Share

7 Perubahan Sikap Brillian

"Tidak sayang, om hanya capek, jadinya marah sama kita. Kamu nggak usah takut ya?"

Semalaman Syakilla tidak tidur sama sekali. Ia benar-benar takut Brillian akan mencelakainya.

Pagi-pagi sekali Hani sudah menyiapkan sarapan keluarganya ia ingin makan bersama dengan Naina dan juga cucunya. Ini hari pertama mereka terkumpul Setelah sekian lama tidak pernah makan bersama dengan Naina.

"Naina, ayo keluar nak. Kita sarapan bersama," celetuk Heni mengetuk pintu kamar Naina.

"Ma ... Aku masih belum lapar. Mama tinggal aja dulu, nanti kalau aku lapar aku akan keluar," jawab Naina dari dalam.

"Loh! Kok gitu nggak lapar bagaimana? Memangnya kamu sudah makan? Nggak ada alasan! Ayo kita makan bersama."

Heni keukeh meminta Naina untuk keluar dari dalam kamarnya cepat ataupun lambat Brilian juga akan segera mengetahui datangnya. Mereka belum tahu kalau Brilian dan Naina sudah bertemu malam itu.

"Oke baiklah. Tunggu saja aku di ruang makan."

Naina beranjak dari sofa dan mengajak anaknya untuk keluar dari kamar. Sebenarnya ia malas sekali untuk keluar, tapi ia tidak ingin ribut pagi-pagi dan membuat anaknya bertambah takut, lebih baik ia memutuskan untuk keluar.

Setibanya di ruang makan, ia mendapati Papa, Mama dan juga Brilian sudah duduk di kursinya masing-masing. Naina merasa canggung duduk bersama dengan mereka. Dulu ia tidak mempermasalahkan tinggal bersama dengan orang tua angkatnya, tapi kali ini ia merasa asing tinggal dengan mereka.

"Na! Ayo sini duduk dekat Mama."

Heni memintanya untuk duduk didekatnya, karena ia merindukan momen-momen bahagia bersama dengan putri dan juga cucunya.

"Loh, ini kenapa Killa kok pakai selimut?" tanya Heni menatap cucunya yang terbalut oleh selimut kecil, digendong oleh Naina.

"Syakilla demam ma, semalaman dia nggak bisa tidur, nangis terus," jawab Naina.

"Oh! Ya ... Lalu kenapa Mama tidak bisa mendengarnya. Dan kenapa juga kamu tidak membangunkan kami," tegur Heni terkejut mendapati cucunya yang dalam keadaan sakit.

Heni meletakkan tangannya di kening Syakilla. Anak kecil itu benar-benar mengalami demam tinggi.

Naina duduk tempat di sebelah Mamanya. Ia menghiraukan laki-laki didepannya yang menatapnya intens.

"Maafkan aku karena tidak memberitahu Mama. Aku nggak enak sendiri untuk bangunin kalian. Kalian pastinya juga tengah kecapean. Dan aku sudah terbiasa hidup berdua saja dengan Syakilla. Aku selalu merawat Syakilla sendirian di saat dia sakit," jawab Naina.

Heni merasa sedih karena tidak bisa mengetahui kehadiran Syakilla di dunia. Bahkan di saat Syakilla sakit, ia tidak pernah ada di sampingnya.

"Ya ampun sayang, maafin Oma, ya nak. Oma sudah membuat kalian terlantar." Heni menangis dan mengecup pucuk kepala cucunya.

Hartanto menatap Brillian yang nampak tenang. Padahal Brillian selama ini selalu sibuk mencari keberadaan Naina. Tapi saat Naina pulang, ia bahkan bersikap jutek padanya. Tidak mau bertegur sapa, aneh bukan?

"Emm, Na! Nanti bawa anaknya ke dokter anak. Biar dia diperiksa sama Dokter dan diberi obat agar segera turun demamnya," tutur Hartanto.

"Kalau begitu Papa yang harus mengantarkannya," sahut Heni. Ia tidak tega membiarkan Naina pergi sendiri ke rumah sakit.

"Tapi kalau pagi ini Papa sangat sibuk, Ma. Bukannya Papa tidak mau mengantarkannya, Bapak bahkan sangat senang bisa mengantarkan cucu Papa kemanapun ia minta. Mungkin bisa nanti malam, tapi terlalu lama menunggu kalau sampai nanti malam," jawab Hartanto.

Memang hari itu Hartanto nampak sibuk dengan pekerjaan barunya. Ia menekuni usaha barunya di bidang peternakan.

"Nggak apa-apa Pa. Papa pergi aja ke kantor, aku bisa ke rumah sakit sendiri kok," jawab Naina.

"Enggak! Jangan pergi sendirian, nanti Mama akan menemanimu. Lebih baik Mama batalkan saja untuk pergi ke acara arisan Mama."

Heni tidak rela membiarkan Naina pergi ke luar sendirian. Apalagi membawa anaknya yang dalam keadaan sakit. Lebih baik dia yang mengalah dan membatalkan acara sosialitanya bersama dengan teman-teman sebayanya.

"Mama pergi aja, biar aku yang antar." Tiba-tiba saja Brilian menawarkan diri untuk mengantarkan Naina.

Naina langsung menggeleng, menolak ucapan Brilian. Ia tidak mau lagi berurusan dengan kakak angkatnya itu.

"Tidak! Tidak usah! Aku nggak mau ngerepotin kalian semua. Aku bisa lakukan ini sendirian, aku sudah terbiasa hidup sendirian. Jadi kalian tidak usah mengkhawatirkanku."

Brillian sudah menduga kalau Naina akan menolaknya. Naina terlalu keras kepala dan lebih mementingkan dirinya sendiri dibandingkan mementingkan perasaannya saat ini.

Tapi ia tidak mau Naina kenapa-napa, atau bahkan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada putrinya. Ia hanya diam tidak memberikan jawaban, namun ia akan melakukan segala cara untuk tetap mengantarkan Naina ke rumah sakit.

Setelah menyelesaikan acara sarapan bersama, satu persatu anggota keluarga telah meninggalkan ruang makan. Hartanto berpamitan pada istrinya akan segera pergi ke kantor, sedangkan Brillian kembali ke kamarnya, dia akan mengulur waktunya untuk pergi ke kantor dan memutuskan untuk menunggu Naina pergi ke rumah sakit dan dia akan menemaninya.

"Na! Kamu yakin akan ke rumah sakit sendirian. Apa nggak perlu Mama temani, tapi Mama nggak tega sama kamu. Bagaimana kalau nanti di luar Syakilla menangis, pasti kamu akan kerepotan kalau jalan sendirian. Biar Mama batalkan saja ya, acara arisan Mama," ucap Heni sebelum memutuskan untuk pergi ke tempat arisan di rumah teman sosialitanya.

"Nggak usah, ma! Mama pergi aja ke tempat arisan, Nanti ditungguin sama teman-temannya. Aku bisa sendirian kok, aku janji tidak akan kenapa-napa. Nanti kalau misalnya aku butuh bantuan, aku akan menghubungi Mama ataupun Papa untuk menjemputku di rumah sakit," jawab Naina.

Heni menghela napas, sudah sangat paham ia dengan sikap anak perempuannya yang selalu keras kepala dan selalu ingin melakukan segala hal tanpa bantuan siapapun.

"Dasar kamu keras kepala dari dulu kamu tidak pernah berubah. Sekarang udah jadi emak-emak makin juga tambah keras kepalanya. Mama sangat yakin, kalau suami kamu dulu meninggal karena kamu sering mengomelinya iya, kan?"

Naina geleng-geleng kepala dengan tersenyum, "Mama ini ada-ada aja. Kalau aku sudah membuat suamiku meninggal, berarti itu sama halnya dengan Aku ini seorang pembunuh. Memangnya Mama suka memiliki anak seorang pembunuh?"

Naina tersenyum miris. Ia bahkan belum pernah memiliki suami, tapi sudah memiliki anak. Andai saja ia bisa mengungkapkan kebenarannya, mungkin orang tuanya akan terkejut. Orang tuanya memang sudah tahu keburukan Brilian terhadapnya, tapi mereka tidak pernah tahu kalau ia sudah melahirkan buah hatinya dengan kakak angkatnya sendiri.

"Ya ... Enggak lah. Mana ada orang tua yang suka memiliki anak seorang pembunuh. Orang tua selalu mendambakan memiliki anak yang baik dan penurut pada orang tuanya, tapi semua itu sangat jarang ditemui oleh orang tua seperti kami. Ya sudah, kalau kamu memang tidak mau diantarkan sama Mama, atau setidaknya paling aman biar Brilian saja yang mengantarkanmu."

"Hah! Aman, Mama tidak tahu saja, siapa yang sudah membuat anakku seperti ini." Naina langsung melenggang pergi menuju kamarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status