MasukElvaro dan Kaivan berhenti di depan sebuah perumahan yang tampak tenang. Bukan cluster mewah seperti tempat Elvaro biasanya beraktivitas, melainkan deretan rumah tipe sedang yang rapi dan tumbuh subur dengan pepohonan kecil di kanan-kirinya. Namun perasaan berat yang menggantung di dada membuat Elvaro nyaris tidak memerhatikan apa pun.Mereka baru saja dari rumah seorang teman lama Elvaro—detektif swasta yang dijuluki orang-orang sebagai “Si Pelacak Ajaib”. Seseorang yang dihubungi Elvaro karena putus asa, karena setiap jejak Yara selalu buntu, karena bayangan terburuk terus menghantui pikirannya.Kaivan mengangkat telepon penting dari klien, sementara Elvaro sibuk menghubungi pihak kepolisian. Suaranya terdengar letih, serak, dan hampir pecah. Jari-jarinya bergetar saat memegang ponsel, menandakan betapa rapuhnya ia sejak kepergian Yara.“Ya sudah, tolong kabari lagi nanti,” ucap Elvaro akhirnya sebelum menurunkan ponselnya perlahan. Napasnya berat, seperti seseorang yang terus berla
Beberapa hari ini Elvaro terlihat seperti bayangan dirinya sendiri.Kemeja yang biasanya rapi kini kusut tak karuan, ujungnya keluar dari celana seolah ia memakainya tanpa sadar. Rambut yang selalu disisir klimis mulai tumbuh acak, dan jambang tipis menghiasi rahangnya, memberi kesan lelaki yang tak tidur berhari-hari. Matanya merah, sembab, dan ada lingkar hitam yang begitu pekat di bawah sana.Tak ada satu pun kalimat yang bisa menggambarkan kehancuran seorang ayah yang kehilangan jejak perempuan yang ia cintai dan anaknya.Setiap pagi Elvaro pergi sambil tergesa, menyisir seluruh kota, rumah sakit, halte, pos ojek, bahkan gang kecil terpencil, berharap menemukan Yara sedang duduk sendirian, memeluk lutut, menunggunya. Tapi setiap ia kembali, hasilnya sama: nihil.Ia seperti hidup hanya separuh. Separuh lagi hilang entah ke mana bersama Yara.Arunika memperhatikan papanya dari ruang makan. Piring di meja sudah beberapa kali diganti, tapi tetap kosong. Bi Darmi sampai gelisah sendiri
Yara baru saja selesai melipat baju ketika suara bel pintu depan terdengar. Ia langsung bergegas membukanya.“Tan—”Ucapan pria itu terhenti saat melihat Yara. “Kamu siapa? Di mana Tante Nurma?”“Oh, silakan masuk. Ibu ada di dalam, Mas. Mas pasti Mas Alden.”Pria tinggi bernama Alden itu mengangguk, menggeret kopernya. “Kamu siapa?” tanyanya sambil memperhatikan Yara dari atas sampai bawah, karena penampilannya jelas bukan seperti pembantu.“Aku Yara, Mas. Aku—”“Dia anak Tante, Alden,” sahut Bu Nurma dari lantai atas. Alden langsung mendelik kaget.“Anak angkat,” tambah Bu Nurma.Yara tersenyum lembut, dadanya menghangat. Baru beberapa hari di sini… tapi sudah diakui sebagai anak angkat.Alden manggut-manggut. “Oh, begitu. Aku baru tahu, Tan. Gimana ceritanya?”“Panjang,” jawab Bu Nurma sambil mengamit tangan Alden, membawanya duduk di sofa. Ia membiarkan koper besar keponakannya itu berdiri begitu saja di tengah ruangan.Sesekali, Alden memperhatikan wajah cantik Yara.“Ah, aku bua
Yara terlihat begitu menikmati makanannya pagi itu. Bu Nurma memasak nasi uduk lengkap dengan tempe orek dan telur balado, aroma gurihnya memenuhi dapurl itu. Yara sampai merasa seperti sedang sarapan di rumah orang tuanya sendiri, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.“Bagaimana, Yara?” tanya Bu Nurma sambil tersenyum hangat, memperhatikan gadis itu dengan penuh kasih. Yara sudah seperti putrinya sendiri.“Enak, Bu,” jawab Yara sambil tersenyum. Tatapannya kemudian melirik tempe orek yang tinggal setengah piring. “Apa aku boleh nambah?”“Tentu saja!” Bu Nurma langsung bangkit, antusias. Ia menambahkan nasi, tempe, dan telur balado ke piring Yara.Mereka makan dengan tenang, hanya suara sendok yang terdengar.Sampai akhirnya Bu Nurma angkat bicara, suaranya pelan tapi jelas. “Yara, nanti keponakan Ibu dari luar kota akan datang.”Yara yang sedang mengunyah langsung menegakkan duduknya. “Siapa, Bu?” tanyanya penasaran.“Namanya Alden,” jelas Bu Nurma sambil tersenyum kecil. “Kayakn
Tak ada informasi apa pun.Tak ada jejak.Tak ada petunjuk yang bisa dipegang.Satu-satunya yang semakin jelas adalah rasa panik yang makin mencekik mereka bertiga.Shandy berkali-kali memegangi dadanya, wajahnya pucat. Nafasnya memburu, sampai akhirnya Kaivan panik sendiri.“Om, Om kenapa?!”“Om pusing banget, Kai.” Shandy menahan kepala yang berdenyut keras. “Darah kayaknya tinggiku kambuh.”Elvaro menoleh. “Tahan dulu, Pak.”Tanpa pikir panjang, Kaivan memutuskan, “Om, kita pulang dulu. Aku antar Om Shandy pulang sekalian jemput Runi.”Shandy mengangguk dengan kondisi limbung. Mereka bertiga kembali ke mobil, dan Kaivan memacunya cepat namun tetap terkontrol.---Sesampainya di rumah Shandy, suasana sudah genting. Deva cemas setengah mati, tapi berusaha tampak kuat.“Papa kenapa?”“Tante, Om Shandy sepertinya darah tingginya kumat, Tante anterin Om ke kamar, atau perlu aku panggilkan dokter?”Shandy mengangkat tangan dan menggeleng. “Gak perlu, Kai. Om istirahat saja.”“Kai, kalau
Begitu pintu terbuka, semua orang langsung terperangah. Kamar Yara kosong. Tempat tidur berantakan, gorden masih bergoyang tipis seperti baru tersentuh angin.“Ya… ya ampun… Yara?” Arunika langsung masuk lebih dulu, suaranya pecah memanggil-manggil.Devapun ikut menyusul, panik. Mereka berdua membuka pintu toilet kamar.“Yara?! Yara sayang, kamu di dalam?!” panggil Deva bergetar.Tak ada jawaban.Elvaro berlari ke walk-in closet, mendobrak pintunya. “Yara! Yara, kamu di mana?!”Kosong. Hening. Hanya suara napas panik mereka masing-masing.Sementara itu, Shandy dan Kaivan bergegas ke balkon. Shandy menepi gordennya dengan gerakan cepat, Kaivan langsung keluar.Seketika wajah Kaivan pucat.“Om Shandy.” Kaivan menunjuk sesuatu. Tangannya gemetar.Tali seprai menjuntai di dinding balkon. Masih terikat rapi pada besi bangunan.“YA Tuhan… YARA kabur!” seru Kaivan lantang.Dalam hitungan detik, semua orang sudah berdiri di balkon menatap tali itu.Arunika langsung menutup mulut, menahan jeri







