Share

BAB 2

Penulis: Rich Mama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-15 00:08:54

Pertanyaan Chris menggema di kepala Laura. Tubuhnya mendadak kaku di tempat.

“Maaf, Chris. Aku ketiduran di rumah Kirana,” jawab Laura bohong.

Chris terlihat menaikkan sebelah alisnya. Namun, ia tak marah.

Laura segera berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin segera membersihkan tubuhnya yang telah kotor.

Entah kenapa Chris tidak mengejar dan meminta penjelasan lebih lanjut.

Chris tidak mencurigai. Bahkan tidak memeluk atau bertanya apakah dia baik-baik saja. Pria itu hanya mengangguk lalu pergi kerja lebih awal.

Itulah yang paling menyakitkan bagi Laura. Apakah suaminya tak ingat hari jadi pernikahan mereka?

Laura mengusap wajahnya dengan air dingin, berharap sensasi itu bisa menghapus jejak semalam. Tapi tidak bisa. Jejak Max masih menempel di kulitnya. Dan yang lebih berbahaya, masih tertinggal di dalam pikirannya.

Satu jam kemudian, Laura telah sampai di kantor pusat Holligan Grup.

Lift terbuka. Laura melangkah cepat, hak tingginya berdetak di lantai marmer mengkilap. Beberapa karyawan memberi salam sopan padanya, tapi Laura hanya membalas dengan senyum kecil. Dalam pikirannya, ia hanya ingin masuk ke ruangannya dan tidak bertemu siapa pun. Terutama Max.

Tapi takdir rupanya gemar mempermainkan.

Begitu ia membuka pintu ruangannya, suara berat itu langsung menyambut.

“Selamat pagi ... calon sekretarisku yang cantik.”

Laura membeku.

Max berdiri di dekat meja kerjanya. Pria itu mengenakan jas hitam elegan, dasi abu-abu yang senada dengan dasi yang ia lepas semalam, dan senyum menyebalkan yang membuat Laura ingin menampar sekaligus menangis.

“Kenapa kau di sini?” bisik Laura pelan, panik. Matanya cepat memindai ruangan, memastikan tak ada orang lain yang melihat mereka.

“CEO barumu hanya sedang mengecek stafnya. Apa salah?” Max berjalan mendekat, lalu membungkuk sedikit, menatap wajah Laura dari dekat. “Kau masih cantik pagi ini, meski kurang tidur.”

Laura melangkah mundur, menunduk. “Jangan bicara seperti itu di kantor, Max. Tolong—”

“Kenapa?” potong Max, suaranya berubah tajam. “Karena kau takut ketahuan? Atau karena kau takut tidak bisa menahan diri lagi?”

Laura menggigit bibir. Ia ingin menampar Max. Tapi di saat yang sama, tubuhnya kembali mengingat sensasi semalam. Pelukannya. Bisikannya. Kepasrahannya.

Max menyentuh rambut Laura sebentar. “Kau tahu, aku bisa memindahkanmu ke ruanganku sekarang juga. Sekretaris pribadi CEO. Gajimu naik dua kali lipat.”

Laura menatap tajam. “Kau tidak akan berani.”

Max tersenyum tipis. “Mau taruhan?” ucapnya sambil mengamati Laura dari atas sampai bahwa, hingga matanya menangkap sesuatu.

Laura hanya diam, tapi tiba-tiba Max mengangkat tubuhnya.

“Max, apa-apaan ini! Turunkan aku!” Laura mencoba memberontak. Ia memukuli dada bidang milik Max.

Max tak bereaksi lebih, ia hanya menurunkan Laura di kursi lalu mengambil kotak obat.

Max duduk berjongkok, kemudian mulai mengobati lutut Laura yang tadi pagi sempat berdarah.

“Ahh!” Laura berteriak kecil. Ia tak menyangka Max akan melakukan hal itu kepadanya.

“Masih sakit?” tanya Max pelan.

Sebelum Laura sempat menjawab, terdengar suara pintu diketuk dari luar.

“Masuk!” seru Max dengan nada profesional seketika. Ia segera berdiri dan merapikan pakaiannya.

Begitupun dengan Laura yang berdiri dan berusaha bersikap tenang.

Tak lama setelahnya, Chris muncul dari balik pintu. Wajahnya biasa saja, meski matanya sempat melirik ke arah Max dan Laura yang berdiri cukup dekat.

Laura cepat-cepat beranjak dari tempatnya.

“Max, saya ingin membahas laporan merger kemarin,” ucap Chris datar.

Max mengangguk. “Baik, masuk saja ke ruangan saya. Laura, bawa berkasnya.”

Dada Laura mencelos.

Dia tidak ingin masuk ke ruangan itu, namun Laura tidak punya pilihan lain. Ia hanya mengangguk dan mengikuti langkah Chris dan Max menuju ruangan CEO.

***

Laura berdiri di sisi meja besar, membagikan dokumen merger. Max duduk di kursi utama, sementara Chris di depannya.

Selama Chris bicara soal angka, Laura tidak berani menatap keduanya. Tapi dari ujung matanya, dia bisa merasakan Max memandangnya. Lama dan begitu dalam.

“Laura?” Suara Chris memanggilnya.

Laura terlonjak kecil. “Ya?”

“Kau dengar tadi? Aku minta kau siapkan revisi laporan sore ini.”

“O-Oh. Iya. Siap.”

Max tertawa kecil. “Sepertinya sekretarisku masih mengantuk.”

Chris mengernyit. “Sekretarismu? Bukankah dia masih terdaftar di divisi keuangan?”

Max menyandarkan tubuhnya santai. “Belum resmi. Tapi aku sedang mempertimbangkannya.”

Chris diam.

Laura menunduk, jantungnya berdetak cepat. Ia tahu nada itu. Nada datar khas Chris saat menahan emosi.

“Kalau kau ingin sekretaris baru, ajukan lewat HRD,” kata Chris dingin.

“Sudah tentu,” balas Max ringan. “Tapi aku selalu lebih suka yang sudah kukenal.”

Laura merasa seolah sedang berdiri di ujung tebing. Di satu sisi ia harus menjaga rahasianya dari Chris. Di sisi lain ia merasa cinta lamanya terhadap Max mulai bangkit kembali.

Sore itu, Laura menyelesaikan laporan terakhirnya. Ia tidak menyangka akan terus merasa dikejar ketakutan seperti ini.

Selalu terbayang-bayang peristiwa malam itu dan merasa Chris akan muncul lalu berkata bahwa dia telah mengetahui semuanya.

Saat Laura bersiap hendak pulang, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Max.

[Ke ruangan CEO sekarang atau aku datang ke mejamu dan menciummu di depan semua orang.]

Laura membuang napas kasar.

“Brengsek!” umpat Laura lalu segera bangkit sebelum benar-benar gila.

Di dalam ruangan CEO, Max sedang berdiri di dekat jendela membelakangi Laura.

Langit di luar sudah jingga. Tampak indah di antara gedung-gedung tinggi.

“Kenapa memanggilku ke sini?” tanya Laura tajam.

Max menoleh, matanya tidak bermain-main. “Karena aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Dan aku tahu, kau pun begitu.”

Laura mengepalkan tangan. “Kita tidak bisa seperti ini. Aku istri sahabatmu.”

“Kau istri pria yang mengabaikanmu.”

Laura tercekat.

Max berjalan pelan, menyentuh wajahnya. “Aku ingin bersamamu, Laura. Bukan sembunyi-sembunyi begini. Tapi aku tahu, kau belum siap.”

Air mata Laura menetes. “Kau tidak mengerti. Aku cinta Chris, tapi aku juga benci dia karena membuatku merasa sendirian.”

Jemari Max mengusap air mata Laura perlahan. “Aku akan menunggumu. Denganku, kau tidak akan pernah merasa sendirian atau bahkan terabaikan.”

Sebelum Laura sempat menjawab, pintu ruangan diketuk.

Laura langsung mundur. Max duduk di kursinya, merapikan dasi.

Pintu terbuka. Chris masuk.

Matanya langsung tertuju pada Laura.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ute Glider
max, lu bener bener yeeeeeee hua
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 12

    Laura menarik tangannya kasar dan bergegas ke luar.Begitu ia menutup pintu, napasnya sesak. Lututnya lemas. Begitu Laura kembali ke mejanya, matanya bertemu dengan Chris.Suaminya berdiri tidak jauh. Wajahnya datar. Tidak marah. Tidak heran. Tapi tatapannya tajam.“Kau dari ruangan Max?” tanya Chris pelan.Laura tersenyum kaku. “Ya. Aku serahkan laporan barusan.”Chris menatap Laura lama. “Kenapa wajahmu tegang?”Laura terdiam sesaat. “Cuma ... banyak kerjaan.”Chris tidak menjawab. Ia mengangguk pelan, lalu pergi ke ruangannya.Laura nyaris menangis.Siang hari, di kantin perusahaan, Laura duduk bersama Kirana dan dua staf lain. Wanita itu tak banyak bicara. Ia hanya memainkan sendok, menatap makanan tanpa nafsu.Kirana menyikutnya. “Ada apa sih kamu hari ini, Lau? Dari tadi kayak dikejar tagihan kartu kredit.”Laura tertawa hambar. “Enggak kok.”“Chris marah sama kamu, ya?”Laura menoleh cepat. “Hah? Nggak. Kenapa nanya gitu?”“Ya tadi aku sempat lihat dia keluar dari ruangannya sa

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 11

    Max mengangkat bahu dengan sikap santai, tapi sorot matanya menusuk seperti pisau.“Ini kantorku, bukan?” ucapnya tenang. “Aku bebas melakukan apapun. Termasuk ... berdiri di depan calon sekretarisku yang bahkan tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihatku.”Laura membuang wajah, tapi Max mencondongkan tubuh ke arahnya. Nafas hangatnya menyentuh pipi Laura yang pucat.“Apa kau selalu gemetar seperti ini tiap kali lihat wajahku, atau... kau memang belum bisa melupakan peristiwa malam itu?”Laura mendongak. “Jangan main-main, Max!”“Siapa yang main-main?” bisik Max, semakin dekat.Tangannya hampir menyentuh ujung rambut Laura. Tapi Laura menepisnya cepat, meski tangannya sendiri bergetar.Suara notifikasi tiba-tiba memecah suasana. Ponsel Max bergetar keras di sakunya.Refleks, ia menyentuh sakunya dan mengangkat ponsel ke telinga setelah melihat nama di layar.Sementara Laura, dengan cepat mengambil kesempatan itu untuk kabur. Ia mundur beberapa langkah, lalu membalikkan ba

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 10

    Kirana tampak kaget. “Eh, enggak ... waktu kita jalan bareng bulan lalu itu, kan, aku sempat pakai mobil ini. Kamu nggak ikut waktu itu, Lau.”“Bulan lalu?” Laura mencoba mengingat. “Aku nggak ingat kamu pernah pakai mobil ini.”“Waktu kamu ke luar kota, Sayang,” timpal Chris cepat. “Aku antar dia ke bandara. Dadakan.”“Oh.” Laura kembali diam.Tapi sekarang pikirannya mulai berlari. Bulan lalu. Saat ia ke luar kota untuk kunjungan kantor selama dua hari. Ia ingat hari itu Chris bilang tak ada urusan penting. Lalu malamnya, ia menelepon mengajak video call, tapi Chris menolak dengan alasan “lagi capek.”Sesampainya di kantor, Laura keluar lebih dulu. Ia menunggu di samping pintu gedung. Chris masih di dalam mobil, menunggu Kirana yang sedang membereskan tasnya di kursi depan.“Kamu yakin pulang nanti sendiri?” tanya Chris kepada Kirana, dengan suara yang terlalu lembut untuk sekadar rekan kerja.“Iya. Aku sudah pesan ojek online kok. Tenang aja.”“Kalau ada apa-apa, kabari aku.”“Sia

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 9

    Chris memegangi perutnya. “Tadi mau ambil air minum dari kulkas. Terus perutku sakit banget. Nggak sempat naik ke atas.”Laura mengangguk pelan. Wajahnya datar.“Oh begitu,” gumam Laura. “Sekarang kamu siap-siap ya, kita punya hidangan spesial pagi ini dari Kirana.” “Jadi semua ini masakan Kirana?” tanya Chris. “Sorry, Chris. Aku terlambat bangun tidur tadi,” balas Laura merasa bersalah.Chris mendekat. Mencium kening Laura. “It's ok. Pasti kamu kecapekan semalam. Untung saja ada Kirana di sini.”“Ayo kita makan, sebelum makanan ini dingin,” ucap Laura mencoba mengalihkan suasana. Ia merasa malu karena Chris menciumnya di hadapan Kirana.Ketiganya pun duduk di meja makan. Suasana sedikit canggung. Laura duduk di antara Chris dan Kirana. Sesekali, Kirana dan Chris bertukar pandang.Laura diam. Ia memerhatikan tiap gerakan mereka. Gerakan mata. Senyum. Bahkan cara Kirana memotong sosis dan menyuapkannya ke mulutnya sendiri terasa seperti sedang memancing reaksi seseorang.“Gimana ras

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 8

    Kirana tampak sedikit terkejut, tapi ia tetap tersenyum sambil menyibak rambutnya ke belakang. “Maaf banget, Lau. Aku nggak bermaksud lancang. Tadi udah nunggu lama, tapi airnya benar-benar kecil banget. Kupikir kamu nggak keberatan.” Laura menatapnya dalam diam. Matanya bergerak dari handuk yang Kirana kenakan, lalu ke ranjangnya sendiri, tempat dia dan Chris biasanya tidur. Semua terasa begitu salah. “Kamu bisa bilang padaku dulu,” ujar Laura, suaranya sedikit melunak. Kirana berjalan pelan menuju kursi rias, mengambil sisir dari tas kecilnya, dan mulai menyisir rambutnya. Seolah rumah itu adalah miliknya sendiri. “Ya, aku tahu. Tapi kamu kelihatan repot banget tadi. Udah pusing urus Chris, masih beberes kamar tamu. Aku kasihan lihat kamu,” jelas Kirana tanpa menoleh. “Lagian bajuku juga kotor kena muntahan Chris waktu di jalan.” Laura terdiam. Ia merasa bersalah karena terlalu curiga kepada sahabatnya sendiri. Bukankah Kirana satu-satunya yang selalu ada buatnya? Harusnya L

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 7

    Laura tak menyangka jika suaminya pulang dalam keadaan mabuk berat dan yang lebih menyakitkan adalah Chris pulang bersama seorang gadis. Gadis itu adalah Kirana. Sahabat dekatnya. “Kirana...?” suara Laura tercekat. Tatapannya bergantian antara wajah pucat Kirana dan tubuh lemas Chris yang setengah bersandar di bahunya. Kirana terlihat gugup, namun tetap berusaha tenang. “Aku nemuin dia di jalan, Lau. Dia... dia mabuk berat. Nggak tega kalau dibiarkan begitu saja, jadi aku bawa pulang ke sini.” Laura mematung. Matanya menatap tajam ke arah Kirana, mencoba mencari kebenaran di balik ucapannya. “Kamu nemuin dia di jalan? Di mana?” “Di dekat bar itu... yang di ujung jalan. Aku nggak sengaja lewat, terus lihat dia lagi duduk di pinggir trotoar, sendirian. Dia kelihatan kacau banget. Sumpah, Lau, aku cuma nolongin,” ucap Kirana tergesa. Chris menggeram pelan, tak sadar, lalu menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Bau alkohol tercium tajam. Laura menahan napasnya. Rasa curiga mencuat beg

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status