LOGINSetelah melihat Leonardo keluar dari kamarnya, Matteo yang sudah menunggu dengan tidak sabar masuk ke dalam kamar, dia ingin segera melihat istrinya.
Pintu kamar terbuka perlahan, mengungkapkan sosok Matteo berdiri di ambang dengan wajah yang sulit terbaca. Pandangannya menyapu tubuh Isabella yang masih terbaring tak berbaju di atas sprei yang berantakan, kulitnya masih memerah oleh bekas ciuman dan sentuhan Leonardo.
Dia melangkah mendekat, duduk di tepi ranjang. Dia menatap bekas ciuman Leonardo di tubuh Isabella seolah meninggalkan tanda kepemilikan. Padahal, mereka sepakat kalau Leonardo hanya perlu memberikan benih-nya bukan bercinta dengan segenap hati juga nafsu seperti ini. ‘Brengsek!’ dia mengumpat dalam hati.
"Kenapa kamu belum membersihkan dirimu?" suara Matteo datar, tapi matanya gelap. "Cepat mandi, lalu kita tidur, Belle sayang..."
Tangannya meraih rambut Isabella, membelainya dengan gerakan mekanis—seperti merawat kuda kesayangan yang baru saja dipinjamkan.
Isabella mengangkat alis, bibirnya melengkung dalam senyum seduktif yang tak pernah Matteo lihat sebelumnya.
"Sebentar..." Dia meregangkan tubuh seperti kucing, sengaja memperlihatkan bekas gigitan Leonardo di lehernya. "Aku masih menikmati sisa-sisa orgasme yang diberikan kakakmu, sayang."
Matteo membeku.
"Aku pikir kamu harus belajar darinya," Isabella melanjutkan, jarinya memainkan ujung selimut sutra. "Dia sangat... pintar menyenangkanku. Mungkin kalau kau bisa seperti dia, aku akan cepat hamil."
Terlihat lengkungan di sudut bibir Isabella. Matteo menurunkan tangannya dari kepala Isabella yang tadi membelai rambut istrinya dengan sayang. ‘Bajingan, kau Leo!’ dia mengumpat lagi.
Udara di kamar berubah menjadi dingin.
Matteo mengepalkan tangan sampai buku-bukunya memutih. "Kau sengaja melakukan ini?"
"Apa?" Isabella berpura-pura tak mengerti, duduk di tepi ranjang dengan gerakan sengaja lambat. "Aku hanya mengatakan kebenaran. Kau sendiri yang memintanya melakukannya, bukan? Daripada aku menolak dan merasa tersakiti, lebih baik aku sekarang menikmatinya."
Dia berdiri, telanjang bulat di hadapan suaminya—tubuh yang baru saja dinikmati lelaki lain.
"Leonardo bahkan tidak butuh obat untuk membuatku menjerit namanya," bisik Isabella, sekarang berdiri begitu dekat hingga napasnya menyentuh bibir Matteo. "Tubuhku meresponsnya seperti bunga mekar di musim semi. Kau tahu kenapa?"
Matteo menatapnya dengan mata berapi. "Mengapa?"
"Karena dia memperlakukan aku seperti wanita, bukan seperti kandang bayi."
Tamparan itu datang begitu cepat.
Isabella terjatuh ke kasur, pipanya terbakar oleh pukulan Matteo yang pertama dalam tiga tahun pernikahan mereka. Darah mengalir di sudut bibirnya, tapi dia... tersenyum.
"Akhirnya kau menunjukkan emosi," desisnya, menjilat darah itu. "Sayang sekali baru sekarang."
“Apa maksudmu, Belle?”
“Seharusnya, Kau pikirkan ini dari dulu sayang…” jawab Isabella sambil tersenyum mengejek dan tanpa emosi.
Matteo menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Kau gila. Aku melakukan semua ini untuk kita."
Matteo berdiri, menarik tangan Isabella dengan kasar saat wanita itu berjalan hampir melewatinya.
“Kamu pikir aku mau membagikan tubuhmu dengan si brengsek, Leo! Aku melakukannya ini karena terpaksa! Demi kita, Belle!”
"Tidak." Isabella tertawa, suaranya pecah. "Kau melakukannya untuk warisan, untuk jabatan, untuk menyenangkan ayahmu. Yang mana yang untuk kita, Matt?."
“Aku sudah mengatakan padamu, Belle. Kalau kamu gak hamil, Papa akan mengirim wanita lain untuk aku nikahi dan aku tidak mau itu terjadi, karena aku mencintaimu! Kamu tahu betapa besar pengorbananku demi pernikahan ini?!” tanyanya dengan sangat emosional.
Isabelle menarik nafas panjang, menahan emosi yang hampir meledak.
“Dan aku? Kamu pikir menyerahkan tubuhku pada lelaki yang bukan suamiku itu bukan pengorbanan? Apa aku ini hanya candaan bagimu, Matt?”
“Aku mencintaimu, Belle! Aku mencintaimu!” Ucap Matteo dengan tangan tetap di pergelangan tangan Isabella.
“Bohong! Kalau kamu cinta, kamu gak akan biarkan aku disentuh laki-laki lain!” suara Isabelle mulai meninggi.
“Aku juga ga mau itu terjadi, Belle! Lagipula itu Leo, dia kakakku!”
“Kamu percaya sama dia? Kamu ga takut kehilangan aku?” tanya Isabella, menarik tangannya.
Dia mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi, tapi berhenti di depan cermin tubuh penuh.
"Oh ya," dia menoleh, sengaja menunjukkan bekas cinta Leonardo di pahanya. "Leonardo bilang besok malam dia akan datang lagi. Katanya... dia belum selesai."
Matteo menghancurkan vas bunga kedua di kamar itu.
Tapi Isabella sudah masuk ke kamar mandi, menyalakan air pancuran untuk menyamarkan suara tangisnya—tangis kemenangan yang pahit.
Keesokan harinya, mereka mengadakan pertemuan darurat dengan Luca dan Antonio.Isabella dan Leonardo sudah memiliki kesepakatan bahwa mereka akan saling mendukung apapun nanti hasilnya."Giovanni Rossi?" Luca mencemooh. "Dia akan mengubah 'Radici e Ali' menjadi mall mewah! Kalian berdua benar akan menolaknya.""Tapi kita tetap butuh dana," ingat Antonio yang kini sudah mulai bekerja di divisi keuangan perusahaan Leonardo. "Renovasi gedung di Milan saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit."Isabella tiba-tiba tersenyum. "Aku punya ide. Bagaimana kalau kita tidak mencari satu investor besar, tapi banyak investor kecil?"Bicara soal uang sebenarnya Isabella dan Leonardo tidak kekurangan uang. Mereka bisa membiayai proyek itu sendirian bahkan tanpa campur tangan investasi dari manapun. Hanya saja, dia memiliki pemikiran lain."Seperti crowdfunding?" tanya Leonardo."Lebih dari itu," jelas Isabella. "Kita buat program 'Komunitas Pemilik Impian'. Kita undang seniman lokal, pengrajin, bahka
Ternyata hidup slow living bukanlah gaya Leonardo dan juga Isabella. Mereka masih saja terpikir dengan impian-impian tertundanya.Sudah memiliki LaBelle tapi dia memiliki impian yang lain yang ingin diwujudkan. Jika, orang mengatakan ini adalah ambisi maka Isabella mengatakan ini bukan ambisi ini hanya impian.Impian dan ambisi adalah dua hal yang berbeda,Ambisi akan membuat orang cenderung melakukan segala cara untuk mewujudkannya sedangkan impian adalah sesuatu yang ingin diwujudkan jika memang mampu.Impian dia setelah Labelle adalag Radici e Ali.Pertemuan pertama perencanaan “Radici e Ali” diadakan di perpustakaan villa. Luca dan Antonio hadir sebagai penasihat, sementara Francesco bertindak sebagai penasehat hukum.“Aku rasa ini ide gila yang brilliant!” sahut Luca antusias. “Tapi lokasinya? Menurutku harus di Florence. Jantungnya Renaissance.”“Tidak,” bantah Isabella halus. “Harus di Milan. Ibukota fashion. Di sinilah semua mata tertuju.”“Tapi suasana Tuscan lebih cocok deng
Udara di Tuscan di musim semi mulai hangat, namun mendekati bulan April mulai menghangat Leandro dan Givendra main kejar-kejaran di taman dengan bebas tanpa baju hangat, kulit mereka sampai kemerahan."babies...." teriak Isabella mencakup keduanya. Kadang sangat kesusahan memanggil nama mereka satu persatu.Boca dua tahun itu berlomba mendekati Mamanya yang sudah menunggu di ambang pintu."Mama...apakah ulang tahunku nanti aku dapat kado dari Mama dan Papa?" tanya Givendra sambil membenahi rambut coklatnya yang menutupi separuh wajahnya.Isabella menggandeng tangan keduanya, "tentu, jika kalian menurut dan tidak buat keributan di pernikahan Paman Tony dan Bibi Clara nanti."Setelah peristiwa itu, Isabella sengaja menjodohkan Clara asistennya dengan Tony, setelah dua bulan mereka dekat mereka memutuskan untuk bertunangan kemudian menikah. Semua berjalan dengan sangat cepat."Kita akan pergi ke Milan?" Leandro bertanya lagi."Iya...kalian sudah menanyakan ini lebih dari tiga kali sama M
Dengan refleks yang mengandalkan naluri, Antonio yang baru saja terbebas dari ikatannya mendorong Leonardo dengan sekuat tenaga. DOR! Peluru yang seharusnya menembus dada Leonardo, kini bersarang di pundak Antonio."ANTONIO!" teriak Leonardo, menangkap tubuh sepupunya yang terhuyung.Fokus Leonardo langsung terpecah beberapa detik, semua ini persis janji mereka semasa kecil akan saling menjaga. Luca langsung menembak kaki Lombardi, menjatuhkan pria itu dengan cepat. Polisi segera mengamankan Lombardi yang kini menjerit kesakitan."Leo..." desis Antonio, wajahnya memerah menahan nyeri. "Aku... tebus... kesalahanku..."Ucapan itu tidak lantas membuat Leonardo tenang, akan tetapi membuatnya merasa bersalah. Dalam hubungan saudara perselisihan kerap terjadi asal bisa diselesaikan dengan kepala dingin kenapa harus dengan kekerasan."Jangan bicara," potong Leonardo, menekan luka di pundak Antonio untuk menghentikan pendarahan. "Kau akan baik-baik saja."Isabella bergegas mencari pertolonga
Mobil van hitam melaju cepat menuju pinggiran Milan. Di dalamnya, Leonardo duduk di antara Luca dan anggota tim keamanan lainnya. Senyap yang tegang menyelimuti mereka, hanya terdengar suara mesin dan napas yang tertahan."Kita hampir sampai," bisik Luca, matanya tak lepas dari tablet yang menunjukkan denah gudang. "Menurut informasi Marco, Antonio dikurung di lantai dua."Leonardo mengangguk, tangannya mengepal erat. "Aku harap Antonio baik-baik saja."“Sebenarnya kamu tidak usah ikut dalam operasi ini, Leo! Kami bisa atasi” ucap Luca.“Ini Antonio, dia satu-satunya keluargaku yang masih ada Luca”"Tim kedua sudah bersiap di markas Lombardi," tambah Luca. "Begitu kita dapat konfirmasi Antonio aman, mereka akan menyerahkan semua bukti ke polisi."Mobil berhenti beberapa ratus meter dari gudang. Mereka melanjutkan dengan berjalan kaki, menyusup melalui semak-semak yang lebat. Gudang tua itu tampak angker, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela pecah.Luca memberi isyarat, dan t
"Aku adalah Marco," jawab suara itu, kali ini terdengar lebih manusiawi. "Aku bekerja untuk Lombardi selama sepuluh tahun, sampai ibumu menyelamatkan nyawa anakku."Leonardo terduduk, mencoba mencerna informasi itu. "Ibu... menyelamatkan anakmu?"Sekali lagi, Leonardo mencoba mengingat-ingat kalau di masa lalu Ivy pernah bercerita tentang Marco, Lombardi atau siapapun tapi sekeras apapun dia berusaha mengingat, ingatan itu tak kunjung datang."Ya," suara Marco bergetar. "Anakku butuh operasi jantung. Lombardi menolak membiayainya, tapi ibumu... dia membayar semuanya tanpa bertanya. Bahkan mengunjungi kami di rumah sakit."Yang Leonardo tahu, Ivy dulu semasa hidup memang menjadi donatur tetap sebuah rumah sakit jantung bahkan dia meminta Isabelle melanjutkannya. Tapi menolong seorang anak? Hm…Leonardo tidak tahu.Isabella mendekat, matanya penuh pertanyaan. Leonardo mengaktifkan speakerphone."Kalau kau bersimpati pada kami, mengapa kau masih bekerja untuk Lombardi?" tanya Isabella."K







