Kenzie menyimpan tanya di kepalanya, sampai Kenzo kembali usai membersihkan diri, ia masih memegang ponsel lelaki itu. Kenzo mengernyitkan kening melihat benda berkamera tiga tersebut berada di tangan Kenzie.
“Siapa yang menyuruhmu menyentuh ponselku?” tanya Kenzo dingin. Ia paling tidak suka orang lain mengganggu privasinya, tak terkecuali Kenzie.
Menyadari perubahan suasana hati Kenzo, Kenzie meletakkan benda tersebut ke tempat semula kemudian berlalu tanpa berucap apa-apa. Seharusnya ia sadar, meskipun sudah terjadi kontak fisik di antara mereka, Kenzo tetaplah Kenzo, laki-laki kaya yang punya segalanya, dan bisa mendapatkan apapun sesuai keinginannya. Dirinya hanya figuran di hidup lelaki itu.
“Kenapa dia?” gumam Kenzo. Ia menatap layar ponselnya, karena tak terlihat ada yang mencurigakan, Kenzo melanjutkan aktivitasnya.
Sudah tiga puluh menit berlalu, namun Kenzie belum juga keluar dari k
“Zie, jalan yuk!” ajak Anggita. Waktu menunjukkan pukul lima sore, Kenzie sudah mengganti seragam dengan pakaian biasa. Saat ia hendak pulang, Anggita mengajaknya pergi. Tanpa pikir panjang, Kenzie mengangguk setuju. Lagipula, ia sedang malas pulang. “Yuk, gas!” “Semangat amat,” ledek Anggita. “Gak papa dong. Lagian udah lama juga kita gak keluar bareng.” Memang benar, sejak Kenzie menikah intensitas mereka bertemu selain di tempat kerja tidak pernah terjadi lagi. Bukan karena Kenzie lupa pada sahabatnya, melainkan Anggita sendiri yang merasa tidak enak untuk mengajak Kenzie yang sekarang sudah bersuami. “Hahaha iya sih, bener juga,” ujar Anggita disertai tawa khasnya. Mereka merapikan penampilan lebih dulu, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan kafe tersebut. Kenzie berharap, semoga hati dan pikirannya menjadi lebih tenang setelah jalan-jalan dengan Anggita. “Eh, kamu gak mau minta izin suami dulu?” Kenzie menggeleng. “Enggak perlu, pasti diizinin, lagian cuma sebentar,” u
“Apa yang kau inginkan?” tanya Kenzo seraya menatap tak suka gadis di depannya. Mereka tengah berada di suatu tempat dengan cahaya temaram. Namun, Kenzo masih bisa melihat bagaimana terbukanya penampilan gadis tersebut.“Tidak ada. Sekadar ingin bertemu saja, Bang,” balas gadis itu. “Aku tidak tertarik denganmu!” tegas Kenzo.“Aku tak peduli,” sahut gadis itu santai. “Perempuan gila!” hardik Kenzo.“Memang, aku gila karenamu.”Kenzo hendak berbalik, namu gadis yang tak lain adalah Amanda menghalangi langkahnya. Ia menatap Kenzo penuh minat, seolah lelaki itu hidangan lezat di kala lapar melanda. “Jangan pergi,” cegah Amanda. “Cih! Aku tak punya alasan mengikuti keinginanmu.”“Maka, mulai sekarang aku akan membuatmu memiliki alasan untuk melakukannya.”“Jangan coba-coba mengancamku!”Kenzo menatap tajam pada Amanda. Sementara yang ditatap sama sekali tak merasa takut, Amanda justru mengerlingkan mata, menggoda Kenzo dengan se
“Amanda, tangan kamu kenapa?” tanya Kenzie saat melihat ada bekas luka di tangan Amanda. “Gak apa-apa,” balas Amanda. Ia mengambil tempat di samping Alea, dan meminum segelas susu yang tersaji di atas meja. Posisinya yang berhadapan langsung dengan Kenzo membuat Amanda tersenyum dalam hati, hanya dengan melihatnya saja gairah Amanda sudah memuncak. Tanpa sadar, Amanda menggesek kedua pahanya. “Kak, kakinya kenapa? Kok gerak-gerak terus?” tanya Alea. Pertanyaan itu membuat fokus Kenzie kembali pada Amanda, ia menatap penuh tanya, sementara yang ditatap terlihat cuek saja. Amanda mengambil sepotong roti dan bangkit dari duduknya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Kak Ziezie, Kak Manda kenapa ya? Dia aneh akhir-akhir ini,” lirih Alea. Rupanya, keanehan Amanda bukan hanya dirasakan olehnya, melainkan Alea juga. Entahlah, Kenzie pun tak tahu. Dia tak punya jawaban atas pertanyaan itu. “Kakak juga gak tahu, Al.” “Kayaknya Kak Manda suka sama Bang Ken. Aku sering lihat Kak Manda curi
Motor Alea berhenti di rumah sederhana dengan pagar kayu di depannya. Di teras rumah tersebut ada wanita berpakaian rumah sakit tengah menatap lurus dengan pandangan kosong. Alea turun dan menemui wanita paruh baya itu seraya tersenyum lebar. “Selamat pagi, Tante.”Wajah wanita tersebut menegang, ia tampak terkejut degan kedatangan Alea. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, sosok itu menghindar. Ia terlihat sangat ketakutan. Tak berselang lama, seorang suster tiba dengan semangkuk bubur dan teh hangat di tangannya. Melihat ekspresi ketakutan wanita yang sudah lebih dari lima tahun dia jaga, sang suster marah dan membentak Alea. “Siapa, kau! Pergi!” usirnya. Alea tersenyum ramah, ia sama sekali tak terusik dengan kemarahan suster yang dia ketahui bernama Sinta. “Suster Sinta, tenanglah. Namaku Alea, aku teman sekolahnya Kak Gala, dan aku bukan orang jahat.” Alea memperkenalkan diri. Mendengar Alea menyebut nama Gala, wanita yang berada di kursi roda berte
“Aku harus pergi,” ucap seorang lelaki yang tak lain adalah Gala seraya memunguti seragam dan mengenakan pakaian itu. Hari sudah hampir gelap, ia harus memenuhi janji temu dengan Kenzie. Sebenarnya, Gala ingin pergi sejak tadi. Namun, wanita tanpa busana yang saat ini memeluk perutnya tidak mengizinkan. Alhasil, dirinya harus menjinakkan wanita tersebut lebih dulu. “Mau ke mana?” tanya wanita itu dengan suara serak dan napas memburu. Libidonya bisa dengan mudah meningkat, hanya dengan menyentuh perut kotak-kotak Gala. “Ada urusan pekerjaan.” “Kau bekerja? Apa uang dariku tidak cukup?” “Bukan begitu, Tante. Aku membutuhkan banyak uang untuk mendapatkan sesuatu.” “Katakan! Berapa banyak yang kau butuhkan, sayang? Aku tidak akan membiarkanmu bekerja. Karena jika kau sampai kelelahan, kau tidak bisa memuaskanku. Aku tidak ingin itu terjadi.” Gala berteriak dalam hati. Ingin rasanya dia mendorong tubuh itu sekarang juga. Namun urung, karena satu dan hal lain yang belum dan tak mungk
“Om,” panggil Kenzie lirih.“Hmm.” Kenzo berdehem singkat. Apa yang ia lihat tadi, cukup membuat dirinya terpancing emosi hingga tanpa sadar mengusir Amanda. Bahkan sampai ia mendudukkan Kenzie di ranjang mereka pun, emosinya belum reda. Kenzo paling tidak suka, ada orang yang berani menyakiti miliknya.Kenzie melirik Kenzo sejenak, kemudian mengalihkan pandangan. Ia belum berani membuka mulut, sampai akhirnya pertanyaan Kenzo memecah hening di antara mereka. “Ada yang ingin kau katakan hmm?”Kenzie mengangguk cepat. “Apa yang tadi kau ucapkan tidak serius, kan?” Ia bertanya dengan hati-hati.Kenzo melepas setelan jasnya seraya melirik sekilas pada Kenzie. “Memangnya apa? Aku tidak ingat,” balasnya. “Jangan usir Amanda,” pinta Kenzie to the point.Kenzo tak langsung menyahut. Ia menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Kenzie tak tinggal diam, tanpa memikirkan dampak perbuatannya, ia mengekori Kenzo, hingga membuat lelaki itu mengerutkan kening
Beberapa menit sebelumnya“Aku akan memberikannya. Tapi tolong, jangan usir adikku,” ucap Kenzie sembari menundukkan kepala. Dia sengaja menunggu Kenzo selesai mandi dan mengatakannya dalam satu tarikan napas.Sejujurnya, Kenzie benci bersikap selemah ini. Tapi, hanya itu yang bisa dia lakukan agar tetap bisa tinggal bersama kedua adiknya. Selain karena janji pada almarhum kedua orang tua, ada tanggung jawab yang harus dia jalani sebagai kakak tertua. Tidak apa-apa harus mengorbankan harga diri, toh dirinya sudah lebih dulu melakukan itu dengan menikah dengan Kenzo.“Kau yakin?” tanya Kenzo yang tampak begitu tertarik.“Aku akan melakukan apa pun demi kedua adikku.”“Pilihan yang bagus. Kemari!” titah Kenzo. Ia meminta Kenzie mendekat padanya yang baru saja selesai membersihkan diri.Masih dengan menundukkan kepala, Kenzie mendekat. Aroma manly menyeruak, memenuhi inde
Kenzo mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan di tengah gemerciknya hujan yang kembali turun beberapa saat lalu. Matanya memintas segala arah, setiap objek yang memungkinkan dikunjungi Kenzie tak luput dari perhatiannya. Bukan hanya itu, dia juga sudah menelepon Bara—teman sekaligus laki-laki yang berstatus sebagai kakak Anggita untuk menanyakan keberadaan sang istri. Namun nihil, tak ada informasi apa pun yang ia dapatkan.Pikiran Kenzo kacau, ia benar-benar kalut dan khawatir. Suara hujan terdengar semakin deras, membuat rasa takut dan menyesal memenuhi hatinya. Kalau saja dirinya tidak bersikap keterlaluan, hal seperti ini tidak akan terjadi. Kenzie tidak mungkin pergi. Sekarang, saat semuanya sudah terjadi, ke mana lagi dia harus mencari Kenzie?Saat pikiran dan matanya hanya tertuju pada satu nama, ponsel Kenzo berpendar-pendar. Lelaki itu melirik sekilas, dan mendapati salah satu anak buahnya menghubungi. Tanpa pikir panjang, ia menolak