Share

Bab 4

Author: Mita Yoo
last update Huling Na-update: 2025-08-10 13:30:58

Laura terbangun saat alarm di ponselnya berbunyi. Pukul lima. Udara yang sejuk membuatnya teringat suasana di kampung halaman.

Ia memulai aktivitasnya dengan membersihkan dapur lalu menyiapkan menu untuk sarapan.

“Buatkan aku kopi tanpa gula,” suara bass itu membuat Laura berjingkat. Ia hampir terantuk sisi meja jika tak menahan diri.

“Y-ya, Tuan. Akan saya buatkan,” kata Laura, menyingkirkan lap dari tangannya.

Laura baru saja membuka rak saat suara bass lelaki itu kembali terdengar.

“Laura.”

Laura menjawab dengan suara pelan. “Ya, Tuan? Apa ada lagi yang Anda butuhkan?”

“Antarkan ke ruang kerjaku.”

“Baik, Tuan.”

***

Dengan langkah hati-hati, Laura membawa nampan perak berisi cangkir kopi dan sepiring croissant hangat ke ruang kerja tuannya. Pintu kayu mahoni itu terbuka sedikit, mengizinkan suara gemerisik kertas dan ketikan keyboard terdengar samar. Laura mengetuk pintu itu pelan.

“Masuk,” suaranya menggema dari dalam.  

Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja kuning keemasan yang menyinari tumpukan dokumen dan laptop terbuka. Lelaki itu duduk membelakanginya, siluet tubuhnya tegas melawan cahaya dari jendela di belakangnya. Laura menahan napas saat meletakkan nampan di atas meja.

“Kopi tanpa gulanya, Tuan,” ujarnya, suaranya lebih stabil dari yang ia duga.  

Ia mengangkat wajah, mata hijau keabuan itu menyapu tubuhnya sekejap sebelum tertuju pada cangkir di hadapannya. Tangannya yang besar meraihnya, jari manisnya yang berhias cincin perak mengetuk-ngetuk pinggiran cangkir.

“Ternyata kau tahu cara membuat kopi yang baik,” gumamnya, menyeruput perlahan.

Laura tidak tahu apakah itu pujian atau sekadar evaluasi atas pekerjaannya. Ia hanya mengangguk kaku. “Terima kasih, Tuan.”

Laura masih menundukkan pandangannya. Langkah Reve terayun lalu membuka lemari kayu di ruangan itu, mengeluarkan sebuah cambuk.

Reve menyeringai, pandangan Laura tertambat pada cambuk yang dipegang Reve. Benda itu terlihat tua, dengan gagang kayu yang halus karena sering dipegang dan ujung kulit yang mengerikan.

Reve mengayunkannya ke lantai.

CRACK!

Suara yang memekakkan itu membuat Laura berjingkat ketakutan.

“Berlutut!” Suara Reve rendah, tetapi terdengar begitu menusuk.

Laura mengangkat wajah, matanya membesar. “Apa maksud Anda, Tuan?”

Reve tidak menjawab. Tangannya yang besar meraih bahu Laura dengan kasar, memaksanya untuk jatuh berlutut di lantai marmer yang dingin. Rasa sakit dari benturan membuatnya mendesis.

Cambuk itu kini diarahkan ke punggungnya. Laura menutup mata, menahan napas. Bibirnya terkunci erat, tangannya mengepal sampai kuku menancap di telapak tangan. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang liar, berdebar seperti burung yang terperangkap.

“Kau tahu apa kesalahanmu?” Tangan Reve menarik rambutnya, memaksa Laura mendongak untuk menatap wajahnya.

“Tidak, Tuan.”

CRACK! 

Rasa sakit yang tajam dan panas menyambar punggungnya melalui kain seragam. Laura menahan jeritan, tubuhnya gemetar hebat.

“Katakan! Kenapa kau menatapku seperti itu?” 

“Ampun, Tuan. Saya ….”

Namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Reve sudah menangkap wajahnya dengan tangan bebasnya. Dengan gerakan kasar, ia mencium bibir Laura. Sebuah ciuman penuh amarah dan kekecewaan. Laura membeku, matanya terbuka lebar. Ia bingung, perasaannya antara rasa sakit, dan takut.

Ketika Reve akhirnya melepaskannya, napas mereka sama-sama terengah. Matanya yang biasanya hijau keabuan kini gelap seperti badai.

“Jangan pernah lagi memandangku seolah aku adalah monster,” bisiknya, suaranya tiba-tiba terdengar parau.

Dan di lantai, dengan punggung dan bibir yang masih berdenyut, Laura akhirnya mengerti jika perbuatan Reve bukan lagi tentang hukuman. Itu adalah tentang seorang pria yang begitu tersesat dalam dunianya sendiri hingga menyakiti satu-satunya orang yang membuatnya merasa manusia.

Namun rasa ibanya pada lelaki itu tak bisa mengurangi rasa sakit dan terbakar di seluruh tubuhnya. Tidak juga bisa menghentikan air matanya yang akhirnya jatuh, membasahi lantai marmer yang dingin di bawahnya.

Dengan gerakan tergesa yang hampir panik, Laura mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Setiap tarikan napas terasa seperti pisau yang mengoyak punggungnya yang masih berdenyut panas. Dengan kekuatan terakhir yang tersisa, ia mendorong tubuhnya untuk berdiri, lututnya gemetar menahan beban yang terasa lebih berat dari biasanya.

Tanpa menoleh, tanpa sepatah kata pun, ia melangkah keluar ruangan. Setiap langkahnya meninggalkan kesunyian yang bergema, seolah rumah megah itu ikut menahan napas menyaksikan kepergiannya.

Reve tetap terdiam, terpaku di tempatnya. Pandangannya kosong menatap punggung Laura yang semakin menjauh. Seorang gadis yang baru saja ia hancurkan dengan tangannya sendiri. Tangannya mulai bergetar, gemetar yang tak bisa ia kendalikan, hingga cambuk itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai marmer dengan suara keras yang memecah kesunyian.  

Suara itu seakan membangunkan Reve dari  kekerasannya. Matanya yang tadi dipenuhi amarah kini perlahan dipenuhi kengerian. Sebuah ketakutan akan dirinya sendiri.

“Apa yang aku lakukan padanya?” bisiknya pada diri sendiri, suaranya pecah dan hampir tak terdengar.  

Dia menatap tangannya yang masih gemetar. Tangan yang tadi memegang cambuk, tangan yang tadi menyakiti pelayanannya itu. Tangan yang sama yang kemarin dengan lembut menahan wajahnya.

“Tuhan ….”

Reve menjatuhkan diri ke kursi terdekat, kepalanya tertunduk berat di antara kedua tangannya. Napasnya terengah-engah, seperti orang yang baru berlari maraton. Di kepalanya, bayangan ketakutan di mata Laura berputar-putar, diikuti dengan suara cambuk yang menghantam punggungnya.

“Aku monster,” gumamnya, suaranya parau.

“Sama seperti mereka ... sama seperti semua orang-orang itu. Aku … tak berbeda dengan mereka.”

Dan untuk pertama kalinya sejak kecil, Reve menangis. Bukan air mata kemarahan atau frustasi, tetapi penyesalan yang dalam dan menyiksa. Air mata yang hanya ditelan oleh kesunyian ruangan mewah yang tiba-tiba terasa seperti penjara paling dingin yang pernah ada.

Di luar, langit mulai gelap, seolah ikut berduka atas sebuah jiwa yang tersesat terlalu jauh hingga lupa bagaimana caranya kembali.

 

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 12

    Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 11

    Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 10

    Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 9

    “Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut. 

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 8

    Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.“Kuenya baru matang, Sayang,” uj

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 7

    Argo membuka pintu mobil dengan sikap hormat, kepalanya tertunduk rendah saat Shara melangkah keluar dengan anggun. Gaun sutra warna lavender yang dikenakannya berkilauan lembut di bawah sinar matahari, menciptakan siluet yang sempurna dari seorang wanita dari kalangan elit. Dengan senyum tipis yang dipraktikkan ribuan kali, Argo memandu Shara menuju ruang tamu utama, di mana Reve sudah menunggu dengan pose yang penuh wibawa.Reve berdiri begitu Shara masuk, wajahnya yang biasanya dingin mencair menjadi senyum yang telah dilatih untuk kesempurnaan. Ia mengambil tangan Shara, menekankan kecupan ringan di atasnya. Sebuah gestur klasik yang penuh dengan nuansa kepemilikan dan kesopanan yang dingin.“Senang sekali bisa bertemu dengan calon istriku di hari ini,” ujar Reve, suara bass-nya terdengar halus dan memesona, seolah tidak ada jejak kekacauan dan kegelapan yang baru saja terjadi di antara ruang kerjanya dan Laura.  Shara tersipu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status