Puas rasanya mengerjai mantan yang menyebalkan. Wajah Aditya terlihat merah padam.
Harus aku akui, akting Yoga sungguh menakjubkan. Seperti sudah terlatih sebelumnya. Walau di awal sandiwara terjadi sedikit kesalahpahaman.
Menariknya adalah ketika aku melihat kekasih Aditya cemburu. Sebab, Yoga adalah pemilik toko berlian ini.
Bisakah aku berkata tidak salah memilih teman sandiwara?
"Sekarang giliranmu, jadilah tunanganku," ucap Yoga.
"Sekarang?" tanyaku masih kebingungan. Aku pikir sandiwara selanjutnya dilain kesempatan.
"Tentu saja, memangnya kau pikir kapan lagi?"
"Tapi..."
"Tidak ada waktu lagi. kemarilah..."
Mendadak Yoga menarikku, lalu menutup wajahku dengan tubuh kekarnya.
"Itu dia Tuan Yoga Iskandar. Ayo cepat ambil gambar mereka. Dia sedang bersama wanita."
Tiba-tiba ada banyak kilatan kamera mengarah ke kami. Pantas saja Yoga buru-buru menarikku. Seakan hendak menyembunyikan identitasku dari orang-orang itu.
Tapi siapa mereka? Mengapa tiba-tiba memotret kami berdua? Sebenarnya siapa pria yang ku ajak bersandiwara ini? Apakah seorang artis?
Jika benar, maka aku sedang dalam masalah besar. Bukankah para artis identik dengan berbagai macam skandal? Mereka sangat menyukai sensasi tanpa menunjukkan prestasi.
"Tuan Yoga, apakah dia kekasih Anda?"
Aku terkesiap ketika salah satu dari mereka mengajukan pertanyaan seputar diriku.
"Tolong jangan dipotret lagi. Dia tidak terbiasa dengan kamera."
"Siapa mereka?" tanyaku tak sabar lagi.
Sejak tadi aku hanya diam dari balik tubuh kekar Yoga.
"Tenanglah, mereka tidak akan menyakitimu."
"Tapi siapa mereka? Mengapa tiba-tiba memotret kita?"
Yoga tidak memberiku jawaban memuaskan. Lelaki itu hanya memintaku untuk tetap tenang.
Tenang? Sementara ada kamera dimana-mana tengah meliput kami berdua. Bagaimana jika masuk berita dan ditonton oleh Ibu di rumah. Ibu pasti akan membunuhku jika terlibat skandal para artis.
"Mereka adalah wartawa... Tapi kau jangan khawatir. Aku tidak akan menyulitkanmu. Sekarang ikuti arahanku. Putar badan dalam hitungan ketiga."
"Ha?"
"Perkenalkan, dia adalah calon tunanganku, Yumi."
"Wanita itu tunangan Tuan Yoga Iskandar. Ayo ambil gambar mereka."
Tiba-tiba otakku terasa pening. Seperti hendak muntah. Sementara orang-orang itu terus memotret kami, sampai membuat mataku sakit.
Seketika aku merasa tengah mendapat karma Aditya, karena telah mengerjainya.
"Nona, siapa nama lengkap Anda? Dan apa profesi Anda? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Dan apakah kalian akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat?"
"Ha? menikah? Aku harus menikahi pria yang bahkan tidak ku ketahui asal-usulnya? Oh Tuhan, sepertinya aku harus meluruskan masalah ini," batinku mulai panik.
"Katakan saja apa adanya. Selebihnya biar aku yang atur." Yoga membisikku. Sekali lagi memintaku untuk berakting. Dia tidak tahu saja kalau aku adalah artis yang buruk.
"Tapi aku tidak mau menikah denganmu!" seruku, membalas bisikan Yoga.
"Maaf, teman-teman sekalian. Dia sangat pemalu. Jadi, belum bisa mengatakan apa-apa. Jika waktunya sudah tepat, aku akan memberitahu kalian, permisi."
Kemudian Yoga membawaku masuk ke dalam mobil. Meninggalkan sepeda buntut andalanku.
"Hei, kau mau membawaku kemana? Sepedaku."
"Tenanglah, aku akan membelikanmu yang baru. Sekarang turuti perintahku dan jangan banyak bicara!"
"Aku? Banyak bicara? Bukankah sejak tadi kau yang banyak bicara? Mengapa jadi aku yang salah?" sarkasku tak terima.
Aku hanya mengingatkan dia tentang sepedaku yang ketinggalan. Apakah itu termasuk banyak bicara?
Aku pikir satu-satunya lelaki menyebalkan hanya Aditya. Rupanya masih ada Yoga. Seketika aku menyesali keputusanku yang mengajaknya bersandiwara.
"Maafkan aku soal tadi... Aku tidak sempat memberitahumu tentang para wartawan itu. Sejak tadi mereka mengikutiku."
Jadi seperti itu. Rupanya Yoga telah merencakannya sejak awal. Hanya saja aku yang pertama kali memberinya jalan.
"Soal sepedamu, aku akan menggantinya dengan yang baru. Kau tenang saja, aku tidak akan menyia-nyiakan bantuanmu."
Aku tidak serendah itu mau menerima uang orang asing begitu saja. Lagi pula dia juga telah membantuku tadi.
"Tidak perlu. Kau juga telah membantuku. Jadi, kita impas," jawabku tegas.
"Tidak masalah, lagi pula aku lihat sepedamu sudah usang. Sudah tidak layak pakai. Belilah yang baru..."
Yoga memberiku beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Pria ini sungguh keterlaluan. Dia pikir dia siapa? Berani merendahkanku seperti ini," batinku mulai kesal.
"Sudah ku bilang tidak perlu. Aku tidak butuh sepeda baru. Aku lebih nyaman memakai sepeda lama."
"Baiklah, tidak masalah. Terserah kau mau gunakan untuk apa uang ini." Yoga memberiku paksa uangnya.
"Aku bilang tidak perlu! Aakk..."
"Astaga, apa yang aku pegang ini? Rasanya seperti kenyal, tapi mendadak mengeras."
Baru saja aku berencana mengembalikan uang Yoga, tetapi mendadak supir menginjak pedal rem mobil. Sehingga membuatku terpental ke arah pria itu.
Sialnya, tanganku justru mengarah ke burungnya.
"Anda tidak apa-apa, Tuan?" tanya supir, yang membuatku segera menarik diri dari burung perkutut Yoga. Sumpah demi apapun, aku sangat malu.
"Apa kau tidak bisa menyetir dengan benar?" hardik Yoga kepada supirnya.
"Maaf, Tuan. Tadi ada seekor ular melintas."
"Ular? Mana ular..."
Mendengar nama ular disebut, seketika membuatku ketakutan. Alhasil aku pun memeluk Yoga tanpa sengaja.
"Hei, Singkirkan tanganmu!" Yoga berteriak. Sontak aku pun segera menarik diri.
"Maafkan aku... Aku tidak sengaja menyentuh bur..."
"Tidak masalah."
"Ha?"
"Maksudku jangan bahas soal itu... Kau ambil saja uangnya dan segera keluar dari sini. Terimakasih atas bantunmu!"
Astaga, apakah Yoga mengusirku?
"Baiklah, terimakasih juga atas bantunmu tadi. Semoga harimu menyenangkan."
Brak!
Aku membanting keras pintu mobil Yoga begitu keluar. Tentu saja dengan harapan kami tidak perlu bertemu lagi. Apa lagi harus terlibat skandal tunangan palsu.
"Keterlaluan! Seharusnya aku yang marah, bukannya dia. Dasar pria aneh!"
Aku mengumpat seorang diri di jalan yang sunyi.
"Sial! Aku lupa kalau ini adalah jalan yang berlawanan dengan toko... Ini semua karena pria menyebalkan tadi. Semoga saja dia disambar gledek!"
"Uti, tolong jemput aku di jalan bintaro. Aku melupakan sepedaku di toko berlian."
Terpaksa aku meminta sahabatku untuk dijemput. Dia bekerja padaku sebagai asisten. Ya... walau hanya toko kecil, tapi setidaknya itu adalah milikku. Dan aku adalah bosnya. Untuk asisten? Itu hanya ala-ala saja. Supaya dibilang keren sama tetangga. Padahal faktanya hanya kami berdua di sana.
"Dimana sepedamu?"
"Nanti saja ceritanya, Panjang... Cepat jemput aku. Sebelum pemilik cincin berlian ini datang."
"Iya, iya. Aku akan segera menjemputmu," jawab Uti.
"Yumi!"
Lima belas menit menunggu, akhirnya Uti datang juga dengan mobil sedannya.
Uti adalah Anak orang kaya, tetapi dia bersedia bekerja padaku. Padahal jika mau, Uti bisa saja meminta Ayahnya untuk menjadi Direktur utama. Mengingat latar belakang pendidikannya yang tinggi. Uti merupakan mahasiswa lulusan kampus Harvard.
"Apakah Ibu Ely sudah datang?" ucapku sembari mengenakan sabuk pengaman.
"Tenang saja, dia masih belum datang."
"Syukurlah. Aku pikir hari ini akan terkena masalah lagi."
"Lagi?"
Aku nyaris keceplosan memberitahu Uti tentang sandiwara tadi.
"Maksudnya aku takut kehilangan pelanggan. Kau tahu sendiri, kan? Betapa susahnya memenangkan hati pelanggan," sanggahku buru-buru meluruskan.
"Ya, kau benar." Alasanku cukup klasik, tapi barhasil. Uti tak lagi bertanya.
"Berita terkini, pengusaha Yoga Iskandar rupanya telah bertunangan. Dan dalam waktu dekat akan melangsungkan pernikahan."
Setibanya di toko, kami disambut dengan berita yang mengejutkan.
"Yumi, ini... Kau sudah bertunangan?"
Akhirnya aku hanya bisa terkulai lemas.
Jalan tengah dari permasalahan kami, aku pun memilih untuk damai. Menandatangani surat pernjanjian dari Yoga.Walau hati kecilku menolak, tetapi demi kebaikan semua orang. Aku rela sekali lagi berkorban.Usai menandatangi surat tersebut. Yoga tersenyum puas. Aku tidak sangka dia adalah pria yang licik. Meski terkadang tak sungkan menunjukkan perhatiannya terhadapku. Namun, hal itu tidak mengubah fakta, bahwa Yoga adalah manusia kejam."Yum, ada yang ingin ku sampaikan padamu. Apakah kita bisa bertemu?" Sore harinya. Aku mendapat panggilan dari Uti.Terdengar dari nadanya. Seperti ada sesuatu yang serius."Baiklah," sahutku."Kau mau kemana?" Baru saja aku berencana pergi, Yoga mencegatku di ruang tamu."Uti memanggilku. Katanya ada yang mau disampaikan padaku.""Jam berapa pulangnya?" tanya Yoga sekali lagi."Aku tidak tahu... Baiklah, aku pamit." Aku terburu-buru hendak menemui Uti. Hingga lupa di mana tempat pertemuan kami."Gunakan mobil untuk menemui Uti. Jangan pakai sepeda buntu
Hari ini aku dan Yoga akhirnya pindah rumah. Walau harus diawali dengan sejumlah drama.Semula orang tua Yoga tidak setuju pada keputusan kami. Terutama Mama. Namun, setelah berunding. Akhirnya Mama setuju juga.Entah apa yang telah Yoga katakan padanya. Saat itu aku sedang berada di luar kamar. Aku memberi mereka privasi."Jaga baik-baik menantu Mama, Ga. Jangan biarkan dia bersedih. Awas saja kalau sampai Mama tahu, Mama tidak akan melepasmu!" ucap Mama usai kami pamit padanya."Mama tenang saja. Aku tidak akan menggigitnya. Paling hanya mencakar sedikit," sahut Yoga, berkelakar."Cakarnya jangan dalam. Tipis-tipis saja," seloroh Papa penuh maksud.Percakapan ini terkesan random. Keluarga Yoga memang sungguh aneh. Mereka sangat akrab satu sama lain. Namun, cara menunjukkan kedekatan itu berbeda dari keluarga biasanya.Papa terkesan cerewet, tetapi sebagai kepala keluarga. Dia sangat perhatian serta bertanggung jawab.Sedangkan Mama, dia memang terlihat tegas. Akan tetapi, di balik k
Malama itu kami kumpul bersama keluarga besar Yoga. Ada Uti sudah pastinya. Tak ketinggalan Nindia, gadis yang sejak kecil mengejar Yoga serta menyebutnya sebagai suami masa depan.Aku mengenakan gaun merah pemberian Mama mertua. Kali ini rambutku sengaja ditata rapi agar terlihat lebih elegan. Pasalnya, konon keluarga Yoga datangnya dari kalangan atas semua.Namun, yang aku perhatikan mereka cukup sederhana dan tak mempersoalkan diriku yang berasal dari keluarga biasa.Mungkin dulu keluargaku seperti mereka. Namun, sekarang lain cerita setelah Ayah jatuh bangkrut."Kau sudah siap?" tanya Yoga begitu usai berdandan.Untuk penampilan Yoga, tidak perlu lagi dipertanyakan. Seperti biasa, dia hanya mengenakan setelan jas hitam."Iya," sahutku."Kita temui tamu sekarang. Pasti mereka sedang menunggu kita," ucapnya.Yoga mengulurkan tangan. Aku yang masih belum siap, terpaku untuk sesaat. Benarkah pria ini suamiku? Dia memperlakukanku dengan manis."Yumi," sapanya."Ah iya." Aku tersadar da
Hidup bersama mertua, sudah tentu tak bisa dihindari bagi sepasang suami istri yang baru menikah. Pun halnya denganku yang tiba-tiba sudah menjadi istri orang.Lantas bagaimana dengan saudara ipar yang dibenci oleh para istri sejuta umat?Tentu aku tidak menjadi salah satu dari mereka. Yoga berstatus anak tunggal."Mengapa harus di rumah orang tuamu? Aku mau di rumah Ibu," sarkasku menolak ajakan Yoga."Tidak masalah kalau kau ingin tinggal di sana. Tapi, kita harus tidur satu ranjang." Kali ini ide gila apa yang coba diusung Yoga. Sungguh memalukan.Tidur bersama? Oh tidak bisa. Tentu hal itu tak akan pernah terjadi. Pria ini tidak bisa dipercaya untuk urusan ranjang. Dia selalu mencuri ciuman dalam kesempitan. Tentu saja dengan alasan klasik. Tidak sengaja."Mengapa begitu? Kami memiliki tiga kamar tidur kok," tukasku tak terima."Lalu, apa kau ingin Ibumu tahu tentang kita yang sebenarnya? Baiklah, tidak masalah. Aku tidak merasa dirugikan untuk itu. Tapi bagaimana denganmu? Apa ya
Selayaknya bisnis simbiosis mutualis. Aku pun harus menyiapkan surat kontrak sebagai simbol dari hubungan ini. Lagi pula aku tidak ingin berlama-lama hidup dalam kepalsuan. Pernikahan ini, harus segera berakhir.Dalam surat tersebut, tak lupa aku cantumkan jangka waktu pernikahan kami. Hanya satu tahun lamanya.Jika biasanya dalam pernikahan kontrak pihak pria yang membuat surat-surat perjanjian, maka lain halnya dengan kami. Aku yang menyiapkan hal tersebut."Ada beberapa hal yang ingin ku sampaikan padamu." Usai makan, aku mengajak Yoga bicara."Katakanlah, aku mendengarkan," titahnya sembari membuka arloji."Tanda tangani surat perjanjian ini," ucapku seraya menyuguhkan surat kontrak yang seminggu lalu sengaja ku buat untuk berjaga-jaga."Surat kontrak?" Ku lihat kening Yoga berkerut nyaris menyatu. Mungkin dia terkejut aku memberinya sesuatu diluar nalar. Namun, inilah fakta yang harus ia terima. Surat kontrak ini sangat penting untukku.Dari surat inilah aku bisa melindungi selur
"Pelan-pelan tariknya... Sakit tahu!" Aku meringis kesakitan pada bagian bawah tubuh."Ini juga sudah pelan-pelan!" seru Yoga, menghardikku.Yoga terus berusaha menarik sesuatu yang menancap di bawah tubuhku secara perlahan.Suaraku menggema hingga memenuhi kamar pengantin kami. Mungkin saja orang di luar sana dapat mendengarnya cukup jelas."Aww... sakit! Tuh kan keluar darah. Huhuhu..." Tetapi, aku terus meringis kesakitan."Woi! Yoga... Hati-hati. Kasihan itu anak orang." Sesuai dugaan. Papa Yoga mendengar suaraku yang menggema hingga keluar ruangan. Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang kami."Iya, Pa. Ini juga sudah hati-hati," jawab Yoga dari dalam kamar, masih berusaha untuk menarik benda berukuran kecil itu."Yes, berhasil," katanya."Huaaa....""Cengeng banget sih jadi cewek?! Tenanglah, ini sakitnya tidak akan lama!" seru Yoga.Pria yang kini telah resmi menjadi suamiku itu terus mencercaku, karena tak bisa menahan perih yang menurutnya tak seberapa."Darah ini, kau
"Selamat, ya. Atas pernikahan kalian." Hari dimana aku dan Yoga bersanding akhirnya tiba juga.Ada banyak tamu undangan yang berdatangan. Tak terkecuali Aditya dan Maminya.Yoga yang sengaja mengundang langsung mantan pacarku itu sewaktu berkunjung ke rumah kami pada sore hari.Aku shock ketika tiba-tiba Yoga mengajak Aditya bicara. Entah apa yang mereka bahas. Saat itu aku hanya menyaksikan keduanya dari jauh.Sebelum pergi, Yoga memberi Aditya undangan pernikahan kami."Terimakasih," ucapku kepada salah satu tamu undangan yang menyalamiku."Congratulation, Beb. Semoga segera diberi momongan, ya... Aku sudah tak sabar lagi menggendong ponakan darimu." Entah Uti sengaja menggodaku. Atau dia bersungguh-sungguh mendoakanku. Wanita ini terlampau over akting.Seakan tidak tahu menahu ihwal perjanjianku dan saudara sepupunya itu."Kau jangan asal bicara." Aku mencecak lengan Uti sembari membisiknya. Kali ini Aku merasa dia sudah keterlaluan."Mengapa? Apa kau malu membayangkan malam pertam
"Yumi.""Aditya?"Pertemuan ini sungguh terasa canggung. Aku tidak pernah mengira akan bertemu Aditya dalam keadaan terjepit.Ada Yoga di sisiku. Semua orang tahu kami adalah pasangan kekasih. Pun Aditya, dia juga tahu itu.Lalu Yoga menghampiriku lebih dekat. Tadinya kami duduk saling berhadapan."Kita ketemu lagi... Apa kabar?" Aditya menyapaku tanpa menghiraukan Yoga."Aku baik," jawabku singkat.Meski hanya sandiwara, tapi aku tidak tega menyudutkan Yoga. Posisinya adalah sebagai calon suami. Bukan orang asing seperti yang disematkan pada diriku."Oh iya, apa kau sedang makan siang? Apakah aku boleh gabung?" Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba Aditya berubah drastis seperti ini. Kemana perginya kekasih yang dulu ia pamerkan padaku. Mengapa dia selalu berkeliaran seorang diri?"Tidak boleh!" seru Yoga tiba-tiba.Mendadak Yoga mengangkat suara menolak Aditya. Kali ini aku takut terjadi keributan. Tatapan mereka seolah menunjukkan permusuhan."Yumi, apa kau bisa memberitahu tunanganmu.
"Pantas saja Uti hafal betul setiap sudut kantormu. Ternyata kalian saudara." Kami berada di restoran Jepang dekat pusat kota. Untuk makan siang.Entah ada angin apa Yoga membawaku kesini. Padahal dia sendiri yang memberitahuku sangat anti wartawan. Sementara lokasi restoran tempat kami makan siang lumayan ramai pengunjung serta mudah dijangkau oleh para pencari berita itu."Makanlah! Aku sedang tidak berselera untuk membahas konflik antar wanita," jawab Yoga tanpa beban."Konflik antar wanita? Hei! Ini bukan hanya tentang aku dan Uti. Melainkan kau juga. Bukankah kau yang melarangnya untuk memberitahuku?" sarkasku tak terima."Habiskan makanmu!" balas Yoga singkat.Aku heran terhadap pria yang satu ini. Sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa. Kenyataannya dialah penyebab dari semua persoalan."Cih! Dasar pria tidak bertanggung jawab," gumamku.Kemudian aku menyeruput jus lemon milikku tanpa menyentuh nasi goreng yang dipesan tadi."Ceritakan padaku, seperti apa masa kecil kalian? Apa