Share

4. Ngemil Bon Cabe

"Jadi gimana Sa?" 

Mulai Tante Maurin dengan tersenyum hangat ke arah sepasang manusia berbeda gender yang sekarang sudah melepas pelukannya.

"Apasih Ma." Sania tampak tidak suka dengan arah pembicaraannya. "Itu privasi kami, iya kan Ji?" tanya Sania ke arah Reksa yang ekor matanya masih mencuri-curi pandang ke arahku.

"Hm."

"Yaudah, tapi jangan lama-lama ya. Mama pengen cepat-cepat pakai kebaya yang udah jadi," ujar Tante Maurin. Di wajahnya terkembang senyum lebar, seakan membayangkan tubuh sedikit berisinya itu memakai kebaya yang akan mencetak jelas lekuk tubuhnya.

Kenapa aku jadi hobi julidin hidup orang begini sih.

"Nanti kamu datang ya ke acara tunangannya Sania," ujarnya sambil meletakkan tangannya di atas pahaku. Bukan hanya sebatas memegang, tapi meremasnya pelan.

Perlahan aku menurunkan tangannya itu, membalas senyuman palsunya tak kalah lebar, "Pasti dong Tan, nanti banyak makanannya kan, di sana?" tanyaku balik dengan menarik satu sudut bibirku lebih tinggi.

Terdengar kekehan dari seberang, Reksa memalingkan wajahnya berlawanan dari Sania. Dasar kaum receh.

"Hm ... dan tentunya kamu belum pernah lihat dan makan sebelumnya," balasnya dengan nada tenang, perlahan menyesap black coffee di hadapannya.

Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum simpul, ikut menyeruput Icead coffee pesananku.

"Nanti kalau udah nikah tinggal di rumah Mama aja ya Sa, kan Sania cuman anak satu-satunya Mama."

Reksa cuman memberinya senyum tipis, sedangkan Sania sibuk memotret secangkir kopi 3D latte art-Nya, foam milk-Nya berbentuk kepala tiga kucing.

"Nanti bulan madunya mau kemana? Perancis, Italia, atau Spanyol?" tanya Tante Maurin lebih antusias lagi. 

Ini orang lagi nawarin jasa travel apa gimana dah.

"Oh!" seru Tante Maurin yang terdengar keras membuat Sania berdecak pelan. Perempuan itu segera menyeruput latte-Nya dengan tidak sabaran. Membuat foam milk-Nya tertinggal di sudut-sudut bibirnya. 

Lalu kalau mataku masih berfungsi dengan normal, Reksa dengan gerakan perlahan mengusap sudut bibir Sania menggunakan selembar tisu. Aku melirik ke samping, tampak Tante Maurin tersenyum puas.

"Atau mau lokal aja ya kalian. Bali kayaknya cocok deh, Reksa kan suka yang--

"Eh, kamu ada jadwal kuliah kan Ji hari ini?" Sania menyela omongan mamanya. Setelah melihat layar ponselnya, dia dengan nada cukup antusias menyerongkan badan ke arah Reksa.

Reksa tampak mengerutkan alisnya, Sania semakin mengembangkan senyumnya ditambah dengan mata terbuka lebar-lebar. Baru Reksa mengangguk paham.

"Yaudah biar cepet lulus dan nikah ya kalian," sambung Tante Maurin.

"Kami keluar duluan ya Ma," pamit Sania sambil mengulurkan tangan ke arah Tante Maurin yang dibalas usapan lembut di kepalanya. Reksa pun melakukan adegan yang sama, dan aku ....

"Senja ayo, aku mau minta bantuan kamu," ujar Sania tahu-tahu sudah mengapit lenganku. Aku yang mau memberi salam pada Tante Maurin, segera ku urungkan ketika dia lebih memilih menggapai dan menyeruput black coffee-Nya kembali.

Sania berada di tengah, dia menggapit aku di sisi kiri dan Reksa di sisi kanan. Tubuhnya yang lebih pendek sedikit dariku meskipun sudah memakai high heels, sekarang mirip seperti seorang adik yang wajib dilindungi.

"Oke. Makasih kerja samanya hari ini," ucapnya setelah melepas pegangannya. Sania cengengesan sendiri.

Aku hanya saling melempar pandang dengan Reksa, bingung dengan tingkah yang tidak bisa ditebak dari seorang Sania Ratu Dewanta.

"Haduh, kok masih pada renggang gini sih!" Sania menggeser tubuhku sampai menempel dengan tubuh Reksa. "Nah, gini baru pas," ucapnya sambil menyatukan masing-masing jari jempol dan telunjung membentuk huruf L, lalu di sambungkan dengan tangan satunya hingga membentuk persegi panjang, matanya di kedipkan satu seperti sedang membidik.

"So sorry Senja, tadi cuman refleks aja. Selepas ini gosok aja muka dia pakai kembang tujuh rupa," cetusnya sambil menunjuk pipi Reksa yang tadi di kecupnya dengan gerakan bibir mengejek. 

Reksa berdecak pelan, menurunkan perlahan jari telunjuk Sania yang sudah berpindah terarah ke matanya.

Sania terkekeh, dia kembali sibuk dengan ponselnya. Tak berselang lama lagi seseorang pria datang dengan motor vespa matic, dia memakai helm fullface, hanya sepasang mata yang tajam seperti elang yang dapat aku lihat.

"Jangan bilang-bilang Mama lo ya," desisnya ke arah Reksa dengan gerakan dua jari membentuk huruf V, di arahkan bergantian dari matanya sendiri ke mata Reksa.

"Nggak peduli," balas Reksa dengan nada malas.

"See you later my honey," pamit Sania. Sebelum benar-benar beranjak pergi, dia menyempatkan menginjak kencang kaki Reksa yang terbalut sepatu converse menggunakan ujung high heels-Nya yang runcing.

"Setan!" umpat Reksa diiringi bibir mendesis.

Sania hanya terkekeh ketika sudah naik di atas jok motor itu. Tangannya melambai ke arahku yang aku balas lambaian pelan.

"Akhirnya," desah Reksa sambil mengangkat satu tangan ke udara. Lalu mulai merangkulku dan membawaku pergi dari mall yang hari ini terasa seperti di panggang di atas bara api.

***

"Sa-

"Yang," sela Reksa sambil terkikik geli ketika melihat raut wajahku yang langsung terpasang mode jengah.

"Kenapa, ada yang bisa saya bantu Mbak Lembayung?" tanyanya dengan nada seperti petugas bank.

Kami sekarang berada di Pantai Kenjeran. Waktu di perjalanan Reksa hanya diam, seakan mempunyai beban pikiran yang jarang di ungkapkannya kepadaku. 

Sembari menanti semburat orange di langit yang hari ini terlihat cerah, kami berjalan meniti jembatan. Berhenti di tengah jalan menghadap langit yang mulai tampat samar semburat-semburat warna kuning keemesan. Tanganku bertumpu pada pembatas jembatan, Reksa pun melakukan demikian dengan mata terpejam sambil bibir menyunggingkan senyum tipis.

"Kamu ... nggak apa-apa?" tanyaku pelan masih melihat wajahnya dari samping.

Reksa menengok ke arahku, netra kami bertemu lalu saling beradu menjadi satu. Tangannya merangkulku dan membawaku semakin merapat ke arahnya. Aku bisa merasakan lengannya yang terasa keras, tapi selalu bikin candu.

"Emang aku kenapa?" tanyanya balik dengan mata mengerling jahil.

Aku memutuskan kontak mata lebih dulu, kini menatap senja yang sudah terbentang indah di cakrawala.

"Nggak tahu, aku nggak pernah tahu kamu kenapa," ucapku samar dengan senyuman getir.

"Apa yang mau kamu tahu dari aku?" tanya Reksa kembali, kepalanya meneleng ke arahku.

"Banyak." 

Terdengar kekehan dari mulutnya, Reksa menumpukkan kepalanya di atas kepalaku, tangannya kini berpindah mendekap kepalaku dan mengusapnya lembut.

"Bukanya aku nggak mau ngasih tahu, tapi aku terlau malas menjelaskan lewat kata-kata." 

Aku mendengkus, malas katanya. Hei, terus selama ini kata-kata yang selalu dia selipkan dalam setiap origaminya itu namanya apa.

"Aku nggak pernah nyembunyiin sesuatu, kamu percaya kan?" tanyanya lagi dengan wajah menunduk ketika aku mendongak.

Aku menggangguk, Reksa menempelkan dahi kami. Dia kembali berucap, "Nggak usah dengerin kata mereka, aku nggak pernah anggap mereka ada." 

Dulu waktu awal kami bertemu, aku menemuinya sedang meringkuk di pinggir jalan, duduk di bawah lampu jalan yang minim pencahayaan. Dia menangis sendirian di tengah sunyinya malam. Entah sadar atau tidak karena setelah itu tertawa keras yang malah terdengar miris. Ketika aku masih berdiri di hadapannya, dengan terbata dia berucap, "Ma-maku pergi, dia me-milih pergi, kena-pa dia pergi ya? Ka-mu tahu nggak kenapa dia memilih per-gi? 

Karena aku masih mempunyai sisi empati walaupun hanya sedikit, kuulurkan sapu tangan ke arahnya. Bukannya menerimanya, dia malah menarik lenganku dengan gerakan cepat, merengkuhku tubuhku, dan membawaku ke dalam pelukannya. Aku yang masih syok hanya seperti benda mati. Saat dia semakin menenggelamkan kepalanya di ceruk leherku, kesadaranku terenggut kembali. Segera ku dorong sekaligus memakinya yang malah di balas dengan cengiran lebar seperti orang tidak waras.

Tanpa sadar aku terkekeh ketika mengingat pertemuan absurd itu.

"Kesambet kamu?" tanya Reksa sambil menumpukkan telapak tangannya di atas kepalaku. Mulutnya mengucapkan sederet mantra pengusir makhluk halus yang malah lebih mirip seperti orang tengah berkumur. Kelakuannya itu membuatku semakin melepaskan tawa.

"Heh!" Reksa sekarang menguncang cepat tubuhku yang membuat kepalaku mulai pening. "Keluar kamu, hush keluar, jangan ganggu calon masa depanku."

Calon masa depan katanya.

Merasakan kepalaku semakin pusing dan perut sudah memberontak bergejolak mual, kakiku segera saja melayanugkan  tendangan ke tulang keringnya. Reksa mengerang, dia melepaskan tubuhku dan segera mengusap kaki kirinya sendiri.

"KDRT mulu, kenapa sih hidupku harus di kelilingi orang-orang kasar," dumelnya kini menarik kedua pipiku kencang. Aku memukul masing-masing lengannya.

Reksa memelukku, aku dapat menghirup aroma tubuhnya yang menguarkan aroma aquatic yang selalu menenangkan.

Ditengah pelukan kami yang mirip sepasang kekasih tengah berbahagia.  Ditemani matahari yang perlahan tenggelam meninggalkan pelabuhan, semesta ternyata masih saja tidak suka melihatku bersenang-senang hanya dalam sekejap mata.

Seseorang yang amat aku kenali berlari ke arah kami dengan alas kaki sudah berganti menjadi sandal jepit. Sania memisahkan pelukan kami yang belum sepenuhnya bisa membayar besarnya rindu.

"Sa, ayo pulang! Papa kamu ada di rumahku!" teriak Sania dengan muka khawatir bercampur rasa bersalah.

Reksa berdecak dengan tangan menggandengku, dia mengikuti langkah Sania yang sudah berjalan di depan dengan langkah lebar.

"Aku antar Lembayung dulu."

"Seriously?" tanya Sania diselingi tawa mengejek ketika sudah berhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah kami. "Nggak usah nyari perkara lagi. Buruan, sebelum aku lempar kamu ke laut," tekannya kembali berjalan duluan meninggalkan kami.

Reksa mengusap wajahnya kasar, dia memalingkan wajah sekadar untuk mengumpat pelan. Aku mengeratkan genggamannya.

Reksa merogoh kantong kemeja kota-kotaknya. Dia mengeluarkan sebuah origami perahu kertas dari kertas koran. Meletakkannya di atas telapak tanganku yang masih bertaut dengannya.

"Mau sejauh apapun aku pergi nanti, dermagaku cuman kamu seorang," ucapnya dengan senyuman mengembang. 

Di belakangnya, aku bisa melihat matahari yang mulai temaram. Meninggalakan siluet hitam pada tubuh Reksa dan kapal-kapal yang bersandar di bibir pantai.

"Panji Reksa!" teriak Sania yang kembali lagi dengan wajah dua kali lebih garang.

Aku mendorongnya pelan. Reksa terkekeh, tangannya mengacak rambutku pelan. Segera berlalu pergi dengan berjalan mundur masih memasang senyum manisnya. Aku hanya melambaikan tangan, yang dibalasnya dengan memberikan ciuman jarak jauh. Belum sempat aku menjawabnya, Sania sudah lebih dulu menarik lengan Reksa dengan tidak sabaran. Sedangkan Reksa melawan dengan cara meminting leher Sania, mereka malah saling serang membuatku tanpa sadar malah terkekeh hambar.

Siluet mereka sudah hilang, aku menghadap ke langit yang cahanya semakin remang. Tak lama ponselku bergetar, ada panggilan dari Mas Dhika.

"Kenapa Mas?"

["Di mana?"]

"Di mana-mana hatiku senang." sahutku kesal mengingat tragedi kemarin.

["Share lock."]

Lalu sambungan di putus sepihak, membuatku langsung berdecak.

Share lock katanya, jangan harap.

***

Yang mulai panas, yuk berendam dulu.

Terima kasih ya masih setia sampai sini. Masih sanggup lanjut kan? Harus dong, kan anak kuat wkwk

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status