Share

Sebuah Janji

Mobil Elang melaju dengan kencangnya membawa Bu Mila ke rumah sakit. Hatinya turut cemas melihat apa yang sedang menimpa orang tua Sabrina itu, ditambah dengan Sabrina yang terus saja menangis sambil mendekap badan yang tak sadarkan diri.

Seorang petugas rumah sakit menyambut mobil Elang dengan sebuah brankar. Dengan sigap petugas itu memindahkan badan Bu Mila ke atas kasur dorong untuk dibawa ke ruangan IGD.

"Tunggu diluar ya," ucap petugas itu saat Sabrina hendak turut masuk menemani ibunya.

"Tapi sa—" ucapan Sabrina terhenti karena tangan Elang menyentuh pergelangan tangan Sabrina.

"Sebaiknya tunggu diluar," ucap Elang yang membuat Sabrina urung meronta.

Sabrina menurut. Ia duduk di kursi tunggu bersama Elang dengan cemas. Air matanya tak henti mengalir membayangkam kondisi wanita yang telah melahirkannya itu terpejam tanpa gerakan. Hanya deru napas yang keluar teratur dari bibir ibunya.

"Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan ibu, Mas? Aku ngga akan bisa maafkan diriku sendiri!"

"Ibumu pasti akan baik-baik saja," ucap Elang berusaha menenangkan Sabrina.

"Aku takut, sebab ibu punya riwayat hipertensi," balas Sabrina dengan bibir bergetar.

"Tenanglah, dokter akan memberikan yang terbaik."

Beberapa saat menunggu, seorang petugas mempersilahkan masuk.

"Ibu," lirih Sabrina di sebelah badan ibunya yang terbaring penuh dengan alat. Aroma khas obat-obatan menguar di hidung Sabrina, wangi yang beberapa bulan lalu akrab dengannya kini kembali lagi menyapanya disituasi yang sama.

Hanya saja, dulu yang terbaring adalah ayahnya, sementara kini ibunya.

"Ibu jangan pergi. Sadarlah, Bu. Sabrina sama siapa kalau ibu pergi." Suara isakan Sabrina terdengar pilu. Bahkan penunggu pasien di brankar sebelah turut merasakan apa yang sedang menimpa Sabrina.

Elang berdiri di samping Sabrina dengan gelisah. Ditambah dengan info yang baru saja disampaikan oleh dokter. Ia tak menyangka jika kejadiannya akan serumit ini. Elang terjebak dalam situasi yang serba sulit.

Perlahan tangan Bu Mila bergerak-gerak. Mata yang semula terpejam erat itu pun turut serta menunjukkan pergerakan.

"Rin, ibu sadar," ujar Elang yang sejak tadi berdiri di belakang Sabrina menghadap Bu Mila. Apa yang menimpa gadis di sebelahnya itu turut membuatnya prihatin.

Sabrina segera mendongak. Ia berdiri di dekat kepala ibunya untuk memastikan apa yang diucapkan oleh Elang.

Bibir Bu Mila bergerak kelu, sementara matanya menatap Elang penuh arti.

Elang mendekati pemilik wajah itu. Perlahan ekor mata Bu Mila tertuju pada Sabrina yang terisak.

"Tang—gung ja—wab sa—ma an—akku, nika—hi dan jaga di—a, ja—ngan disa—kiti," ucap Bu Mila terbata. Dadanya naik turun karena napas yang serasa diujung tenggorokan.

Mendapati pesan seperti itu membuat Elang merasa dilema. Ia hadir di rumah sakit hanya karena memenuhi permintaan mereka, bukan untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Sabrina.

Elang masih terdiam, ancaman warga kembali memenuhi kepalanya. Ia sedang berada diantara dua pilihan yang berat. Istrinya di rumah tidak akan bisa menerima pernikahan ini, akan tetapi jika ia menolak nama baik perusahaan dan keluarga sedang dipertaruhkan.

"Saya janji, Bu. Saya akan menjaga Sabrina." Elang menjawab ucapan Bu Mila dengan ragu. Melihat wajah di depannya yang sedang diambang kematian membuat Elang terpaksa mengucapkan kalimat itu, meskipun dengan setengah hati.

Sabrina seketika menoleh. Ia tak percaya Elang akan berbicara seperti itu. Akan tetapi jawaban Elang itu menciptakan sedikit kelegaan yang bersemi dalam hati Sabrina.

Deru napas Bu Mila membuat Sabrina kembali menatap wanita yang telah melahirkannya, urung mendengarkan penjelasan Elang. Bibirnya bergetar melihat sang ibu dengan napas tersengal, seolah udara enggan masuk ke dalam kerongkongannya.

Air di pelupuk mata yang siap meluncur di wajah sang ibu itu menandakan bahwa rasa sakit yang sedang ia rasakan begitu mencengkeram dirinya.

"Ibu, jangan pergi," teriak Sabrina. Kepalanya bersandar pada lengan sang ibu. "Jangan pergi, Bu."

Elang tertegun melihat apa yang ada di depannya. Seumur hidup, baru kali ini ia melihat manusia berada diambang kematian.

Perlahan, napas Bu Mila hilang dari kerongkongan. Jerit tangis Sabrina menggema di ruangan tersebut. Wanita yang dicintainya dan semangatnya untuk menjalani kehidupan telah pergi meninggalkan luka yang kian dalam.

Rasa bersalah dalam diri Sabrina makin menggunung. Kabar terakhir yang beredar membuat ibunya mengalami serangan jantung yang menyebabkan pergi untuk selamanya.

"Saya harus pergi," ucap Elang merasa memiliki kesempatan untuk lepas dari apa yang bukan menjadi perbuatannya. "Istri saya sudah menunggu di rumah."

"Lalu apa yang sudah Mas katakan pada ibu saya tadi? Mengapa tadi Mas bicara seperti itu?" sahut Sabrina cepat. Hatinya sempat merasa lega karena jawaban Elang atas permintaan ibunya, akan tetapi belum ada satu jam laki-laki di sebelahnya itu sudah berubah pikiran.

"Saya tidak melakukan apapun padamu. Anggaplah ucapan saya di depan ibumu tadi hanya sebatas jawaban untuk melegakan perasaannya sebelum ia bertemu ajalnya. Lagi pula bagaimana saya akan menikahimu? Saya juga sudah punya istri. Jangan ngawur kamu!"

"Janji tetaplah janji." Sabrina menatap Elang dengan tatapan nanar. Rasa yang terpantik terhadap Elang sudah menancap ke dalam lubuk hatinya sejak pertama kali Elang datang menolong. Sikap dan perhatiannya terlihat dari bagaimana cara Elang memperlakukan dirinya ketika mengalami kesulitan. Bagaimana tanggapnya Elang ketika Bu Mila sedang mengalami serangan jantung mendadak. Ia tidak mau kehilangan laki-laki yang baik dan seperhatian itu.

Namun ucapan Elang itu membuat Sabrina harus melakukan sesuatu. Ia meminta ketua RT untuk menahan Elang hingga proses pengurusan jenazah itu selesai dilakukan.

"Sekarang, Nak Elang mari dilaksanakan ijab qobul di depan jenazah almarhumah, sebagai bukti bahwa Nak Elang tidak lepas tangan dari apa yang sudah kalian lakukan juga untuk menjaga nama baik kampung kita ini."

"Tapi, Pak, saya tidak melakukan apapun. Itu semua salah paham." Elang memberanikan diri untuk menolak, sebab Sabrina kini hanya seorang diri tanpa orang tua di sisinya.

"Bagaimana Nak Elang mengelak sementara Nak Sabrina mengakuinya? Jangan jadi laki-laki pecundang." Pak RT menyahuti.

"Saya bukan pecundang, Pak!" sergah Elang tak terima.

"Kalau begitu tanggung jawab, sesuai dengan permintaan almarhumah!" Nada bicara ketua RT makin meninggi.

Elang meraup wajahnya dengan kasar. Ia tidak bisa mengelak sekarang ini. Wajah kusut serta pikiran kacau sudah melekat dalam diri Elang. Ia frustasi, tidak tahu harus bagaimana sementara untuk menikahi Sabrina pun ia ragu.

Sebuah mobil baru saja membelah kerumunan para pelayat. Seorang laki-laki paruh baya memakai kemeja polos warna marun dengan celana bahan yang membungkus badannya turun dari mobil yang baru berhenti.

Elang segera menghampiri laki-laki itu. Ia merasa lega karena wakil dari keluarganya telah sampai dan berharap bisa merayu ketua RT dan Sabrina untuk tidak melakukan apa yang mereka minta.

Laki-laki paruh baya itu diam sambil mengamati sekitar. Ia sedang mengingat sesuatu.

Elang menghampiri lelaki itu. Ia tampak cemas berada dalam keramaian ini.

"Pa, tolong bantu Elang. Ini bukan perbuatan Elang. Ini semua murni salah paham." Elang berusaha menjelaskan.

Pak Rahardjo, papa Elang meletakkan tangannya di pundak Elang dengan tegas.

"Nak, Papa sudah membantumu untuk masalah yang kamu buat beberapa waktu lalu. Tahukah kamu siapa yang kamu tabrak waktu itu? Dia adalah bapak dari gadis ini." Pak Rahardjo berujar lirih, khawatir jika Sabrina mendengar ucapannya.

Dahi Elang mengernyit sambil melihat wajah Sabrina yang menatapnya dengan tegas.

Saat kejadian itu, Elang harus mengurus proyek di luar kota sehingga urusan tabrakan itu diselesaikan oleh pengacaranya.

"Tapi, Pa. Waktu itu kita sudah memberikan sejumlah uang untuk mereka!" sergah Elang lirih.

"Mereka menolak. Dan sekarang sebuah kejadian kembali mempertemukan kalian, sebaiknya nikahi saja gadis ini, apapun alasan dan penyebabnya. Baik itu karena ulahmu atau tidak, buktinya yang difoto itu adalah dirimu."

Elang meremas rambutnya dengan keras. Bayang-bayang wajah sang istri memenuhi kepalanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status