LOGINMalam harinya, langkah-langkah berat Reve bergema di lorong sempit menuju kamar pembantu, setiap hentakan sepatu bootsnya seperti palu godam yang menghancurkan kesunyian malam. Dia berhenti di depan pintu kayu yang sederhana, mengetuk dengan keras. Bukan meminta izin, tetapi menuntut.
“Buka pintunya!” Pintu terbuka perlahan, menampilkan wajah Laura yang pucat dan mata yang masih bengkak oleh tangisan. Namun sebelum gadis itu bisa berkata apa-apa, Reve sudah mendorongnya masuk, memasuki ruangan kecil yang berbau sabun cuci dan kesederhanaan. “Tuan, nanti ada yang melihat,” protes Laura dengan suara gemetar, tangannya mencoba menutup baju tidurnya yang tipis. Reve mengabaikannya. Tangannya yang besar dengan kasar membuka blus tidur Laura, menyibak punggungnya yang masih memerah dengan garis-garis merah yang mengerikan. Napas Reve tercekat. “Seberapa parah lukamu?” Reve bertanya bukan untuk mendapat jawaban Laura, melainkan sebagai pertahanan dirinya sendiri. Laura meringis ketika jari Reve menyentuh kulitnya yang sensitif. “Saya baik-baik saja, Tuan,” bisiknya, menahan rasa sakit dan rasa malu yang sama besarnya. Namun lagi-lagi, Reve tidak mendengarkan. Jari-jemarinya menelusuri setiap garis kemerahan di kulit pucat Laura, dan untuk pertama kalinya, tangannya yang biasanya mantap sekarang gemetar tak tak terkendali. “Aku …” suaranya serak, “Aku tidak seharusnya ….” Dia berhenti, tak mampu melanjutkan. Di ruangan kecil yang hanya diterangi lampu temaram itu, di antara bau obat gosok dan linen bersih, Reve akhirnya melihat dengan jelas akibat dari amukannya. Dan itu membuat perutnya mual, ingin muntah. Laura menarik bajunya kembali, berusaha menutupi diri. “Sudah cukup, Tuan. Tolong pergi dari kamar saya sebelum ada yang melihat.” Namun Reve tetap diam, menatap punggung Laura seolah baru saja melihatnya untuk pertama kali. Kali ini ia melihatnya bukan sebagai objek, bukan sebagai pelayan, tetapi sebagai manusia yang dia lukai dengan sengaja. Dan di saat itu, di kamar sempit yang jauh dari kemewahan yang dia miliki, Reve menyadari sesuatu yang mengerikan, bahwa mungkin cambuk itu tidak separah kata-katanya. Dan mungkin, luka yang tidak terlihat itu yang paling sulit disembuhkan. "Maafkan aku.” Dua kata itu menggantung di udara yang pengap antara mereka. Kata yang diucapkan dengan getaran yang tak pernah Laura duga akan keluar dari mulut Reve. Namun Laura hanya diam, matanya menatap lantai kayu yang sudah usang, tubuhnya masih membelakangi Reve seperti anak burung yang ketakutan. Reve berbalik dengan gerakan kasar, hampir tersandung pada karpet kecil di depan pintu. Langkahnya tergesa meninggalkan kamar, meninggalkan Laura sendirian dengan rasa sakit dan kebingungan yang semakin dalam. Tak lama kemudian, dia kembali. Di tangannya sekarang ada baki perak berisi mangkuk air es, botol alkohol pembersih luka, dan beberapa kotak salep luka. Wajahnya pucat, matanya menghindari tatapan Laura. “Duduk,” perintahnya, tetapi dengan nadanya lebih lembut, hampir seperti permintaan. Laura mematuhi, duduk di tepi tempat tidur dengan hati-hati. Reve membasahi kain lembut dalam air es, tangan kokohnya yang pernah memegang cambuk untuk menyakitinya itu sekarang gemetar ringan. “Ini akan sedikit sakit,” bisiknya sebelum menyeka punggung Laura dengan hati-hati. Setiap sentuhan terasa seperti pengakuan, setiap desahan napas Laura adalah tuduhan baginya. Dia bekerja dalam diam. Membersihkan, mendisinfeksi, mengoleskan salep dengan fokus yang biasanya dia curahkan untuk kesepakatan bisnis jutaan dolar. Di bawah jari-jemarinya, tubuh Laura perlahan-lahan berhenti gemetar. Ketika selesai, Reve tetap berdiri di sana sebentar, menatap hasil pekerjaannya, menatap punggung yang sekarang sudah dibalut perban bersih. Lalu, tanpa kata-kata, dia berbalik dan pergi, menutup pintu dengan sangat pelan. Di luar, langkahnya terdengar menjauh, semakin pelan, sampai akhirnya hilang ditelan malam. Laura tetap duduk di tempat tidurnya, merasakan dinginnya salep dan hangatnya sesuatu yang lain. Sesuatu yang mirip dengan harapan, tetapi masih terlalu sakit untuk dinamai. “Aku harap aku tak mati di tempat ini,” bisik Laura pada dinding kamar. Sementara itu, Reve sudah berada di ruang kerjanya, tumpukan dokumen di meja kerjanya seakan menyala, setiap huruf dan angka berubah menjadi senjata yang menyerang pikirannya. Denyutan di pelipisnya semakin menjadi, berdenyut-denyut seperti drum perang yang memanggil kegelapan dalam dirinya. Reve mengerang, tangannya meraih cangkir keramik antik di mejanya dan melemparkannya ke lantai dengan kekuatan penuh. “Kau monster!” bisiknya pada bayangannya sendiri yang terpantul di cermin yang menempel di dinding. Namun kemudian dia menggeleng liar, berusaha mengusir suara itu. “Tidak! Aku bukan monster. Mereka ... Mereka yang monster. Aku bukan mereka.” Dia berdiri, langkahnya goyah menuju cermin besar yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Di sana, dia melihat bayangan seorang lelaki dengan mata liar dan kemeja yang tiga kancing atasnya terbuka. Seorang asing yang memiliki wajahnya sendiri. “Lihatlah dirimu,” bisik bayangan itu, “persis seperti ayahmu.” Reve menjerit, jeritan yang keluar dari dalam jiwa yang terkoyak dan meninju cermin itu dengan sekuat tenaga. Cermin itu retak, pecahannya cekung, darah segera mengalir dari buku-buku jarinya yang terluka, menetes ke lantai marmer seperti hujan berwarna merah. “Tidak ... tidak ….” Napasnya terengah, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang tak terbendung. Darah dan air mata bercampur, menciptakan lukisan kesakitan di atas kaca yang pecah. Di sudut ruangan, bayangan-bayangan masa kecilnya berdesakan. Kenangan akan cambuk, teriakan, dan rasa takut yang tak pernah benar-benar pergi. Reve merosot ke lantai, tangannya yang berdarah menutupi wajahnya. “Aku tidak ingin menjadi seperti mereka," ratapnya pada ruangan kosong, pada sosok lain yang hanya bisa dilihat olehnya. “Tolong ... jangan biarkan aku menjadi mereka.” Namun yang menjawab hanya dering jam dinding yang menandakan tengah malam telah berlalu menjadi dini hari, ketika monster-monster dalam diri manusia paling senang keluar bermain. Dan malam itu, Reve kalah dalam pertempuran melawan monster miliknya sendiri. Pukul tujuh hari berikutnya, ketukan rapat dan berirama terdengar di pintu kayu mahoni, memecah kesunyian ruangan yang masih beraroma amis darah dan kopi pahit. Lelaki berkacamata itu memasuki ruangan tanpa menunggu jawaban, langkahnya pasti dan penuh perhitungan. Matanya yang tajam di balik lensa kacamata segera menyapu keadaan ruangan. Pecahan kaca, noda darah di lantai, Reve yang duduk dengan bahu terkulai dan tangan yang masih dibalut perban. “Kecelakaan kecil, Tuan Muda?" tanyanya dengan suara datar, tanpa emosi, sambil menyesuaikan kacamata yang merosot di hidungnya. ***Di kantornya yang sudah sepi. Hanya lampu meja Laura yang masih menyala, menerangi sketsa-sketsa digital di layar komputernya. Kyle muncul dari balik pintu ruang kerjanya, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Dia mendekati meja Laura. “Laura,” suara Kyle memenuhi ruangan. Suaranya membuat Laura menoleh dari layar. “Ya?” Kyle berhenti di samping mejanya, tidak duduk. Ada ketegangan yang berbeda di udara, bukan seperti atasan dan bawahan, tapi seperti dua orang yang terhubung oleh masa lalu yang rumit. “Kau tahu status kita sebenarnya ‘kan?” Kyle berhenti, seolah menimbang kata-katanya. “Kenapa kau tidak ingin kembali?” Laura menutup tabletnya. Dia tahu pertanyaan ini akan datang, cepat atau lambat. Dia menarik napas. “Tidak.” Jawabannya tegas. “Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan keluargamu, Kyle.” Kyle mengerutkan kening. “Tapi kau juga keluarga kami. Selama bertahun-tahun, ibuku memperlakukanmu seperti anaknya sendiri.” Kenangan itu menyakitkan. Laura memandang l
Suasana di klinik Dylan yang biasanya tenang dan steril, pagi itu pecah oleh kehadiran yang tak terduga. Reve berdiri di ruang konsultasi, memakai kemeja sederhana yang menyembunyikan sebagian besar luka-lukanya, meski balutan di kepala masih terlihat. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi sorot matanya sudah kembali tajam dan penuh kehidupan. Saat Dylan memasuki ruangan, secangkir kopi di tangannya hampir terjatuh. Matanya membelalak, seolah melihat hantu. Dia tertegun, tak mampu berkata-kata. Reve tersenyum, mengulurkan tangannya. “Hai, Bro. Sudah lama.” Dylan perlahan mendekat, masih tak percaya. Dia menjabat tangan Reve dengan kuat, seakan memastikan bahwa Reve di depannya adalah nyata. “Bro ... ini benar-benar kamu? Bukannya kamu .....” Suara Dylan tercekat. Selama ini, seperti semua orang, dia percaya Reve telah tiada. Reve tertawa pelan, ada sedikit keringanan di nadanya. “Kau k
Reve mengangguk, air mata akhirnya mengalir. “Ya. Dan aku tahu, alasan apa pun tidak akan pernah cukup. Aku tidak memintamu untuk memaafkanku sekarang. Aku hanya ... ingin kau tahu kebenarannya.”Laura diam sejenak. Lalu, perlahan, dia melepaskan tangannya dari genggaman Reve, dan justru meraih wajah Reve, memaksanya menatap matanya.“Aku marah. Aku sangat terluka. Tapi …” kata Laura.Dia menarik napas dalam-dalam, “Aku juga mengerti. Dan aku masih mencintaimu, Reve. Mungkin itu yang paling menyakitkan dari semua ini.”Di sanalah, di ruangan yang dipenuhi oleh bayangan masa lalu dan luka, sebuah awal yang baru mulai tumbuh. Bukan dari pengampunan yang terjadi begitu saja, tetapi dari kejujuran yang akhirnya terungkap.Dan cinta yang ternyata mampu bertahan bahkan di balik kepalsuan dan pengorbanan yang paling menyakitkan sekalipun.Reve tiba-tiba saja tersedu-sedu. “Aku menyesal karena kita harus keh
Kain perban putih membalut rapi luka di kepala Reve, menjadi kontras yang mencolok dengan wajahnya yang masih dipenuhi debu dan noda darah kering. Laura tidak bisa mengalihkan pandangannya dari balutan itu, setiap helai kain putih mengingatkannya pada resiko yang baru saja diambil Reve untuknya.Dia menggenggam tangan Reve yang tidak terluka, mengangkatnya, dan meletakkan sebuah ciuman lembut di atas buku-buku jarinya. Air mata masih menggenang di matanya, namun kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang sangat dalam.Laura berbicara dengan suara serak penuh emosi. “Terima kasih, Reve ... terima kasih.”Ucapan itu diulanginya berkali-kali, seolah-olah kata-kata lain sudah tidak cukup. Namun, di balik rasa syukur itu, sebuah pertanyaan besar dan menyakitkan akhirnya mencuat. Pertanyaan yang telah menggerogoti pikirannya sejak tahu Reve masih hidup.Laura menatap Reve, matanya memancarkan kebingungan dan k
Reve menatap detonator itu, darahnya kembali membeku. Gerry sudah mempersiapkan segalanya, sampai ke skenario terburuk ini. Dia terjebak di dalam jebakan.Sekarang, pilihannya bukan lagi tentang pengakuan atau saham. Ini tentang hidup dan mati mereka semua.Waktu seakan melambat. Lampu merah detonator di tangan Alistair berkedip seperti mata iblis yang menantang. Percakapan, ancaman, teriakan, semuanya memudar menjadi desisan putih di telinga Reve. Hanya ada satu tujuan yang harus dilakukannya. Menyelamatkan Laura.Dengan lesatan tenaga yang memuncak, Reve melesat maju. Bukan ke arah Gerry, tetapi melintasi ruangan dengan kecepatan angin, langsung menuju kursi tempat Laura terikat. Tendangannya yang kuat dan terarah menghantam bahu salah seorang preman yang menjaga Laura, membuatnya terlempar.Gerry berteriak. “Jangan!”Namun sudah terlambat. Reve tidak peduli dengan detonator, tidak peduli dengan tembakan yang mu
“Gerry …” bisik Reve.Gerry Crane. Mantan partner bisnisnya. Orang yang pernah dia anggap saudara, sebelum pengkhianatan itu. Wajah yang dulu selalu dihiasi senyum ramah itu sekarang dingin dan tajam seperti pisau. Matanya, yang dulu penuh semangat, kini kosong dan penuh perhitungan.“Sudah lama, Reve. Atau harusnya aku memanggilmu ‘saudara’?” ucap Gerry dengan sarkasme yang menusuk. “Tapi, kita bukan saudara lagi, bukan? Bukan sejak kau memilih untuk menyelamatkan perusahaan itu dan membiarkanku jatuh.”“Itu bukan pilihan, Gerry. Kau yang menggelapkan dana, kau yang mengambil risiko gila! Aku menyelamatkan apa yang tersisa!” bantah Reve.Gerry mengangkat tangan, menghentikan sanggahan Reve. “Dan hasilnya? Aku kehilangan segalanya. Reputasi, kekayaan, bahkan keluargaku.” Tatapannya beralih ke Laura yang terduduk tak berdaya. “Sekarang, aku akan mengambil sesuatu yang paling berharga darimu. Seperti yang kau lakuk







