“Iya. Bipolar. Gangguan suasana hati, yang ditandai dengan perubahan emosi ekstrem—dari depresi berat hingga hipomania. Tadi malam dan pagi ini kami sudah melakukan wawancara serta observasi singkat, dan tampaknya beliau pernah menjalani terapi serupa beberapa tahun lalu, namun sempat terhenti,” jelas Dokter James.Hardian memalingkan wajah, menatap lantai. Ia tampak syok—meski tidak sepenuhnya terkejut.Sementara Adit menunduk. Hatinya tercekat. Sebagian dirinya merasa bersalah karena tidak mengetahui ini lebih awal. Dan meyakini penyakit Bipolar yang diderita Bela juga karena masa-masa kecilnya yang buruk.“Saat ini Bela dalam fase yang cukup sensitif. Ia sangat rentan terhadap tekanan emosional, terutama yang berkaitan dengan trauma masa lalu,” lanjut dokter James. “Kami menyarankan agar dia menjalani perawatan psikoterapi rutin, didampingi obat penstabil suasana hati yang diresepkan oleh psikiater.”Adit mengangguk pelan. “Apa dia harus rawat inap, Dok?”“Untuk saat ini belum. Han
Rumah Sakit Harapan Insan — Kamar 306, Pukul 14.05Tok. Tok.Tak ada jawaban dari dalam kamar. Adit berdiri beberapa detik, tangannya menggantung di udara. Ia sempat ragu, namun akhirnya memutar kenop pintu perlahan.Ceklek.Pintu terbuka, dan matanya langsung bertemu dua pasang mata dari dalam kamar.Bela menoleh pelan, begitu pula Hardian yang langsung berdiri dari kursinya dan tersenyum lebar, seolah kehadiran Adit adalah pertolongan yang sudah dinantikan sejak lama.“Akhirnya kamu datang juga, Dit,” ucap Hardian, mencoba terdengar santai, meski raut lega terpancar jelas di wajahnya.Adit masuk perlahan. Udara di kamar terasa lebih padat dari pada lorong rumah sakit. Kecanggungan menyelimuti suasana. Ia menatap Bela sekilas, lalu memalingkan pandangan hanya untuk menatap Bela lagi beberapa detik kemudian.Bela sendiri tak mengatakan apa-apa. Ia tidak tersenyum, tidak pula mengalihkan pandangan. Tapi matanya berbicara. Tatapan yang nyaris tak bisa disembunyikan antara kecewa dan rin
Kantor MIMPI MEDIA — Ruang Direktur, Pukul 14.10Sarah duduk di balik meja kerjanya. Matanya menatap lurus ke layar laptop, namun pikirannya tak benar-benar berada di sana. Bekas obrolan makan siangnya dengan Adit masih mengendap kuat dalam benaknya.Kisah pahit dari masa kecil Adit dan Bela, eksploitasi mengerikan, dan trauma yang selama ini tersembunyi di balik senyum tenangnya.“Kalau aku boleh pilih … aku ingin kembali ke masa itu. Ngejagain kamu. Ngejagain Bela.”Itu bukan sekadar kalimat romantis. Itu janji moral Sarah pada dirinya sendiri.Karena kini, ia sadar: Bela bukan saingan yang patut ia cemburui. Dia bukan perempuan penggoda atau mantan pengacau hubungan. Ia hanyalah korban. Luka lama yang tidak sempat sembuh, kini terbuka lebar dan bernanah kembali. Bela hanya butuh ruang aman. Butuh seseorang yang bisa membuatnya merasa masih berarti.Itulah kenapa tadi siang, sebelum Adit keluar, Sarah menyarankan sesuatu yang besar artinya bagi dirinya sendiri.~ “Kamu harus ke ruma
Pukul dua sore hari di rumah sakit Harapan Insan. Bela kembali bersandar ke bantal, matanya masih menerawang ke luar jendela. Sinar matahari mulai bergeser, meninggalkan bayang-bayang samar di lantai. Hardian duduk di sisi tempat tidur, memandangi wajah perempuan itu yang tampak jauh, seolah pikirannya sedang berada di tempat lain—bersama seseorang lain.“Bela …,” gumamnya memanggil pelan, setelah beberapa menit hening.Bela hanya mengedip, pelan.Hardian mencoba tersenyum, meski kaku. “Ngomong-ngomong kamu kuliah apa kerja ya? Kita udah beberapa kali ketemu, tapi belum pernah ngobrol santai. Maksudku, ngobrol yang beneran ngobrol.” Suaranya dibuat serileks mungkin, mencoba mencairkan suasana yang terasa dingin. Beberapa jam terlewati bersama Bela, tapi hanya terasa suasana canggung dan asing. Padahal Hardian sampai berkorban tidak masuk kuliah demi menemani Bela. Karena dokter dan perawat yang memeriksa Bela, mengatakan pasien bernama Bela Mariana ini sebetulnya tidak sakit apa-apa
Adit masih menatap meja, matanya sembab. Genggaman tangannya dengan Sarah terasa dingin dan sedikit gemetar. Warteg di siang hari itu seperti terhenti. Waktu seolah berhenti berdetak di antara mereka. Hanya suara kipas angin tua yang berdecit pelan di atas kepala.“Panti asuhan itu … cuma nampak suci dari luar,” ucap Adit akhirnya, dengan suara berat. “Isinya cuma lima belas anak. Semuanya anak-anak kecil yang dianggap tak punya siapa-siapa. Yang bisa dibentuk. Diatur. Ditundukkan.”Sarah hanya diam. Tak ada yang bisa ia katakan selain terus menggenggam tangan Adit, memberikan rasa aman yang ia bisa tawarkan.“Bela waktu itu umur sekitar tujuh atau delapan tahun. Sedangkan aku sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Kami berteman dekat. Bahkan ... mungkin lebih dekat dari pada teman. Kami sama-sama sebatang kara. Dianggap beban dunia. Tapi saat itu, aku melihat Bela seperti adikku. Orang pertama yang bisa bikin aku nggak merasa sendirian.”Adit menarik napas panjang, lalu menatap jendela
Di lantai tiga Rumah Sakit Harapan Insan, suasana begitu lengang. Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar rawat, memantulkan kilau lembut di lantai keramik dan selimut putih bersih.Hardian berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat namun hati-hati. Tangan kirinya menenteng kantung plastik berisi buah dan makanan ringan. Setelah bertanya pada suster jaga, ia diarahkan ke Kamar 306—tempat Bela dirawat sejak semalam.Sesampainya di depan pintu, ia menarik napas panjang, mencoba mengatur nada suara dan ekspresi. Setelah itu, pelan-pelan ia mengetuk pintu.Tok tok.“Masuk,” suara seorang lembut Bela terdengar dari dalam.Hardian membuka pintu dengan hati-hati, dan langsung disambut aroma antiseptik yang khas. Di dalam kamar, Bela duduk bersandar masih sedikit lemah di tempat tidur dengan infus tergantung di sisi ranjang. Tatapan matanya menerawang ke jendela, namun ketika mendengar suara pintu terbuka, matanya langsung menoleh.Namun ada perubahan drastis pada ekspresin