Cuaca pagi itu memang cerah, tetapi tak ada sinar yang mampu menembus mendung yang menyelimuti hati Stefani, gadis berambut panjang yang bekerja sebagai sales villa mewah. Langkahnya gontai, seakan tiap tapak menghitung mundur detik-detik keputusasaan yang menari dalam benaknya.
Stefani memasuki gedung megah tempat ia bekerja, sebuah konstruksi batu yang terasa seperti penjara bagi ambisinya yang layu. Bibirnya masih dapat menyunggingkan senyum, semburat merah muda yang dipaksakan sebagai topeng profesionalisme. Dengan kepala tertunduk, ia memberikan sapaan hormat kepada para senior, yang hanya membalasnya dengan lirikan sepi, seperti ombak yang enggan menyapa pantai. "Selamat pagi, Bu," gumamnya lembut, suara yang tenggelam dalam hiruk pikuk pagi. Stefani menarik napas dalam, merasa tercekik oleh label "hanya seorang sales" yang terasa makin menggenggam erat statusnya. Tangannya yang halus menekan tombol lift, sebuah simbol lain dari naik turunnya harapan yang makin lama makin memudar. Ah, betapa pahitnya nasib yang terjebak dalam siklus yang monoton dan tanpa pengakuan. Pintu lift sempat tertahan sebelum berhasil tertutup sempurna, namun tiba-tiba kembali terbuka. Beberapa karyawan perusahaan itu langsung membanjiri ruang sempit itu, memenuhi setiap sudut lift, yang wajar saja mengingat ini adalah jam kedatangan mereka. "Luar biasa, mbak Gisel sungguh beruntung sekali, bisa menjual tiga properti dalam satu pekan saja, sementara aku yang hanya ingin menjual satu saja sudah kesulitan, ajarin dong mbak caranya!" ucap seorang sales yang cukup Stefani kenali. Wanita bernama Gisel yang terkenal sebagai sales senior ulung itu hanya tersenyum simpul. Kecantikan wajahnya serta penampilan yang selalu mempesona membuatnya menjadi magnet tersendiri dalam dunia sales. Stefani yang mendengar percakapan mereka hanya bisa terdiam di pojok lift, menyembunyikan perasaan iri yang menggebu. Ia tak berkata apa-apa, bahkan saat pintu lift terbuka di lantai yang dituju, pikirannya masih melayang-layang mengingat keberhasilan Gisel. Hatinya menyimpan sedikit rasa iri yang mendalam, meski hanya sekilas terlihat. Jangankan bisa menjual tiga properti dalam satu bulan, setengah tahun terakhir ini ia hanya berhasil menjual satu villa itupun yang biasa saja. Menemukan konsumen tampak seperti berlayar di tengah badai. Persaingan di antara rekan penjualan begitu sengit, di mana teman bisa berubah menjadi lawan dalam sekejap, membuat Stefani enggan memiliki sahabat di kantor itu. Saat ia baru saja meletakkan handbagnya dan bersiap untuk duduk, suara tajam asisten manajer menembus kesunyian. "Stefani, Pak Danil meminta kamu segera ke ruangannya!" Tidak ada ruang untuk membantah atau mengeluh, Stefani hanya bisa menarik nafas panjang dan mengukir senyuman pahit. "Baik, Bu," sahutnya lemah. Hatinya berdebar, Stefani mengerti bahwa setiap panggilan dari Pak Danil hampir pasti berarti serangkaian tekanan baru akan dilontarkan kepadanya. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh gadis sepertinya, yang kian terjepit, selain menyusuri koridor menuju pintu bercat kurma itu sambil menelan setiap cacian dan tekanan yang harus dia hadapi. Dia mengambil napas dalam, menyiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi, sebelum akhirnya mengetuk pintu yang akan membawanya bertemu dengan sang atasan. Tok.. Tok.. Tok.. "Masuk!" Suara garang Danil bergema, menggema hingga ke sudut ruangan, membuat Stefani tergopoh-gopoh membuka pintu. "Permisi, Bapak memanggil saya?" suaranya bergetar saat matanya tidak berani menatap langsung. Kaki Danil berderap mendekati Stefani, matanya tajam memeriksa sosok di hadapannya. "Sudah berapa lama kamu bekerja di sini, Stefani?" suaranya menusuk, membawa otoritas yang tak terbantahkan. Jantung Stefani berdebar seakan ingin meledak, ia menelan ludah berat, berusaha mengumpulkan keberanian. "E... Enam bulan, Pak," jawabnya terbata, suara hampir tak terdengar. Bruak! Danil menggebrak meja di sampingnya dengan keras, menghancurkan keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Stefani menunduk lebih dalam, matanya terpejam, tubuhnya bergetar. "Setengah tahun, Stefani! Setengah tahun tapi hasilmu hanya satu villa terjual? Lihat teman-temanmu," Danil menunjuk sinis ke arah pintu. "Mereka sudah membeli apartemen, bahkan mobil dari hasil penjualan. Sementara kamu, apa yang kamu miliki?" Sinisme Danil tumpul tapi menusuk, meninggalkan Stefani merasa kecil dan tertekan. Sebuah perasaan gagal menjerat, membelenggu harapannya hingga membuatnya nyaris tak bisa Berkata-kata.. "Kamu itu memang memiliki kemampuan atau tidak?" suara Danil memotong angkasa, menyentak Stefani sampai ke tulang sumsum. Meski ini bukan perlakuan baru baginya, entah kenapa kali ini terasa menghunjam lebih dalam di hati. "Kalau kamu benar-benar tak sanggup, lebih baik angkat kaki saja dari sini!" nada Danil kian meninggi. Dalam situasi menghimpit, Stefani refleks mengangkat kepala, matanya menatap lekat pada Danil, seakan mencari setitik belas kasihan. "Tolong Pak, pekerjaan ini sangat berarti bagi saya," rayunya dengan nada memelas. Danil, dengan tatapan dingin dan tangan terlipat di dada, menyampirkan kekecewaan dalam tiap katanya. "Setiap bulan kamu menerima gaji, namun tidak ada hasil nyata yang kamu torehkan untuk perusahaan. Apa gunanya aku mempertahankanmu?" kata-katanya seperti petir yang menyambar hati Stefani. "Saya mohon, Pak. Beri saya satu kesempatan lagi, saya berjanji akan membuktikan diri," suara Stefani bergetar, penuh harapan. Danil, merenung sejenak dalam diam yang mencengkam, lalu meraih sebuah kartu nama dari atas meja. Dia mengulurkannya pada Stefani, mata mereka bertemu, dalam tatapan yang sarat ketegangan.. "Albert Williams?" Stefani bergumam sambil memandang kartu nama itu, matanya memancarkan ketidakpastian. "Dia adalah CEO Williams Group. Kabarnya, ia tengah mencari villa mewah untuk hadiah pernikahan ke-15 untuk istrinya," ungkap Danil, suaranya serius. "Tugas kamu adalah menemui dia, pikat dia untuk membeli villa dari perusahaan kita. Lakukan apapun yang diperlukan, Stefani. Ini adalah kesempatan emas yang tak boleh kamu sia-siakan!" tegasnya. Stefani terdiam, pikirannya melayang pada tanggung jawab besar yang kini menggelayut di pundaknya. Ia sadar betul, tidak ahli dalam memikat hati konsumen elite, tapi karena ini adalah satu-satunya jalan untuk menjaga masa depannya. Mengingat dirinya hanya lulus sekolah menengah atas, dengan pendidikan yang ia miliki, mencari pekerjaan lain bukanlah pilihan. Kini, segalanya bergantung pada bagaimana ia bisa mengatasi rasa gentar di hatinya dan mengambil langkah berani untuk menghadapi Albert Williams. "Baik Pak, saya akan berusaha. Terima kasih atas kesempatannya," ujar Stefani dengan nada berat. Danil menatapnya tajam, suaranya dingin memecah keheningan. "Aku memberimu waktu sampai akhir bulan ini. Jika kamu tidak bisa mendapatkan kepastian, maka siapkan dirimu untuk meninggalkan tempat ini. Apa kamu mengerti, Stefani?" Stefani menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam untuk menstabilkan detak jantungnya yang berpacu. Dengan kepala yang masih tertunduk, ia mengangguk pelan. "Baik Pak," jawabnya, sebelum ia berlalu dengan langkah gontai. Duduk kembali di mejanya, Stefani mengarahkan pandangan kosongnya pada kartu nama yang tergeletak di atas meja. Di sana tertera alamat dan nomor yang bisa dihubungi. Ia merenung sejenak, penuh keraguan, sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menelepon nomor tersebut. Satu kali, dua kali, bahkan lebih dari lima kali ia mendial tanpa jawaban, meningkatkan rasa frustrasinya. Namun ketika ponselnya akhirnya berdering kembali, Stefani segera menjawab dengan nada yang tergesa-gesa. "Selamat pagi, maaf mengganggu. Bisa saya bicara dengan Tuan Albert?" suaranya bergetar, mencerminkan campuran harapan dan ketakutan dalam hatinya.Rasa kesepian dan hasrat yang ditekan selama hampir dua tahun terakhir menghantam Albert tanpa ampun. Lima belas tahun pernikahan, ia selalu menjaga kesetiaannya. Tidak sekali pun ia tergoda, meski banyak perempuan yang mendekat, menawarkan senyum menggoda dan peluang selingkuh yang begitu mudah untuk diambil. Namun malam ini… entah mengapa, suasananya berbeda. Tatapan Albert dan Stefani saling bertemu, seolah ada arus listrik yang mengalir di udara. Jantung Albert berdegup lebih kencang daripada biasanya, menekan dadanya hingga terasa sesak. Ia menelan ludah, mencoba melawan godaan yang muncul begitu kuat saat matanya tertumbuk pada bibir Stefani yang berwarna merah muda, tampak lembut dan berkilau di bawah cahaya lampu kamar villa yang remang. Bibir itu terasa seperti mengajaknya mendekat, seperti berbisik tanpa suara. Albert mencondongkan tubuhnya perlahan, seolah tubuhnya bergerak tanpa perintah. Napasnya hangat, menguap di antara jarak yang kian menipis. Di hadapannya, Stefan
"Bagaimana, sudah dapat villa yang kamu janjikan?"Pertanyaan Stela menyambut kepulangan Albert sore itu dengan nada mendesak, memecah keheningan rumah yang mewah namun terasa dingin. Senyum Albert yang biasanya mampu mencairkan suasana kali ini tampak hambar. Ia melangkah perlahan mendekati istrinya, mencoba meredam ketegangan dengan gestur lembut, mendaratkan kecupan ringan di pelipis wanita yang hampir dua dekade ini menemaninya."Aku akan mengeceknya besok," ujar Albert datar, berusaha menenangkan. Namun, belum sempat tangannya menyentuh bahu Stela, wanita itu tiba-tiba menghindar. Gerakan spontan yang seolah menjadi tamparan tak kasat mata bagi Albert. Stela menutup hidungnya rapat, langkahnya mundur menjauh."Kenapa?" tanya Albert, keningnya berkerut, suara penasaran itu diselimuti nada terluka."Kamu bau, Al. Aku mual dengan bau tubuhmu."Kalimat itu meluncur dari bibir Stela tanpa sedikit pun ragu. Sorot jijik jelas terpampang di matanya, seolah udara di sekitarnya terkontamin
Matahari pagi menembus sela-sela dedaunan, memantulkan cahaya yang seolah ingin membakar kulit Stefani. Namun, panas mentari itu tak ada artinya dibandingkan bara harapan yang berkobar di dalam dadanya. Hari ini bukan hari biasa, ini adalah hari penentuan, hari di mana ia akan membuktikan kepada dunia, dan terutama kepada dirinya sendiri, bahwa ia layak mendapatkan sesuatu yang lebih besar.Dengan uang pinjaman dari Pak Daniel, Stefani telah menjelma menjadi pribadi baru. Sepasang sepatu mengilap menghiasi kakinya, sementara busana elegan membalut tubuhnya, persis seperti yang disarankan Pak Daniel. Tiap helai kain terasa seperti menambah kepercayaan dirinya, melindungi, sekaligus menegaskan tekadnya.Di depan cermin kecil yang menempel di dinding rumah kontrakannya yang suram, Stefani memeriksa dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jemarinya sempat bergetar saat merapikan ujung roknya, namun senyum tipis segera terbit di bibirnya. “Semoga ini awal dari sesuatu yang baru… sesua
"Anda Tuan Albert?" Suara itu terdengar pelan, nyaris tenggelam dalam riuh rendah lobby gedung perkantoran mewah. Stefani, dengan gerakan penuh harap, bangkit perlahan setelah memungut berkasnya. Jantungnya berdentam kencang seakan hendak meledak, jemarinya mencengkeram erat berkas-berkas dan brosur villa yang telah ia persiapkan dengan begitu hati-hati. Nama yang baru saja terlontar dari bibirnya membuat dahi Albert berkerut halus. Lelaki itu, tegap dengan setelan jas kelabu yang sempurna, menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang tajam dan berwibawa kini menelusuri sosok gadis muda yang berdiri gugup di hadapannya. Satu alis tebalnya terangkat, mengukir tanda tanya yang jelas di wajah maskulinnya. "Maaf mengganggu, Tuan Albert," ucap Stefani, suaranya bergetar tapi penuh tekad. "Saya Stefani, perwakilan dari High Property. Saya mendengar Anda sedang mencari villa untuk kado pernikahan." Matanya berkilau, penuh permohonan, seolah seluruh hidupnya bergantung pada jawaban pria
Stefani kembali merasakan pil pahit kekecewaan. Harapan yang baru saja ia bangun runtuh seketika, bagai istana pasir diterjang gelombang. Nama di kartu yang ia genggam erat kini hanya terasa seperti tinta mati di atas kertas, tak lebih. “Maaf, Tuan Albert sedang tidak bisa diganggu.” Kalimat itu menggema di telinganya berulang kali, seperti tamparan dingin yang menyisakan perih berdenyut. Setiap kata menusuk, menyudutkannya ke pojok kecemasan yang kian menggelembung. Tak berdaya berbuat banyak, Stefani pulang ke kamar sempitnya, benteng terakhir dari segala kegagalan. Tasnya mendarat kasar di kasur tua yang menjadi saksi bisu perjuangan seorang gadis muda di tengah kerasnya kota. Dengan tubuh lemah, ia terbaring menatap langit-langit yang retak dan bolong di beberapa bagian, seolah berharap ada jawaban dari setiap celah yang menganga. “Ya Tuhan, sampai kapan kesulitan ini akan berakhir?” bisiknya lirih, bibirnya bergetar. Bayangan wajah Pak Daniel dan kata-kata tajamnya kembal
Cuaca pagi itu memang cerah, tetapi tak ada sinar yang mampu menembus mendung yang menyelimuti hati Stefani, gadis berambut panjang yang bekerja sebagai sales villa mewah. Langkahnya gontai, seakan tiap tapak menghitung mundur detik-detik keputusasaan yang menari dalam benaknya. Stefani memasuki gedung megah tempat ia bekerja, sebuah konstruksi batu yang terasa seperti penjara bagi ambisinya yang layu. Bibirnya masih dapat menyunggingkan senyum, semburat merah muda yang dipaksakan sebagai topeng profesionalisme. Dengan kepala tertunduk, ia memberikan sapaan hormat kepada para senior, yang hanya membalasnya dengan lirikan sepi, seperti ombak yang enggan menyapa pantai. "Selamat pagi, Bu," gumamnya lembut, suara yang tenggelam dalam hiruk pikuk pagi. Stefani menarik napas dalam, merasa tercekik oleh label "hanya seorang sales" yang terasa makin menggenggam erat statusnya. Tangannya yang halus menekan tombol lift, sebuah simbol lain dari naik turunnya harapan yang makin lama ma