Share

3| Sean Cemen

Sienna memasuki mobil Sean yang sudah terparkir di depan lobi rumah sakit, dengan banyak bungkusan kertas dengan logo ‘M’ berwarna kuning. Dengan cepat, aroma burger yang sangat terkenal dari merek itu terkuar menggantikan aroma tubuh Sean. Sienna menghadap ke kursi belakang dan meletakkan beberapa bungkusan itu, di sana dan beberapa lagi di pangkuannya.

Mobil yang sangat mahal ini mulai berjalan, karena sebenarnya mobil tidak boleh berhenti di depan lobi.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Sean sambil melirik ke arah Sienna yang hanya diam dan memandangi bungkusan kertas berisi makanan itu.

Ia akan membuka lampu mobil karena ingin melihat wajah Sienna, namun wanita itu menahan tangannya. Pada saat itu, Sean tahu kalau Sienna sedang tidak ingin dilihat, bahkan oleh sahabatnya sendiri.

“Aku–” kata Sienna membuka mulutnya, namun ia cepat-cepat menutup mulutnya kembali dengan kedua telapak tangan. Setelah mengatur napasnya, ia kembali melanjutkan, “Kamu tahu rasanya ditanyain kayak gitu di saat kamu lagi sedih?”

Marah, pikir Sean.

Sekarang Sienna sedang marah karena pertanyaan darinya. Namun, itu lebih baik daripada Sienna yang hanya diam dan tidak mengatakan apapun.

“Jangan ke apartemen kamu!” kata Sienna ketika Sean akan berbelok ke kompleks apartemennya.

Dengan patuh, Sean mengikuti keinginan Sienna walaupun ia tidak tahu akan ke mana mereka jika tidak ke apartemennya.

“Aku gak mau melihat sisa kekacauan yang kamu buat dengan domba itu. Kamu pasti belum sempet beresin apartemen kamu,” kata Sienna lagi. “Aku mau makan.”

“Hm..” kata Sean, mempersilakan Sienna untuk makan di dalam mobilnya.

Padahal, Sean tidak mengizinkan siapapun untuk mengotori mobilnya. Ia bahkan tidak pernah memuaskan wanita di dalam mobilnya sendiri. Ia sangat menjaga kebersihan dari mobilnya. Namun, Sienna akan selalu menjadi sebuah pengecualian dalam hidupnya.

“Hiks.. hiks..”

Isak tangis mulai terdengar dari arah Sienna. Karena, walaupun ia mencoba untuk menutupi kesedihannya dengan memakan sesuatu, ternyata pikirannya tidak bisa beralih dari kesedihan yang sedang melandanya.

“Kamu kehilangan seorang pasien?” tanya Sean yang akhirnya memilih untuk memberhentikan mobil di sebuah stasiun minyak yang sekarang cukup sepi.

Sienna menganggukkan kepalanya sambil mengunyah makanan. Sekarang, dirinya pasti terlihat sangat jelek. Wanita berusia dua puluh lima tahun mana yang menangis sambil memakan burger?

“Aku lagi di stase anak. Ada bayi usia satu hari yang terlahir tanpa otak. Walaupun enggak ada kemungkinan untuk bertahan, tapi kami tetap merawatnya. Dia sudah bertahan selama sehari, dan aku sedih banget karena dia bener-bener bayi yang cantik,” jelas Sienna.

Sebagai seorang residen, ada banyak sekali perasaan yang tidak bisa ia tangani sendiri. Selama dua tahun ini, ia hanya melihat beberapa kematian dan selalu membutuhkan waktu lama untuk berhenti bersedih. Dalam setiap prosesnya untuk berhenti bersedih itu, ia sangat membutuhkan Sean.

Entah bagaimana, tanpa adanya kesepakatan di antara mereka berdua, Sean harus selalu ada di sisinya setiap kali dirinya merasa sedang bersedih.

“Dia ngasih kami semua rasa nyaman,” kata Sienna lagi di antara kunyahan dan tangisannya.

Akan tetapi kali ini, Sienna terbatuk. Ada yang mengganjal di tenggorokannya akibat dirinya yang terus menerus bicara sambil makan.

“Sienna?” panggil Sean sambil menepuk leher Sienna perlahan.

“Uhuk.. uhuk..”

Sienna hanya bisa terbatuk sambil berusaha untuk mengatur napasnya. Di saat seperti ini, pernapasan adalah hal yang sangat penting. Namun pada detik berikutnya, ia merasa kalau isi perutnya akan segera keluar. Cepat-cepat ia memberikan kode kepada Sean kalau dirinya akan muntah.

Seharusnya, Sean membuka kunci pintu mobil karena ia harus keluar. Namun, pria tampan itu bersikap sangat bodoh. Ia justru menadahkan kedua telapak tangannya ke arah Sienna.

“Argh!” teriak Sean ketika merasakan sesuatu yang hangat dan lengket di tangannya. “Sienna!”

Sienna tidak bisa melakukan apapun karena isi perutnya memaksa untuk keluar. Bodohnya lagi, Sean tetap bertahan dengan kedua tangan yang menadahi isi perut Sienna.

“Ambil jas aku di belakang!” teriak Sean lagi.

Sienna yang sudah berhasil mengeluarkan isi perutnya pun segera meraih jas Armani yang ada di kursi belakang dan membiarkan jas itu terkena muntahannya yang ada di tangan Sean.

“Ouch Sienna,” kata Sean.

Dengan perasaan yang sangat bersalah, Sienna mengeluarkan semua tisu yang ia miliki dari dalam tasnya dan membantu Sean membersihkan muntahan yang ada di sekitar lengan pria itu.

“Kamu sih.. Kan maksud aku tuh buka pintunya,” kata Sienna dengan nada bersalah.

“...”

“Kamu marah?” tanya Sienna lagi.

Sean masih diam, namun beberapa waktu kemudian, ia berkata, “Ambil tas kamu dan kita akan keluar. Aku akan meminta seseorang untuk membawakan mobil yang lain. Aku tidak bisa mengendarai mobil seperti ini, Sienna.”

Mendengar ucapan itu, Sienna tersenyum. Ia tersenyum karena Sean tidak marah kepadanya. “Aku akan bayar biaya bersihin mobil kamu.”

“Kamu hanya seorang residen. Tidak mungkin aku minta ganti rugi dengan residen yang hanya mendapatkan insentif,” kata Sean.

“Tapi Papa aku adalah pemilik rumah sakitnya,” jawab Sienna.

Setelah itu, mereka keluar dari mobil dan sepertinya benar-benar akan turun hujan karena angin berhembus cukup kencang sekarang. Mereka lalu mulai berjalan sembari menunggu seseorang untuk mengantarkan mobil kepada Sean.

“Kamu tahu? Kadang perasaan aku lebih baik waktu kamu ada. Walaupun gak jarang juga aku menimbulkan masalah,” kata Sienna. “Oh!”

Ia teringat sesuatu. Tangan Sean pasti terasa lengket. Maka, ia menarik lengan pria itu untuk mencucinya di keran air yang ada di stasiun minyak itu.

“Apa jadinya kamu tanpa aku?” tanya Sean sambil menatap wajah Sienna yang terlihat lelah namun selalu saja cantik.

Sean tidak akan pernah memungkiri kalau Sienna adalah wanita yang sangat cantik. Sienna memiliki semua hal yang diinginkan oleh wanita lain. Namun terkadang hal itu justru membuat wanita ini dikelilingi bahaya. Maka, ia selalu berada di sekitar Sienna. Walaupun ia adalah pria brengsek, ia tidak ingin Sienna terluka oleh pria brengsek lainnya.

“Kamu kan memang bertugas untuk menjaga aku,” jawab Sienna sambil tersenyum.

“Apa aku harus berhenti bekerja dan menjadi penjaga kamu saja?”

Sienna langsung menggelengkan kepalanya. “Seorang residen kayak aku enggak akan bisa membayar pria yang menghasilkan seenggaknya enam puluh dolar setiap menitnya.”

Sienna memberikan tisu yang masih ia miliki dari dalam tasnya, dan membiarkan Sean mengeringkan tangannya sendiri.

“Tapi kenapa kamu enggak membiarkan satu wanita untuk sama kamu, daripada menghabiskan waktu sama wanita yang enggak kamu ketahui namanya?” tanya Sienna lagi.

Ia yakin kalau selain dengan keluarganya, ia adalah orang yang sangat dekat dengan Sean. namun, setelah hampir sepuluh tahun mereka berteman, ia tidak pernah tahu kalau Sean menyukai seorang wanita dengan serius.

Untuk menjawab pertanyaan itu, Sean menatap wajah Sienna. Lalu, ia tersenyum. “Karena seseorang.”

"Ivanka?" tanya Sienna lagi.

Jika pun ada wanita yang Sean anggap serius, maka pasti Ivanka adalah orangnya.

"..." Sean diam.

"Kamu menciumnya. Lima tahun yang lalu, di pesta ulang tahun pernikahan orang tua kamu."

Sienna tidak akan puas dengan jawaban yang selalu diberikan oleh Sean setiap kali ia membahas tentang Ivanka Sumumulya. Ia yakin kalau Sean mencintai Ivanka, karena meskipun Sean selalu tidur dengan banyak wanita, hanya Ivanka wanita yang pernah Sean cium di hadapan orang tua pria itu.

"..."

Sean masih diam, membuat Sienna mendengus. “Pria brengsek seperti kamu memang sangat sulit mengakui cinta ya. Cemen kamu.”

***

“Papa?” panggil Sienna ketika ia tiba di kediaman ayahnya.

Sebenarnya, ia sangat gugup sekarang. Ia tahu kalau ketiga kakaknya sedang berada di rumah. Akan tetapi ia tidak memiliki tujuan lain. Ia tidak ingin mengganggu Sean malam ini, dan satu-satunya tempat untuk pulang hanyalah rumah ayahnya.

“Sayang..” kata Anthony.

Sienna tersenyum dan sedikit berlari untuk memeluk ayahnya. “Sienna pulang.”

“Sudah seharusnya kamu pulang,” jawab Anthony dan ia mengajak Sienna untuk berjalan ke dalam.

Sudah hampir satu bulan ia tidak pulang ke rumah ayahnya yang sangat besar sekaligus tidak pernah terasa hangat untuknya ini. Sejak kecil, ia hanya memiliki rumah ini sebagai tempat dirinya bisa menjadi putri dari seorang Anthony Wangsadharma.

“Kamu sudah makan?” tanya Anthony.

Sienna menganggukkan kepalanya. “Aku mau langsung tidur ya, Pa.”

“Baiklah, sayang. Kamu pasti capek. Kita akan bicara lagi besok pagi,” jawab Anthony dan ia membiarkan Sienna berjalan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.

Sementara Sienna berusaha keras untuk berjalan secepat mungkin agar kehadirannya tidak disadari oleh salah satu dari kakaknya. Semuanya akan terasa lebih mudah jika mereka tidak tahu kalau ia pulang ke sini.

Ia terus berjalan dengan cepat melewati beberapa kamar hingga ia meraih gagang pintu kamarnya.

Dengan cepat, ia memutar gagang pintu itu dan berjalan masuk. Akan tetapi, ketika ia akan menutup pintunya, ia melihat Theodore menghalangi pintu.

“Masuk,” kata Theodore dengan tatapan dingin.

Dengan tubuh yang bergemetar, Sienna mundur. Theodore masuk dan langsung menutup pintu. Dengan cepat, ia mendorong tubuh Sienna hingga bahunya terbentur ke sudut meja riasnya.

“Sakit?” tanya Theodore sambil mengangkat tubuh Sienna dengan sangat mudah. “Sakit?!”

Sienna memejamkan matanya karena sekarang Theodore mulai meneriakinya. “Lepasin..”

“Sakit yang kamu rasa tidak sebanding dengan sakit hati kami setiap kali melihat kamu bernapas!” kata Theodore yang kali ini mendorong tubuh Sienna ke arah kasur. “Kenapa kamu harus selalu menunjukkan wajah di hadapanku?”

“...”

Sienna masih diam karena ia merasa kalau bahunya sangat sakit.

“Bisa kamu hanya menjauh sementara kami membiarkan Papa memberikan kenyamanan dalam hidup kamu?”

“Kak,” panggil Sienna berusaha keras untuk tidak menangis. Ia tidak ingin menangis di saat seperti ini. “Aku baru aja mengalami hal buruk. Bisa Kakak marahnya nanti aja?”

“Jangan panggil aku Kakak!”

Pada saat itu, pintu kamar Sienna terbuka. Tammy masuk dengan wajah datar dan langsung menutup pintu. “Papa bisa dengar dan aku yakin kalau Papa akan membunuh kamu kalau dia melihat kamu menyiksa anak kesayangannya.”

Theodore terlihat akan marah. Namun ternyata kata-kata Tammy mampu membuatnya berhenti menyiksa Sienna. Pria itu mendengus dan berjalan keluar tanpa menatap Sienna. Sementara Tammy menatap Sienna sesaat dan mengikuti Theodore keluar dari kamar itu.

Sienna mengatur napasnya dan berusaha untuk menekan tangisannya. Kemudian, ia mendengar suara ponselnya. Cepat-cepat ia mengambil ponsel yang ia simpan di tas yang masih ia kenakan.

Di layar ponselnya, ia melihat nama Sean.

Sienna menggigit bibirnya dan memutuskan untuk tidak menerima panggilan telepon itu.

Tidak apa-apa, pikirnya.

Ia tidak akan menerima panggilan telepon dari Sean. karena, ia pasti akan menangis jika mendengar suara sahabatnya itu.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status