"Om, mau gak nikah sama aku?" tanya Gisella tanpa tedeng aling-aling.
"Ha?!" sentak Arya sambil mengorek kuping — berharap dia telah salah mendengar. "Kamu ngajakin saya ngapain?" tanyanya sekali lagi. Dia tidak mau di anggap ke Ge-Er an oleh bocah macam Gisella. "Nikah, Om. Aku ngajakin Om Arya nikah. Om mau kan?" "Bukannya kamu Minggu depan—" "Aku batal nikah sama Adi, Om. Dia selingkuh. Orang tuaku udah mempersiapkan semua biaya pesta pernikahan ini, kalau sampai batal, mau taruh dimana muka orang tuaku, Om?" Arya memijat tengkuk lehernya yang tiba-tiba terasa kaku. "Ya kalau batal terus kamu pilih nikah sama Saya. Yang ada orang tua kamu semakin malu, Gisel. Kamu mikir sampai sana gak?" Gisella dengan tanpa berdosanya menggelengkan kepala. Dia memang tidak kepikiran sampai sana. Situasi tidak memungkinkan dia untuk berpikir panjang. "Tapi aku udah sesumbar ke Adi kalau Minggu depan aku bakal tetap menikah walau bukan dia mempelai prianya, Om." Gisella sengaja memasang wajah memelas. Dia harus bisa membujuk Arya. "Apa aku nikah sama orang lain aja ya?" gumamnya pelan. Tapi gumaman nya itu masih terdengar di telinga Arya. Sebenarnya banyak laki-laki di luar sana, tapi bagi Gisella cuma Arya yang memiliki kualifikasi untuk dia ajak menikah. Sebab apa? Tentu karena Arya memiliki wajah yang sangat tampan. Mengesampingkan pekerjaan pria itu yang hanya pengawas lapangan di sebuah perkebunan sawit di kampungnya. "Ya tapi gak bisa semudah itu mengganti mempelai pria, Gisel. Lagipula, usia kita beda tiga belas tahun, saya—" "Om belum punya Istri kan?" potong gadis itu. Arya menggeleng, "Ya emang gak punya, tapi saya udah berumur untuk kamu yang masih—" "Gak masalah kalau begitu, Om. Aku janji, setelah menikah aku tidak akan menuntun banyak hal," lagi-lagi dia memotong ucapan Arya. Dia bilang begitu pun karena sadar, gaji seorang pengawas tidak lah sebanyak itu. Cukup entah tidak untuk kebutuhan rumah tangga, karena baginya hal itu bisa di pikirkan belakangan. Yang penting, dia bisa mengajak Arya untuk menikah, dan misi balas dendam nya terbalaskan. Arya diam selama beberapa menit. Waktu terus berjalan, seharusnya Gisella sudah mulai bekerja. Namun melihat dia belum di panggil, berarti belum ada pasien yang datang. Arya dan Gisella bahkan masih berdiri di tengah-tengah ruang tamu kontrakan Arya. "Kamu yakin masih mau menikah sama saya?" tanya Arya setelah terdiam dalam kebisuan. Gisella mengangguk mantap, mata nya berkilat penuh harap. Terdengar helaan napas pelan yang berhembus melalui bibir merah Arya. "Menikah denganmu kan? Boleh. Namun ingat ini Gisella, tidak ada perceraian di kemudian hari. Saya memegang prinsip keluarga, menikah sekali seumur hidup. Kamu sanggup?" Kali ini Gisella yang di buat terdiam. Tadinya dia pikir, setelah balas dendamnya terbalas, dia ingin mengajukan kesepakatan pada Arya. Terdengar seperti cerita novel klise, tapi dia memang sempat memikirkan hal itu. "Gisel, gimana?" Gisella tersentak saat kepalanya tiba-tiba saja di usap oleh Arya. Satu perilaku Arya yang tidak pernah Gisella lihat, karena selama mengenal Arya, Gisella hanya terus-menerus di jahili oleh pria itu. Gisella mendongak, menatap pria matang bertubuh jangkung itu, kepalanya mengangguk — setelah banyak berpikir, dia akhirnya setuju — lagi pula, Arya terlihat seperti laki-laki bertanggung jawab. Pasti pria itu bisa membimbing Gisella yang masih sangat muda. "Oke. Aku sanggup, Om." Satu ulas senyum di bibir Arya yang mampu menghipnotis Gisella. Belum pernah gadis itu melihat Arya tersenyum. "Om ganteng banget kalau senyum," ujarnya terang-terangan. Senyum Arya langsung lenyap, wajahnya berubah kaku. Dia tidak sadar, apakah dia baru tersenyum? Kenapa bisa? Senyumnya telah kembali? Semudah itu hanya karena Gisella yang setuju dengan persyaratan darinya? "Sana balik ke toko, nanti kamu di marahin sama Bos mu." Gisella menunduk — tangannya terangkat guna mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan — dan matanya mendelik saat melihat waktu yang sudah pukul setengah dua lewat. Gisella mendongak lagi, menatap Arya dengan panik, "Om aku balik. Terima kasih karena sudah menerima lamaranku." Setelah Gisella pergi, Arya meraba dada kirinya, "Melamar Ku katanya?" terdengar tawa kecilnya. Merasa lucu pada ucapan Gisella. Namun jika di pikirkan lagi, memang benar Gisella yang sudah melamar Arya. Pria matang seperti Arya, di lamar oleh bocah yang baru beranjak dua puluh tahun. Betapa lucunya dunia Arya Putra Winata. >< "Kamu lagi ngapain?" Arya yang sedang melipat pakaian itu menghentikan sejenak kegiatannya. Kepalanya menoleh ke arah jendela kamar, dimana baru saja dia seperti mendengar suara Gisella yang sedang berbicara. Letak jendela kamar Arya berhadapan langsung dengan pintu samping Klinik. Jadi hal itu memungkinkan buat Arya mendengar suara Gisella yang seperti nya sedang menelepon seseorang. Arya berdiri dari duduk lesehannya, berjalan semakin mendekat ke jendela. Ya, dia ingin menguping sedang berbicara dengan siapa gadis yang akan jadi istrinya itu. "Iya, aku batal nikah sama Bang Adi," Gisella berbicara sambil berbisik dengan gestur yang sesekali menoleh ke kanan dan kiri, takut bila ada pasien yang mendengar ucapannya — pintu samping dekat dengan kamar rawat pasien. [Loh kenapa?!] Arya semakin merapatkan telinganya, hingga menyentuh jendela kaca nako. Suara Gisella dan orang di telepon cukup kecil, membuat pria itu harus ekstra menajamkan telinganya. "Bang Adi selingkuh, Ndra. Sama mantan nya pas SMA dulu. Kau pasti kenal sama Mbak Vera kan? Tadi siang aku ke kost Bang Adi, mau ngantar makan siang, eh malah lihat dia lagi main kuda-kudaan. Kan bangke! Pokoknya aku mau cari laki-laki yang bisa di jadikan suami, Minggu depan aku harus tetap menikah!" Arya nyaris menyemburkan tawa nya. Dasar bocah! pikirnya. [Astaga, kurang ajar tuh cowok! Tenang, nanti begitu aku pulang, nikah aja sama ku. Kita balas si Adi itu, biar mampus dia!] Arya dan Gisella kompak mendelik. Di satu sisi, Arya terkejut karena dia mau di tikung temennya Gisella. Sementara di sisi Gisella sendiri, terkejut karena ucapan Andra perihal mau menikahinya. Dia kelupaan menceritakan kalau dia sudah melamar Arya. "Gak bisa gitu dong. Lagipula aku udah ketemu laki-laki yang pas dan dia udah setuju buat aku nikahi Minggu depan," ucap Gisella — masih sambil bersuara pelan. [Ha? Siapa? Jangan sembarangan kau, Sella! Gimana kalau laki-laki itu Mokondo?] Arya mendelik, tidak terima dengan tuduhan itu. Tapi ucapan Gisella membuat pria itu speechless. "Gak mungkin! Om Arya itu rajin kerja kok. Muka nya ganteng, di jamin bibit unggul." [Om Arya? Jangan bilang laki-laki yang kau maksud—] Tut! Sambungan telepon langsung Gisella akhiri. Dia menutup mulutnya karena keceplosan menyebut nama Arya. "Astaga, bisa-bisanya mulutku malah berkhianat dengan hati."Gisella mendengus. Dia tidak akan semudah itu percaya pada pembelaan seorang peselingkuh. Baginya, selingkuh itu suatu tabiat yang pasti akan berulang di kemudian hari. Wiryo yang melihat Gisella seakan enggan memaafkan putranya lantas berujar, "Nak Sella, selama ini bukannya kamu sangat mencintai Adi? Kenapa bisa semudah ini kamu berpindah hati? Apa jangan-jangan kamu pun berselingkuh dengan laki-laki itu?" Di akhir ucapan itu, Wiryo melirik ke arah Arya. "Aneh saja, kamu semudah itu membatalkan pernikahan, dan semudah itu pula mendapatkan laki-laki pengganti. Ini bukan cuma akal-akalan kamu saja yang ingin mencari-cari kesalahan Adi kan?" Semua orang yang ada di sana sampai di buat speechless dengan tuduhan Wiryo. Terutama keluarga Gisella dan Arya. Gisella dan Arya bahkan selama kenal hanya ada perdebatan. Arya yang tengil dan usil serta Gisella yang gampang tersulut emosi, tapi lihatlah sekarang, mereka malah sedang duduk bersama membahas pernikahan. "Pak Wiryo! Jangan s
Sarah mempersilahkan keluarga Arya masuk dengan sangat ramah. Ternyata seperti kebanyakan ibu-ibu, Sarah dan Emily bisa langsung akrab. Bahkan Emily yang tadinya terlihat kurang setuju, tapi begitu melihat cantiknya wajah Gisella, wanita paruh baya itu langsung mengusap-usap punggung Arya — gestur kalau wanita paruh baya itu suka dengan pilihan putranya. Keluarga Arya di bawa ke ruang keluarga. Ketika semua sudah duduk di tempatnya masing-masing, barulah kini terasa suasana yang sedikit suram. "Sebelumnya maaf, saya ingin bertanya pada Arya boleh?" tanya Bintang seraya menatap Arya. Arya mengangguk sopan, "Boleh, silahkan Pak." "Kenapa kamu menerima lamaran Putri saya?" kali ini Bintang menoleh ke arah Gisella. "Putri saya seharusnya menikah minggu depan dengan tunangannya, tapi ternyata calon suaminya malah berselingkuh. Mungkin karena terlalu emosi, dia malah mengambil keputusan impulsif dengan melamar Arya untuk menikah dengannya minggu depan. Arya, kamu sudah tau soal i
H-6 menjelang hari pernikahan.Hari Sabtu, Gisella sudah bangun sejak pagi. Dia izin cuti pada Bos nya, yang untungnya langsung di setujui.Gisella belum bilang pada kedua orang tuanya perihal kelakuan Adi yang telah berselingkuh.Pagi-pagi sekali Gisella bangun, dia sudah merapihkan seluruh penjuru rumah. Begitu anggota keluarga yang lain bangun, semuanya sudah bersih dan sarapan pun sudah tersaji di atas meja makan.Sarah — ibunya Gisella tentu merasa ada yang tidak beres pada putrinya. Sebagai seorang ibu yang membesarkan anak-anaknya dengan kedua tangannya sendiri, tentu lah Sarah tahu ada yang sedang Gisella ingin sampaikan atau ada sesuatu yang di inginkan. Makanya gadis itu bersusah payah mengambil hati orang tuanya."Dek, kamu udah ngasih makan ikan-ikan Papa? Tumben?" tanya Bintang — Ayah Gisella itu baru saja datang dari halaman belakang, dimana ada kolam ikan lele dan ikan nila di sana.Guntur — Kakak laki-laki Gisella sedikit memicingkan mata, merasa ada yang mencurigakan
"Om, mau gak nikah sama aku?" tanya Gisella tanpa tedeng aling-aling."Ha?!" sentak Arya sambil mengorek kuping — berharap dia telah salah mendengar. "Kamu ngajakin saya ngapain?" tanyanya sekali lagi. Dia tidak mau di anggap ke Ge-Er an oleh bocah macam Gisella."Nikah, Om. Aku ngajakin Om Arya nikah. Om mau kan?""Bukannya kamu Minggu depan—""Aku batal nikah sama Adi, Om. Dia selingkuh. Orang tuaku udah mempersiapkan semua biaya pesta pernikahan ini, kalau sampai batal, mau taruh dimana muka orang tuaku, Om?"Arya memijat tengkuk lehernya yang tiba-tiba terasa kaku. "Ya kalau batal terus kamu pilih nikah sama Saya. Yang ada orang tua kamu semakin malu, Gisel. Kamu mikir sampai sana gak?"Gisella dengan tanpa berdosanya menggelengkan kepala. Dia memang tidak kepikiran sampai sana. Situasi tidak memungkinkan dia untuk berpikir panjang."Tapi aku udah sesumbar ke Adi kalau Minggu depan aku bakal tetap menikah walau bukan dia mempelai prianya, Om."Gisella sengaja memasang wajah memela
Gisella Anastasia Bintang — gadis itu mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. Menatap marah pada seorang pemuda berkulit Tan yang sedang berdiri di hadapannya."Tega kamu ginikan aku, Bang?" tanya Gisella dengan suara bergetar menahan tangis. "Kamu gak lupa kan kalau minggu depan kita mau menikah? Terus di sini sekarang kamu malah selingkuh sama Mbak Vera?!" suaranya naik satu oktaf saat menyebut nama selingkuhan sang tunangan.Adi berusaha meraih tangan Gisella, "Sella, Abang bisa jelaskan. Ini—"Gisella tepis tangan Adi, dia tidak sudi bersentuhan dengan lelaki itu. "Penjelasan apa lagi? Sudah jelas kalau kamu sama Mbak Vera habis tidur bersama kan?! Mataku enggak buta, Bang. Aku lihat dengan kedua mata kepalaku sendiri!"Pecah, akhirnya tangisan gadis itu luruh juga. Rasa sakit yang dia rasakan seakan menusuk relung hati. Lelaki yang dia percaya, yang sudah dia pacari sejak dua tahun belakangan, nyatanya hanya lelaki brengsek yang tidak bisa menahan hawa nafsu belaka. Persis sepert