Laura terbangun saat alarm di ponselnya berbunyi. Pukul lima. Udara yang sejuk membuatnya teringat suasana di kampung halaman.
Ia memulai aktivitasnya dengan membersihkan dapur lalu menyiapkan menu untuk sarapan. “Buatkan aku kopi tanpa gula,” suara bass itu membuat Laura berjingkat. Ia hampir terantuk sisi meja jika tak menahan diri. “Y-ya, Tuan. Akan saya buatkan,” kata Laura, menyingkirkan lap dari tangannya. Laura baru saja membuka rak saat suara bass lelaki itu kembali terdengar. “Laura.” Laura menjawab dengan suara pelan. “Ya, Tuan? Apa ada lagi yang Anda butuhkan?” “Antarkan ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” *** Dengan langkah hati-hati, Laura membawa nampan perak berisi cangkir kopi dan sepiring croissant hangat ke ruang kerja tuannya. Pintu kayu mahoni itu terbuka sedikit, mengizinkan suara gemerisik kertas dan ketikan keyboard terdengar samar. Laura mengetuk pintu itu pelan. “Masuk,” suaranya menggema dari dalam. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja kuning keemasan yang menyinari tumpukan dokumen dan laptop terbuka. Lelaki itu duduk membelakanginya, siluet tubuhnya tegas melawan cahaya dari jendela di belakangnya. Laura menahan napas saat meletakkan nampan di atas meja. “Kopi tanpa gulanya, Tuan,” ujarnya, suaranya lebih stabil dari yang ia duga. Ia mengangkat wajah, mata hijau keabuan itu menyapu tubuhnya sekejap sebelum tertuju pada cangkir di hadapannya. Tangannya yang besar meraihnya, jari manisnya yang berhias cincin perak mengetuk-ngetuk pinggiran cangkir. “Ternyata kau tahu cara membuat kopi yang baik,” gumamnya, menyeruput perlahan. Laura tidak tahu apakah itu pujian atau sekadar evaluasi atas pekerjaannya. Ia hanya mengangguk kaku. “Terima kasih, Tuan.” Laura masih menundukkan pandangannya. Langkah Reve terayun lalu membuka lemari kayu di ruangan itu, mengeluarkan sebuah cambuk. Reve menyeringai, pandangan Laura tertambat pada cambuk yang dipegang Reve. Benda itu terlihat tua, dengan gagang kayu yang halus karena sering dipegang dan ujung kulit yang mengerikan. Reve mengayunkannya ke lantai. CRACK! Suara yang memekakkan itu membuat Laura berjingkat ketakutan. “Berlutut!” Suara Reve rendah, tetapi terdengar begitu menusuk. Laura mengangkat wajah, matanya membesar. “Apa maksud Anda, Tuan?” Reve tidak menjawab. Tangannya yang besar meraih bahu Laura dengan kasar, memaksanya untuk jatuh berlutut di lantai marmer yang dingin. Rasa sakit dari benturan membuatnya mendesis. Cambuk itu kini diarahkan ke punggungnya. Laura menutup mata, menahan napas. Bibirnya terkunci erat, tangannya mengepal sampai kuku menancap di telapak tangan. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang liar, berdebar seperti burung yang terperangkap. “Kau tahu apa kesalahanmu?” Tangan Reve menarik rambutnya, memaksa Laura mendongak untuk menatap wajahnya. “Tidak, Tuan.” CRACK! Rasa sakit yang tajam dan panas menyambar punggungnya melalui kain seragam. Laura menahan jeritan, tubuhnya gemetar hebat. “Katakan! Kenapa kau menatapku seperti itu?” “Ampun, Tuan. Saya ….” Namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Reve sudah menangkap wajahnya dengan tangan bebasnya. Dengan gerakan kasar, ia mencium bibir Laura. Sebuah ciuman penuh amarah dan kekecewaan. Laura membeku, matanya terbuka lebar. Ia bingung, perasaannya antara rasa sakit, dan takut. Ketika Reve akhirnya melepaskannya, napas mereka sama-sama terengah. Matanya yang biasanya hijau keabuan kini gelap seperti badai. “Jangan pernah lagi memandangku seolah aku adalah monster,” bisiknya, suaranya tiba-tiba terdengar parau. Dan di lantai, dengan punggung dan bibir yang masih berdenyut, Laura akhirnya mengerti jika perbuatan Reve bukan lagi tentang hukuman. Itu adalah tentang seorang pria yang begitu tersesat dalam dunianya sendiri hingga menyakiti satu-satunya orang yang membuatnya merasa manusia. Namun rasa ibanya pada lelaki itu tak bisa mengurangi rasa sakit dan terbakar di seluruh tubuhnya. Tidak juga bisa menghentikan air matanya yang akhirnya jatuh, membasahi lantai marmer yang dingin di bawahnya. Dengan gerakan tergesa yang hampir panik, Laura mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Setiap tarikan napas terasa seperti pisau yang mengoyak punggungnya yang masih berdenyut panas. Dengan kekuatan terakhir yang tersisa, ia mendorong tubuhnya untuk berdiri, lututnya gemetar menahan beban yang terasa lebih berat dari biasanya. Tanpa menoleh, tanpa sepatah kata pun, ia melangkah keluar ruangan. Setiap langkahnya meninggalkan kesunyian yang bergema, seolah rumah megah itu ikut menahan napas menyaksikan kepergiannya. Reve tetap terdiam, terpaku di tempatnya. Pandangannya kosong menatap punggung Laura yang semakin menjauh. Seorang gadis yang baru saja ia hancurkan dengan tangannya sendiri. Tangannya mulai bergetar, gemetar yang tak bisa ia kendalikan, hingga cambuk itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai marmer dengan suara keras yang memecah kesunyian. Suara itu seakan membangunkan Reve dari kekerasannya. Matanya yang tadi dipenuhi amarah kini perlahan dipenuhi kengerian. Sebuah ketakutan akan dirinya sendiri. “Apa yang aku lakukan padanya?” bisiknya pada diri sendiri, suaranya pecah dan hampir tak terdengar. Dia menatap tangannya yang masih gemetar. Tangan yang tadi memegang cambuk, tangan yang tadi menyakiti pelayanannya itu. Tangan yang sama yang kemarin dengan lembut menahan wajahnya. “Tuhan ….” Reve menjatuhkan diri ke kursi terdekat, kepalanya tertunduk berat di antara kedua tangannya. Napasnya terengah-engah, seperti orang yang baru berlari maraton. Di kepalanya, bayangan ketakutan di mata Laura berputar-putar, diikuti dengan suara cambuk yang menghantam punggungnya. “Aku monster,” gumamnya, suaranya parau. “Sama seperti mereka ... sama seperti semua orang-orang itu. Aku … tak berbeda dengan mereka.” Dan untuk pertama kalinya sejak kecil, Reve menangis. Bukan air mata kemarahan atau frustasi, tetapi penyesalan yang dalam dan menyiksa. Air mata yang hanya ditelan oleh kesunyian ruangan mewah yang tiba-tiba terasa seperti penjara paling dingin yang pernah ada. Di luar, langit mulai gelap, seolah ikut berduka atas sebuah jiwa yang tersesat terlalu jauh hingga lupa bagaimana caranya kembali. ***Argo mencoba membuka pintu kamar itu. Namun, Laura masih tak bergeming. Pria itu khawatir, dan mendorong paksa pintu kamar Laura.Argo membeku di ambang pintu, jantungnya serasa berhenti berdetak. Pemandangan di depan matanya membuatnya hancur. Laura berdiri telanjang di depan cermin, tubuhnya gemetar, rambut cokelatnya yang indah terpotong tidak rata dan berantakan. Di tangannya, sebilah gunting masih tergenggam erat.“Laura!” teriak Argo, suaranya pecah oleh kepanikan dan rasa sakit.Dia bergerak cepat, meraih selimut dari tempat tidur dan langsung membungkus tubuh Laura dengan erat, menariknya menjauh dari cermin dan gunting itu. Laura tidak melawan, tubuhnya lemas dan terguncang, isak tangisnya akhirnya meledak.“Argo ... Aku ... Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku,” Laura merintih, bersembunyi di pelukan Argo. “Ada suara ... suara-suara itu terus bergema di kepalaku ... suara-suara itu menyiksaku ….”Argo
Sejak proses penyembuhan Reve ditangani oleh dokter Caleb, Shara belum bertemu dengannya. Bahkan setelah jatuhnya kerajaan bisnis Thomas Dalton di pasar saham, Shara belum menemui suaminya itu.Hari itu, berbekal penasaran dan sedikit harapan, Shara memutuskan untuk mengunjungi Reve di rumah sakit Harapan Baru. Saat dua orang perawat membawanya ke ruangan Reve, Shara merasakan aira berbeda dari sosoknya.‘Sosok yang dingin itu kembali,’ pikirnya.Shara berdiri di sana, di depan Reve yang duduk dengan tenang, wajahnya terlihat lelah. Shara telah mempersiapkan dirinya untuk kemarahan, untuk penolakan, bahkan untuk kebencian dari Reve, tetapi bukan untuk hal itu. Bukan untuk sebuah kejujuran yang dingin dan tanpa emosi.“Maaf, Shara,” ucap Reve, suaranya datar, seperti pembaca berita melaporkan cuaca. “Aku tidak mencintaimu. Pernikahan kita adalah pernikahan bisnis.”“Kenapa, Reve?” Shara mencoba bertanya alasannya,
Argo berdiri di kejauhan, menyaksikan adegan itu dari balik kerumunan. Dia tidak merasa senang. Sebaliknya, ada rasa hampa yang menyesakkan dalam hatinya.Langkah yang sudah dilewatinya adalah kemenangan untuk Ana, untuk Reve, untuk Laura, dan untuk keadilan. Namun kemenangan kecil itu adalah kemenangan yang dibayar dengan harga yang sangat mahal. Cinta seorang wanita, jiwa seorang pria, dan nyawa seorang wanita yang pernah dicintainya.Argo memutar tubuhnya dan berbalik pergi, meninggalkan keributan itu. Pekerjaannya di sana sudah selesai. Sekarang, saatnya untuk menghadapi konsekuensi dari kemenangan pahit itu dan mencoba memperbaiki apa yang masih bisa dia selamatkan. Setidaknya, dia harus berada di sisi Laura.***Di sebuah ruangan yang tenang di rumah sakit jiwa Harapan Baru, Reve duduk dengan postur sedikit membungkuk. Cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela, menerangi debu-debu yang menari pelan di udara. Suasana
Irene menyatukan dokumen-dokumen itu dengan gerakan tegas, suaranya dingin dan profesional. “Thomas. Anda bisa menyangkal semuanya. Tapi semua bukti ini jelas," katanya, menatapnya tanpa emosi. “Rantai bukti ini sudah lengkap. Anda memiliki motif, kesempatan, kekuasaan. Dan bukti-bukti yang kami dapatkan ... semuanya mengarah pada Anda.”Argo melangkah lebih dekat ke arah Thomas. Dia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang penuh bara dari dendam yang selama ini dipendamnya. “Saya tidak bisa membiarkan Anda hidup tenang,” katanya, matanya membara dengan amarah yang tertahan selama bertahun-tahun, “sedangkan nama baik Ana masih tercoreng. Dia bukan pelacur rendahan. Dia adalah seorang wanita yang mencintai anak Anda, dan Anda merenggut nyawanya.”Argo berdiri tegak, menatap Thomas yang mulai goyah. “Saya bersumpah, pada jiwa Ana, bahwa saya akan selalu mengejar Anda. Di pengadilan, di penjara, bahkan sampai ke neraka sekalipun. Saya tidak akan berhe
Reve membuka matanya perlahan. Dan kali ini, bukan dengan tatapan kosong. Sebuah api menyala di kedalaman pupilnya. Api kemarahan yang terlihat lebih besar dari apa yang ada di bayangannya. Dan dia merasakan hal itu sepenuhnya miliknya.“Aku marah …” ujarnya, suaranya rendah dan bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku marah karena ... karena aku merasa dikhianati.”Reve menatap tangannya yang masih mengepal, seolah bisa melihat batu kemarahan itu di telapak tangannya.“Oleh siapa, Reve? Siapa yang berkhianat?” tanya Caleb dengan lembut, membimbingnya.Reve menggeleng, frustrasi karena tidak bisa memberitahu nama seseorang atau hal apa yang membuatnya merasa dikhianati dan marah. “Aku tidak tahu! Tapi … rasanya seperti ... seperti ada yang mengambil sesuatu dariku. Sesuatu yang sangat berharga.” Dia menatap Caleb, matanya penuh penderitaan. “Seperti ada yang masuk ke kepalaku dan ... mencuri diriku.”
Caleb menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Reve, menciptakan ruang yang lebih intim di dalam ruang interogasi yang steril dari orang selain Argo dan Irene. Suaranya lembut, seperti seorang teman yang siap menjadi pendengar untuk cerita Reve.“Baiklah, Reve. Mari kita tinggalkan foto ini untuk sementara,” ujarnya, dengan sengaja menggeser foto Ana ke samping. “Mari kita fokus pada Laura. Katakan padaku tentang dia. Apa hal pertama yang muncul di pikiranmu ketika mendengar namanya?”Reve menutup matanya, dahinya berkerut. Sebuah gambaran samar muncul. Sebuah senyuman, tawa yang berderai, perasaan hangat yang tiba-tiba menyergapnya, diikuti oleh rasa sakit yang tajam di kepalanya. Dia mengerang.“Itu ... rasanya kepalaku sakit,” gumamnya, tangannya menekan pelipisnya.“Sakit itu biasa, Reve,” Caleb membimbing dengan tenang. “Itu sering kali terjadi saat kau sedang dalam mode pertahanan. Otakmu sedang berusaha bertahan. Coba l