya dengan Aaro.Dengan mulut sedikit terbuka, Zahra mengamati sang suami, mengagumi penampilan sederha Aaro yang meski hanya memakai T-shirt polos berwarna putih, celana gunung berwarna khaki di bawah lutut serta sepatu cats, tapi bisa membuat suaminya itu terlihat begitu luar biasa menawan. Zahra mengembuskan napas sambil menunduk melihat penampilannya send
Aaro tak bisa tidur nyenyak. Selain karena perutnya terus melilit, juga rintik hujan yang menerpa atap tempat tinggalnya terdengar begitu nyaring memekakkan telinga. Ia tak menyangka bahwa atap galvalum yang awalnya ia kira sangat ekonomis untuk menaungi tempat tinggalnya bersama sang istri ternyata begitu berisik ketika hujan. Anehnya, Zahra sama sekali tak terganggu dengan kebisingan itu. Tidurnya tetap pulas, bahkan sesekali dia mengigau tak jelas.Perut Aaro terus melilit. Selepas dirinya menghabiskan dua piring nasi goreng mengerikan buatan istrinya, ia terpaksa memuntahkan semua isi perutnya. Ternyata sok bersikap ksatria dengan menghabiskan semua makanan dan minuman hasil karya sang istri membuat perutnya bergejolak tak karuan. Mual, sebah, dan panas bercampur menjadi satu.Setelah menguras isi perut, ia akhirnya memutuskan untuk meminum obat lambung dan efeknya membuat perutnya terasa lapar.Tak tahan dengan perut yan
"Huft..." untuk kesekian kalinya Zahra membuang napas dengan keras. Hatinya merasa tak tenang, tapi apa penyebabnya ia sendiri juga tidak tahu.Sejak bangun tidur sampai saat ini sudah sekitar dua puluh menit lebih dirinya berada di dalam kamar mandi, ia hanya diam sembari duduk di atas closet. Melamun. Sampai suara ketukan di pintu menyadarkan bahwa sejak tadi dirinya masih berpakaian."Cinta, masih lama mandinya?" Aaro bertanya sembari mengetuk pintu kamar mandi."Sebentar lagi," jawab Zahra pelan. Setelah menghirup napas panjang untuk sekedar mengusir rasa gelisah di hati, ia pun mulai membuka baju dan mandi. Hari ini, hari pertamanya kembali mengajar di SMA Biru Berlian setelah cutinya selama sakit beberapa waktu kemarin. Ia tak ingin terlambat.Tak sampai lima belas menit kemudian, Zahra sudah keluar dari kamar mandi dan berpakaian rapi."Kenapa lama sekali? Kamu nggak apa-apa kan?" Aa
"Aa..." Zahra menatap Aaro takut. Belum pernah sekalipun Aaro menampakkan emosinya seperti sekarang ini. Memang Zahra tahu sifat bawaan Aaro adalah dingin dan tidak ramah terhadap siapapun, tapi sekalipun begitu Aaro tak pernah bersikap seperti sekarang ini terhadapnya.Aaro menatap Zahra dengan tatapan tajam membunuh dengan napas memburu sebagai tanda bahwa emosinya sedang bergejolak. Tak ada kata satu kata pun yang keluar dari bibirnya. Hanya kedua tangannya mengepal erat sebagai upaya pengendalian diri."Aa..." sekali lagi Zahra memanggil Aaro dengan lirih hampir seperti bisikan. Kentara sekali bahwa dirinya takut. Tapi ia juga tak bisa membiarkan Aaro begitu saja. "A-apa aku melakukan kesalahan?"Masih tidak ada reaksi dari Aaro. Dia tetap berdiri menjulang di hadapan Zahra, masih dengan ekspresi yang sama. Entahlah, melihat Zahra berbicara berdua saja dengan Rozi membuat emosinya tersulut. Memang bisa jadi Zahra dan
Zahra menyembunyikan diri di balik bahu Aaro. Saat ini keluarga besar Blackstone sedang berkumpul di kamar perawatan salah satu menantu Blackstone, yaitu Shera Tama Blackstone. Lalu apa yang membuat Zahra begitu ketakutan?"Aa...," ujarnya seraya menarik lengan Aaro supaya lebih merapat padanya.Aaro menoleh, "kamu mau keluar?" Ia menawarkan karena melihat sang istri sepertinya betul-betul ketakutan. "Aku akan minta ijin pada ayah dulu.""Aa...," Zahra menarik lengan Aaro yang hendak meninggalkannya untuk menghampiri Aidan. "Jangan tinggalin aku," cicit Zahra.Aaro tersenyum sambil mengangguk menenangkan. Ia merangkul pundak Zahra dan membawa istrinya itu mendekati sang ayah yang sedang menyesap kopinya sendirian di meja makan."Ayah, boleh Aa dan Zaa keluar sebentar?" Aaro meminta ijin pada sang ayah. Karena memang sudah semacam tradisi di keluarga Blackstone bahwa ketika ada salah satu anggota keluarga mereka sakit, tertimpa musibah a
"Suamiku...""Hmm...""Apa di sekolah nanti aku juga harus memanggilmu suamiku?" Zahra mencebikkan bibir. Saat ini ia dan Aaro sedang berjalan menuju ke sekolah sambil bergandengan tangan. Memang tempat tinggal mereka tak begitu jauh dari sekolah."Apa aku harus kembali pulang dan bekerja di bengkel saja?" Aaro malah balik bertanya membuat Zahra semakin memajukan bibirnya."Maksudku... saat di kelas, aku sedang ngajar, apa aku juga harus memanggilmu begitu?"Aaro tak menjawab. Ia malah menunjuk ke arah sebuah kedai kecil yang menjual bubur ayam. "Sarapan bubur ayam, mau?"Zahra menghela napas pelan. "Aku tidak lapar," jawabnya pelan. Namun saat dirinya menjawab seperti itu perutnya berbunyi pertanda minta di isi, membuat Zahra malu saja.Kruuk! kruukk!Aaro tergelak melihat wajah Zahra yang berubah merah padam karena malu. "Nah, itu lapar