“Kau masih di sini?”
Suara Chris memecah keheningan di ruang CEO lantai tiga puluh satu, tempat cahaya senja menembus kaca besar dan mewarnai lantai dengan semburat keemasan. Laura tersentak pelan, matanya langsung terarah ke arah pintu di mana suaminya berdiri. “Aku ... hanya menyerahkan laporan terakhir,” jawab Laura gugup. Jemarinya menggenggam berkas dengan erat, seolah itu bisa menyembunyikan gemetar tubuhnya. Chris melangkah masuk, lalu menatap Max yang duduk tenang di kursinya. “Kau perlu sesuatu lagi darinya?” tanya Chris datar. Max menatap Laura sejenak, lalu mengangkat alis dengan senyum tipis. “Tidak. Kami sudah selesai.” Ada keheningan sesaat. Tegang. Tak terlihat, tapi terasa menggantung di antara tiga orang itu. Chris menatap Max lebih lama daripada biasanya, lalu mengangguk kaku. “Laura. Pulanglah. Aku menyusul.” Laura mengangguk cepat. Tapi saat melangkah pergi, ia sempat melirik ke arah Max. Pria itu tetap duduk dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Namun sorot matanya membuat jantung Laura berdebar tak karuan. Area parkir Holligan Grup sudah sepi. Hujan baru saja reda, dan udara terasa dingin. Laura melangkah pelan menuju mobil suaminya yang diparkir di sudut timur. Di sana, ia melihat Kirana berdiri sendirian, menatap layar ponselnya dengan raut gugup. “Kirana? Kamu juga belum pulang?” tanya Laura dengan ekspresi wajah penasaran. Kirana tampak terkejut. Ponselnya cepat-cepat dimatikan dan ia memaksakan senyum. “Eh, Laura. Tadi ada yang mau mengantarkan aku pulang, tapi ... tidak jadi. Aku pergi dulu ya, Lau? Sampai jumpa besok.” Tanpa menunggu tanggapan, Kirana bergegas menuju arah sebaliknya. Langkahnya cepat, terlihat seperti seseorang yang baru saja kepergok melakukan kesalahan. Laura menatap kepergiannya dengan dahi berkerut. “Apa yang terjadi kepadanya?” gumamnya pelan. Wanita itu segera menggelengkan kepalanya. Tak berniat ikut campur masalah sahabatnya. Beberapa menit kemudian, Chris muncul dan menghampirinya. Pria itu langsung menggenggam tangan Laura dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. “Ayo, pulang. Aku lelah.” Laura masuk ke kursi penumpang dengan hati yang masih dipenuhi tanda tanya. Saat mobil melaju keluar dari parkiran, Chris sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. “Tadi aku ketemu Kirana di tempat parkir,” ucap Laura mencoba membuka pembicaraan. “Tapi dia buru-buru pergi setelah melihatku.” Chris tidak menoleh, hanya terus menatap layar ponselnya. Namun Laura bisa melihat dengan jelas bahwa tubuh suaminya menegang sesaat. “Itu urusan Kirana. Bukan urusan kita,” balas Chris pendek. Laura terdiam. Jawaban itu terasa terlalu cepat, terlalu dingin dan terdengar tak ingin dibantah lagi. “Baiklah.” Laura hanya bisa menurut. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lalu Chris berbicara, suaranya lebih lembut. “Mau mampir ke restoran? Sudah lama kita tidak makan berdua.” Laura menoleh dengan sedikit senyum. “Tentu saja aku mau, Chris.” Chris memarkirkan mobil di restoran cukup mewah bernama La Venera, yang terletak di sisi kanal tua Valmerra. Tempat itu pernah mereka kunjungi di awal pernikahan dulu. Laura tersenyum saat mengingat kenangan itu. Namun begitu duduk di dalam, atmosfernya terasa berbeda. Chris tampak tidak fokus. Pandangannya menerawang. Tangannya memainkan sendok tanpa arah. “Kamu baik-baik saja?” tanya Laura. “Aku ke toilet sebentar, ya?” Chris berdiri tanpa menunggu jawaban, lalu menghilang ke arah lorong samping. Menit berganti menit. Chris tak kunjung kembali. Laura memandang jam tangannya. Sudah lebih dari lima belas menit. Rasa curiga mulai tumbuh. Dengan langkah pelan, ia bangkit dan berjalan ke arah toilet pria. Tepat saat ia sampai di tikungan, suara Chris terdengar. “Aku juga kangen kamu, tapi kita harus sabar. Aku nggak bisa gegabah.” Laura menahan napas. Suara Chris tidak begitu jelas. Ia hanya melihat suaminya tertawa kecil. Lembut dan tulus. Entah kapan terakhir kali ia mendengar tawa seperti itu. Laura mendekat. Saat bayangan tubuh Chris tampak di balik kaca pantul ruangan, ia bicara lagi. “Ya. Tenang. Aku akan segera menyelesaikannya. Tunggu saja.” “Chris ....” Suara Laura muncul tiba-tiba, membuat Chris tersentak. Pria itu cepat-cepat mematikan ponselnya dan berbalik. Senyum gugup terpahat di wajahnya. “Kamu bicara dengan siapa?” “Oh, ini adikku. Biasa, dia curhat tentang masalah keluarga.” Laura tahu jika keluarga Chris memang tidak pernah akur. Ia merasa orang tua Chris selalu bertengkar karena tidak merestui hubungannya dengan Chris. Laura pun menyipitkan mata. “Ngomong-ngomong, aku sudah lama tidak ngobrol sama dia. Harusnya kau tidak mematikan panggilan tadi, Chris. Sebagai kakak ipar, aku juga ingin menyapanya sebentar.” Chris mengusap lehernya. “Em, dia lagi emosional. Nanti saja, ya?” Jemari Chris mengusap kepala Laura sebentar untuk menenangkannya. Laura hanya mengangguk. Tapi dalam dadanya, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Rasa yang perlahan berubah dari curiga menjadi takut. Chris berjalan mendahuluinya ke meja, tapi Laura berhenti sejenak di lorong. Tatapannya kosong. Wanita itu menarik napas dalam-dalam seraya berkata, “Chris tidak mungkin berbohong.” Malam berlalu begitu cepat. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Chris tidak mau menyentuh Laura, tapi kali ini wanita itu hanya pasrah. Ia pun merasa bersalah karena Max sudah menyentuhnya jauh lebih dalam. Keesokan paginya, Laura baru saja membuka matanya perlahan ketika melihat Chris sudah rapi dengan pakaian kerjanya. “Chris, mau ke mana? Ini masih terlalu pagi?”Aroma bawang putih tumis yang baru saja masuk ke minyak panas memenuhi dapur sederhana rumah Armand. Cahaya matahari pagi masuk dari jendela, menimpa wajah Laura yang tengah sibuk memotong sayur. Tangan mungilnya bergerak hati-hati, sesekali berhenti untuk memastikan potongannya rapi.Ia ingin membuktikan sesuatu, bahwa ia tidak hanya menumpang, tapi juga bisa berguna. Laura tahu betul, kehadirannya di rumah ini hanyalah sementara. Ia mengulang itu berkali-kali di dalam hati. “Kalau aku bisa membantu, mungkin Tante Ratna akan sedikit lebih hangat,” ujar Laura lirih.Namun sejak ia bangun subuh tadi, Ratna hanya menatapnya datar, dingin seperti biasa. Ratna sibuk mengatur piring dan sendok, tapi sesekali menoleh ke arah Laura dengan sorot mata yang sulit dibaca.“Jangan potong terlalu besar,” suara Ratna terdengar pelan, tapi menusuk.“Iya, Tante,” jawab Laura cepat. Ia tersenyum kecil, berusaha menahan rasa kikuk.Dapur pagi itu hening, hanya ada suara pisau dan wajan yang sesekali b
Laura menatap bayangan dirinya di cermin kamar rumah Armand. Rambutnya yang dulu sering dipuji Chris karena lembut dan wangi, kini tampak kusut dan kusam. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, tanda betapa sedikitnya tidur yang ia dapat dalam beberapa malam terakhir.“Apakah aku benar-benar seburuk ini sekarang?” bisiknya pada pantulan wajahnya sendiri.Ada getaran getir di suaranya. Laura teringat bagaimana dulu, setiap kali ia merasa lelah, Chris selalu menyentuh pipinya lembut dan berkata, “Kamu tetap cantik bagiku.” Tapi kalimat itu kini terasa seperti dusta paling pahit.Ketukan pelan di pintu membuatnya terlonjak.“Laura, ini aku.” Suara Max.Laura buru-buru menyeka pipinya yang basah, lalu berusaha menenangkan nada suaranya. “Masuklah.”Pintu terbuka, dan Max melangkah masuk dengan langkah tegas khasnya. Ia membawa sebuah nampan berisi teh hangat dan roti tawar. “Paman menyuruhku memastikan kau sarapan.”Laura memaksa tersenyum, meski hatinya enggan menatap langsung
Laura menunduk, jari-jarinya meremas rok yang dipakainya. “Aku tidak bisa lagi, Max. Aku berusaha menutup mata, berusaha percaya, tapi kenyataan terlalu jelas.”Ia berhenti sejenak, menelan ludah, lalu menatap ke luar jendela lagi. “Chris dia bersama Kirana. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku memergoki mereka tengah bercinta di kamar tamu di saat aku sedang sakit.”Tangis Laura pecah. Ia masih teringat akan pengkhianatan itu.Max merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya. Bagian dirinya ingin merayakan kabar itu, leganya luar biasa. Laura akhirnya tahu. Laura akhirnya akan lepas dari Chris. Namun, bagian lain justru diliputi kegelisahan. Laura pasti sangat hancur. Dan jika Laura tidak tinggal di rumah Chris, di mana sekarang ia tinggal? Laura melanjutkan dengan suara bergetar. “Untung saja ada Paman Armand. Dia menolongku. Membukakan pintunya agar aku tempati.”Max meremas setir kuat-kuat. Nama itu membuatnya sedikit lega, sedikit tidak. Ia tahu Armand cukup bisa dipercay
Tiga hari telah berlalu.Langit Valmerra tampak kelabu. Awan menggantung rendah seperti menggambarkan isi hati Laura. Meski tubuhnya mulai membaik, pikirannya tidak. Ada ruang kosong yang semakin menganga antara dirinya dan Chris, tapi anehnya, yang membuat hatinya gelisah justru Max—bos dingin yang selalu tahu cara membuatnya merasa dilihat.Suara gemericik hujan menyambut langkah Laura saat ia keluar dari mobil taksi.Tubuhnya masih sedikit lemah, tapi ia tetap memaksakan diri untuk kembali bekerja. Di dalam tasnya, surat dokter sudah ia siapkan, hanya sebagai formalitas.Lorong menuju lift sepi. Hanya suara hak sepatu menyentuh lantai marmer yang terdengar. Saat tiba di meja kerjanya, sesuatu membuat langkahnya terhenti.Botol kaca bening. Dingin. Diletakkan rapi di sisi meja.Cairannya merah tua, agak pekat. Aroma samar jahe, sereh, dan kayu manis langsung menyelinap ke hidung. Bukan aroma sembarangan. Ini minuman yang ia sukai sejak dulu dan hanya sedikit orang yang tahu.Chris?
Laura membuka mata dengan berat. Pandangannya samar, cahaya lampu berpendar tipis di langit-langit sebuah kamar asing. Ia meraba sekeliling, mendapati tubuhnya berbaring di ranjang empuk dengan selimut hangat menutupi sebagian tubuh. Aroma obat gosok samar menempel di kulitnya, membuatnya sadar kalau seseorang telah merawatnya. Suara kursi digeser terdengar. Lalu sebuah suara berat dan lembut memanggil. “Laura, apa yang terjadi kepadamu?” Laura menoleh perlahan. Di sana, seorang pria berusia lima puluhan dengan wajah teduh dan rambut yang mulai memutih duduk di kursi. Sorot matanya penuh khawatir. Itu pamannya. “Paman ...,” sapa Laura dengan suara serak, hampir pecah. Armand mencondongkan tubuh, menggenggam tangan keponakannya dengan hangat. “Kamu bikin paman khawatir. Tadi paman pulang dari kantor dan melihat kamu pingsan di jalan. Badanmu basah kuyup.” Laura menahan isak. Air matanya mendesak keluar, tapi ia berusaha kuat. Namun tatapan teduh pamannya membuat benteng yang i
Langkah kaki Laura terasa berat saat ia memasuki area pemakaman. Tubuhnya masih lemah, wajah pucat, sisa infus di tangannya meninggalkan bekas lebam. Napasnya pendek-pendek, tapi hatinya jauh lebih sesak daripada dadanya yang terasa tertekan. Hari itu langit mendung. Daun-daun bergoyang diterpa angin, seakan ikut berduka. Namun di antara kerumunan orang yang berpakaian hitam, Laura segera menyadari sesuatu yang menyesakkan. Chris tidak ada di sana. Padahal tadi Laura pulang dulu ke rumah untuk berganti pakaian. Ia pikir Chris lebih dulu datang di sana. Hati Laura berdenyut, bukan karena kaget, tapi kecewa. Sedalam itu ternyata ketidakpedulian Chris terhadap keluarganya sendiri. Di tepi liang lahat, Miranda berdiri angkuh dengan payung hitam. Tatapannya tajam saat menyadari Laura mendekat. “Apa yang kau lakukan di sini?” ucap Miranda tajam. Suaranya terdengar dingin dan menusuk. Laura terdiam, berusaha menahan diri. “Aku hanya ingin memberikan penghormatan terakhir untuk Nenek.”