Sekali lagi, Morgan mengusap bulir-bulir keringat di pelipisnya. Kegugupan membuat keringat dingin berlomba-lomba keluar dari lapisan kulitnya. Wajah boleh saja datar, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana gugupnya Morgan menjelang moment paling bersejarah dihidupnya kecuali sang sahabat karib. Hal itu yang membuat Reynald dan Vyan terkikik geli di sebuah bangku panjang yang mereka bagi bersama pasangan masing-masing. Bangku yang terletak di barisan nomor dua dari depan.
“Lihat Morgan. Kayaknya dia bakal mati gugup kalau harus nunggu lebih lama lagi.”
Ucapan Reynald membuat Vyan terkikik geli. “Lo bahkan dulu lebih gugup dari itu.” ejeknya.
“Eyy enak aja! Wajar bukan kalau pengantin pria gugup setengah mati? Ck, itu karena lo belum pernah ngerasain.”
“Memang gimana rasanya nunggu di sana?”
“Lebih ngeri daripada nunggu pasien nenek-nenek sadar habis operasi.”
Se
Vyan menggenggam erat tangan mungil Karen yang dingin. Keduanya tengah berjalan santai, menikmati kerlipan lampu dari kejauhan dan suasana tenang sekitar taman.Ya, setelah menghadiri pernikahan Morgan dan Bianca di gereja, Karen meminta mampir ke taman kota lebih dulu. Awalnya Vyan tidak setuju, karena ia tahu Karen kelelahan setelah ia bekerja dan izin pulang ketika akan berangkat. Awalnya Vyan menolak karena tahu kekasihnya perlu istirahat, tapi Karen selalu memiliki cara untuk memaksa Vyan memenuhi keinginannya. Dengan sebuah perjanjian kalau hanya jalan-jalan sebentar, jadilah mereka di sini sekarang.“Bee,”“Hm?”“Kapan terakhir kali kita kencan?” tanya Vyan membuat Karen menatap langit untuk berpikir.“Nggak tahu. Kita terlalu sibuk kerja sampai nggak kepikiran buat kencan.”Vyan mengangguk. Walaupun sebenarnya ia sedikit tidak menyetujui bahwa mereka berdua terlal
[FLASHBACK]2 hari yang lalu …Hujan mengguyur tepat saat Karen keluar dari restoran tempat kerjanya sore itu. Padahal langit masih cerah beberapa menit yang lalu, namun entah kenapa justru hujan deras yang menyambut Karen untuk pulang.“Apa Goblin lagi bersedih?” gumam Karen sambil mengeluarkan sebuah payung lipat dari tasnya. Ia menggunakan payung itu dan mulai berjalan menembus hujan agar ia cepat sampai di halte bus. Hujan yang deras membuat Karen harus sedikit merundukkan kepala, dan …BRAK!“Akh!”Karen mengeluh untuk tubuhnya yang tertabrak bahu seseorang dan membuatnya harus terjatuh di atas jalan yang basah. Karen ingin mengumpat, terlebih tubuhnya tidak lagi terlindungi payung karena payung itu terlempar cukup jauh setelah Karen terkejut.“M-maaf. Maafkan saya.”Namun Karen tidak jadi mengumpat. Karena selain seseorang yang menabraknya adalah seo
Hari ini adalah hari pertama Morgan kembali bekerja setelah seminggu melimpahkan semua pekerjaan kantornya kepada Doni. Sebagai sosok direktur yang bertanggung jawab, Morgan tentu tidak akan membiarkan sekretarisnya pusing lebih lama lagi. Lagipula sebaik apa pun kinerja Doni, Morgan tetap saja dibutuhkan untuk mendatangani berbagai kontrak kerja sama ataupun laporan bawahannya serta memimpin rapat.Lelaki itu mengambil jas dan dasi dari dalam lemari sebelum meluncur ke dapur untuk menyapa istrinya, Bianca, yang kini berusaha total menjadi istri impian. Sebenarnya Morgan tidak masalah jika Bianca bangun di waktu yang sama dengannya dan membiarkan pelayan menyiapkan sarapan, namun dengan tegas Bianca menolak. Bianca menolak dengan alasan ia ingin menjadi istri yang mandiri. Meskipun tidak lepas dari bantuan pelayan, setidaknya Bianca tidak hanya memerintah dan ikut terjun di dapur.“Selamat Pagi!” sapa Morgan seraya melingkarkan tangan
“Kita pergi bersama. Aku nggak capek, kok. Lagipula-” Bianca memiringkan kepalanya, menunggu Morgan melanjutkan ucapannya. “-aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.”“Kemana?”“Nanti juga tahu.” Morgan tersenyum dan mengecup bibir Bianca sekali lagi. “Aku mandi dulu.”Bianca mengangguk paham dan membiarkan Morgan pergi ke kamar mereka untuk membersihkan diri. Selagi menunggu, Bianca mengambil jas dan tas kantor Morgan yang diletakkan sembarangan di atas sofa, lalu membawanya ke kamar.Di kamar, Bianca disambut oleh suara gemericik air dari kamar mandi. Sebuah meja panjang berkaki pendek menjadi tempat Bianca meletakkan tas dan berkas-berkas penting perusahaan Morgan. Meja itu sudah penuh dengan segala warna map, sebuah laptop, sekotak kacamata baca, dan berlembar-lembar kertas berisi laporan bulanan yang belum Morgan koreksi. Di hari pertama Morgan pindah, Bianca menawarkan un
“Aku belum bisa, kak.”“Kamu belum mencobanya, sayang.” Morgan menggenggam jemari Bianca dengan erat dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan mengendalikan laju mobil. “Jabatan itu udah jadi hak sekaligus kewajiban kamu. Kamu tahu sendiri kan isi wasiat Papa?”“Tapi aku belum siap. Aku belum nyelesaiin kuliahku dan-”“Nggak ada yang perlu dikhawatirin, Bi. Kamu hanya perlu lakuin training selama beberapa waktu seperti kata Pak Anwar. Lagian nggak ada yang bisa nentang wasiat Papa walaupun kamu belum tamat kuliah.” Ibu jari Morgan memberikan usapan lembut pada jemari Bianca. Merilekskan otot-otot Bianca yang terasa kaku di dekatnya.“Tapi ... tapi aku takut, aku ...”“Ssstt ...” Telunjuk Morgan mendarat sempurna di bibir Bianca, memaksa gadis itu untuk diam dan tidak lagi mendebat dengan bibir berlekuknya. Mungkin jika tidak sedang mengend
Cklek!“Kak Morgan masih di sini?”Bianca keluar tepat saat Morgan meletakkan ponselnya di dalam saku celana. Lelaki itu berdehem, sedikit gelagapan dengan kehadiran Bianca yang tiba-tiba. “Aku nunggu kamu.”“Kakak kan bisa nunggu di bawah.” Bianca berjalan dan duduk di kursi riasnya. Ia sudah berpakaian rapi dengan kemeja maroon dengan ujung yang dimasukkan ke dalam rok ketat hitam selutut. Penampilannya terlihat sangat cantik dan elegan, namun tetap tidak bisa membohongi wajah imutnya.“Aku hanya ingin turun bersama istriku.” Morgan mengekori Bianca sebelum membungkuk dan menjatuhkan dagunya di pundak Bianca dan memandang gadis itu melalui pantulan kaca. “Kamu cantik.”Hal yang paling Morgan suka adalah ketika pipi Bianca merona karena mendapat pujian darinya. Bianca tetaplah sosok gadis yang polos, meskipun kini ia mulai terbiasa dengan skinship yang Morgan lakuka
“Bagaimana training-mu hari ini?” tanya Morgan, seraya menyangga kepalanya dengan sebelah lengan dan tubuh menghadap ke samping di atas ranjang. Ia menghadap Bianca yang baru saja keluar dari kamar mandi lalu duduk di depan kaca rias. Aroma manis sabun menguar, mengusik indera penciuman Morgan.“Sangat baik. Ada mbak Sheril yang bantuin aku meriksa biodata pegawai biar aku nggak asing sama wajah mereka!” jawab Bianca sembari mengoles krim malam beraroma lemon di bagian wajahnya.Bianca memutuskan untuk menyebunyikan fakta jika dirinya bertemu dengan Candra. Baginya itu tidak terlalu penting untuk menjadi bahan pembicaraan. Cukup dirinya saja yang terbawa emosi hingga harus bersembunyi di toilet untuk menangis dan menenangkan diri, tidak untuk menambah beban bagi Morgan.“Sheril?” Morgan bangkit dan menghampiri Bianca. Tangannya meraih handuk kecil kering dan menggosokkannya pada rambut panjang Bianca yan
Karen terbangun saat matahari meninggi. Mata puppy-nya mengerjap, berusaha beradaptasi dengan sinar matahari yang cukup terik menembus jendela kecil di salah satu sisi flatnya.Ia berusaha bangkit, menyangga tubuhnya dengan lengan kirinya yang terasa kaku dan semakin terasa sakit ketika Karen memaksanya untuk terduduk sempurna. Dan satu detik kemudian, Karen menyadari jika dirinya tidak tidur di kasurnya.Karen mengernyit. Mencoba mengumpulkan satu persatu memorinya, tentang mengapa ia bisa berada di atas lantai dingin di depan pintu dengan tubuh yang sakit bukan main. Perlahan tapi pasti, Karen mengingatnya.Mengingat waktu di mana Eric datang, memaksa masuk, menyeret ibunya keluar, lalu Karen tidak mengingat apapun lagi selain rasa sakit yang menghantam punggungnya dan tamparan keras di pipinya hingga ia tak sadarkan diri. Hingga ia menyadari bahwa ia terbangun di pagi ini dengan suasana rumah yang tidak lagi sama.“IBU!&rdq