Senyum getir tersungging di bibir Serena dan diam-diam meminta maaf pada ibunya dalam hati. "Mafkan aku, Bu. Hanya dengan ini Ibu bisa dioperasi.."
“Bagus.” Kendrick menjawab sembari mengarahkan wajah Serena untuk menatapnya.
Sedetik kemudian, Serena berteriak kecil karena pria itu telah menarik lembut tubuhnya hingga terjatuh ke pangkuan pria itu.
Serena berusaha untuk menahan diri agar tak jatuh sepenuhnya ke dalam pelukan Kendrick dengan menahan dada pria itu menggunakan tangannya.
Namun, hembusan nafas Kendrick yang panas di lehernya dan pijatan lembut pria itu di pinggangnya membuat tubuh Serena melemas.
"Ada peraturan yang harus kamu pahami saat bekerja bersamaku, Serena.” bisik Kendrick serak. “Jangan sekali-sekali kamu dekat dengan laki-laki lain. Mengerti?”
Serena menjawab dengan anggukan kecil yang langsung membuat Kendrick tersenyum samar. “Mengerti, Tuan.”
“Good.”
Kendrick mengecup pundak Serena dan meremas pinggul wanita itu sebelum kemudian berusaha untuk mengikis jarak di antara mereka.
Namun, sebelum kedua belah bibir itu sempat bertemu, tiba-tiba saja ponsel Serena berbunyi dan sontak membuat wanita itu memanfaatkan kesempatan untuk beranjak dari pangkuan Kendrick.
Saat Serena melihat siapa yang memanggil, tubuhnya menegang dan langsung mengangkat telepon.
Administrator rumah sakit.
[Nyonya, Ibu Anda terus menerus mengalami Infeksi Sekunder. Apakah hari ini Anda bisa segera menjadwalkan operasi?]
Belum sempat Serena menjawab, Kendrick telah lebih dulu mengambil alih panggilan itu. “Lakukan apa pun yang diperlukan dan masukkan tagihannya atas nama Kendrick Alonzo!”
Tanpa menunggu jawaban apa pun, Kendrick langsung menarik tangan Serena untuk mengikutinya. “Kita ke rumah sakit!”
Asisten Kendrick, Julian, langsung menyiapkan mobil dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Sesampainya di rumah sakit, Serena berlari secepat mungkin menembus manusia-manusia di korido untuk menuju ke ruangan ibunya. Namun, setibanya di sana, dia tak melihat ibunya di mana pun.
Serena lalu masuk lebih dalam dan memeriksa semua brankar yang tirainya tertutup. Namun, ibunya tetap tidak ada di sana.
Serena semakin kalut dan hendak menemui perawat untuk bertanya. Namun, Kendrick telah lebih dulu menarik tubuhnya ke dalam lift dan menekan lantai nomor 20.
“Tuan! Saya harus mencari ibu saya. Dia tidak ada di ruangan dan saya takut terjadi sesuatu padanya. Saya–”
Serena meracau dengan air matanya yang terus mengalir deras. Tadi petugas memberitahu ada masalah pada ibunya dan sekarang ibunya menghilang. Apakah kali ini infeksinya begitu membahayakan?!
“Tenanglah.” Kendrick berkata pelan.
Pintu lift kemudian terbuka dan susunan ruangannya sangat berbeda.
Lantai 20 hanya terdiri dari beberapa kamar dan suasananya sangat tenang. Begitu berlawanan dari kondisi ruangan ibu Serena sebelumnya.
Kendrick lalu kembali menarik tangan Serena dan membawa wanita itu ke salah satu kamar. Saat pintu terbuka, Serena dapat melihat ibunya, Lydia, yang tengah terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya.
“Ibu!” Serena sontak berlari dan langsung memeluk wanita paruh baya itu pelan. “Apa yang terjadi? Ibu membuatku khawatir. Apa yang ibu rasakan sekarang?”
Alih-alih terlihat sedih dan panik seperti Serena, Lydia malah terkekeh sembari menepuk lengan Serena pelan. “Hanya infeksi ringan, tidak membahayakan”
“Tidak membahayakan apa?!” Serena menghapus air matanya sebelum berkata dengan lirih. “Aku benar-benar takut kehilangan ibu.”
“Jangan menangis, ibu pasti akan sembuh.” Lydia tersenyum, tapi matanya terlihat sayu dan nafasnya yang terengah-engah.
Melihat itu, nyeri di hati Serena semakin terasa.
Kalau saja ibunya tidak diperkosa, kalau saja dia tidak hadir di rahim ibunya… pasti ibunya tidak akan berakhir dengan nasib seperti ini.
Lydia cantik dan bisa mendapat pasangan yang tulus menyayanginya. Bukan malah terpaksa menikah karena kesalahan semalam oleh Salvio Quirino dan berakhir diusir seperti sampah tak berguna setelah kematian pria itu.
Di dunia ini, Serena hanya memiliki ibu sebagai tempat bertukar cerita dan sebagai tempatnya pulang. Dia mengusap wajah pucat ibunya membuat ibunya tersenyum kecil.
“Aku akan membelikan ibu beberapa suplemen. Apa ibu ingin makan sesuatu?” Serena beranjak dan mengambil dompetnya.
Namun, Lydia menggeleng dan menahan tangan Serena. “Tidak perlu, Serena. Sampaikan saja rasa terima kasih ibu pada suamimu. Seharusnya dia tak perlu menempatkan ibu di ruangan ini. Ruangan kemarin sudah nyaman..”
“Itu.. Ibu. Sebenarnya..”
Perkataan Lydia membuat Serena terdiam dan buru-buru menatap ke arah Kendrick yang ada di dekat pintu.
Posisi pria itu yang berada di belakang Serena membuat Lydia tak dapat melihatnya. Jadi, segera setelah Lydia melihat Kendrick, senyumnya mengembang tipis.
“Serena, kamu membawa teman? Kenapa tidak diperkenalkan?“
Lydia memberi isyarat untuk duduk dan Serena langsung menekan tombol di belakang brankar. Brankar itu perlahan naik dan mencapai ketinggian yang diinginkan.
“Ah ya. Dia teman Serena,” jawab Serena. “Namanya Kendrick, Bu.”
“Ahya, Kendrick.” Lydia tersenyum sopan. “Terima kasih sudah menjadi teman Serena. Dia sama sekali tak punya banyak teman. Jadi, ibu sempat kaget.”
Serena panik menatap Kendrick, takut membuat pria itu tak nyaman. Namun, alih-alih terganggu, Kendrick malah mendekat dan duduk di kursi yang tersedia.
“Bukan masalah besar… Ibu.” jawaban Kendrick membuat Serena menahan napas. “Kami juga baru-baru ini bertemu karena urusan bisnis.”
“Ah, begitu..” Lydia tersenyum sebelum kemudian kembali menatap ke arah Serena. “Lalu, di mana suamimu, Serena? Kenapa beberapa hari ini ibu tidak melihatnya?”
Mendengar nama Leo disebut, Serena berusaha keras untuk tidak menunjukkan perasaan getirnya. Jadi, dia tersenyum dan berkata dengan nada yang dibuat seceria mungkin.
“Leo ada urusan bisnis di luar negeri, Bu. Belakangan ini dia sangat sibuk. Aku akan menyampaikan pesan kalau ibu mencarinya.”
Mendengar itu Lydia mengangguk-angguk, "Baiklah. Sampaikan juga rasa terima kasih ibu ya.”
Serena mengiyakan, tapi diam-diam merasa sedih. Sejak berpacaran dengan Serena, Leo dengan mudah mengambil hati Lydia melalui pembawaan pria itu dan selalu menjadi manusia favorit Lydia.
Oleh karena itu, Serena tak bisa membayangkan apa jadinya kalau ibunya tahu tindakan Leo yang menjualnya pada Kendrick demi uang?
Serena lantas menatap Kendrick karena merasa tak enak, tapi ia sama sekali tak terlihat reaksi apa-apa dari pria itu.
Melihat jam yang telah semakin larut, Serena segera mengalihkan pandangannya kembali pada Lydia dan menyuruh wanita itu untuk beristirahat.
“Aku akan menemui ibu lagi besok.” tutur Serena sembari menggenggam tangan Lydia. Sebelum beranjak keluar, Serena mengecup dahi dibunya dan menyelimuti wanita itu pelan.
“Aku akan mencoba mencari sumsum tulang agar ibumu segera di operasi.”
Perkataan Kendrick seketika membuat Serena menoleh kaget.
Sebab, tak hanya membiayai semua biaya pengobatan ibunya, Kendrick juga ternyata berniat untuk mencari sumsum tulang untuk ibunya?
Sikap Kendrick ini sontak membuat Serena kembali membandingkan pria itu dengan Leo, karena meski berstatus sebagai menantu Lydia, pria itu seringkali tak terlihat begitu peduli dengan kenyamanan Lydia.
Jangankan mencari sumsum tulang, fasilitas yang diberikan Leo untuk Lydia pun terkesan seadanya walau bisnis pria itu berkembang pesat sebelum terancam bangkrut.
Tak ada ruangan VIP apalagi VVIP, Leo hanya bersedia memfasilitasi Lydia kamar kelas tiga yang dihuni oleh enam pasien dan mendapat perawatan minimal.
Menyadari itu, Serena menatap ke arah Kendrick dengan penuh syukur. “Tuan.. terima kasih. Saya pasti akan–”
“Bersiaplah untuk membayarnya malam ini.”
“Besok, Mama mau kamu makan malam dengan Mam,” ucap Teresa yang menatap anaknya yang tengah menyetir. Kendrick tidak menanggapi perkataan Teresa dia diam dan fokus menyetir berharap segera sampai di mansion utama. “Ken, apa kami tidak mendengar Mama?” suara Teresa kembali meninggi membuat Kendrick menoleh. “Apa lagi yang mau Mama bicarakan denganku? Semua tidak akan mengubah keputusanku, Ma,” ucap Kendrick tanpa menoleh ke arah Teresa. “Aku akan tetap menikahi Serena, meskipun kalian menentang.”“Kendrick! Kenapa sih kamu tidak pernah mau mendengarkan Mama? Cari wanita manapun dari keluarga terhormat, Ken!”“Dia masih keluarga Quirino, jadi tidak ada alasan lagi untuk Mama mengatakan jika dia bukan berasal dari keluarga terhormat.”“Tapi dia lahir diluar pernikahan, sadarlah Ken.”Kendrick menghela nafas, dia merasa muak terus berdebat dengan Mamanya sendiri. Tidak peduli pandangan orang lain, Kendrick tetap menginginkan Serena dan dia akan mempertahankan Serena agar tetap disisinya
Serena duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap dinding kamar yang sunyi. Satu bulan berlalu sejak hari itu di kantor, ketika Teresa datang tanpa diundang, menebarkan ketegangan yang tak pernah Serena bayangkan sebelumnya. Hatinya terbelah antara rasa ingin bertahan dan tekanan yang semakin menyesakkan. Minggu lalu ia resmi mengundurkan diri, keputusan yang dibuat setelah berhari-hari menahan tatapan dingin dan bisik-bisik yang tak pernah diucapkan, namun terasa begitu nyata.Pintu kamar terbuka perlahan, Kendrick masuk dengan langkah pelan. Melihat Serena yang masih duduk termangu, wajahnya berubah khawatir. Ia mendekat, duduk di sampingnya dan meraih tangan Serena yang dingin. "Sayang, apa kamu baik-baik saja?" suaranya lembut, penuh perhatian. “Kamu sudah pulang, Ken?” ucap Serena yang kemudian melihat jam yang ternyata sudah pukul tujuh malam. “Iya Sayang, kamu kenapa melamun?”“Tidak apa-apa, aku hanya bingung harus melakukan apa dirumah,” ucap Serena berbohong. Kend
Kantor Alonzo Group hiruk-pikuk. Suara bisik-bisik memenuhi ruang kerja, menciptakan atmosfer tegang yang tidak bisa diabaikan. Serena duduk di mejanya, wajahnya pucat saat melihat layar komputernya. Foto-foto dirinya dan Kendrick memenuhi forum kantor. “Serena, lihat ini!” Luna, rekan kerjanya, berlari menghampiri, wajahnya memancarkan kekhawatiran. “Kamu dan Pak Kendrick! Ini gila!”Serena menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Kenapa bisa tersebar?” tanyanya dengan suaranya bergetar.“Entahlah, tapi semua orang membicarakannya,” Sofia menjawab, tidak dapat menyembunyikan rasa kekhawatirannya. “Kamu baik-baik saja, Serena?” tanya Maudy yang melihat wajah pucat Serena.“Kak, tenanglah,” tutur Sofia. Mereka mengerti apa yang menjadi kekhawatiran Serena. Di luar kantor, Kendrick yang baru selesai bertemu dengan klien mendengar kabar dari Julian, asisten pribadinya. “Julian, apa maksudnya ini? Mama sedang dalam perjalanan ke kantor?” Suara Kendrick terdengar tegang, mencermink
Mentari pagi menerobos masuk melalui celah gorden, membekukan lembut wajah Serena. Ia mengerjap, merasakan kehangatan di sekitarnya. Kendrick. Pria itu sudah bangun, menatap dengan senyum teduh yang selalu berhasil menghangatkan hatinya."Selamat pagi, sayang," bisik Kendrick, mengecup bibir Serena singkat namun penuh kasih. Serena membalas senyumannya."Pagi, Ken. Mandi sana, nanti telat ke kantor." Kendrick menggeleng, senyumnya semakin lebar."Tidak ada kantor hari ini untukku." Serena sedikit mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”"Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu." "Tidak bisa, Ken. Aku juga harus ke kantor." Raut kekhawatiran langsung tergambar di wajah Kendrick."Kamu yakin Sayang?” Serena mengangguk, dia lalu berkata. “Aku ingin kembali bekerja. Aku tidak bisa terus menerus berdiam diri di rumah,bukan?” Suaranya lirih, namun terdapat ketegasan di dalamnya.Kendrick menatap Serena dengan lembut dan penuh pengertian. Mungkin benar, kembali ke rutinitas seperti biasa akan me
"Aku senang kalau kamu sudah mulai tersenyum lagi," kata Kendrick akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, seperti mendengarkan alunan lagu yang merdu.Serena terdiam, merenungkan kata-kata Kendrick. Ia menyadari perubahan dalam dirinya sendiri. Rasanya seperti menemukan secercah cahaya di ujung lorong gelap yang tak berujung.Namun, meskipun ada perubahan positif, ia masih tidak yakin dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ini hanya ilusi dari rasa rindu akan kebahagiaan yang sudah lama menghilang, ataukah ada sesuatu yang nyata?Kendrick tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya menemani Serena dalam diam. Serena menghela nafas pelan, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, mencoba meredakan pikirannya yang terus berputar."Aku ingin kamu tetap disisiku, Sayang," kata Kendrick tiba-tiba, membuay suasana tenang yang sebelumnya ada di antara mereka. Serena langsung menegang. Ia menoleh menatap Kendrick, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang b
Pagi itu, Kendrick memutuskan untuk Angin sejuk menerpa wajahnya. Dia memperhatikan sekeliling—anak-anak bermain di kejauhan, pasangan muda berjalan bergandengan tangan, dan beberapa orang tua duduk menikmati sore dengan segelas kopi. Semua orang tampak... menjalani hidup.Serena menggenggam lengan bajunya sendiri, merasa terasing di antara mereka. Kendrick berdiri di sampingnya, diam, memberi Serena waktu untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar yang terasa asing."Ayo duduk," katanya akhirnya, menunjuk bangku kayu di bawah pohon rindang. Serena menurut, meskipun hatinya masih berat. Mereka duduk berdampingan dalam keheningan, hanya suara burung dan tawa anak-anak yang terdengar."Kamu tahu," Kendrick akhirnya membuka suara, "Aku dulu benci tempat kayak gini." Serena menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa?" Kendrick mengangkat bahu. "Karena terlalu ramai. Terlalu banyak orang dengan kehidupan mereka masing-masing, sementara aku sIbuk dengan kehidupanku yang berantakan."Serena terdia