Malam itu, Naina menghadiri pesta ulang tahun teman kuliahnya. Sebenarnya ia malas datang, karena ia sendiri dalam kondisi badmood, habis bertengkar dengan kakak angkatnya.
Brillian, kakak angkatnya menyatakan cintanya secara tiba-tiba. Ia langsung menolaknya. Menganggap Brillian sudah gila, karena ingin menjalin hubungan dengannya.
"Sial! Dia benar-benar sudah gila. Apa yang sudah terpikir di otaknya. Bisa-bisanya dia menyatakan cintanya padaku. Apa di dunia ini tidak ada perempuan lain. Yang benar saja!" Naina mengambil minuman di atas meja. Ia tidak peduli minuman itu milik siapa. Dalam keadaan kesal, ia langsung menenggaknya hingga tandas.
Pikirannya kacau dan tidak tenang. Ia memutuskan untuk pulang. Karena percuma saja, berkumpul dengan teman-temannya, namun hatinya tidak tenang.
"Kamu mau ke mana, Na?" tanya teman-temannya yang masih bercanda ria di pesta.
"Aku mau pulang," jawab Naina singkat.
"Loh! Kok buru-buru. Apa perlu kuantar?" Doni, teman kampusnya menawarkan diri untuk mengantarkannya.
"Tidak perlu! Terimakasih."
Naina langsung melenggang pergi pulang ke rumahnya, dengan menggunakan jasa taksi online.
Tidak lama ia tiba dirumahnya. Ia merasakan panas yang menyerang tubuhnya. Padahal malam itu, udara cukup dingin.
"Hey! Ada apa denganku. Kok, jadi pusing gini. Kenapa tubuhku jadi panas gini, ya?" Naina mengusap dahinya yang dipenuhi oleh keringat. Ia sampai melepaskan pakaiannya di ruang tamu.
Kepalanya pening, ia memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di sofa.
"Kenapa kepalaku pusing banget sih. Perasaan tadi baik-baik saja. Apa aku tadi salah makan? Bahkan tadi aku tidak makan apapun di pesta. Aku hanya minum air mineral saja. Apa mungkin, minum air saja membuatku pusing. Aneh."
Naina bergumam sendiri dengan memijit pelipisnya. Ia memutuskan untuk istirahat di sofa. Karena jika ia berjalan ke kamarnya sendiri, takut terjatuh.
***
Di tempat lain, tepatnya di bar. Brillian frustasi karena cintanya ditolak oleh Naina. Ia melampiaskan emosinya dengan meminum Vodka. Tidak mungkin ia melampiaskan kekesalannya itu pada Naina.
Sedari kecil ia sudah jatuh cinta pada Naina. Namun ia memendam perasaannya sendirian. Naina adalah anak panti asuhan yang diadopsi oleh orang tuanya. Merasa dia bukan adik kandungnya sendiri, ia tidak mempermasalahkan jika ia menjalin hubungannya. Namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Naina menolaknya mentah-mentah.
"Sial! Cewek sombong itu benar-benar sial! Bisa-bisanya dia menolakku. Apa sih, kurangnya aku ini. Bahkan apapun yang dia minta, aku selalu menurutinya."
Ia memijit kepalanya yang berdenyut nyeri. Dua botol Vodka telah tandas ditenggaknya. Cukup lama menghabiskan waktunya di bar, ia langsung beranjak dan membayarnya pada bartender. Ia memutuskan untuk pulang dan istirahat di rumah.
Setibanya di rumah, ia melihat Naina yang tengah duduk di sofa. Melihat Naina yang hanya menggunakan tank top, ia meneguk ludahnya.
'Naina ...? Apa yang dia lakukan. Kenapa dia belum tidur.' Dengan sedikit kesadarannya, ia bergegas menghampiri Naina di sofa. Walaupun ia sudah sakit hati atas penolakan Naina, tapi ia juga tidak menaruh kebencian padanya.
"Na ...! Ngapain tidur di sofa. Pindah ke kamarmu, sana!"
Mendengar suara Brillian, ia langsung membuka matanya. Ditatapnya wajah Brillian yang tampan, membuatnya terpesona.
Ia pun menarik tangan Brillian, hingga membuatnya terjatuh mengungkungnya di sofa.
Detak jantung Brillian seakan mau lepas. Melihat tubuh Naina yang terekspos putih, membuat jiwa laki-lakinya tidak terkendalikan. Apalagi ia sangat terobsesi pada gadis itu.
"Kak Lian ...! Peluk aku. Naina mengeratkan pelukannya di pinggang Brillian. Ia nampak buas. Menginginkan lebih dari sekedar pelukan.
Brillian tercengang, Naina terlihat nampak Liar. Walaupun ia dalam setengah sadar, ia bisa merasakan, Naina butuh belaian kasihsayang.
"Apa kau menginginkan lebih dari sekedar pelukan, sayang? tanya Brillian berbisik ditelinganya.
Naina mengangguk. Tidak berucap, namun Brillian mengerti. Naina telah menginginkannya.
Brillian tersenyum. Ia mengusap pipinya dengan berbisik lirih. "Baiklah. Malam ini ... Aku akan memuaskanmu!"
Kesempatan emas yang dinanti-nanti, akhirnya datang. Walaupun keadaannya tidak sadar, tapi ia bisa merasakan kebahagiaan bersama gadis yang sangat dicintainya.
Brillian langsung membopongnya menuju kamar dengan berjalan sempoyongan. Setibanya di dalam kamar, ia merebahkannya di ranjang. Meninggalkan semua pakaiannya yang dikenakannya, dan langsung menindihnya.
"Malam ini ... Aku akan membawamu menikmati surga dunia, sayang."
***
Suasana menjelang pagi, udara semakin dingin. Naina mulai terbangun dari tidurnya. Ia merasakan kepalanya sangat pening, tubuhnya terasa berat dan kaku.
Ia masih belum sadar dengan apa yang sudah terjadi padanya.
Perlahan ia menyibakkan selimutnya, dan begitu terkejutnya ia ketika mendapati tubuhnya polos tanpa memakai pakaian.
Seketika itu, ia menjerit sekeras-kerasnya. "Argh ...! Tidak. Apa yang sudah terjadi padaku."
Naina benar-benar syok melihat keadaannya yang sudah acak-acakan. Terlihat jelas bercak darah segar yang menempel di spreinya.
Menoleh ke sampingnya, ia mendapati kakak angkatnya yang tertidur pulas dalam keadaan sama-sama polos tanpa memakai sehelai benang pun.
Ia langsung mengumpati kakaknya dengan kasar. "Brillian berengsek! Apa yang sudah dia lakukan padaku!" Dadanya bergemuruh panas. Sangat menyesal, Brillian tega mengambil kesuciannya.
Hampir tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi padanya. Ia menatap darah segar, yang pastinya, ia tidak tengah datang bulan. Mendapati Brillian yang sama-sama polos, membuatnya yakin, Brillian sudah menodainya.
'Tidak ... Ini tidak mungkin.' Naina menjambak rambutnya frustasi. Tubuhnya gemetar, masih syok melihat keadaannya saat itu.
Ia bahkan tidak bisa mengingat apapun, tentang kejadian yang sudah dialaminya.
Sekelebat, ia mengingat, malam itu datang ke pesta ulang tahun teman kuliahnya. Tapi setelah itu ia memutuskan untuk pulang. Setibanya di rumah, ia tidak bisa mengingat apapun.
"Apa dia balas dendam padaku, karena aku sudah menolak cintanya? Tapi kan memang tidak salah, jika aku menolaknya. Walaupun kita terlahir bukan sebagai saudara kandung, tapi kan, aku sudah diadopsi oleh keluarganya. Bagaimana mungkin aku menjalin hubungan dengannya. Apakah aku pantas, menjalin hubungan dengan orang yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri."
Naina sangat sedih menyesali sikap Brilian yang sudah melakukan perbuatan tidak senonoh padanya. Ia memang sengaja menolak cinta Brilian, karena tidak ingin menyakiti orang tua angkatnya yang sudah mengasuhnya dan memberikan kasihsayangnya sejak masih kecil. Bahkan ia belum pernah mendapatkan kasihsayang, atau bertemu dengan orang tua kandungnya sendiri.
Tatapannya beralih kembali pada Brilian yang masih pulas tertidur. Ia benar-benar tidak menyangka, kalau Brillian tega menghancurkan masa depannya.
"Kau sudah menghancurkan masa depanku, berengsek! Kau bukan manusia. Kau itu jelmaan binatang! Beginikah caramu membalas dendam padaku! Hanya karena aku menolakmu ... Kau tega menghancurkan hidupku. Aku benar-benar membencimu!"
Naina beranjak memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Dengan tubuhnya gemetar menahan ngilu di area sensitifnya, ia bergegas menuju kamar mandi.
Ia benar-benar dibuat sakit hati oleh sikap kakak angkatnya. Sejauh ini, ia mengenali Brillian sangat baik. Tapi ternyata, dibalik kebaikannya, tersimpan keburukan.
"Bagaimana kalau sampai Mama sama Papa tahu. Aku bisa mati dihajarnya." Naina menggelengkan kepalanya dengan menangis. "Tidak ... Mereka tidak boleh tahu."
Ia harus menyimpan rasa sakitnya sendirian. Tidak ingin kejadian itu didengar oleh orang tuanya. Ia tidak ingin mencemarkan aib dikeluarganya.
"Sekarang ... Apa yang harus aku lakukan. Hidupku sudah hancur! Tidak mungkin juga aku menikah dengannya. Aku yakin, Mama sama Papa tidak akan merestuinya. Lalu jalan apa yang harus kuambil?"
Naina mencakari tubuhnya jijik. Terlihat jelas di kaca toilet, banyak cupang yang bertebaran di tubuhnya. Begitu liarnya Brillian malam itu."Argh! Kenapa aku tidak bisa mengingatnya. Setidaknya aku bisa mengingat apa yang sudah kulakukan dengannya."Naina menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya hingga menggigil.Ia tidak peduli kalaupun sakit menahan dingin. Memiliki riwayat penyakit sesak nafas, ia tidak kuat menahan dingin. Bahkan ia lebih memilih untuk mati, daripada menanggung aib dikeluarganya."Kenapa ...? Kenapa aku dilahirkan, kalau kehadiranku tidak diinginkan. Kenapa dunia ini kejam padaku! Bahkan aku tidak diinginkan oleh orang tuaku sendiri. Miris bukan!" Naina terduduk di bawah shower dengan menangis. Ia menjambaki rambutnya hingga rontok.***Di kamarnya Brilian menggeliat bangun dari tidurnya. Perlahan, ia merenggangkan otot-ototnya yang kaku dengan membuka matanya.Ditatapnya sekeliling kamar yang berbeda dengan kamarnya. Ia beranjak bangun, namun kepalanya langsung
Pagi itu, Naina berkumpul bersama keluarganya menikmati sarapan bersama. Walaupun hatinya hancur, ia tetap bersikap baik-baik saja di depan keluarganya. Termasuk di depan kedua orang tua angkatnya.Untuk menutupi masalahnya, ia terpaksa berpura-pura baik, seakan-akan tidak ada masalah, agar kedua orang tua angkatnya tidak curiga dengan apa yang sudah terjadi padanya."Na! Kenapa nasinya cuma diaduk-aduk doang? Kamu lagi nggak enak badan, ya?" tanya Heni, Mama angkatnya.Naina menggeleng dan meletakkan sendok yang ada ditangannya. Lidahnya kelu, sangat sulit untuk bisa menerima makanan. Bahkan untuk meminum seteguk air saja, rasanya susah."Enggak kok, ma. Aku nggak papa. Aku baik-baik saja," jawab Naina dengan tersenyum.Tidak ingin orang tuanya mengetahui masalahnya. Ia sangat yakin, jika mereka sampai mengetahuinya, pasti sangat syok."Bohong! Nggak mungkin, kalau nggak ada apa-apa, kamu diem aja kayak gini. Kalau kamu memiliki masalah, kamu cerita saja, sama Mama. Jangan suka memen
Empat tahun sudah berlalu. Semenjak kepergian Naina, menjadi pukulan terberat untuk keluarga Hartanto. Terutama Heni, selalu saja menangis, mengingat Naina yang pergi tanpa berpamitan langsung dengannya."Pa! Ke mana kita harus mencarinya. Sampai sekarang ... Bahkan Mama tidak bisa tenang, Pa. Mama sangat merindukan Naina."Hari itu di rumahnya tengah mengadakan pesta. Brilian telah dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis orang tuanya. Karena terlibat kerjasama yang cukup baik, Hartanto menjodohkan Brillian dengan anak gadis rekan kerjanya."Kita sudah berupaya semaksimal mungkin, Ma. Tapi kita tidak menemukan jejak Naina. Entah di mana keberadaan gadis itu. Di saat kakaknya hendak menikah, dia bahkan tidak ada di sini. Papa juga sangat berharap dia pulang, Ma."Kedua paruh baya itu tidak bisa merasakan kebahagiaan, walaupun di rumahnya tengah mengadakan pesta. Sebelum pesta itu dilaksanakan, mereka juga sempat berdebat dengan Brilian, karena Brilian menolak untuk dijodohkan.Brilian
Mendapatkan banyak perhatian dari tamu undangan, membuat Hartanto agak risih. Tidak ingin semua orang mempertanyakan tentang Naina. Ia pun meminta Naina, untuk masuk ke dalam rumah."Naina ... Lebih baik kamu istirahat di dalam, ya? Mama sama Papa akan menemui tamu-tamu dulu. Kasihan juga anakmu kecapean," tutur Hartanto pekan.Naina mengangguk, ia juga sudah lelah terlalu lama di perjalanan. "Baik, pa. Kalau begitu aku tunggu di dalam."Naina bergegas masuk ke dalam rumah. Ia langsung menuju kamarnya. Ia berharap, tidak bertemu dengan Brillian. Ia juga berencana untuk cepat pergi dari rumah orang tuanya. Setelah melepas kerinduan pada orang tuanya."Maafkan mommy ya, nak. Mommy sudah membawamu ke sini. Sebenarnya mommy tidak ingin kamu bertemu dengan Ayah kandungmu. Tapi mommy juga tidak ingin menjadi kacang lupa kulitnya. Mommy dibesarkan di rumah ini. Mommy diberikan banyak kasihsayang oleh mereka.''Tapi mommy janji. Setelah ini ... Kita pergi dari sini. Dan kita cari kehidupan ki
Malam mulai larut. Semua orang telah meninggalkan kediaman Hartanto. Brillian juga memasuki rumahnya setelah mengantarkan Tarisa yang kini menjadi tunangannya.Ia frustasi dengan keadaan. Ia stress, berharap bisa bertemu dengan Naina kembali dan memutuskan untuk pergi dari rumah, menikahi Naina dan hidup bersamanya."Kalau bukan karena Papa, aku ogah bertunangan dengan Tarisa. Perempuan macam itu dibilang baik. Baik apanya," dengan menggerutu ia berjalan menuju kamarnya, namun setibanya di depan kamar Naina, ia terhenti saat mendengar suara tangis anak kecil.Dia mendekatkan telinganya di kenop pintu. Terdengar sangat jelas suara anak kecil perempuan sedang menangis."Siapa yang menangis di sini. Bukankah semua orang sudah meninggalkan rumah ini. Tapi siapa yang ada di dalam sana. Kok ada suaranya anak kecil menangis di sini."Bulu kuduknya mulai merinding. Bahkan ia tidak pernah takut pada siapapun, termasuk hantu sekalipun. Ia selalu menyibukkan diri dan pulang larut malam tidak pern
"Tidak sayang, om hanya capek, jadinya marah sama kita. Kamu nggak usah takut ya?"Semalaman Syakilla tidak tidur sama sekali. Ia benar-benar takut Brillian akan mencelakainya.Pagi-pagi sekali Hani sudah menyiapkan sarapan keluarganya ia ingin makan bersama dengan Naina dan juga cucunya. Ini hari pertama mereka terkumpul Setelah sekian lama tidak pernah makan bersama dengan Naina."Naina, ayo keluar nak. Kita sarapan bersama," celetuk Heni mengetuk pintu kamar Naina."Ma ... Aku masih belum lapar. Mama tinggal aja dulu, nanti kalau aku lapar aku akan keluar," jawab Naina dari dalam."Loh! Kok gitu nggak lapar bagaimana? Memangnya kamu sudah makan? Nggak ada alasan! Ayo kita makan bersama."Heni keukeh meminta Naina untuk keluar dari dalam kamarnya cepat ataupun lambat Brilian juga akan segera mengetahui datangnya. Mereka belum tahu kalau Brilian dan Naina sudah bertemu malam itu."Oke baiklah. Tunggu saja aku di ruang makan."Naina beranjak dari sofa dan mengajak anaknya untuk keluar
Mendapati Naina keluar dari rumah, Brillian buru-buru mengemudikan mobilnya keluar dari garasi. Ia sengaja berlama-lama menunggunya di dalam mobil di garasi rumahnya.Ia tidak mau membuat kegaduhan dengan Naina. Ia ingin tahu banyak apa saja alasan Naina pergi dari rumah dan mengatakan bahwa anak yang bersamanya itu bukanlah anak hasil percintaannya empat tahun yang lalu.Tin tin ... Suara klakson mobil membuat Naina terkejut. Ia sampai mengumpat, karena anak yang bersamanya takut akan kegaduhan."Sialan! Siapa sih, yang membunyikan klakson seperti ini. Perasaan aku sudah ada di pinggiran jalan, apa masih kurang minggir lagi. Dasar orang tidak tahu diri."Ia menoleh ke belakang dan mendapati mobil BMW X5 berjalan pelan. Ia tidak tahu siapa pemilik mobil itu, karena kacanya terlalu tebal dan tidak bisa tembus pandang.Tiba-tiba saja mobil itu berhenti di sebelahnya, kacanya terbuka dan terlihatlah seorang pemuda dengan memakai kacamata hitam berpakaian formal yang tak lain adalah Brili
"Brillian." Dengan cepat Brillian menjawabnya.Dari situ Brillian kembali curiga kalau anak yang dimiliki oleh Naina itu adalah darah dagingnya sendiri. Naina tidak bisa memberinya keterangan pada petugas rumah sakit.Naina sendiri tampak kebingungan saat ditanya tentang orang tua dari anaknya. Ingin sekali Brillian memaki-makinya karena sudah berbohong padanya.Setelah selesai mendaftar Brillian mengajak ke lantai tiga tempat para dokter spesialis berkumpul. Mereka mengantri di depan ruang dokter. Sama-sama diam, bergeming dengan pemikirannya masing-masing."Mom, pulang," rengek Syakilla yang merasa kedinginan di ruang AC."Sayang, tunggu sebentar ya? Killa diperiksa dulu, biar cepat sembuh," tutur Naina lembut."Tapi dingin," rengek Syakilla.Naina sudah memakaikan selimut tebal, tapi tetap saja Syakilla masih juga kedinginan. Sedangkan badannya tengah demam tinggi.Brillian langsung melepas jas kerjanya dan menyelimutinya. Walaupun hatinya marah, tapi melihat Syakhilla ia tidak te