Sepertinya jika nanti aku jadi menikah dengan Pak Al, hidupku pasti akan lebih banyak pahala dan tahan banting. Karena, belum saja jadi istri aku sudah dibuat kesal setengah mati.
Aku tidak tahu, sebelumnya Bu Ana ngidam apa sampai melahirkan anak selicik ini. Kalau aku jadi Bu Ana sudah kuborgol dia sejak masih kecil, agar nanti ketika sudah besar Pak Al tak memborgol orang seenaknya seperti yang aku alami.
Kemarin sepulang dari butik, dia benar-benar membuatku frustasi. Kukira, dia benar-benar menghilangkan kunci borgolnya, tapi ternyata dia hanya membohongiku saja. Entah apa maksudnya tapi dia seolah sengaja mempermainkanku sampai aku pulang.
"Biar kamu merasakan bagaimana jadi makmum yang baik." Begitu katanya kala kutanya apa alasan dia membuatku bagaikan anak ayam mengekor induknya, selama kami terborgol.
Alamak! Dasar Kabayan menyebalkan.
Sayang, walau aku bersyukur tidak jadi dinikahkan kemarin malam, tingkah Pak Al tidak berhenti sampai di situ. Hari ini pun dia kembali berulah.
Setelah dia tiba-tiba membelikanku baju karena alasan 'mau' saja. Sekarang dia meminta untuk memasakkan makanan makan siang untuknya.
Apa alasannya coba? Pakai diiming-imingi dibayar lima kali lipat segala jika enak, kan aku jadi enggak bisa nolak kalau mendengar kata duit.
Alhasil dengan rasa enggan yang menggunung, aku tetap menuruti perintahnya. Jadi, di sinilah aku sekarang di depan ruangannya dengan membawa dua kotak makan siang yang berisi ayam goreng, sambal terasi, sayur asem dan nasi. Sesuai permintaannya. Bikin repot saja.
Aku mengetuk pelan ruangan Pak Al dengan jantung yang berdebar cepat. Aneh, akhir-akhir ini organ vital satu itu gemar sekali berolahraga jika berhubungan dengan Pak Al.
"Permisi Pak Al ...," ucapku sambil melongokkan kepala dari balik pintu.
Sesosok pria yang sedang mengetik itu langsung saja menoleh padaku. Dia menatapku terpaku sebentar, tapi kemudian dia dengan cueknya beralih lagi ke laptopnya.
"Ngapain kamu ke sini? Kangen?" tanyanya datar.
Astaga! Bukannya dia yang minta aku mengantarkan makanan? Sekarang dia malah bersikap tak butuh. Memang bagusnya, orang seperti ini direbus saja bareng sayur asem. Biar asem sekalian mukanya yang jutek itu.
"Ma-maaf, Pak, kalau ganggu Pak Al, kalau begitu saya permisi ...." Aku berniat kembali menutup pintu tapi lelaki itu tiba-tiba berdiri.
"Eh, bentar! Saya cuman bercanda, ayo masuk! Lagi PMS, ya?" candanya membuat darahku kembali hipertensi.
Pak Al pun melangkahkan kaki menghampiriku yang masih ragu untuk masuk. Tanpa basa-basi dia merebut dua kotak makan siangnya dari tanganku lalu menyuruh duduk di sofa yang ada di depan meja kerjanya. Sepertinya, dia akan menjadikan aku kembali penonton bagi semua aktivitas yang ia kerjakan. Termasuk makan.
"Jadi ini beneran kan buatan kamu? Bukan pake jasa go food atau beli di luar," tuduhnya sambil membuka kotak pertama yang berisi ayam, nasi dan sambal terasi menu pesanannya.
Aku langsung melotot. "Ya, enggak atuh Pak, timbang bikin gini aja masa beli? Gini-gini 'aku' eh 'saya' pinter masak Pak, tapi kalau beracun saya gak jamin," ucapku kesal.
Pak Al terkekeh pelan, sampai lesung pipi-nya terlihat jelas. Baru kusadari kalau salah satu kelebihan Pak Al, dia ganteng mirip Kim Soen Ho, tapi sangat disayangkan sikapnya mirip Voldemort.
"Iya, saya percaya kalau kamu tidak meracun makanan ini, soalnya kalau ini diracun kamu bakal jadi jomblo juga."
"Astaghfirullah si Bapak, kalau ngomong suka bener."
Aku merutuk lagi sedang dia kembali tertawa. Heran, lelaki satu ini gemar banget mentertawakanku, bahkan untuk hal kecil. Padahal tidak ada niat untuk melawak.
"Oke. Kalau gitu saya coba ya?" ucapnya sambil mencomot potongan daging ayam lalu menyantapnya.
Dengan perasaan was-was aku menatap Pak Al makan, bukan apa-apa, aku hanya takut apa yang kubuat tidak sesuai dengan seleranya dan jika itu terjadi runtuhlah harga diri ini.
"Gimana Pak, enak?" tanyaku sambil menelan ludah. Melihat dia makan, aku jadi lapar.
Pak Al yang sedang sibuk melahap hidangannya, tiba-tiba berhenti mengunyah.
"Kenapa? Kamu mau? Wah, gimana dong? Ini mau abis, kalau kamu mau, masak lagi aja, gimana? Tapi nanti pulang kantor," tandas Pak Al pura-pura menyesal, tapi aku tahu itu palsu. Dia itu kejam, tidak mungkin prihatin sama aku.
Aku menggelengkan kepala cepat. "Bukan Pak, saya kan cuman nanya, takut kalau gak heum ...," ucapanku sengaja dibiarkan menggantung. Sedikit malu melanjutkan.
"Enak kok, saya suka," jawabnya dengan pipi yang menggembung penuh makanan. Alhamdullilah dia akhirnya paham tanpa kuucapkan.
Tak ayal mendengar pujiannya kali ini, aku pun ikut tersenyum. Sungguh, aku terharu, akhirnya danaku cair juga.
"Alhamdullilah, jadi uang yang Pak Al janjikan itu, boleh aku minta sekarang?" tanyaku to the point.
"Maksudnya?"
Dia menautkan alis, entah bingung atau amnesia mendadak kalau bicara masalah uang.
Aku mengigigit bibirku gemas. "Loh, iya 'kan? Katanya kalau masakanku enak. Kata Pak Al, mau bayar lima kali lipat dari harga pasaran. Tadi aku hitung jumlah keseluruhan dari beli bahan makanan sampai memasak totalnya jadi satu juta. Ayo bayar!" tagihku.
Dia melotot. "Hah? Kok jadi mahal? Kamu mau ngerampok saya, ya? Saya makan di kafe saja enggak sampai begitu," protesnya kaget.
Aku menyeringai. "Ya, iyalah jelas. Kalau di kafe, bukan aku yang masak dan emang tugas mereka, tapi kan ini beda, sekarang aku yang masak jadi jatohnya lebih mahal. Karena jasa orang cantik, di mana-mana mahal," dalihku merasa di atas awan.
"Jadi, kamu ingin satu juta hanya untuk sepaket makan siang ini?" tanyanya lagi tak percaya. Dia menunjuk kecewa pada kotak makanan yang sudah kosong tak bersisa.
"Iya, tentu saja. Karena ini adalah layanan khusus."
Aku tertawa jahat, baru kali ini aku bisa bahagia melihat wajah Pak Al yang tampak kebingungan.
Kena kau! Dari kemarin dialah yang membuatku kelabakan, sekarang ini-lah pembalasan dendamku. Dendam Nyi Febryana Asih Mintarsih! Rasakan.
Pria bernama Althaf itu menarik napasnya dalam, lalu berpikir beberapa saat. Kuduga lelaki itu sedang mencoba mencari siasat lain untuk tidak membayarku, tapi tenang saja sekarang aku mulai terbiasa atas akal bulusnya.
"Pak, gimana? Jangan ingkar janji loh ya, bisa-bisa saya kasih tahu ke semuanya kalau Pak Al itu ...."
"Oke, ini saya bayar. Tapi, sebelumnya kamu harus ...."
"Harus apa, Pak? Kok pake syarat lagi?"
"Iya, dong, soalnya bukan hanya satu juta. Tapi, saya bisa kasih atm ini beserta pinnya dan kamu bisa tarik sesuka kamu, mau gak?" Dia menyipitkan mata sengaja menggodaku, seraya memamerkan atm bertitel prioritas di tangannya.
Tadinya aku ingin menolak, tapi sepertinya ini tawaran menggiurkan. Siapa yang tidak tertarik pada penawaran Pak Al? Setahuku seseorang yang memiliki atm prioritas pasti saldo di tabungannya banyak dan pasti diistimewakan dari segi apa pun, termasuk jika mau berpergian.
Oh Tuhan! Kenapa imanku lemah kalau masalah duit. Lumayan buat bayar SPP Puja. Aku memutar bola mataku sembari berpikir.
"Kalau gak mau ya sud--"
"Oke, tapi sebentar saya harus melakukan apa dulu? Saya gak mau ya, kalau diborgol lagi?" potongku cepat mulai memberi persyaratan.
Dia menggoyangkan jarinya. "Tenang, tidak akan begitu. Kamu cukup duduk dan berdandan yang manis untuk menemani saya di acara. Oke?"
"Hanya itu? Mudah kalau itu, kapan waktunya?" tanyaku jumawa.
"Dua hari lagi, gimana?"
"Oke. Siapa takut."
Demi uang, akan kulakukan paling disuruh menemaninya ke kondangan.
"Baiklah, jadi deal ya?" tanyanya sekali lagi. "Kamu gak akan menarik ucapan kamu, kan?"
Dia mendelik curiga seolah ragu.
"Enggaklah, tapi sebelum itu saya minta uang di muka senilai dua juta, gimana?" pintaku mantap. Kali ini aku tidak boleh kecolongan.
"Baiklah, kalau itu mau kamu. Deal," ucapnya seraya menyunggingkan senyum misterius. Senyum yang membuatku berpikiran buruk sekarang.
(***)
Jadi, akhirnya ini yang harus aku lakukan untuk Pak Al? Tidak! Ini tidak mungkin, tidak! Aku masih tidak percaya apa yang kualami setelah kesepakatan itu.
Sudah kuduga dia itu memang Rajanya licik dan kejam! Bagaimana mungkin dia menjebakku begitu saja? Seharusnya tak kuhabiskan uang dua juta itu dalam satu hari, jika aku tahu hasilnya akan begini.
Ini mimpi buruk. Aku tak menyangka pernikahanku akan dipercepat. Anehnya, keluargaku sudah lebih dulu tahu sebelum aku sendiri. Pasti ini sudah direncanakan tanpa sepengetahuanku. Aku yakin.
"Eh, Fey naha (kenapa) kok bengong aja? Ayo keluar! Itu Al sudah selesai ijab kabul, masa gak salam sama suami?" Tiba-tiba Emakku masuk ke dalam kamar dengan tergesa membuatku sadar bahwa tamatlah riwayatku sekarang.
Huwaaa! Bisa enggak sih, aku kabur saja? Takut Mak!
===
.
Part 29. Menua Bersama.Hardworker. Mungkin itu satu kata yang pantas aku layangkan pada Mas Al, semenjak dia melepaskan banyak usaha milik Ayahnya dan memisahkan diri dari Bu Ana, sekarang dia makin sibuk walau acara bulan madu di kamar sendiri masih berjalan baik.Tidak perlu aku jelaskan, kan, bagaimana bulan madu ala kami? Yang jelas, icikiwir ehem-ehem.Nah, oleh karena alasan sibuk juga, aku yang biasanya menunggu dia di apartemen kini memutuskan ikut Mas Al sekalian jalan-jalan. Karena katanya, Mas Al akan mengajakku hangout setelah menemui klien dan pekerjaannya selesai.Ajaib, bukan? Bosque Mamas akhirnya mau berbaik hati mengajakku keluar.Serasa mendapat angin surga, tanpa berpikir panjang lagi aku pun menyanggupinya. Lagi pula, sekarang aku tak perlu masuk kantor karena setelah resign, aku memutuskan berjualan desain bajuku secara online dan hasilnya alhamdullilah bisa buat beli panci dan daster buat Emak.Coba, kalau aku enggak resign mungkin hari ini aku akan merelakan M
Jam 3.30 dini hari ini, aku terbangun dengan hati bahagia karena akhirnya aku menjadi istri seutuhnya. Jika mengingat adegan semalam yang hot-marihot tiba-tiba aku merasa tak mampu untuk menjelaskannya khawatir yang baca ada yang jomblo.Kan, aku takut dosa dikira sudah memprovokasi. Namun, yang bisa aku jelaskan adalah semalam itu Mas Al sangat terlihat jantan.Dari mulai sentuhannya, bibirnya dan semua tentangnya membuatku melayang. Dia juga yang menjadi saksi bagaimana aku menahan perih karena ini pengalaman pertama kami melakukan 'ibadah terindah'.Ah, jadi ingin nyanyi.'Malam pertama kan, kuserahkan segala cintaku yang ... hanyalah untukmu.'"Loh, kamu udah bangun?" Suara yang sangat kukenal menyapaku yang masih bergelung di dalam selimut. Dengan gerakan cepat aku pun duduk dan memandang ke arah suamiku. Tak lupa kutarik selimut untuk menutup badan agar tidak terjadi hal-hal 'nganu' yang ingin diulang."Oh, wow!" pekikku spontan. Enggak nyangka, belum juga subuh sudah mendapat
Part 27. Malam Pertama. Yakin?Setelah kejadian yang menguras emosi di rumah Yura. Sepanjang jalan Mas Al lebih banyak diam, lelaki itu tampak masih emosi hingga dadanya terlihat turun naik tak beraturan.Aku yang melihat ekspresi Mas Al dari kursi penumpang, tentu saja memilih untuk diam. Lagi pula dia memang butuh waktu untuk mengendalikan dirinya setelah meluapkan apa yang selama ini terpendam.Setelah tiga puluh menit berkendara dalam suasana hening, akhirnya kami sampai juga di apartemen. Dalam diam, kami berjalan beriringan menuju lift."Fey!" panggilnya lembut. Akhirnya dia bersuara juga. Diam-diam aku bersyukur, dia sudah kembali normal. Kan, bahaya kalau selamanya diam."Iya, Mas?" sahutku, memandangnya sekilas sambil berjalan."Kamu kok, gak bertanya kenapa sekarang saya kayak menentang Bu Ana?" tanyanya penasaran."Fey, bukannya gak mau nanya, tapi Fey takut kalau Mas gak nyaman Fey tanya. Jadi Fey, milih nunggu aja sampai Mas bilang sendiri," jawabku.Dia tersenyum tipis,
Sudah kusadari kalau orang licik itu enggak boleh berteman dengan orang polos. Karena hasilnya, orang licik pasti akan menang dan sementara orang polosnya masih saja enggak sadar lagi dijebak. Terus saja begitu, sampai Marimar berubah jadi Marimas dan ladang gandum dihujani cokelat.Ah, kenapa sih, aku selalu kalah darinya?Dulu, aku kalah juga gara-gara uang dua juta. Sekarang, aku kalah juga dari menahan diri, buruknya yang sekarang lebih parah. Coba bayangkan! Aku malah terjebak salam perangkap liciknya, padahal sudah berusah-payah ber-acting kalau aku tak mencintai Mas Al.Astaga Naga Bonar! Kok bisa sih dia pintar mencari celah kelemahanku? Kapan aku bisa menang? Kapan? Ini enggak adil! Harusnya aku tahu, dia melakukan itu untuk membuktikan perasaanku. Eh, ini alih-alih menghindar, aku malah menikmati dan meminta lebih.Mau diletakkan di mana mukaku? Segala pertahanan ini hancur sudah, Mas Al emang paling enggak bisa ditebak."Kenapa kamu cemberut? Udah, jangan mikirin yang tadi
Memang ada kalanya, kita berlaga kuat seolah hati kita terbuat dari baja. Namun, saat sendiri, kita mulai merasa bahwa diri ini ternyata sangat rapuh dan buruknya kita mulai menyalahkan diri sendiri.Kenapa aku terlalu emosi?Kenapa aku berkata demikian?Kok, aku jadi gini, sih? Ah, hancur! Benar-benar hancur!Nahasnya, aku-lah yang membawa kehancuran itu. Akibatnya, aku juga yang menangis tanpa henti sampai-sampai mata ini tak bisa membuka mata karena perih sekali.Ternyata, begini ya, rasanya meninggalkan di saat sedang sayang-sayangnya? Sakit ... banget."Lo udah bangun, Fey?" tanya suara cewek menepukku yang sedang tidur membelakanginya.Dia Gea. Semalam aku memang tidur di kosan Gea, tidak pulang ke apartemen karena mana berani aku berhadapan dengan Mas Al setelah menyakitinya."Fey, lo masih idup,'kan?" tanyanya lagi karena aku hanya diam."Heum ....""Alhamdullilah lo gak mikir bunuh diri," kata Gea seraya duduk di atas ranjang.Pagi ini berbeda dari pagi biasanya, aku sangat
Sesuai yang pernah diajarkan guru agamaku. Aku yakin dalam kondisi terberat bagaimana pun Tuhan akan mengirimkan hiburan di sela-sela kepedihan. Agar apa? Agar manusia tidak terlalu larut jatuh dalam keluhan dan percaya bahwa harapan itu pasti akan selalu ada sebagai penenang bagi jiwa-jiwa yang hampir putus asa. Maka, tak heran sering kali kita melihat orang-orang masih bisa tertawa walau dalam kondisi serba sulit.Mungkin itulah yang sedang aku rasakan sekarang. Di tengah perjuanganku untuk mempertahankan pernikahan ini, kejadian prank Mas Al tadi pagi berhasil mengobati sedikit rasa sedih akibat permintaan Bu Ana.Namun, tetap saja untuk meraih kebahagaiaan yang sempurna itu tak mudah. Aku sadar, bisa jadi moment jahil Mas Al seperti tadilah yang membuatku akan semakin terpuruk jika nanti hal itu hanya bisa kukenang.Dan ketika nanti masanya tiba, aku ragu. Apakah aku sanggup ketika harus kehilangan Mas Al?Ah, sepertinya itu sulit.Aku mendesah pelan seraya memutar pena. Hari ini
Aku kembali ke apartemen pada saat waktu hampir menunjukan tengah malam. Tadinya, aku berencana untuk tidur di kosan Gea dan mencoba menghindar sementara waktu dari Mas Al karena pikiranku teramat kacau. Namun, mengingat baju-bajuku dan kerjaan, aku pun memutuskan kembali setelah berjalan dengan gontai tanpa arah.Salah. Jika pembicaraan dengan Bu Ana tak mempengaruhiku sama sekali, karena sampai sekarang hatiku masih sakit.Bagaimana bisa Bu Ana memintaku meninggalkan Mas Al saat kurasa dia membutuhkanku sekarang? Bagaimana bisa dia menyangka perasaan kami hanya kekhilafan? Sepicik itukah pemikirannya?Ah, miris.Aku meletakkan tas di atas meja pantry. Suasana apartemen sudah sunyi, kulihat kamar Mas Al pun sudah padam. Mungkinkah dia sudah tidur?Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa rindu dengan lelaki itu. Seharian ini, kami bahkan tidak bertemu dan aku pun tak dapat menghubunginya karena ponselku mati total setelah pulang dari rumah sakit.Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan u
Sudah dua hari Bu Ana dirawat di rumah sakit dan sudah dua hari berlalu setelah pengungkapan keseriusan Mas Al. Namun, seperti biasanya lelaki itu selalu penuh pengertian. Dia sama sekali tak mengungkitnya semua berjalan normal.Mas Al tetaplah lelaki yang jahil, humoris dan cukup tahu apa yang harus dilakukan sehingga dia seperti sengaja memberiku waktu, sampai aku siap.Tak dapat kubohongi, hal itu membuatku mengalami gangguan hati dan insomnia. Sampai rasanya, mau makan pun tak berselera karena memikirkan bisa saja perasaanku pada Mas Al harus kusembunyikan, karena aku pun gamang.Ya, seandainya Mas Al tahu, diam-diam aku pun merasa cemas karena Bu Ana pasti akan marah. Dia pasti akan menentang hubungan kami dan bisa jadi epilepsinya takkan sembuh cepat.Setahuku, riwayat penyakit orang kaya memang macam-macam. Kata Dokter, biasanya itu terjadi ketika seseorang mengalami trauma dan gangguan kecemasan sehingga saraf bermasalah. Mungkinkah itu yang terjadi pada Bu Ana?"Agh, ada-ada
Apakah ini rasanya ditembak seseorang? Kok, rasanya ada manis-manisnya gitu. Eh, tapi ini bukan hanya imajinasiku, 'kan?Ah, tentu saja tidak. Ini nyata dan sangat terasa bahwa kalimatnya untuk memintaku tetap bersama, bukan untuk menggodaku seperti biasa.Dia serius dan terlihat tulus, kala meminta kami untuk mencoba lebih dari sekedar pasangan karena perjanjian.Sejujurnya, ingin aku meng-iyakan apa pun yang dia minta padaku di detik dan menit itu juga. Namun, aku tak punya nyali mengkhianati sebuah kepercayaan dan kesepakatan walau harus menyakiti diri sendiri."Kurang apa dia, Fey? Dia udah bantu keluarga lo? Tanpa perlu lo minta, coba pikirkan! Apa susahnya sih, bilang 'iya'?""Susah Gea, susah! Lo gak bakal ngerti begitu juga laki gue.""Iya, kalau gue gak ngerti, jelasin dong!"Masih teringat jelas di benakku, saat aku bertanya tentang pendapat Gea mengenai Mas Al via suara. Aku bilang Mas ingin memperdalam ikatan hubungan ini, tapi aku masih bingung dan membutuhkan waktu.Maka