Lampu di ruangan rawat inap redup. Jam dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Tapi mata Sarah tak kunjung terpejam. Tubuhnya boleh terluka, tapi pikirannya terus-menerus kembali ke satu hal—Hardian. Wajah anak laki-lakinya yang pucat dan tubuh yang tergeletak tak berdaya di ICU seperti membekas di retina.Ia mendesah berat, lalu menatap langit-langit. Matanya berkaca-kaca. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Tangannya meraih sisi ranjang, lalu dengan napas tertahan ia mencoba menurunkan kaki.Rasa nyeri langsung menyengat. Kakinya yang dibalut gips seperti memberontak, tapi tekadnya jauh lebih kuat. Sarah menggigit bibir, peluh menetes di keningnya, tapi ia tetap berusaha duduk di pinggir ranjang. Ia ingin turun dari ranjang pesakitan ini!Pintu mendadak terbuka. Adit masuk dengan membawa segelas air hangat, namun langsung memekik pelan, “Sarah! Kamu ngapain?!”Dengan cepat, ia meletakkan gelas dan berlari ke sisi ranjang, lalu membopong tubuh Sarah dengan hati-hati.Sarah mer
Damar melangkah perlahan menjauh dari para polisi dan Adit. Ujung-ujung sepatunya nyaris terseret lantai, seperti beban berat sedang menggantung di pundaknya. Pikiran berkecamuk, pengakuan Sarah barusan menghantamnya seperti palu godam. Sial. Ini semua terlalu cepat. Terlalu kacau. Aji sungguh amatir!Bisa-bisanya dia memperkenalkan seseorang seperti Arya padanya. Dan sekarang Hardian malah yang terluka parah. Bukannya Sarah!Lalu ketika di tempat kejadian bisa-bisanya si Arya malah berani berbicara dengannya di telepon tanpa memastikan dahulu Sarah masih hidup atau mati. Sekarang bukan hanya Sarah yang tahu, tapi juga pihak kepolisian mulai mencium aroma sabotase. Ini bukan sekadar kecelakaan ... ini bisa jadi pasal percobaan pembunuhan.Tubuhnya lunglai ketika akhirnya tiba di ruang tunggu ICU. Kursi besi panjang yang dingin seperti ikut mencubit kulitnya, mengingatkannya bahwa dunia nyata tidak bisa ia kendalikan seperti narasi dalam pikirannya. Pandangannya kosong, menatap ke de
Damar menatap Adit dengan wajah mengeras, lalu melangkah pelan mendekat. Suara langkah sepatunya menggema di lantai keramik, seperti palu penghakiman yang menghantam saraf Adit. Tapi Adit yang merasa berada di pihak yang benar, sama sekali tidak bergeming. Ia tetap berdiri di samping ranjang Sarah, dengan bahu tegak dan rahang mengeras. Netra mereka saling menantang.“Keluar dari sini,” desis Damar, matanya menyipit tajam.Adit mengangkat dagunya. “Kamu menyuruhku keluar agar bisa menghabisi Sarah?” tanyanya lugas.Suasana kamar mendadak sunyi senyap, seperti suara waktu mendadak terhenti.Raut wajah Damar langsung berubah. Tertangkap basah atau sedang memainkan lakon korban, tak ada yang tahu. Tapi yang jelas, alisnya terangkat tinggi. “Apa maksudmu?” balasnya dengan nada nyaris tercekik. Ia melirik Sarah, seolah bertanya—apa-apaan ini?Sarah menatap lurus ke arah Damar, mata sayunya tak gentar. “Tadi … saat mobil yang aku tumpangi bersama Hardian terbalik … aku sadar.” Suaranya par
Damar menginjak pedal gas lebih dalam. Mobilnya melesat di jalanan seperti peluru malam yang menembus gelap. Lampu jalan hanya terlihat sebagai garis-garis buram di sisi kaca. Keringat dingin membasahi pelipisnya meskipun AC menyala.Pikirannya kalut. Wajah Hardian terus membayang. Putra semata wayangnya—alasan utama ia menerima permintaan kedua orang tuanya, menikahi Sarah belasan tahun yang lalu. Ia rela menikahi wanita yang tidak ia cintai sepenuh hati, hanya demi mendapatkan keturunan. Dan sekarang … satu-satunya harta paling berharga dalam hidupnya, terluka karena kecerobohan dan ego butanya sendiri.‘Kenapa aku terlalu percaya sama si brengsek Arya itu?! Kenapa aku anggap ini cuma kecelakaan kecil?!’Mobilnya nyaris menabrak trotoar saat menikung di persimpangan. Damar membanting setir, memaki pelan, lalu kembali fokus. Ia tidak peduli melanggar batas kecepatan atau lampu merah. Yang penting, ia harus segera sampai ke rumah sakit.Begitu tiba di pelataran Rumah Sakit Harapan Ins
Adit berdiri dengan napas memburu, wajahnya pucat pasi. “Ini … ini mobilnya Sarah dan Hardian, Gar!” serunya, menunjukkan layar ponselnya pada Tigar. Tangannya gemetar, matanya membelalak memandang potret kabur mobil hitam yang ringsek parah di bagian kanan depan.Tigar yang duduk di sebelahnya langsung menyambar ponsel Adit dan memperbesar gambar. Ia mengangguk cepat. “Iya, bener. Ini mobilnya Sarah. Liat tuh platnya—itu pasti dia!”“Kita harus ke rumah sakit sekarang!” Adit langsung beranjak, mengambil jaketnya dan mencari kunci motor yang biasanya ia letakkan di laci bawah televisi.“Masalahnya ke rumah sakit yang mana, Dit?” Tigar bertanya sambil ikut berdiri, berusaha tetap tenang di tengah kepanikan.“Biasanya korban kecelakaan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.” Adit menyambar kunci, lalu memandang Tigar tajam. “Rumah Sakit Harapan Insan dong?”“Bisa jadi,” balas Tigar.Adit langsung melempar kunci motornya ke arah Tigar. “Kamu yang bawa! Aku gak fokus.”Spontan Tigar men
Pelipis Sarah terasa panas, darah mengalir perlahan menuruni wajahnya. Ia berusaha membuka mata meski kelopak terasa berat, dunia berputar dan matanya kabur. Bau besi, bensin, dan asap memenuhi udara. Tubuhnya terjepit di balik sabuk pengaman, dada sesak, tapi ia masih sadar.“Hardian …,” gumamnya pelan, mencoba menoleh ke samping.Putranya bersandar tak bergerak, kepalanya terkulai ke sisi jendela yang retak, darah merembes dari pelipis kirinya.“Hardian …!” seru Sarah lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Suaranya serak, parau. Ia mencoba menggoyang tubuh anaknya dengan sisa tenaga yang ia punya, tapi hanya sedikit gerakan dari tangannya yang mampu menjangkau.Tak ada sahutan.“Please jawab Mama, Nak ... Hardian ....”Tangis Sarah pecah. Pandangannya buram karena air mata dan darah. Ia merasa putus asa, tubuhnya sakit, tapi rasa takut akan kehilangan anaknya jauh lebih menyesakkan dari pada semua luka fisik yang ia alami.Lalu … tiba-tiba terdengar suara derap langkah.Samar.