Masuk“Menarik dari mananya sih, Van. Aelah.”Leena mendengus pelan. Ia yakin Evan hanya beralasan. Tujuan Evan sendiri sering terasa abu-abu terutama sejak ia beberapa kali memergoki Leena yang sedang berbincang dengan Zayn.Evan menoleh setengah badan ke arah Leena. Namun, manik matanya justru mengarah ke Zayn. Nada bicaranya terdengar ringan, tapi jelas menyimpan sindiran.“Ya… menarik aja. Salah takaran doang, tapi dibikin kayak masalah prinsip.”Nada bicara Evan masih menyiratkan gurauan bernuansa sarkas. Meski Zayn tetaplah dosen bagi Evan, peran itu baginya hanya berlaku di lingkungan kampus. Di luar dari itu, Evan menganggap Zayn hanya layaknya pribadi biasa, tanpa jarak berlebihan.Sorot mata Zayn semakin mengeras. Ia menoleh penuh ke arah Evan. Jelas menahan diri, mengamuk di tempat umum sama sekali bukan style-nya. ‘Anak ini nggak ngerti apa-apa, asal bicara,’ gerutu Zayn dalam hati, sebelum akhirnya ia angkat suara. “Yang nggak terlibat, sebaiknya nggak komentar.” Suara Zayn
“Yaelah, kenapa sih!” Leena berdecik kesal, tangannya meraih tali apron di bagian lehernya yang terasa mencekik. Sudah ia tarik pelan, lalu agak keras, tapi tali itu tetap tak mau lepas. Hembusan nafas panjang lolos dari bibir Leena. Bahunya sedikit terangkat, lalu turun lagi. Keningnya berkerut lebih dalam, jarinya masih meraba bagian belakang leher sambil merunduk. Rambutnya yang terikat setengah mulai nampak berantakan, beberapa helai sampai jatuh ke pelipis, menambah kesan semrawut di wajahnya yang sudah nampak jengkel. “Udah pegel, nggak lepas-lepas pula,” gerutunya lirih, mengomel pada diri sendiri. Lagi-lagi Leena mencoba menarik tali apron itu. “Serius deh—” Belum sempat kalimatnya rampung, tiba-tiba, suara dehem pelan tapi tegas memecah keheningan. Leena refleks menoleh. Ia tersentak, manik matanya langsung melebar, tubuhnya seketika kaku. Senyum hambar muncul di bibirnya, lebih persis seperti usaha untuk menutup rasa gugup. “He… he… Pak…” Barulah Leena sadar sep
“Hah? Aku nanya langsung… ke dia?” Raut Leena langsung pucat. Pupilnya langsung membesar, nafasnya ikut tercekat setengah. Melihat itu, Anggi justru terkekeh pelan. “Lo panik banget sih, Na. Santai aja, palingan juga dia cuma ngegertak.” Leena menelan ludah cepat. tenggorokannya terasa kering. “Lagian kalo beneran denger, ya udah,” lanjut Anggi santai. Nada suaranya seakan sengaja dibuat meledek. “Tinggal pura-pura kagum aja sama dia, siapa tau kalau sama lo luluh” Bahu Leena langsung melorot. “Kak Anggi! Jangan bercanda gitu, aku udah deg-degan duluan, nih.” “Yaelah, gitu doang. Gampang banget salting sih, Na.” Anggi mendecak dengan memberi tatapan jahil. Leena mendengus pelan, tangannya refleks menyenggol bahu Anggi, bibirnya mengerucut kuat. “Nyebelin, sumpah. Aku beneran takut tau, Kak.” Melihat Leena yang beneran panik, Anggi terus saja terkekeh, mata jahilnya menangkap wajah Leena yang semakin memerah. Namun, tawanya seketika mereda. “Na?” Anggi menyentil ringa
‘Duh, gue tanya dari mana dulu, ya. Jangan sampe ni mulut asal nyeplos,’ batin Leena sambil menahan diri.Leena paham betul. Kalau ia salah arah dikit saja, bisa-bisa Anggi akan salah paham dan menganggap dirinya sebagai orang yang kepo.“Na, malah bengong ni anak,” ujar Anggi sambil menyenggol pelan tangan Leena, membuat gadis itu seketika tersadar.Mata Leena memicing tipis, seakan sedang menyusun kata yang paling aman.“Eh, Kak Anggi… Pak Zayn itu,” ucapnya pelan, ragu sepersekian detik. “Dia... sebenernya punya hubungan apa sama Om Saga?”Anggi baru akan menjawab, tapi Leena buru-buru menimpali. Kali ini ia lebih mendekat sedikit, rautnya dibuat-buat seperti orang yang sekedar penasaran dengan gosip receh. “Soalnya, Kak… kalau diliat-liat, beliau kayaknya sering kesini. Om Saga juga pernah bilang kalo dia pelanggan tetap resto. Tapi masa ia, pelanggan tetap mesennya kopi mulu.” Leena mendecak kecil, nada julidnya muncul tanpa sadar. Raut anggi berubah ragu. Ia menghela nafas pel
“Pak… saya…” ucap Leena lirih, bibirnya sedikit bergetar. Kata-kata yang ingin Leena keluarkan sebenarnya cukup sederhana, sekadar ucapan terimakasih. Namun rasanya berat, seakan tertahan di kerongkongan. Walau sebelumnya Leena lebih sering merasa kesal, bahkan menyalahkan Zayn pada akhirnya. Tapi untuk kali ini, ia merasa lain. Ada sesuatu yang membuatnya ingin mengakui rasa terima kasihnya pada pria itu. Namun, Zayn sudah mulai melangkah pergi dengan langkah mantap. Sepatunya beradu dengan lantai dengan ritme tegas, seakan tak berniat untuk berhenti. Tapi Leena memberanikan diri untuk menahan langkah dosennya itu. “Pak Zayn… yang tadi…” Kalimatnya masih saja menggantung ragu, sebelum akhirnya cepat-cepat menunduk. “Terima kasih, Pak” ucap Leena akhirnya dengan malu-malu. Wajah dan telinganya memanas. Benar saja, Zayn menghentikan langkahnya tapi bukan berbalik, hanya merespon dengan suara dingin dan singkat. Hembusan nafas pendek terdengar sebelum bicara, “Buat apa?” “K
“Lo nggak berhak beralasan! Lo itu cuma mau cari aman, kan?”Kalimat itu menghantam Leena seperti pukulan yang telak, langsung menusuk ke dadanya. Belum sempat Leena bernafas, suara lain menyambar lebih tajam. “Otak doang pinter, tapi akhlaknya picik!”Nafas Leena tersengggal, semakin cepat. Setiap detik terasa menekan, seakan seisi kelas menantikan satu kata yang bisa menentukan arah suasana.Cairan bening mulai berkumpul di ujung pelupuk Leena. Bibirnya membuka lalu mengatup lagi berulang kali. Lidahnya kelu, tak ada kata yang bisa terucap. Dalam hatinya, Leena menjerit, ‘Gue harus gimana? Depan jurang, belakang juga jurang… semua arah sama aja buat gue.’Tak! Tak! Tak!Spidol Zayn menghantam keras permukaan meja. Memotong riuh yang semakin menjadi. “Kalian nggak punya adab? Apa pantas ngomong kaya gitu di depan saya?” Nada bicara Zayn berat, dingin, tapi jelas penuh tekanan. Seisi ruangan langsung membeku, tak ada yang berani bersuara.Setelah itu, Zayn menegaskan, “Leena punya







