Share

Bab 4

“Cervical Cancer …,” ucap Arini pelan.

“A-apa?? Cervical cancer? Serviks? No… no… pasti salah, pasti ada yang gak bener!”

Anastasya berusaha tidak mempercayai semua ucapan sahabatnya itu, ia menolak kenyataan yang baru saja didengarnya.

"Sya ... baru praduga Sya, kita perlu diagnosis awal buat memastikannya, hari kamis lu kesini lagi. Kita lakukan pap smear ya, lu tenang dulu, oke."

Arini berusaha menenangkan Anastasya yang terpukul atas berita yang baru saja didengarnya. Ya, Anastasya tidak bisa berkata apapun, dia tampak shock. Anastasya membenamkan kepalanya di atas meja, menangisi nasibnya yang malang.

"Gue takut Rin, apa itu sebabnya gue sampai sekarang gak bisa punya anak?"

"Kita belum yakin seratus persen sebelum tes awal. Denger Sya, gue bakalan selalu ada di samping lo, ingat ... everything gonna be ok."

Arini beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Anastasya yang berada di depan meja nya, ia mengelus punggung Anastasya dengan lembut. Merasakan punggung sahabatnya bergetar karena tangis, Arini memeluknya dengan tulus.

"Why me, Rin! Why ... Gue gak mau mati, Rin! Gue pengen hidup, ngurus suami gue, anak-anak gue! Hidup bahagia, udah cukup!"

"Sst ... Lu gak akan mati, Sya. Gue gak akan biarin lu mati, gue bakalan berusaha sekuat tenaga gue buat nyembuhin lu. Lu mesti kuat, jangan menyerah. Gue yakin lu bisa lewatin semua ini."

Tangis Radeella pecah, begitupun dengan Arini. Sungguh ia tidak ingin kehilangan sahabat yang sudah ia anggap keluarga.

"Rin, apapun hasilnya nanti, lu janji sama gue. Jangan kasih tau bang Dirga tentang semua ini. Please, rahasiain!"

"Tapi, Sya ... ini serius lho Sya, suami lo harus tau!"

"Gue gak mau bikin dia khawatir, udah cukup masalah dia dengan ibunya. Gue gak mau jadi beban hidup dia, Rin."

"Ok ...  untuk saat ini, gue gak akan bilang laki lo, tapi dengan satu syarat."

"Syarat ?"

"Ya, syarat dari gue, lu harus ikutin semua proses pengobatan penyakitnya, gue pingin lu sembuh, Sya."

Radeella menyeka air matanya, sekali lagi ia memeluk Arini."Lo sahabat gue yang paling baik, Rin. Gue beruntung punya lo, Thanks."

Suara ketukan pintu mengakhiri pelukan keduanya, Arini merapikan jas dokternya dan kembali ke tempat duduk semula. Begitupun dengan Anastasya, ia menyeka air matanya dan bersiap untuk pulang.

"Permisi dokter Arin, boleh saya masuk? Eh, maaf ... ada tamu rupanya." ucap suara bariton yang menyembul di balik pintu.

"Dokter Evan, silakan masuk dok. Kebetulan saya mau mendiskusikan sesuatu dengan dokter, sekalian kenalan dengan sahabat saya."

Dokter muda itu pun masuk ke ruangan Arini, postur tubuhnya yang tegap dan parasnya yang rupawan semakin menambah kesempurnaan mahluk Tuhan yang satu ini. Ia berdiri di belakang Radeella yang tertunduk.

"Sya, kenalin ini dokter Evan, dokter lulusan terbaik di salah satu universitas bergengsi di Jakarta."

Anastasya mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah dokter muda yang berdiri di belakangnya, "K-kamu?"

"Kamu??" ucap Evan bersamaan.

"Kalian sudah saling kenal?" Tanya Arini penasaran.

Anastasya berdiri dari tempat duduknya, "Ah, enggak Rin. Gue gak kenal. Saya Radeela Anastasya, senang berkenalan dengan anda." Anastasya mengulurkan tanangannya seraya pura-pura tersenyum."

Dokter Evan tersenyum menyambut uluran tangan Anastasya, "Evan Mahendra, panggil saja Evan."

Anastasya buru-buru menarik uluran tangannya, "Eh, Rin. Gue pulang dulu ya. Kasian pasien lu nunggu."

"See you tomorrow, Sya. Jangan lupa dua hari lagi lu balik sini lagi, kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut, ok!"

Anastasya mengangguk, ia memeluk sahabatnya seraya cium pipi kanan kiri nya. Sedangkan pada Evan, ia hanya mengangguk saja. Setelah pamitan, Anastasya keluar dari ruangan praktek sahabatnya. Dalam perjalanan sepanjang koridor klinik, ia merasa ada yang kurang namun ia tidak ingat apa itu. Sayup-sayup terdengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh, ternyata Evan mengejarnya.

"Ah, kenapa laki-laki itu ngejar gue, apa gue segitu cantiknya sampai dia terpesona. Apa dia gak tau kalo gue udah nikah. Iss ... Geer banget gue." Monolognya dalam hati.

"Jalan kamu cepet banget, masih sama kaya waktu itu." Ucap Evan terengah-engah.

"Mau apa ngejar gue?"

"Siapa yang ngejar kamu! Dokter Arin suruh saya kasihin ini, tas kamu ketinggalan." Evan memberikan tas kepunyaan Anastasya yang tertinggal di meja.

"Sial ... pantes tadi ada yang kurang," gumam Anastasya seraya memalingkan wajahnya dan menutup dengan satu tangan.

Evan tersenyum puas, "Want to say shomething?"

"Thanks ... Sorry gue buru-buru, taksi gue udah nunggu." Anastasya beranjak dari hadapan Evan.

"Just it? Apa kamu segitu gak suka nya sama saya?" Ucap Evan setengah berteriak.

Anastasya menghentikan langkahnya, tanpa berbalik, ia mengacungkan tangan kanannya dimana melingkar cincin pernikahan di jari manisnya, setelah itu ia menoleh dan tersenyum puas.

"Sial ... dia udah married."

Perasaan kecewa menghampiri relung hatinya, ia kembali ke ruangan Arini. Ia ingin bertanya lebih jauh perihal Radeella, wanita cantik yang berhasil menggugah hatinya.

Evan kembali mengetuk pintu ruangan Arini, melihat wajahnya yang tertekuk, Arini sudah menduga apa yang terjadi pada dirinya.

"Tadi semangat banget mau nganterin tas sahabat gue, sekarang mana wajah sumringahnya?"

Arini tertawa terbahak - bahak melihat raut wajah sepupunya itu, ya sebenarnya Evan itu adalah sepupu jauh Arini. Sengaja ia merahasiakan hubungan kekerabatannya pada siapapun bahkan pada Anastasya sahabatnya.

"Puas lu, ngetawain gue! Kenapa gak bilang kalo dia udah kawin? Sengaja bikin malu gue, lo?"

"Lah ... mana gue tau kalo lo suka ma dia? hold on ... jadi cewe yang lu maksud itu? Anastasya, sobat gue?"

Evan mengangguk seraya berbaring di kursi ginekologi yang ada di ruangan Arini.

"Pupus harapan gue, calon ibu dari anak-anak gue  ternyata udah punya imam."

"Udah lupain dia, lo setuju aja dijodohin ma anaknya om Pram, gimana?"

"Ogah, gue gak mau nikah ma cewe petakilan kaya dia, ya. Gue tunggu jandanya Radeella."

"Huss ... ngaco lo. Ngomong sama stetoskop gue nih! Udah sana, pasien bentar lagi datang. Get out from my room! Hus.. hus..."

Begitu sadar dirinya di usir, Evan segera beranjak dari ruangan Arin dan kembali ke ruangannya dengan mode serius. Mereka pun kembali menjalankan aktivitasnya masing-masing.

***

Selepas dari klinik Arini, Anastasya tidak langsung pulang ke kediamannya. Ia memilih untuk mengunjungi peristirahatan terakhir ibunya, tentu saja setelah ia mengabari Dirga. Di makam  ibunya, Anastasya mencurahkan semua keluh kesah dan menangis sejadi-jadinya hingga tanpa ia sadari, ia tertidur di pusara ibunya.

Begitu terbangun, ia menemukan dirinya berada di kamar yang sangat ia kenali, "Hai... sudah bangun?"

"Abang? Ko bisa aku tidur disini, tadi kan aku ada di makam ibu?"

Anastasya bangkit dari tidurnya lalu duduk bersandar di head bed. Dirga memberikannya segelas teh manis hangat dan duduk di tepian tempat tidur seraya merapikan anak rambut Anastasya.

"Pelan-pelan minumnya sayang, kamu ada masalah?" Tanya Dirga lembut.

Anastasya menggeleng, "Nggak ada bang, aku cuma kangen ibu aja. Aku ko bisa ketiduran ya, untung kamu datang bang, kalo enggak, creepy juga tidur disana sampai malem."

"Iya kamu aneh, ko bisa-bisanya tidur di area pemakaman. Abang tadi hubungin mbak, katanya kamu belum pulang, dan bener kan feeling abang, kamu masih disana."

"Feeling abang bagus juga, dah pantes jadi detektif."

"Kamu ini ... bisa aja." Dirga mengacak-acak rambut Anastasya.

"Makasih ya bang, abang emang the best."

Anastasya memeluk suaminya erat, dan semakin erat, membayangkan penyakit yang dideritanya dan rasa takut kehilangannya, membuat air matanya menetes kembali.

"Aku sayang banget sama kamu, Bang."

"I know ... i love you more," bisik Dirga seraya membelai uraian rambut Anastasya.

"Bang, apa kamu pengen banget punya keturunan? Seandainya aku gak bisa ngasih apa yang mamah kamu inginkan, aku ikhlas .... aku ikhlas kamu menikah lagi," ucap Anastasya dengan suara bergetar.

Dirga melonggarkan pelukannya, air mukanya berubah serius.

****

'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status