Beranda / Romansa / Terjebak Obsesi Sang CEO / 98. Petarung atau Pembunuh?

Share

98. Petarung atau Pembunuh?

Penulis: feynaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-30 20:21:17

Sinar matahari pagi merembes masuk melalui celah-celah tirai tebal, menerangi ruang gimnasium pribadi milik keluarga De Luca. Ruangan luas itu dipenuhi peralatan olahrga seperti matras, ring tinju, samsak, dan berbagai alat olahraga lainnnya.

Tercium aroma apek dan pengap yang menunjukkan bahwa tempat ini jarang tersentuh kehidupan. Ella maklum karena rumah ini memang lebih sering menjadi basecamp darurat daripada tempat tinggal.

Ella berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi skeptis. Mengenakan kaos abu-abu dan celana legging hitam membalut kaki jenjangnya. Rambut cokelatnya diikat tinggi dengan beberapa helai yang lolos membingkai wajahnya.

"Kemarin kau mengajariku menggunakan pistol, sekarang mau mengajariku tinju?" Ella bertanya dengan nada datar sembari menggerakkan tubuhnya untuk melakukan pemanasan.

"Apa rencanamu, Lorenzo? Membentukku menjadi petarung atau pembunuh?"

Lorenzo yang tengah memeriksa sarung tangan tinju menoleh dengan senyum miring yang penuh makna. Pr
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   141. Rencana Manipulatif

    Lorenzo menatap adiknya dengan mata yang berkaca-kaca, kilatan dingin yang biasa membuat orang rang gemetar kini sirna, tergantikan kepedihan mendalam. Lorenzo yang selalu menjadi sosok pelindung bagi keluarga mereka, pria yang tidak pernah menunjukkan kelemahan bahkan dalam situasi paling berbahaya, kini, di hadapan Lessa, tembok pertahanan itu runtuh. Kali ini, Lorenzo yang membutuhkan perlindungan, setidaknya dari rasa sakit yang menggerogotinya hatinya. "Dan sekarang ada Daren.” Suaranya kini serak karena tangisan yang ia tahan. Lessa merasakan dadanya sesak mendengar suara memilukan Lorenzo karena ia terbiasa mendengar suara tegas dan otoritas Lorenzo.Ia bisa merasakan rasa sakit yang dialami Lorenzo karena ia pernah menyaksikan bagaimana Lorenzo dan Ella saling mencintai dengan intensitas yang memabukkan. Lorenzo menatap Lessa dengan mata yang mulai berkabut air mata pemandangan yang sangat langka karena dia tidak pernah menangis, bahkan ketika peluru menembus tubuhnya beb

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   140. Bahagia Tanpa Aku

    Kesunyian mencekam menyelimuti suite mewah di lantai tertinggi hotel. Lorenzo melangkah limbung menuju bar mini di sudut ruangan. Dengan gerakan kasar, ia melepaskan kancing atas kemejanya satu per satu. Dada bidangnya yang kecoklatan terlihat naik turun dengan irama yang tidak teratur. Rahangnya terkatup rapat, otot-otot di sana menegang karena tekanan emosi yang masih menguasai setiap saraf tubuhnya. Mata kelamnya yang biasanya memancarkan otoritas mutlak dan kepercayaan diri yang mengintimidasi kini tampak penuh keputusasaan. Emosi yang bahkan hampir tidak pernah ditunjukkan oleh seorang Lorenzo De Luca. Tangan besarnya menuangkan whiskey ke dalam gelas kristal. Cairan mengalir dengan gemericik yang memecah kesunyian. Ia berdiri dengan postur tubuh yang sedikit bungkuk. Jemarinya Mencengkeram gelas dengan kekuatan yang berlebihan, buku-buku jarinya memutih karena tekanan. Dalam satu tegukan rakus, ia menghabiskan seluruh isi gelas. Namun, sensasi panas yang mengalir mel

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   139. Dua Nama, Satu Hati

    "Apa yang sudah diberikan Daren padamu yang tidak pernah aku berikan? Katakan, Ella, katakan apa yang dimiliki Daren dan tidak ada dalam diriku. Katakan saja apa maumu dan semua itu akan menjadi milikmu!” Suara Lorenzo naik satu oktaf. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Tubuhnya kaku penuh ketegangan. Rahangnya mengeras, otot-otot di leher mencuat. Aura dominan Lorenzo begitu kuat, membuat Ella merasa tertekan dari berbagai arah, membuat merasa terpojok dan merasa kecil. Ella menarik rambutnya ke belakang, gelagat frutrasinya mulai terasa begitu kuat. "Kau tidak mengerti. Ini bukan soal siapa yang lebih banyak memberikan. Ini soal... soal yang benar dan yang salah," balasnya lirih, suaranya bergetar, kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. "Benar dan salah?" ulang Lorenzo dengan nada meremehkan. "Lalu kau pikir apa keputusanmu ini benar? Apakah kamu benar-benar menggunakan kata hatimu?” "Jangan," bisik Ella, tangannya meremas ujung kausnya. "Jangan katakan i

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   138. Jaga Jarak

    Sinar keemasan fajar merayap lembut melalui celah-celah tirai. Pagi ini, suasana terasa berbeda dengan pagi sebelumnya. Hangat, tapi masih menyimpan ketegangan yang tidak terucap. Sejak terbangun dari tidurnya, Daren selalu ingin menempel dengan Ella. Benar-benar tidak melepaskan Ella dari genggamannya. Tangan kekarnya selalu curi-curi kesempatan untuk menyentuh Ella. Entah itu menelusuri punggung mungil gadis, sesekali memeluknya dengan mesra, dan memberikan kecupan singkat di wajahnya. Bahkan saat sarapan, kakinya beberapa kali bersentuhan dengan kaki Ella. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan, tapi Daren enggan pergi kerja, enggan meninggalkan Ellla. Ia mengamati lekat-lekat gadis itu yang sedang mengikat dasinya. Bibir Daren melengkung membentuk senyuman tipis. Dengan gerakan kilat, Daren menangkup wajah Ella dan mencuri ciuman singkat di bibir ranum gadis itu. Ella membeku, terkejut dengan sentuhan tiba-tiba itu. "Aku tidak ingin meninggalkanmu hari ini," bisik Dare

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   137. Hati yang Mendua

    Langit biru cerah perlahan memudah menjadi senja kemerahan ketika Ella melangkah memasuki pelataran rumah yang sunyi setelah suara mesin mobil Lorenzo telah menjauh. Paper bag belanjaan di tangan kirinya, sementara tangan kanannya memeluk kotak mika berisi sebuah mangkuk tanah liat yang masih kasar, belum sempurna, bahkan belum diberi warna apa pun. Begitu ia berada di dalam rumah, matanya langsung tertuju pada sosok yang berdiri tegak di tengah ruang tamu, menghadap ke arahnya seolah tengah menunggunya. Ella dapat merasakan aura Daren yang berbeda dari biasanya. Rambutnya berantakan, seolah berkali-kali dia mengusapnya dalam frustasi. Keningnya berkerut dalam. Mata birunya yang biasanya hangat kini dingin. Tatapannya tajam, tepat di mata Ella. Ruang tamu yang luas itu tiba-tiba terasa sesak, seolah dinding-dindingnya menyempit dan menekan mereka berdua dalam ketegangan yang menyesakkan. "Apa yang kau lakukan dengannya?" Suara Daren merobek keheningan. Nada yang bias

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   136. Pottery Date

    Kata hati Ella menang. Setelah berperang sengit dengan logikanya, akhirnya Ella memilih ikut dengan Lorenzo yang membawanya ke sebuah studio keramik di bagian kota yang belum pernah Ella kunjungi—area yang masih mempertahankan arsitektur lama kuno yang telah direnovasi menjadi ruang seni dan kafe-kafe kecil yang nyaman. Di dalam, aroma tanah liat basah yang bercampur dengan wangi kayu menciptakan atmosfer yang hangat dan menenangkan. Dinding-dinding studio dihiasi dengan hasil karya para pengunjung lain seperti, mangkuk, gelas, vas bunga, dan patung-patung kecil yang masing-masing memiliki ciri khas unik. Instruktur studio—seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu yang dikepang longgar dan mata yang hangat—menyambut mereka dengan senyuman ramah. Kemudian memberikan mereka masing-masing sepotong tanah liat dingin, serta menjelaskan teknik dasar pembuatan keramik dengan suara yang lembut. "Tanah liat ini akan merespons sentuhan kalian, emosi kalian, bahkan napas kalia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status