"Apa yang kau lakukan? Cepat kerjakan halaman ini, lalu kita akan lanjut ke pembahasan lain!"Dengan wajah malas, Sheila menganggukkan kepalanya. Sudah seminggu sejak kedatangan sang guru untuk melakukan homeschooling. Dan sudah seminggu pula hidupnya menjadi penuh neraka.Wanita bernama Laura itu tak hanya menyiksa dengan berbagai soal-soal sulit, tapi juga dengan sikap menyebalkannya. Setiap kali Sheila bertanya, selalu dijawab dengan ketus. Bahkan tak jarang gurunya itu memintanya mencari jawaban seorang diri melalui buku atau internet."Sorry, Miss, tapi aku belum paham!" jawab Sheila untuk kesekian kalinya. Sudah hampir dua jam keduanya berkutat di materi yang sama. Laura berulang kali meminta muridnya untuk membaca kembali bukunya. Sementara ia sendiri asyik menggeser layar ponselnya, menyelami dunia maya yang tak bisa dinikmati Sheila."Kamu gimana, sih? Bukannya dari tadi sudah baca bukunya?" balas Laura ketus.Gadis cantik itu membuang muka, kesal. Maniknya melirik jam dindi
"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Dokter Arnes?"Sheila melirik gurunya dengan jengah. Ia mulai lelah dengan pertanyaan yang sudah didengar berulang kali seharian itu. Entah apa yang membuat Laura begitu ingin mengetahui asal-usulnya, tapi hal itu membuatnya tak nyaman. Setelah kemarin ia melihat guru dan paman dokternya begitu dekat. Kini ia merasa terus diintimidasi dengan pertanyaan-pertanyaan dari Laura yang mengarah pada keluarga. Dan tentu saja Sheila tak berani menjawab karena tak ada perintah dari Paman Dokternya."Miss bisa tanya langsung pada Paman Arnes!" jawabnya ketus.BRAK!Dengan cepat Laura menutup buku tebal di hadapan mereka, lalu menatap tajam muridnya itu. Kesabarannya sudah habis, jawaban yang sama membuatnya semakin penasaran tentang siapa sebenarnya sosok Sheila yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.Wanita itu mengenal Arnes sudah beberapa tahun ke belakang. Tapi tak satupun nama Sheila terdengar di telinganya. Dan sekalinya hadir, gadis itu langsung menjadi p
"Sheila, lepas!"Arnes mendorong tubuh mungil itu hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya merah, antara marah dan malu karena sadar telah menanggapi pancingan gadis 19 tahun di hadapannya itu."Ini peringatan untuk yang terakhir kalinya, jangan pernah lakukan itu lagi atau...""Atau apa?" tantang Sheila dengan manik cokelat yang tajam.Sikap Arnes yang berubah padanya beberapa hari belakangan dan juga sikap protektifnya membuat Sheila yakin bahwa sebenarnya sang dokter memiliki perasaan pada Sheila. Hanya saja, ia belum tahu sejauh mana sang Paman Dokter berani bertindak untuk mengutarakannya. Atau memang begitulah Arnes, menyembunyikan perasaan dengan bualan tentang usia keduanya yang terlampau jauh."Apa Paman akan bersikap dingin seperti hari-hari sebelumnya? Atau memperlakukanku dengan kasar seperti yang baru saja terjadi?" tantangnya semakin berani. "Sheila, kau harus ingat bahwa usiamu dan a...""Kenapa Paman langsung setuju ketika aku minta Miss Laura berhenti?" t
"Kau mau pergi denganku?"Manik cokelat yang tadinya sayu seketika berbinar. Tubuh di atas ranjang itu beranjak, seketika tegap di hadapan Arnes yang masih berada di ambang pintu. Senyumnya sumringah, mengangguk-anggukkan kepala berulang kali, saking bahagianya."Ke mana?" tanyanya penuh harap.Arnest terkekeh melihat bagaimana perubahan drastis dari satu pertanyaannya. Ekspresi kesal di wajah Sheila musnah, diganti mentari yang biasa menghiasi paginya beberapa hari terakhir. Bahkan ditambah deretan gigi seri yang menambah keindahan gadis di hadapannya."Bagaimana bisa kau berubah secepat ini dengan satu pertanyaan saja, hah?"Tatapan mata Arnes membuat Sheila menunduk malu. Matanya melirik ke kanan dan kiri, seolah mencari jawaban yang juga tak tahu apa. Tangannya saling bertaut, dengan bibir mengerucut, tak berani menjawab pertanyaan Paman Dokternya."Jadi, kau ingin ke mana?" Arnes mengalihkan pembicaraan, tak ingin keduanya kembali beradu mulut seperti yang sudah-sudah."Nonton!"
"Paman..." panggil Sheila lembut. "Siapa yang telepon?" tanyanya lagi."Hah? Oh, ini... Kita sepertinya harus cepat berangkat, takut filmnya keburu mulai!" katanya terbata-bata.Dengan cepat pria itu menarik tangan Sheila untuk pergi sesegera mungkin. Dan tanpa banyak tanya, gadis itu menuruti semua perintah Paman Dokternya. Karena pada dasarnya, ia juga tak ingin semua rencananya malam ini gagal.Namun sayangnya, sepanjang perjalanan menuju bioskop Arnes lebih banyak diam dan termenung. Pria itu sama sekali tak menghiraukan Sheila yang bercerita panjang lebar tentang film yang akan mereka tonton."Kita mau nonton film horor?" tanya Arnes begitu keduanya mencetak tiket."Bukannya aku sudah bilang, ya?" Sheila balik bertanya dengan ekspresi keheranan. "Paman dari tadi melamun?" tanyanya kesal.Arnes kehabisan kata, karena tebakan tu benar adanya. Tapi melihat suasana yang begitu ramai, ia langsung mengalihkan perhatian dengan menarik Sheila ke arah jejeran camilan. Pria itu sepertinya
"Mengakulah! Apa yang kau lihat tadi?" cecar Sheila tiada henti. Gadis itu terus menanyakan hal yang sama selama lima menit terakhir. Tetapi jawaban sang paman dokter masih sama, dan tentu saja tak membuatnya puas. Ia malah semakin gila bertanya."Tidak ada, Sheila! Harus berapa kali ku katakan bahwa aku tak melihat apapun!" tegasnya.Jika mau jujur, sesungguhnya Arnes melihat apa yang dikhawatirkan oleh sang gadis. Mana mungkin ia menolak keindahan dada gadis yang masih ranum dan terbuka tepat di depan matanya. Beruntung ia tahu diri dan cukup bijaksana dengan segera memalingkan muka. Walau begitu, Sheila nampak sekali tak puas dan melihat kebohongan di mata sang paman."Kau bohong!" tebaknya jitu.Tentu saja semua terbaca dari pandangan mata Arnes yang sama sekali tak berani melihat ke arahnya. Pria itu memilih untuk melihat sekeliling, seolah semua itu bisa membuat Sheila lupa akan kejadian tadi."Terserah kau saja!" tutup Arnes yang mulai lelah terus dicecar. "Lagi pula masih ban
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sheila bingung.Tubuhnya sudah tersudutkan di pinggir ranjang empuk. Satu dorongan kecil dari Arnes, rasanya mampu membuatnya jatuh ke atas ranjang. Namun keraguan di manik cokelat itu membuat sang dokter menahan diri untuk bertindak lebih jauh."Bergerak!" jawab Arnes singkat."Be-bergerak?" tanya sang gadis tak mengerti."Karena yang mencintai yang harus melakukan pergerakan," jawabnya seraya mendorong tubuhnya untuk mendekat ke arah Sheila.Bibirnya dengan cepat menyentuh kening Sheila dengan sangat lembut. Tangannya mengelus puncak kepala sang gadis, mengikuti alunan musik dalam kepala. Sementara sang gadis hanya diam, sambil memejamkan mata.Sheila mulai merasakan hidungnya tergelitik oleh sentuhan Arnes. Lalu tak lama bibirnya mulai dikecup, dan semakin lama menjadi hangat. Tanpa sadar ia mulai membuka mulut dan membiarkan lidah Arnes bermain di setiap sela rongga mulutnya. Tak hanya diam, Sheila mulai meremas rambut Arnes yang merundukkan tubuh be
"Kenapa kau diam?" tanya Arnes yang sejak tadi memandangi wajah cantik Sheila di antara sinar mentari pagi dari jendela kamar. "Apakah kau menyesalinya?" tanyanya mulai mencecar.Sebagai seorang pria, ia cukup tahu diri bahwa usia muda Sheila pastilah membuat sesal datang belakangan. Nampak sekali sang gadis tak lagi bergairah untuk berbincang dengannya. Yang dilakukan sepuluh menit terakhir hanyalah termenung memandangi lampu gantung.Namun senyum di wajah Arnes muncul tatkala Sheila menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa kekhawatirannya tak terbukti. Gadis itu malah merebahkan kepalanya dipelukan dada bidang sang dokter. "Bagaimana bisa aku menyesal ketika Paman memberikan kenikmatan seperti tadi?" tanyanya tersenyum malu-malu.Arnes memeluk mesra Sheila. Diendusnya wangi rambut panjang yang terlihat berantakan. Tapi itu semua sama sekali tak mengurangi kesempurnaan Sheila di matanya pagi ini.Bak dimakan cinta buta, pria itu melupakan jadwal praktiknya yang harusnya mulai pukul t