"Perkenalkan ini Sarah, salah satu guru di tempat ini," ucap Rachel kepada Theo.
"Halo, saya Theo," ucap Theo sambil memberikan tangannya.
"Sarah," jawab Sarah sambil menjabat tangan Theo yang lembut dan tanpa sengaja, menghirup aroma citrus yang menyegarkan dari tubuh Theo.
'Aromanya memabukkan dan kulit tangannya terasa selembut kapas,' batin Sarah mendamba.
"Sebenarnya Sarah adalah salah satu guru terbaik kami. Selain itu dia juga pemain musik yang cukup handal dan sering tampil di beberapa tempat." Rachel mempromosikan Sarah kepada Theo yang mendengarkan dengan seksama.
"Hanya saja dia memiliki satu kelemahan," lanjut Rachel yang membuat wajah Sarah yang putih bersih memerah dan mata bulatnya membesar. Sarah sangat kesal karena Rachel akan menjatuhkannya setelah mengangkatnya sedikit tinggi.
"Seperti yang kau saksikan tadi, dia bukan orang yang sabar." Sarah memandang Rachel dengan tajam. Kalau saja tidak ada Theo, dia pasti akan mencengkram leher Rachel.
Theo tertawa dan herannya emosi Sarah langsung meluap begitu mendengar suara tawa Theo.
"Jadi apa kau merekomendasikan Nona Sarah?" tanya Theo dengan suara yang terdengar seperti nyanyian malaikat di telinga Sarah.
"Aku pikir-pikir dulu, nanti aku akan mengabarimu lagi. Sekarang Nona Sarah harus segera masuk kelas, karena muridnya pasti sudah menunggu," ucap Rachel sambil menggoyang-goyangkan kepalanya untuk menggoda Sarah.
"Oh iya, aku harus mengajar. Aku permisi dulu. Sampai bertemu lagi," ucap Sarah menyadari Rachel berusaha mengusirnya.
"Sampai bertemu lagi," jawab Theo dengan lembut lalu menarik Rachel untuk mengikutinya. Sarah memandang pasrah punggung Theo yang tampak sangat akrab dengan Rachel. Untuk pertama kalinya dia terkesima dengan seorang pria, tapi sayangnya pria itu bahkan tidak memandangnya.
Sarah tidak pernah menjalin hubungan dengan pria. Dia bahkan tidak tertarik dengan konsep pacaran apalagi menikah. Di kepalanya hanya ada kerja dan kerja. Impian Sarah hanya satu, memiliki banyak uang untuk membeli kembali rumah orangtuanya.
Tentu saja ada hari-hari ketika dia melihat pasangan yang saling jatuh cinta dan membuat Sarah bertanya-tanya dalam hatinya. Bagaimana mereka bisa bertemu, apa yang membuat mereka saling jatuh cinta. Apakah Sarah akan merasakan hal sama terhadap seseorang atau akankah dia mengenali wajah jodohnya? Namun, perjalanan 30 tahun hidup Sarah membuatnya semakin yakin tidak semua orang ditakdirkan berpasangan dan pasti dia salah satunya.
Sebenarnya Sarah memiliki fisik yang sangat menarik. Mata bulat berwarna coklat, serta bibir merah mudanya tampak sempurna dengan wajah mungilnya. Hidungnya yang sering membuat orang menyangka dia hasil kawin campur dengan orang Eropa membuatnya semakin menawan.
Tingginya 162cm. Tidak terlalu tinggi tapi juga tidak pendek. Namun dadanya yang penuh dan perut yang rata menjadikan tubuhnya sangat ideal.
Tidak sedikit pria yang mendekatinya atau kawan yang menjodohkannya. Tapi tidak satupun yang membuat Sarah tertarik.
Suatu hari dia bertemu dengan pria yang dia pikir akan menjadi jalan keluar dari persoalannya selama ini.
"Dia seorang artis yang sangat tampan dan anak seorang pengusaha kaya raya, hidupmu pasti akan tenang kalau menikah dengannya," promosi salah satu rekan gurunya yang mengatur sebuah kencan buta untuk Sarah.
Sarah sangat bersemangat untuk menghadiri kencan buta itu. Namun begitu melihat pria itu, Sarah tahu dia tidak menginginkan hubungan ini.
"Kau harus berkenalan lebih dalam dulu. Jalani dulu, baru putuskan," pinta teman Sarah waktu itu. Namun dia tetap bersikeras untuk menolak. Dia tahu dalam hatinya, meski pria itu ideal secara fisik dan finansial tapi bukan dia orangnya.
Tapi Theo benar-benar berbeda dari semua pria yang pernah mendekatinya atau berada di sekitarnya. Pada pandangan pertama tadi ada sesuatu yang membuat Sarah merasa dialah orangnya. Namun, Sarah tidak mau terlalu berharap karena dia takut kecewa.
***
"Sarah, tunggu! Aku punya pekerjaan untukmu," seru Rachel ketika Sarah sedang berjalan keluar setelah menyelesaikan kelasnya hari ini.
"Pekerjaan apa?" tanya Sarah dengan wajah dingin.
"Kau masih marah?" Sarah diam saja.
"Dengar aku akan menebus semuanya. Aku sudah menghitung kau kehilangan 12 murid jadi aku akan memberikanmu pekerjaan yang sama nilainya dengan ke 12 murid yang hilang itu," bujuk Rachel sambil mencolek lengan Sarah.
"Tidak usah menggodaku, jelaskan saja pekerjaannya," ucap Sarah dengan ketus.
"Baiklah, aku punya satu klien yang membutuhkan guru privat untuk anaknya yang berkebutuhan khusus. Kau hanya akan mengajar dua kali dalam seminggu, tapi bayarannya sama dengan dua belas muridmu yang hilang itu," jelas Rachel dengan antusias.
"Lalu?"
"Tapi masalahnya, kau harus mengajar di rumahnya. Orangtuanya tidak ingin anaknya dilihat orang lain," jawab Rachel dengan suara yang semakin pelan.
"Kenapa memangnya kalau orang melihat anaknya? Mereka malu? Pasti ini golongan orangtua kaya raya yang sangat mementingkan image," gerutu Sarah yang sudah kesal mendengar penjelasan Rachel.
"Berhentilah memusuhi orangtua muridmu. Kau sendiri belum punya anak, bagaimana kau tahu kau tidak akan melakukan apa yang mereka lakukan kalau kau punya anak nanti?" protes Rachel yang lelah mendengar omelan Sarah.
"Sekarang katakan, berapa persentase bayarannya?" tanya Sarah langsung ke intinya.
"Seperti biasa 50%."
"Apa? Tidak mau! Aku pergi ke rumahnya dan cuma mendapat 50%. Aku mau 70% dan sekolah mendapat 30%!" tegas Sarah dengan nada tinggi.
"Ayolah Sarah, jangan terlalu serakah," mohon Rachel, Sarah bergeming.
"Baik, bagaimana kalau 60-40?" tawar Rachel yang tidak ingin kehilangan terlalu banyak pemasukan untuk sekolahnya.
"Tidak," jawab Sarah.
"Dasar keras kepala. Baiklah aku akan mengatakan pada Theo bahwa kau tidak setuju mengajar putrinya," ucap Rachel kesal.
"Anak Theo?" tanya Sarah dengan suara penasaran.
"Ya, sahabatku yang kemarin kukenalkan kepadamu," jawab Rachel ketus.
"Baiklah, baiklah. Karena dia teman baikmu, aku menyerah. Aku menerima tawaran 60-40 mu," sahut Sarah cepat.
"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Rachel bingung dengan perubahan suara Sarah.
"Karena dia sahabatmu. Sekarang siapa lagi guru yang sanggup menangani anak berkebutuhan khusus sebaik aku disini? Apa kau mau membiarkan Catri yang penakut atau Dono yang lambat mengajar anak sahabatmu?" jawab Sarah dengan penuh percaya diri.
"Baik kalau begitu, aku akan segera mengabari Theo," ucap Rachel senang lalu meninggalkan Sarah yang perlahan berjalan kaki ke stasiun kereta bawah tanah untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tadi Sarah begitu bersemangat untuk bertemu lagi dengan Theo hingga tidak berpikir jauh, dia bahkan tidak benar-benar menyimak perkataan Sarah setelah mendengar nama Theo. Setelah tenang dia baru menyadari sesuatu.
"Sial! Kalau aku mengajar anaknya, berarti Theo sudah menikah," guman Sarah dengan wajah hampir menangis. Dari jutaan pria di dunia ini, mengapa dia harus merasakan daya tarik yang kuat kepada seorang pria beristri.
[Sarah, bisakah hari ini kau luangkan waktu?] Sarah yang sedang dalam perjalanan menuju ke sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, membaca pesan yang dikirimkan Rachel dengan kesal.[Untuk apa?] balas Sarah singkat.Hari masih pagi tapi Rachel sudah mengajaknya bertemu. Sarah menduga pasti ada persoalan di sekolah musik, karena itu Rachel menghubunginya sepagi ini.[Theo ingin bertemu dan membicarakan rencanamu untuk mengajar putrinya.][Aku akan tiba di sekolah musik jam 2 siang. Waktuku kosong sampai jam 4,] balas Sarah cepat. Lagi-lagi dia merasa bersemangat karena akan bertemu dengan Theo. Lalu seakan seseorang menamparnya dengan keras, Sarah kembali menyadari bahwa Theo adalah suami seseorang.Siang itu, Sarah tidak membuang waktunya dan langsung berangkat menuju ke sekolah musik. Sarah merasa putus asa karena tidak bisa mengendalikan perasaannya. Meski menyadari bahwa Theo adalah pria beristri, namun hati Sarah tetap berbunga-bunga membayangkan akan bertemu dengannya sebentar la
"Dia tidak keberatan aku mengajar anaknya?" tanya Sarah tidak percaya."Ya, tapi dia menitipkan pesan. Pekerjaanmu adalah mengajar musik bukan yang lain. Jadi jangan suka ikut campur urusan yang lain!" tegas Rachel. Sarah tersenyum lega lalu mengangguk dengan keras.***Sarah memeriksa penampilan dari pantulan bayangannya di kaca iklan yang ada di halte kereta bawah tanah."Lumayan," guman Sarah sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari. Dia sangat gugup tapi berusaha untuk tenang. Selama perjalanan menuju ke rumah Theo, Sarah tidak henti-hentinya meremas tangannya hingga memutih. Semakin dekat jantungnya berdegup makin kencang. Sarah menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan dan mengulangnya beberapa kali.Akhirnya Sarah berdiri di depan pagar tinggi berwarna hitam, kedua sisinya terdapat tembok putih yang dihiasi tanaman merambat dengan bunga-bunga kecil berwarna warni. Namun, di sisi kiri ada kaca yang lebih mirip seperti jendela kecil. Sarah berusaha mengintip ke dala
"Nadine." Dengan suara sedikit bergetar Sarah memanggil nama adik tirinya. "Kalian saling kenal?" tanya Theo heran. "Ya, dia anak ayah tiriku," jelas Nadine sambil tersenyum palsu. "Dunia ini memang sempit. Ternyata kau keluarga guru musik putriku." komentar Theo tidak percaya. Dalam sehari dia sudah mendapatkan dua kejutan. "Nona Sarah, Nadine adalah sekretaris baru saya. Ada beberapa pekerjaan yang harus segera kami selesaikan. Tapi saya juga ingin melihat kelas musik pertama Grace, karena itu saya memintanya membawa pekerjaan kesini," jelas Theo canggung. Sarah mengangguk. "Nadine, ini putriku Grace." "Halo Grace," sapa Nadine mencoba meraih tangan Grace. "Berhenti!" perintah Sarah cepat. Nadine langsung menghentikan gerakannya dan menatap Sarah dengan tajam. "Dia tidak suka disentuh." Nadine mengalihkan pandangannya ke arah Theo yang mengangguk tanda setuju dengan perkataan Sarah. "Nona Sarah bisa lanjutkan lagi pelajarannya. Nadine dan saya akan ke ruang kerja," ucap The
"Iya, ibunya meninggal ketika melahirkan dia. Karena itu Theo menamai putrinya Grace, sama dengan nama istrinya." Sarah menelan ludah sambil terus menatap Rachel. Membicarakan Grace selalu membuatnya merasa pilu."Lalu, apakah dia menikah lagi?" tanya Rachel ragu."Tidak, laki-laki itu sepertinya masih sangat mencintai almarhum istrinya sampai terus bertahan sendirian. Aku yakin dia mencari perempuan yang sama seperti istrinya. Aku sudah katakan, sampai mati pun pasti tidak akan bertemu dengan wanita seperti Grace!" ucap Rachel terdengar seperti mengejek, tapi sebenarnya merasa kasihan.Sarah yang masih terkejut mendengar penjelasan Rachel tiba-tiba seperti mendapat hadiah yang sangat dia inginkan.'Dia single. Dia bukan suami seseorang.' Sarah terus berguman di dalam hatinya dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Suasana hati Sarah tiba-tiba menjadi sangat baik. Ternyata cintanya tidak salah, dia boleh memiliki rasa itu. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati Sarah."Bagaimana
"Baik kalau begitu. Maaf kami berdebat di sini," ucap Sarah cepat. Lagi-lagi dia kehilangan kendali dan bersikap seenaknya. Sarah menyesal sekali lagi memberikan kesan buruk di hadapan Theo."Kau lihat Theo. Kalau bukan karena kemampuan musik dan mengajarnya yang luar biasa, sudah lama dia kuusir dari sekolah musikku," adu Rachel sambil mendengus. Theo tersenyum paksa.Sementara Sarah hanya diam, dia tidak mau bereaksi karena khawatir akan kembali bersikap buruk di hadapan Theo. Padahal hal seperti ini selalu terjadi di antara mereka, namun bagi orang yang tidak mengenal mereka Sarah pasti tampak kurang ajar.Sarah dan Rachel meninggalkan rumah Theo dengan keadaan kesal. Mereka bahkan masih terus berdebat di dalam perjalanan menuju ke Cantilena. Meski begitu mereka tidak pernah menyimpan dendam, setibanya di Cantilena mereka sudah menyelesaikan permasalahannya dan melupakan perdebatan mereka.Sedangkan Theo masih merasa terpukul dengan sikap Sarah. Theo merasa Sarah adalah wanita deng
"Tuan Theo, maaf saya masuk tanpa izin. Tadi Grace mengajak saya masuk untuk memperlihatkan hasil karyanya," jelas Sarah dengan gugup. Sementara Grace masih terus berbicara tanpa mempedulikan ayahnya dan Sarah.Theo tidak menjawab Sarah dan hanya berdiri menunggu Grace selesai berbicara. Sarah tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya mengikuti Theo berdiri diam sambil mendengarkan Grace."Bagus sekali Grace," puji Theo setelah Grace selesai menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan tata surya.Grace tidak memberi reaksi apapun, dia langsung pergi kembali ke kamarnya. Tinggallah Sarah dan Theo di dalam ruang kerja Theo."Sepertinya tugas Nona Sarah di rumah ini sudah selesai. Mari saya antarkan sampai ke pintu," ujar Theo sopan namun dingin."Maaf boleh saya menanyakan sesuatu tuan?" tahan Sarah pada saat Theo baru akan melangkah keluar dari ruang kerjanya."Ada apa?" Theo berbalik menghadap Sarah. Dia bisa mengirup aroma lembut vanila dari rambut Sarah."Apakah tuan berencana membe
"Oh mengenai hal itu, aku sedang menimbang waktunya. Tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat ini, karena ada urusan yang harus aku selesaikan dulu," jawab Theo berusaha menghindar."Baik Pak, tapi tolong jangan terlalu lama Pak. Saya khawatir Sarah akan terus meneror kami karena rumah itu," ujar Nadine sambil terisak ketakutan."Nadine, boleh saya tahu. Teror apa yang dia lakukan, sampai kalian ketakutan kepadanya?" selidik Theo yang sudah mulai meragukan Nadine."Dia selalu memaki kami dengan kasar, bahkan dia pernah mendorong saya sampai saya dibawa ke rumah sakit karena tangan saya patah Pak. Selain itu, ini cukup memalukan. Tapi dia selalu merebut setiap pria yang sedang dekat dengan saya." Suara Nadine terdengar sedikit bergetar, seperti sedang menahan tangis."Bagaimana caranya dia bisa merebut pria yang dekat denganmu?" Theo tidak mengerti lelaki mana yang bisa berpindah hati dari Nadine yang lembut dan sangat penuh perhatian kepada Sarah yang kasar dan tidak peduli.'Meskipu
"Grace?" Sarah tidak percaya dia akan bertemu Grace dan Theo di makam orangtuanya. "Ayo lihat mama. Ayo," ajak Grace sambil menarik ujung baju Sarah dengan keras. Sarah menatap Theo dengan canggung. Dia yakin Theo merasakan kecanggungan yang sama, karena Theo hanya mengganggukkan kepala tanpa menatapnya, ketika Sarah menyapanya. "Ayo, ayo," desak Grace membuat Sarah tidak dapat menolak. Dia dan Grace berjalan di belakang Theo yang membawa dua buket bunga besar. Ternyata makam almarhum istri Theo tidak terlalu jauh dari makam kedua orang tua Sarah. Dalam hatinya Sarah kembali tertawa. Di antara banyaknya makam di kota ini takdir malah mempertemukan mereka di sini. "Ini mama. Dia sudah meninggal. Tapi dia hidup di surga. Nanti kalau Grace mati, kami bertemu di surga," jelas Grace kepada Sarah, seakan-akan Sarah tidak mengetahui kenyataan itu. "Iya Grace," jawab Sarah sambil membaca tulisan yang terukir di atas nisan. "Grace letakkan bunganya." Theo menyerahkan salah satu buket k