LOGINPertanyaan Chris menggema di kepala Laura. Tubuhnya mendadak kaku di tempat.
“Maaf, Chris. Aku ketiduran di rumah Kirana,” jawab Laura bohong. Chris terlihat menaikkan sebelah alisnya. Namun, ia tak marah. Laura segera berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin segera membersihkan tubuhnya yang telah kotor. Entah kenapa Chris tidak mengejar dan meminta penjelasan lebih lanjut. Chris tidak mencurigai. Bahkan tidak memeluk atau bertanya apakah dia baik-baik saja. Pria itu hanya mengangguk lalu pergi kerja lebih awal. Itulah yang paling menyakitkan bagi Laura. Apakah suaminya tak ingat hari jadi pernikahan mereka? Laura mengusap wajahnya dengan air dingin, berharap sensasi itu bisa menghapus jejak semalam. Tapi tidak bisa. Jejak Max masih menempel di kulitnya. Dan yang lebih berbahaya, masih tertinggal di dalam pikirannya. Satu jam kemudian, Laura telah sampai di kantor pusat Holligan Grup. Lift terbuka. Laura melangkah cepat, hak tingginya berdetak di lantai marmer mengkilap. Beberapa karyawan memberi salam sopan padanya, tapi Laura hanya membalas dengan senyum kecil. Dalam pikirannya, ia hanya ingin masuk ke ruangannya dan tidak bertemu siapa pun. Terutama Max. Tapi takdir rupanya gemar mempermainkan. Begitu ia membuka pintu ruangannya, suara berat itu langsung menyambut. “Selamat pagi ... calon sekretarisku yang cantik.” Laura membeku. Max berdiri di dekat meja kerjanya. Pria itu mengenakan jas hitam elegan, dasi abu-abu yang senada dengan dasi yang ia lepas semalam, dan senyum menyebalkan yang membuat Laura ingin menampar sekaligus menangis. “Kenapa kau di sini?” bisik Laura pelan, panik. Matanya cepat memindai ruangan, memastikan tak ada orang lain yang melihat mereka. “CEO barumu hanya sedang mengecek stafnya. Apa salah?” Max berjalan mendekat, lalu membungkuk sedikit, menatap wajah Laura dari dekat. “Kau masih cantik pagi ini, meski kurang tidur.” Laura melangkah mundur, menunduk. “Jangan bicara seperti itu di kantor, Max. Tolong—” “Kenapa?” potong Max, suaranya berubah tajam. “Karena kau takut ketahuan? Atau karena kau takut tidak bisa menahan diri lagi?” Laura menggigit bibir. Ia ingin menampar Max. Tapi di saat yang sama, tubuhnya kembali mengingat sensasi semalam. Pelukannya. Bisikannya. Kepasrahannya. Max menyentuh rambut Laura sebentar. “Kau tahu, aku bisa memindahkanmu ke ruanganku sekarang juga. Sekretaris pribadi CEO. Gajimu naik dua kali lipat.” Laura menatap tajam. “Kau tidak akan berani.” Max tersenyum tipis. “Mau taruhan?” ucapnya sambil mengamati Laura dari atas sampai bahwa, hingga matanya menangkap sesuatu. Laura hanya diam, tapi tiba-tiba Max mengangkat tubuhnya. “Max, apa-apaan ini! Turunkan aku!” Laura mencoba memberontak. Ia memukuli dada bidang milik Max. Max tak bereaksi lebih, ia hanya menurunkan Laura di kursi lalu mengambil kotak obat. Max duduk berjongkok, kemudian mulai mengobati lutut Laura yang tadi pagi sempat berdarah. “Ahh!” Laura berteriak kecil. Ia tak menyangka Max akan melakukan hal itu kepadanya. “Masih sakit?” tanya Max pelan. Sebelum Laura sempat menjawab, terdengar suara pintu diketuk dari luar. “Masuk!” seru Max dengan nada profesional seketika. Ia segera berdiri dan merapikan pakaiannya. Begitupun dengan Laura yang berdiri dan berusaha bersikap tenang. Tak lama setelahnya, Chris muncul dari balik pintu. Wajahnya biasa saja, meski matanya sempat melirik ke arah Max dan Laura yang berdiri cukup dekat. Laura cepat-cepat beranjak dari tempatnya. “Max, saya ingin membahas laporan merger kemarin,” ucap Chris datar. Max mengangguk. “Baik, masuk saja ke ruangan saya. Laura, bawa berkasnya.” Dada Laura mencelos. Dia tidak ingin masuk ke ruangan itu, namun Laura tidak punya pilihan lain. Ia hanya mengangguk dan mengikuti langkah Chris dan Max menuju ruangan CEO. *** Laura berdiri di sisi meja besar, membagikan dokumen merger. Max duduk di kursi utama, sementara Chris di depannya. Selama Chris bicara soal angka, Laura tidak berani menatap keduanya. Tapi dari ujung matanya, dia bisa merasakan Max memandangnya. Lama dan begitu dalam. “Laura?” Suara Chris memanggilnya. Laura terlonjak kecil. “Ya?” “Kau dengar tadi? Aku minta kau siapkan revisi laporan sore ini.” “O-Oh. Iya. Siap.” Max tertawa kecil. “Sepertinya sekretarisku masih mengantuk.” Chris mengernyit. “Sekretarismu? Bukankah dia masih terdaftar di divisi keuangan?” Max menyandarkan tubuhnya santai. “Belum resmi. Tapi aku sedang mempertimbangkannya.” Chris diam. Laura menunduk, jantungnya berdetak cepat. Ia tahu nada itu. Nada datar khas Chris saat menahan emosi. “Kalau kau ingin sekretaris baru, ajukan lewat HRD,” kata Chris dingin. “Sudah tentu,” balas Max ringan. “Tapi aku selalu lebih suka yang sudah kukenal.” Laura merasa seolah sedang berdiri di ujung tebing. Di satu sisi ia harus menjaga rahasianya dari Chris. Di sisi lain ia merasa cinta lamanya terhadap Max mulai bangkit kembali. Sore itu, Laura menyelesaikan laporan terakhirnya. Ia tidak menyangka akan terus merasa dikejar ketakutan seperti ini. Selalu terbayang-bayang peristiwa malam itu dan merasa Chris akan muncul lalu berkata bahwa dia telah mengetahui semuanya. Saat Laura bersiap hendak pulang, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Max. [Ke ruangan CEO sekarang atau aku datang ke mejamu dan menciummu di depan semua orang.] Laura membuang napas kasar. “Brengsek!” umpat Laura lalu segera bangkit sebelum benar-benar gila. Di dalam ruangan CEO, Max sedang berdiri di dekat jendela membelakangi Laura. Langit di luar sudah jingga. Tampak indah di antara gedung-gedung tinggi. “Kenapa memanggilku ke sini?” tanya Laura tajam. Max menoleh, matanya tidak bermain-main. “Karena aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Dan aku tahu, kau pun begitu.” Laura mengepalkan tangan. “Kita tidak bisa seperti ini. Aku istri sahabatmu.” “Kau istri pria yang mengabaikanmu.” Laura tercekat. Max berjalan pelan, menyentuh wajahnya. “Aku ingin bersamamu, Laura. Bukan sembunyi-sembunyi begini. Tapi aku tahu, kau belum siap.” Air mata Laura menetes. “Kau tidak mengerti. Aku cinta Chris, tapi aku juga benci dia karena membuatku merasa sendirian.” Jemari Max mengusap air mata Laura perlahan. “Aku akan menunggumu. Denganku, kau tidak akan pernah merasa sendirian atau bahkan terabaikan.” Sebelum Laura sempat menjawab, pintu ruangan diketuk. Laura langsung mundur. Max duduk di kursinya, merapikan dasi. Pintu terbuka. Chris masuk. Matanya langsung tertuju pada Laura.Setelah Laura dan Max menghabiskan beberapa minggu yang ajaib di villa terpencil di tepi Danau Como, Italia. Kini akhirnya mereka kembali ke Valmerra, tapi bukan ke penthouse mewah mereka, melainkan ke rumah yang jauh lebih besar dan hangat yaitu kediaman keluarga besar Max, yang dipimpin oleh Kakek Max—ayah dari Papanya. Ini adalah langkah yang disengaja Max, menempatkan Laura di bawah perlindungan benteng keluarga terkuat mereka, di mana siapapun itu tidak akan berani mendekat. Pagi itu di rumah keluarga besar terasa damai. Max sudah bangun lebih dulu, bersiap untuk hari pertamanya kembali di kantor setelah honeymoon panjang. Ia mengenakan kemeja dan dasi, lalu kembali ke ranjang untuk membangunkan Laura. Max membungkuk, mencium kening Laura lembut. “Bangun, Sweet Heart. Sudah pagi. Hari ini adalah hari pertama kembalinya Max si Raja Bisnis.” Laura mengerang, menarik selimut menutupi kepalanya. “Lima menit lagi, Max. Aku merasa sedikit pusing.” “Pusing?” Max menarik selimut i
Dengan perlahan ia menunduk, bibirnya menyapu garis rahang Laura, turun ke leher, lalu berhenti tepat di bahu. Ia tidak terburu-buru. Justru kesabaran itu yang membuat Laura hampir kehilangan akal. Tiap gigitan lembut, tiap kecupan yang dibiarkan berlama-lama, membuatnya bergetar tak karuan. Lalu, dengan gerakan tak terduga, Max menggulingkan tubuh Laura hingga kini ia berada di atas, namun tetap menahan tangannya di sisi kepala. Laura menatapnya dengan mata terbelalak sebentar, lalu tersenyum malu, tubuhnya memanas karena posisi baru itu membuatnya benar-benar tak berdaya. “Max ….” Suaranya nyaris berupa erangan pelan, bergetar di antara rasa ingin dan rasa malu. Max hanya menunduk, bibirnya kembali melahap bibir Laura, kali ini dengan ciuman yang lebih dalam, lebih menuntut. Lidah mereka bertemu lagi, saling menekan, saling mengisi, hingga Laura merasa paru-parunya seolah kehilangan udara. Namun Max belum puas. Tangannya yang bebas menyusuri sisi tubuh Laura, turun perlaha
Hari ketiga di Paris, saat mereka berjalan di taman yang tenang di dekat Jardin du Luxembourg, di tengah hamparan bunga tulip yang bermekaran, Laura dan Max berhenti sejenak di dekat sebuah air mancur. Keduanya memperhatikan sekelompok anak kecil bermain kejar-kejaran. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia sekitar lima tahun menangis tersedu-sedu. Balon heliumnya, berbentuk astronot biru, tersangkut tinggi di dahan pohon yang rindang. “Astaga, kasihan sekali,” bisik Laura. Insting keibuannya langsung muncul. Ia bergegas mendekat, menenangkan si anak laki-laki. “Tidak apa-apa, Mon Chérie. Bibi akan ambilkan,” kata Laura dengan senyum lembut, meski ia harus berjinjit dan melompat sedikit. Laura berhasil meraih ujung tali balon itu, menariknya turun, dan memberikannya kembali kepada si anak. Wajah anak itu seketika bersinar. Ia memeluk balonnya erat-erat. “Merci, Madame! Merci!” seru anak tersebut riang. Tepat saat itu, datang anak laki-laki lain yang p
Max kemudian mengangkat Laura. Kali ini ia membaringkan sang istri perlahan di atas meja marmer panjang di kamar mandi. Meja itu dingin, memberikan kontras yang sensasional pada kulit Laura yang kini terasa semakin panas. Max berdiri di antara kaki Laura, menatapnya dengan hasrat yang membakar. “Aku ingin kau mengingat setiap sentuhanku,” bisik Max, suaranya pelan dan mengancam. “Aku ingin kau tahu bahwa tubuhmu hanya merespons padaku.” “Hanya padamu, Max. Selalu padamu,” desah Laura, tangannya meraih rambut Max, menariknya ke bawah untuk sebuah ciuman yang dalam. Max menerima ciuman itu dengan rakus. Ciuman mereka adalah ledakan dari penahanan diri sepanjang hari, penuh hasrat, dan gairah yang jujur. Max tidak lagi ragu. Ia menggerakkan tangannya dengan berani dan penuh kepemilikan. Laura melengkung di atas meja marmer yang dingin. Ia bisa merasakan Max mengambil alih segalanya. Desahannya kini bukan lagi godaan, tetapi pelepasan murni. Max mengangkat kepala sedikit, memu
Max tersenyum nakal. “Tidak ada. Ciumanmu adalah macaron paling manis yang pernah ada dan aku selalu ingin lebih.” Max menunduk dan di tengah hamparan rumput yang ramai itu, ia mencium Laura dengan lembut dan penuh cinta. Itu adalah ciuman yang menjanjikan, ciuman yang menolak segala bentuk ketakutan dan ancaman. Di bawah Menara Eiffel yang baru saja berkilauan, mereka merayakan kemenangan cinta mereka. Mereka menghabiskan waktu hingga sore, berdua saja, tanpa ponsel, tanpa berita, hanya mereka dan Paris. Langit berubah menjadi oranye, merah muda, dan ungu, melukis pemandangan Paris yang membentang. Di saat senja itu, Max berjanji akan selalu menjadi fondasi yang kokoh, tempat Laura bisa berlindung dari badai apa pun. Akhirnya Max memutuskan untuk membawa Laura kembali. “Sudah cukup, Chérie. Kita harus kembali ke hotel.” Max dan Laura kembali ke suite mereka setelah hari yang indah di Paris. Pintu kaca kamar mandi telah menjadi pemisah singkat yang memicu kerinduan baru.
Setelah siap, Max dan Laura meninggalkan suite. Mereka siap menaklukkan Paris. Pria itu menggandeng tangan Laura erat. Laura tampak memukau dalam gaun sundress sederhana yang ia kenakan dan kalung cameo vintage yang dibelikan Max bersinar lembut di lehernya. Tujuan pertama mereka adalah Montmartre. Saat tiba di bukit ikonik itu, mereka langsung disambut oleh keramaian dan aroma cat minyak yang khas. Para seniman jalanan sibuk melukis, musisi memainkan akordeon, dan turis berdesakan di tangga menuju Basilika Sacré-Cœur. Max dan Laura berjalan perlahan, menikmati suasana. Pria itu sengaja membiarkan Laura menentukan arah, ingin melihat apa yang menarik perhatian istrinya. “Aku suka tempat ini, Max,” bisik Laura, matanya berbinar melihat seorang pelukis tua yang fokus pada kanvasnya. “Semuanya terasa jujur di sini. Tidak ada kepalsuan.” “Seperti yang aku lihat di matamu,” balas Max, berhenti sejenak, membalikkan tubuh Laura, dan mengecupnya di dahi. “Kau adalah keindahan pali







