Abby mengingat pertemuan dengan Ashton, lalu kejadian tak terduga di mana Zac tiba-tiba muncul di kediamannya, serta bagaimana pria itu mengungkapkan perasaan dan kekalutannya menjalani hubungan dengan Sidney, membuatnya seperti orang tak waras.Benarkah Zac merasa kalut? Atau jangan-jangan itu hanya kepura-puraan saja agar dia memberinya kesempatan? Namun, bukankah perkataan orang mabuk adalah bentuk ungkapan hati yang terdalam?Bisa iya, bisa juga tidak.Satu hal yang pasti adalah Abby tak akan semudah itu memberi hati bagi sembarang pria. Meski Zac juga bukanlah pria sembarangan, tetapi apa yang telah diperbuat oleh ayahnya tentu saja tak akan pernah termaafkan.Lalu bagaimana dengan Ashton? Haruskah dia memberi kesempatan padanya? Bagaimana jika setelah mendapat kesempatan, pria itu justru pergi lagi?Abby menghela napas kemudian mengembuskannya sekaligus, melepaskan beban yang mengganggu pikirannya beberapa waktu terakhir. Dia berniat untuk keluar sekadar menghirup udara segar se
Abby terdiam mendengar suara yang tentu saja tak asing di telinga. Sudah menghabiskan air mata selama seharian, dan kini tampak ada yang mulai menggenang lagi."Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara parau dan wajah sendu. Bukan raut kemarahan yang terulas di wajahnya, melainkan haru, tetapi ada sedikit kesal.Ia mengusap air mata dengan jemarinya."Abby ... apakah kau menangis? Hey, kau seharusnya senang mendengar suaraku, bukan malah bersedih."Abby segera menyembunyikan isaknya. "Aku tidak sudi menangisi pria pengecut sepertimu."Keduanya terdiam sesaat, merangkai rindu dan memori yang sempat terburai dan tercerai-berai. Kini, segala kenangan tentang kebersamaan singkat mereka, seolah kembali satu per satu."Apakah aku menyakitimu?" tanya pria di seberang. Abby ingin mengangguk, tetapi hati mencegah agar dirinya tak memberi reaksi apa pun. Tentu saja ia marah dan kesal. Juga terluka. Pria itu pergi saat dirinya sedang sangat kasmaran."Abby," panggil pria itu lagi. Abby kemb
Abby terenyak mendengar perkataan Dokter Gregory. Matanya membelalak, tak menyangka dokter yang menangani Selena akan mengenalinya. Siapa sebenarnya dokter itu? Mengapa dia bisa tahu banyak hal?"Apakah kau terkejut dan bertanya-tanya mengapa aku bisa mengetahui siapa kau?" Dokter Gregory tersenyum, memutar tubuh ke arah Abigail."Kau mungkin bisa memakai ribuan topeng untuk bersembunyi dari mereka, siapa pun itu. Namun, kau tidak bisa bersembunyi dariku. Aku dokter yang menangani kejiwaan, Abby. Aku dapat membaca ada yang tidak beres. Dan itu terjadi di alam bawah sadarmu.""K-kau tidak bisa seenaknya mengatakan hal tanpa bukti," elak Abby. Dokter Gregory hanya menyungging senyum tipis."Kau benar. Aku memang tak punyai bukti, tapi DNA bisa menjadi bukti. Namun, aku tak akan lakukan itu, karena aku tahu, analisaku benar. Temui dia, Abby."Abby mengatupkan bibir, giginya gemeretak menahan emosi yang membuncah seolah ingin dia ledakkan saat itu juga. Namun, meski dokter itu tahu tentan
Zac dan Sidney, masih dengan topik yang sama, saling melempar argumen satu sama lain. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah, atau setuju dengan keinginan lainnya. Abby bisa memaklumi itu. Andai dirinya menjadi Sidney, dia pun akan melakukan hal yang sama, melindungi kekasihnya dari wanita lain.Mudah sekali menyimpulkan tujuan dari sikap keras kepala Sidney. Dia masih bersikeras untuk menginvestasikan saham miliknya. Sementara Zac justru sebaliknya.Abby menyimak pertengkaran yang semakin rumit. Dia ingin menghentikan tindakan keduanya yang tentu saja mengganggu ketenangannya, tetapi juga penasaran akan berakhir seperti apa pertengkaran mereka.Setelah membiarkan kedua tamunya berdebat, dia akhirnya harus mengambil keputusan."Hentikan! Sudah cukup. Apa kalian tahu, sikap kalian mirip seperti anak kecil yang berebut permen. Haruskah aku memberi kalian permen untuk menghentikan keributan ini?" hardik Abby, yang pada akhirnya berhasil menghentikan keduanya.Zac menatap tajam ke
Abby sedang bersama Alice di kantor saat Mr.Thompson datang. Dia telah menemukan siapa saja yang memiliki saham di perusahaan James Anderson. Pria itu meletakkan amplop coklat di atas meja, tepat di hadapan Abby."Amplop itu berisi berkas mengenai kepemilikan saham Tuan Anderson di salah satu anak perusahaan yang dia bangun, yang kini telah diakuisisi oleh EmerCorps. Namun, aku tidak menemukan data legal dari tindakan tersebut," tutur Mr. Thompson.Abby menyeringai. Mendengar penjelasan Mr. Thompson telah membuat matanya terbuka. Jelas betapa licik Garry Emerson, juga keluarga dan rekan-rekannya, hingga tega melakukan cara kotor demi mendapat apa yang mereka inginkan."Tentu saja, mereka tak memiliki data kuat untuk mengambil hak atas perusahaan James, sehingga menghalalkan segala cara. Aku ingin kau mengusut lainnya yang terlibat atas tindakan ilegal ini. Kita bisa buat perhitungan dengan mereka semua. Tanpa terkecuali."Abby mengepalkan tangan, geram karena apa yang ia dengar. Dia b
Abby menikmati sarapan ditemani pikiran dan hati yang kalut. Apa yang terjadi di ruang rapat kemarin sesungguhnya sangat di luar dugaan. Namun, dengan cepat dia berhasil menetralisir suasana hati yang mendadak berubah ketika melihat kehadiran Sidney di sana, tak henti bergelayut pada lengan Zac.Dia kesal melihat adegan mesra yang baginya justru tampak berlebihan dan menjijikkan. Pasalnya, di ruangan itu tak hanya ada mereka bertiga—jika niat Sidney untuk membuatnya cemburu—melainkan ada beberapa lainnya yang pada akhirnya terpaksa ikut menjadi penonton.Sungguh, perasan itu muncul bukan karena dirinya cemburu. Di mata Abby, tak ada yang menarik dari Zac sehingga membuatnya tergila-gila.Meski memang benar, Zac terlalu tampan untuk dia tolak—rambut sewarna tembaga berpotongan cepak, sepasang manik mata kelabu gelap yang tajam namun hangat, juga suara bariton dalam dan khas yang mungkin akan membuat para gadis menahan napas jika mendengar. Namun, itu semua tidak berpengaruh pada Abby.