"Brillian." Dengan cepat Brillian menjawabnya.Dari situ Brillian kembali curiga kalau anak yang dimiliki oleh Naina itu adalah darah dagingnya sendiri. Naina tidak bisa memberinya keterangan pada petugas rumah sakit.Naina sendiri tampak kebingungan saat ditanya tentang orang tua dari anaknya. Ingin sekali Brillian memaki-makinya karena sudah berbohong padanya.Setelah selesai mendaftar Brillian mengajak ke lantai tiga tempat para dokter spesialis berkumpul. Mereka mengantri di depan ruang dokter. Sama-sama diam, bergeming dengan pemikirannya masing-masing."Mom, pulang," rengek Syakilla yang merasa kedinginan di ruang AC."Sayang, tunggu sebentar ya? Killa diperiksa dulu, biar cepat sembuh," tutur Naina lembut."Tapi dingin," rengek Syakilla.Naina sudah memakaikan selimut tebal, tapi tetap saja Syakilla masih juga kedinginan. Sedangkan badannya tengah demam tinggi.Brillian langsung melepas jas kerjanya dan menyelimutinya. Walaupun hatinya marah, tapi melihat Syakhilla ia tidak te
"Sudah-sudah hentikan! Ayo kita pulang!" Naina menatap kesal pada Brillian yang datang-datang langsung marah. Entah setan apa yang sudah merasukinya, tiba-tiba saja ia dibentak cukup keras di muka umum. Bahkan ada Damian bersamanya. Ia sangat malu dengan sikap kasar Brillian."Siapa sih! Dia ini. Ikut campur urusan orang saja," kesal Brillian, karena laki-laki yang bersama Naina telah membelanya."Dia temanku, nggak usah melotot," jawab Naina sengit, karena Brillian memelototi Damian."Kamu itu ngapain juga sama dia. Kan aku sudah menyuruhmu untuk menungguku di sini, tapi bukan berarti kamu enak ngobrol sama laki-laki lain. Bisakah kau menghargaiku?"Semua orang yang tengah mengantri obat di tempat itu menatapnya, dan itu membuat Naina sangat malu."Kakak! Aku di sini tidak sengaja bertemu dengan Kak Damian. Kita dulu berteman di sekolah, Apa aku harus diam saja, bertemu dengan teman sekolahku. Apakah aku salah, aku bertegur sapa dengan teman sekolahku? Jangan egois kamu!""Siapa juga
"Tidak! Jangan lakukan, karena aku tidak mengizinkanmu untuk melakukan tes DNA dengan anakku," jawab Naina.Brilian memicingkan bola matanya menatap aneh gadis yang dicintainya itu tiba-tiba seperti ketakutan."Kenapa aku tidak boleh melakukan tes DNA dengan anakmu. Kurasa nggak ada masalah kalau kita melakukan tes DNA. Ya biar tahu aja dia itu sebenarnya anaknya siapa," jawab Brillian."Sekali enggak, tetap enggak!Jangan pernah coba untuk melakukan tes DNA dengan anakku. Jangan punya pikiran kalau ini adalah anakmu, kau bukan siapa-siapanya. Kalau kau memang sayang sama dia, anggap saja dia sebagai keponakanmu, jangan berlebihan!"Semakin aneh sikap Naina yang membuat Brilian bertambah curiga. Iya sangat yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Naina. Padahal ia hanya ingin tahu saja kebenarannya, tapi Naina selalu menolak untuk diajaknya melakukan tes DNA."Kenapa sih, Kau egois banget. Aku hanya ingin tahu saja kebenarannya. Apa aku salah jika aku ..."Dengan cepat Naina memotong
Di kantor, seharian Brillian nampak marah-marah. Ia marah pada orang tuanya dan juga pada Naina.Orang tuanya terlalu terburu-buru untuk menjodohkannya dengan Tarisa, gadis yang tidak disukainya. Sedangkan Naina, gadis yang dicintainya sangat keras kepala, dan tidak mau mengerti apa yang dirasakannya."Semua menyebalkan! Menyebalkan ... !!"Ia melemparkan berkas-berkas penting yang ada di meja kerjanya. Di satu sisi ia senang Naina sudah kembali padanya. Di sisi lain ia juga kesal, karena Naina mengacuhkannya. Bertambah pusing kepalanya memikirkan dua wanita yang mengacaukan hidupnya.Irma, sekretaris dari Brilian terkejut mendapati Brilian yang tiba-tiba mengamuk. Ia juga lupa tidak mengetuk pintunya dan langsung masuk begitu saja karena ada hal penting yang ingin disampaikannya."Permisi Pak. Bapak baik-baik saja?" tanya Irma mendadak menciut ketakutan saat melihat kilatan mata merah Brilian diselimuti oleh emosi yang tinggi."Ada apa?! Kau punya sopan santun kan? Kalau masuk ke tem
Malam telah tiba. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Naina tampak diam dengan menyiapkan makan malamnya hari itu ia membantu bibi memasak di dapur Heni sangat senang karena Ini pertama kalinya ia menikmati makanan buatan Naina."Papa coba lihat Pa, anak kita ternyata pulang-pulang bisa masak. Nggak nyangka Mama. Siapa yang sudah mengajari Naina masak di luar. Bahkan dulu dia sangat malas kalau disuruh bantuin di dapur. Tapi setelah empat tahun pergi, pulang-pulang dia sudah bisa memasak. Ini semua masakan buatan Naina loh, pa."Heni sangat antusias melihat Naina begitu cekatan memasak di dapur. Bahkan Bibi saja sampai kalah menyiapkan bahan-bahan makanannya.Naina juga sangat pandai membuat makanan yang belum pernah dimasak di rumahnya. Mungkin Naina di luar belajar memasak pada chef terkenal, atau ada orang yang memang bisa mengajarinya memasak."Wah! Sekarang kita bisa merasakan makanan buatan anak kita sendiri dong, Ma. Papa benar-benar bangga punya anak perempuan yan
Syakilla mulai berani berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Termasuk Oma dan juga opanya. Bahkan karena Syakilla sudah tidak takut lagi pada mereka, Naina sering menitipkannya pada orang tuanya dan ditinggalkan keluar, jika ada keperluan mendadak."Ma ...! Mama ada acara di luar nggak, hari ini?" tanya Naina yang baru mendapatkan telepon dari Shinta, keponakan dari Heni."Hari ini Mama nggak lagi ada acara. Memangnya kenapa Na?" tanya Heni yang tidak tahu menahu apa yang dipikirkan oleh Naina.Naina tersenyum senang mendapatkan penjelasan dari Mamanya, itu berarti ia bisa jalan bersama dengan Shinta dan menitipkan Syakilla di rumah bersama dengan orang tuanya."Ma. Tadi Shinta menelponku. Dia memintaku untuk menemaninya belanja. Mama keberatan nggak? Kalau aku menitipkan Syakhilla pada Mama. Nanti kalau dia ikut belanja, pasti bakalan nggak tenang, ngajakin pulang mulu sebelum selesai belanja," celetuk Naina.Sebagai orang tua, Heni juga tidak tega membiarkan Naina membawa an
"Niatku hanya ingin menikah dengan Naina Ma! Bukan orang lain!"Seketika Heni memelototinya. "Jaga ucapanmu Lian! Sudah gila kau!"Heni tak henti mengomel. Brillian yang sudah kecapekan, ia langsung ngacir dengan menggendong Syakhilla meninggalkan Heni."Dasar anak keras kepala!" Heni menatap punggung Brillian yang mulai menghilang dibalik pintu."Mommy! Mommyku mana?" Teringat dengan Naina, Syakhilla pun kembali menangis.Saat ini Brillian menghiburnya dengan mengajaknya ke tempat hewan peliharaannya. Ada beberapa hewan yang dimilikinya untuk mengurangi rasa stress yang berlebihan. Brillian menyediakan tempat tinggal buat hewan kesayangannya itu di kediamannya. Ada Rusa, macan, dan masih lumayan banyak lagi, binatang yang dibelinya dari luar negeri."Sayang, Killa kangen sama Mommy?" tanya Brillian mengusap surainya. "Tunggu sebentar ya? Sebenar lagi mommy pasti segera pulang. Killa di sini sama Daddy dulu, okey." Brillian menatap kasihan pada Killa. Entah apa yang membuatnya sang
"Killa ...!" Mendapati Brilian keluar dari Indomaret dengan membawa sekeresek makanan ringan, Naina langsung berlari menghampirinya.Brillian menaikkan satu alisnya menatap Naina dengan memasang wajah juteknya. "Ngapain kamu ke sini. Sono keluar aja! Temani itu Shinta. Jangan pedulikan Syakhilla. Dia aman bersamaku," cibirnya kesal dengan berjalan tanpa mempedulikan keberadaan Naina.Syakilla tenang digendong oleh Brillian. Apalagi dia mendapatkan banyak makanan yang disukainya."Maaf. Tapi kak Shinta meminta tolong padaku buat menemaninya. Lain kali aku janji akan membawa Killa bersamaku," jawabnya tanpa berfikir ia sudah bersalah."Apa kau bilang! Kau akan membawa Syakilla bersamamu? Tidak! Jangan harap. Kalau kau mau ngelayap, silakan pergi sendiri. Biarkan Syakilla di rumah dengan Mama, atau aku akan membawanya ke kantor," sahut Brilian dengan cepat.Naina tercengang mendapatkan jawaban dari Brilian. Begitu pedulinya pria itu pada Syakilla. Ia mengerjabkan matanya berpikir tidak