Share

Bab 5

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-08-10 14:30:16

Malam harinya, langkah-langkah berat Reve bergema di lorong sempit menuju kamar pembantu, setiap hentakan sepatu bootsnya seperti palu godam yang menghancurkan kesunyian malam. Dia berhenti di depan pintu kayu yang sederhana, mengetuk dengan keras. Bukan meminta izin, tetapi menuntut. 

“Buka pintunya!”

Pintu terbuka perlahan, menampilkan wajah Laura yang pucat dan mata yang masih bengkak oleh tangisan. Namun sebelum gadis itu bisa berkata apa-apa, Reve sudah mendorongnya masuk, memasuki ruangan kecil yang berbau sabun cuci dan kesederhanaan.

“Tuan, nanti ada yang melihat,” protes Laura dengan suara gemetar, tangannya mencoba menutup baju tidurnya yang tipis.

Reve mengabaikannya. Tangannya yang besar dengan kasar membuka blus tidur Laura, menyibak punggungnya yang masih memerah dengan garis-garis merah yang mengerikan. Napas Reve tercekat.

“Seberapa parah lukamu?” Reve bertanya bukan untuk mendapat jawaban Laura, melainkan sebagai pertahanan dirinya sendiri.

Laura meringis ketika jari Reve menyentuh kulitnya yang sensitif.

“Saya baik-baik saja, Tuan,” bisiknya, menahan rasa sakit dan rasa malu yang sama besarnya.

Namun lagi-lagi, Reve tidak mendengarkan. Jari-jemarinya menelusuri setiap garis kemerahan di kulit pucat Laura, dan untuk pertama kalinya, tangannya yang biasanya mantap sekarang gemetar tak tak terkendali.

“Aku …” suaranya serak, “Aku tidak seharusnya ….” 

Dia berhenti, tak mampu melanjutkan. Di ruangan kecil yang hanya diterangi lampu temaram itu, di antara bau obat gosok dan linen bersih, Reve akhirnya melihat dengan jelas akibat dari amukannya. Dan itu membuat perutnya mual, ingin muntah.

Laura menarik bajunya kembali, berusaha menutupi diri. “Sudah cukup, Tuan. Tolong pergi dari kamar saya sebelum ada yang melihat.” 

Namun Reve tetap diam, menatap punggung Laura seolah baru saja melihatnya untuk pertama kali. Kali ini ia melihatnya bukan sebagai objek, bukan sebagai pelayan, tetapi sebagai manusia yang dia lukai dengan sengaja.

Dan di saat itu, di kamar sempit yang jauh dari kemewahan yang dia miliki, Reve menyadari sesuatu yang mengerikan, bahwa mungkin cambuk itu tidak separah kata-katanya. Dan mungkin, luka yang tidak terlihat itu yang paling sulit disembuhkan.

"Maafkan aku.”

Dua kata itu menggantung di udara yang pengap antara mereka. Kata yang diucapkan dengan getaran yang tak pernah Laura duga akan keluar dari mulut Reve. Namun Laura hanya diam, matanya menatap lantai kayu yang sudah usang, tubuhnya masih membelakangi Reve seperti anak burung yang ketakutan.

Reve berbalik dengan gerakan kasar, hampir tersandung pada karpet kecil di depan pintu. Langkahnya tergesa meninggalkan kamar, meninggalkan Laura sendirian dengan rasa sakit dan kebingungan yang semakin dalam.

Tak lama kemudian, dia kembali. Di tangannya sekarang ada baki perak berisi mangkuk air es, botol alkohol pembersih luka, dan beberapa kotak salep luka. Wajahnya pucat, matanya menghindari tatapan Laura.

“Duduk,” perintahnya, tetapi dengan nadanya lebih lembut, hampir seperti permintaan.

Laura mematuhi, duduk di tepi tempat tidur dengan hati-hati. Reve membasahi kain lembut dalam air es, tangan kokohnya yang pernah memegang cambuk untuk menyakitinya itu sekarang gemetar ringan. 

“Ini akan sedikit sakit,” bisiknya sebelum menyeka punggung Laura dengan hati-hati. Setiap sentuhan terasa seperti pengakuan, setiap desahan napas Laura adalah tuduhan baginya.

Dia bekerja dalam diam. Membersihkan, mendisinfeksi, mengoleskan salep dengan fokus yang biasanya dia curahkan untuk kesepakatan bisnis jutaan dolar. Di bawah jari-jemarinya, tubuh Laura perlahan-lahan berhenti gemetar.

Ketika selesai, Reve tetap berdiri di sana sebentar, menatap hasil pekerjaannya, menatap punggung yang sekarang sudah dibalut perban bersih. Lalu, tanpa kata-kata, dia berbalik dan pergi, menutup pintu dengan sangat pelan.  

Di luar, langkahnya terdengar menjauh, semakin pelan, sampai akhirnya hilang ditelan malam. Laura tetap duduk di tempat tidurnya, merasakan dinginnya salep dan hangatnya sesuatu yang lain. Sesuatu yang mirip dengan harapan, tetapi masih terlalu sakit untuk dinamai.

“Aku harap aku tak mati di tempat ini,” bisik Laura pada dinding kamar.

Sementara itu, Reve sudah berada di ruang kerjanya, tumpukan dokumen di meja kerjanya seakan menyala, setiap huruf dan angka berubah menjadi senjata yang menyerang pikirannya. Denyutan di pelipisnya semakin menjadi, berdenyut-denyut seperti drum perang yang memanggil kegelapan dalam dirinya. Reve mengerang, tangannya meraih cangkir keramik antik di mejanya dan melemparkannya ke lantai dengan kekuatan penuh.

“Kau monster!” bisiknya pada bayangannya sendiri yang terpantul di cermin yang menempel di dinding.  

Namun kemudian dia menggeleng liar, berusaha mengusir suara itu. “Tidak! Aku bukan monster. Mereka ... Mereka yang monster. Aku bukan mereka.”

Dia berdiri, langkahnya goyah menuju cermin besar yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Di sana, dia melihat bayangan seorang lelaki dengan mata liar dan kemeja yang tiga kancing atasnya terbuka. Seorang asing yang memiliki wajahnya sendiri. 

“Lihatlah dirimu,” bisik bayangan itu, “persis seperti ayahmu.” 

Reve menjerit, jeritan yang keluar dari dalam jiwa yang terkoyak dan meninju cermin itu dengan sekuat tenaga. Cermin itu retak, pecahannya cekung, darah segera mengalir dari buku-buku jarinya yang terluka, menetes ke lantai marmer seperti hujan berwarna merah.

“Tidak ... tidak ….” Napasnya terengah, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang tak terbendung. Darah dan air mata bercampur, menciptakan lukisan kesakitan di atas kaca yang pecah.

Di sudut ruangan, bayangan-bayangan masa kecilnya berdesakan. Kenangan akan cambuk, teriakan, dan rasa takut yang tak pernah benar-benar pergi. Reve merosot ke lantai, tangannya yang berdarah menutupi wajahnya. 

“Aku tidak ingin menjadi seperti mereka," ratapnya pada ruangan kosong, pada sosok lain yang hanya bisa dilihat olehnya. “Tolong ... jangan biarkan aku menjadi mereka.”

Namun yang menjawab hanya dering jam dinding yang menandakan tengah malam telah berlalu menjadi dini hari, ketika monster-monster dalam diri manusia paling senang keluar bermain. Dan malam itu, Reve kalah dalam pertempuran melawan monster miliknya sendiri.

Pukul tujuh hari berikutnya, ketukan rapat dan berirama terdengar di pintu kayu mahoni, memecah kesunyian ruangan yang masih beraroma amis darah dan kopi pahit.

Lelaki berkacamata itu memasuki ruangan tanpa menunggu jawaban, langkahnya pasti dan penuh perhitungan. Matanya yang tajam di balik lensa kacamata segera menyapu keadaan ruangan. Pecahan kaca, noda darah di lantai, Reve yang duduk dengan bahu terkulai dan tangan yang masih dibalut perban.

“Kecelakaan kecil, Tuan Muda?" tanyanya dengan suara datar, tanpa emosi, sambil menyesuaikan kacamata yang merosot di hidungnya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 108

    Argo mencoba membuka pintu kamar itu. Namun, Laura masih tak bergeming. Pria itu khawatir, dan mendorong paksa pintu kamar Laura.Argo membeku di ambang pintu, jantungnya serasa berhenti berdetak. Pemandangan di depan matanya membuatnya hancur. Laura berdiri telanjang di depan cermin, tubuhnya gemetar, rambut cokelatnya yang indah terpotong tidak rata dan berantakan. Di tangannya, sebilah gunting masih tergenggam erat.“Laura!” teriak Argo, suaranya pecah oleh kepanikan dan rasa sakit.Dia bergerak cepat, meraih selimut dari tempat tidur dan langsung membungkus tubuh Laura dengan erat, menariknya menjauh dari cermin dan gunting itu. Laura tidak melawan, tubuhnya lemas dan terguncang, isak tangisnya akhirnya meledak.“Argo ... Aku ... Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku,” Laura merintih, bersembunyi di pelukan Argo. “Ada suara ... suara-suara itu terus bergema di kepalaku ... suara-suara itu menyiksaku ….”Argo

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 107

    Sejak proses penyembuhan Reve ditangani oleh dokter Caleb, Shara belum bertemu dengannya. Bahkan setelah jatuhnya kerajaan bisnis Thomas Dalton di pasar saham, Shara belum menemui suaminya itu.Hari itu, berbekal penasaran dan sedikit harapan, Shara memutuskan untuk mengunjungi Reve di rumah sakit Harapan Baru. Saat dua orang perawat membawanya ke ruangan Reve, Shara merasakan aira berbeda dari sosoknya.‘Sosok yang dingin itu kembali,’ pikirnya.Shara berdiri di sana, di depan Reve yang duduk dengan tenang, wajahnya terlihat lelah. Shara telah mempersiapkan dirinya untuk kemarahan, untuk penolakan, bahkan untuk kebencian dari Reve, tetapi bukan untuk hal itu. Bukan untuk sebuah kejujuran yang dingin dan tanpa emosi.“Maaf, Shara,” ucap Reve, suaranya datar, seperti pembaca berita melaporkan cuaca. “Aku tidak mencintaimu. Pernikahan kita adalah pernikahan bisnis.”“Kenapa, Reve?” Shara mencoba bertanya alasannya,

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 106

    Argo berdiri di kejauhan, menyaksikan adegan itu dari balik kerumunan. Dia tidak merasa senang. Sebaliknya, ada rasa hampa yang menyesakkan dalam hatinya.Langkah yang sudah dilewatinya adalah kemenangan untuk Ana, untuk Reve, untuk Laura, dan untuk keadilan. Namun kemenangan kecil itu adalah kemenangan yang dibayar dengan harga yang sangat mahal. Cinta seorang wanita, jiwa seorang pria, dan nyawa seorang wanita yang pernah dicintainya.Argo memutar tubuhnya dan berbalik pergi, meninggalkan keributan itu. Pekerjaannya di sana sudah selesai. Sekarang, saatnya untuk menghadapi konsekuensi dari kemenangan pahit itu dan mencoba memperbaiki apa yang masih bisa dia selamatkan. Setidaknya, dia harus berada di sisi Laura.***Di sebuah ruangan yang tenang di rumah sakit jiwa Harapan Baru, Reve duduk dengan postur sedikit membungkuk. Cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela, menerangi debu-debu yang menari pelan di udara. Suasana

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 105

    Irene menyatukan dokumen-dokumen itu dengan gerakan tegas, suaranya dingin dan profesional. “Thomas. Anda bisa menyangkal semuanya. Tapi semua bukti ini jelas," katanya, menatapnya tanpa emosi. “Rantai bukti ini sudah lengkap. Anda memiliki motif, kesempatan, kekuasaan. Dan bukti-bukti yang kami dapatkan ... semuanya mengarah pada Anda.”Argo melangkah lebih dekat ke arah Thomas. Dia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang penuh bara dari dendam yang selama ini dipendamnya. “Saya tidak bisa membiarkan Anda hidup tenang,” katanya, matanya membara dengan amarah yang tertahan selama bertahun-tahun, “sedangkan nama baik Ana masih tercoreng. Dia bukan pelacur rendahan. Dia adalah seorang wanita yang mencintai anak Anda, dan Anda merenggut nyawanya.”Argo berdiri tegak, menatap Thomas yang mulai goyah. “Saya bersumpah, pada jiwa Ana, bahwa saya akan selalu mengejar Anda. Di pengadilan, di penjara, bahkan sampai ke neraka sekalipun. Saya tidak akan berhe

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 104

    Reve membuka matanya perlahan. Dan kali ini, bukan dengan tatapan kosong. Sebuah api menyala di kedalaman pupilnya. Api kemarahan yang terlihat lebih besar dari apa yang ada di bayangannya. Dan dia merasakan hal itu sepenuhnya miliknya.“Aku marah …” ujarnya, suaranya rendah dan bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku marah karena ... karena aku merasa dikhianati.”Reve menatap tangannya yang masih mengepal, seolah bisa melihat batu kemarahan itu di telapak tangannya.“Oleh siapa, Reve? Siapa yang berkhianat?” tanya Caleb dengan lembut, membimbingnya.Reve menggeleng, frustrasi karena tidak bisa memberitahu nama seseorang atau hal apa yang membuatnya merasa dikhianati dan marah. “Aku tidak tahu! Tapi … rasanya seperti ... seperti ada yang mengambil sesuatu dariku. Sesuatu yang sangat berharga.” Dia menatap Caleb, matanya penuh penderitaan. “Seperti ada yang masuk ke kepalaku dan ... mencuri diriku.”

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 103

    Caleb menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Reve, menciptakan ruang yang lebih intim di dalam ruang interogasi yang steril dari orang selain Argo dan Irene. Suaranya lembut, seperti seorang teman yang siap menjadi pendengar untuk cerita Reve.“Baiklah, Reve. Mari kita tinggalkan foto ini untuk sementara,” ujarnya, dengan sengaja menggeser foto Ana ke samping. “Mari kita fokus pada Laura. Katakan padaku tentang dia. Apa hal pertama yang muncul di pikiranmu ketika mendengar namanya?”Reve menutup matanya, dahinya berkerut. Sebuah gambaran samar muncul. Sebuah senyuman, tawa yang berderai, perasaan hangat yang tiba-tiba menyergapnya, diikuti oleh rasa sakit yang tajam di kepalanya. Dia mengerang.“Itu ... rasanya kepalaku sakit,” gumamnya, tangannya menekan pelipisnya.“Sakit itu biasa, Reve,” Caleb membimbing dengan tenang. “Itu sering kali terjadi saat kau sedang dalam mode pertahanan. Otakmu sedang berusaha bertahan. Coba l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status