Share

5. Benteng Profesionalisme

Author: Bintangjatuh
last update Last Updated: 2025-10-09 17:30:36

Beberapa hari berlalu sejak makan malam penuh drama itu. Aurora berpikir, mungkin Rasya hanya menggertak nya saja, dan ia berharap masalah perjodohan ini akan terlupakan. Karena setelah insiden itu, Rasya tidak pernah menghubungi Aurora, dan Bundanya pun tidak menyinggung soal perjodohan lagi semenjak Aurora bilang bahwa makan malamnya dengan Rasya tidak berjalan lancar.

Aurora saat ini sedang menenggelamkan diri dalam pekerjaannya, ia tengah mempersiapkan sebuah acara besar—baginya. Acara fashion show dua bulan lagi adalah kesempatan emas untuk butiknya. Ia harus berhasil memperkenalkan butiknya ke pangsa pasar yang lebih luas.

Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka.

Bunda Martha masuk dengan senyum paling manis dan paling mencurigakan yang pernah Aurora lihat. Di tangannya ada sebuah map dokumen.

"Sayang," sapa Martha dengan nada riang.

"Bunda punya kabar super bagus buat acara fashion show-mu!"

Aurora mengernyit curiga, tapi kabar baik soal fashion show terlalu menggiurkan untuk diabaikan.

"Kabar apa, Bun?"

"Bunda berhasil mendapatkan sponsor utama untuk acaramu! Sponsor besar, Ra. Ini bakal bikin acaramu jadi sorotan media nasional! Atau bahkan sampai internasional."

Mata Aurora sempat berbinar sesaat, sebelum dia akhirnya tersadar.

"Bunda, maaf sebelumnya. Sejak kapan Bunda ikut campur sedalam ini soal butik Aurora?" tanya Aurora dengan nada penuh ke hati-hatian.

Alih-alih tersinggung, Martha malah tersenyum. "Sejak malam dimana kamu bilang belum dapat sponsor utama. Kamu sendiri yang menolak bantuan ayah. Jadi bunda berinisiatif untuk membantu."

"Aaah.. Lupakan soal hal itu—" Martha meletakkan map yang dia pegang di atas meja dan membukanya, menunjukan proposal yang sudah ditandatangani. Aurora melihatnya sekilas.

"Dan sponsor utamanya adalah ..." Martha sengaja memberi jeda dramatis, "...Aetherion Group"

Mata Aurora terbelalak mendengar nama perusahaan yang di sebut oleh Bundanya. Siapa yang tidak kenal Aetherion Group? Aetherion Group bukan sekedar perusahaan biasa, tapi sebuah holding company raksasa. Tidak hanya bergerak pada satu bidang, tapi memiliki dan mengendalikan banyak perusahaan lain di bawah payung mereka.

"Kok bisa bunda dapet sponsor dari perusahaan sebesar itu?" tanya Aurora antusias.

Aurora langsung meraih map di meja, melihatnya dengan seksama. Namun alisnya megernyit ketika melihat nama CEO yang tertera disana. Darmawan Aetherion Pradana. Aurora sepertinya tak asing dengan nama belakang itu. Ia lantas melirik Bundanya dengan raut penuh tanda tanya.

"Bunda, ini?" tanya Aurora, berharap apa yang dibenaknya salah.

Martha menjawab dengan senyum kemenangan. "Perusahaan milik keluarga Pradana. Keluarganya Rasya."

"Lalu Darmawan Aetherion Pradana?"

"Oh.. itu ayahnya Rasya."

Perasaan membuncah yang tadi ia rasakan langsung lenyap tak bersisa. Aurora menatap bundanya, lalu proposal yang ia pegang ia lempar pelan ke meja, seolah tidak percaya.

"Enggak," ucapnya singkat, dingin, dan tegas.

Martha sedikit terkejut melihat reaksi dan penolakan Aurora. "Enggak? Maksud kamu apa, Ra? Ini kesempatan emas!"

"Aku nggak mau, Bun. Tolong batalkan."

"Oh Aurora.. Kamu sadar kan jika ini di batalkan, dampaknya akan seperti apa? Bukan hanya butikmu yang malu tapi keluarga kita, nak."

"Sekali ini saja jangan keras kepala. Sponsor sebesar ini nggak datang dua kali. Mereka menanggung hampir semua biaya yang kamu butuhkan. Kamu tau kan apa artinya ini untuk butikmu."

Aurora menahan segala gejolak yang ia rasakan. dadanya sesak dengan rasa kesal. "Aku sebaiknya cari sponsor lain, Bun. Atau mentok, aku bisa pakai uang tabunganku sendiri daripada harus berutang budi sama keluarganya. Aku nggak sudi."

"Utang budi apa? Ini murni bisnis, sayang! Mereka lihat potensi di acaramu."

"Aku nggak percaya. Ini pasti ada hubungannya sama perjodohan itu, kan? Ini cara dia buat mengontrol aku dan memperlihatkan kekuasaanya. Aku nggak akan masuk perangkapnya," ucapnya sedikit emosi.

Tapi Martha tidak ikut emosi. Sebaliknya, beliau menghela napas, wajahnya menampakan raut kecewa, yang justru lebih menusuk bagi Aurora.

"Baiklah kalau begitu," ucap Martha dengan nada tenang. "Batalkan saja."

Aurora menatap bundanya tak nyaman, sedikit serba salah.

"Tapi Bunda cuma mau kamu tahu," lanjut Martha sambil menatap lurus ke mata putrinya. "Bunda kira kamu membangun butik ini untuk membuktikan pada kami, kalau kamu adalah seorang profesional. Seorang pebisnis sejati."

Martha berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya diresapi oleh putrinya.

"Seorang profesional tidak akan membuang kesempatan terbaik dalam karirnya hanya karena masalah pribadi. Mereka memisahkan ego dengan bisnis."

"Lagi pula.. Aetherion Group tidak serta merta menyetujui. Ini hanya langkah awal persetujuan. Kamu masih harus mempresentasikan visi dan misi acaramu. Bukankah, begitu?"

"Justru Ini kesempatanmu, Aurora. Kesempatan untuk membuktikan pada dunia bahwa kamu desainer hebat dan sangat layak di perhitungkan."

Entah sengaja men-trigger Aurora atau tidak, tapi kalimat yang di ucapkan Bundanya itu langsung mengena di hatinya.

"Buktikan juga kepada Rasya kalau kamu bisa memimpin proyek ini dengan kepala dingin. Bisa memisahkan antara masalah pribadi dan bisnis. Kalau kamu menolak, itu sama saja memberinya kemenangan. Dia akan berpikir dia berhasil membuatmu takut dan lari dari tantangan."

Martha lalu tersenyum tipis. "Jadi, mana yang akan kamu pilih? Menunjukkan padanya siapa Aurora Meschach si pebisnis ulung, atau membiarkan dia menang bahkan sebelum perang dimulai?"

Pintu ruangan kerja Aurora tertutup, meninggalkan keheningan. Tapi di dalam kepala Aurora, perangnya baru saja dimulai. Dia benci mengakui ini, tapi ibunya benar. Lari dari masalah ini hanya akan memberinya kepuasan sesaat karena telah menolak sebuah perusahaan besar, tapi kekalahan dalam jangka panjang.

Dia tidak akan lari. Ia akan menghadapi ini.

Aurora mengambil napas dalam-dalam. Bukan untuk menenangkan diri, tapi untuk mengumpulkan seluruh emosinya yang campur aduk—marah, gengsi, terpojok—dan mengubahnya menjadi energi dingin yang terfokus.

Aurora menekan tombol intercom di mejanya.

"Hana, tolong ke ruangan saya," ucapnya dengan nada yang datar dan terkontrol.

Beberapa saat kemudian, asistennya masuk.

"Iya, ada apa Bu Aurora?"

"Kamu yang sudah memberikan berkas proposal pengajuan sponsor kepada Bunda saya?" tanya Aurora tanpa basa-basi.

Hana terlihat sedikit segan dan takut, lalu ia mengangguk. "Iya, Bu. Maafkan saya karna tidak bilang."

Aurora menghela napas. "Ya sudah.. pasti Bunda yang nyuruh kamu untuk nggak bilang sama saya, kan?"

Hana mengangguk ragu-ragu.

"Kali ini saya maafkan. Tapi untuk kedepannya, apapun yang menyangkut butik ini, kamu harus bilang dulu sama saya, even itu keluarga saya sekalipun. Kalau mereka bilang jangan kasih tau saya, kamu harus tetap bilang. Kamu bekerja untuk saya, bukan untuk mereka."

Hana mengangguk paham. "Baik, Bu. Saya mengerti."

"Baik, kalo gitu. Kalau kamu sudah paham, mari kita kembali ke pekerjaan."

Aurora memberi intruksi pada Hana untuk duduk di depannya.

"Kita sudah dapat sponsor utama untuk acara fashion show," ucap Aurora, tanpa sedikit pun nada gembira. "Aetherion Group."

Aurora menatap lurus asistennya yang terkejut dengan apa yang didengarnya.

"Aetherion Group?" tanya Hana setengah tidak percaya.

Aurora sedikit mengangguk. "Ya, kamu nggak salah dengar, Hana."

"Saya mau kamu hubungi perwakilan mereka hari ini juga untuk konfirmasi. Atur pertemuan pertama di sini, di kantor kita, paling lambat awal minggu depan."

Sengaja dia menekankan kata "di sini". Itu adalah penegasan kecil, bahwa ini adalah wilayah kekuasaanya.

"Siapkan semua materi presentasi, timeline proyek, dan draf anggaran. Saya mau semuanya sempurna. Dan kita harus usahakan, tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun saat meeting nanti. Mengerti?"

Setiap kalimatnya tajam dan penuh perintah. Ini bukan lagi soal kolaborasi. Ini soal menunjukan siapa yang memegang kendali. Aurora sedang membangun benteng profesionalismenya setinggi mungkin.

Setelah Hana keluar dari ruangan, meninggalkan Aurora sendirian dengan keheningan, Aurora kembali bersandar di kursinya. Tatapan dinginnya terpaku pada logo Aetherion Group yang tergeletak angkuh di atas mejanya.

Tidak mungkin ini kebetulan. Pikirannya langsung menyusun kepingan puzzle dengan cepat. Aetherion. Rasya. Perjodohan.

'Bunda,' batinnya. Ia memejamkan matanya sesaat. Rasa tak percaya bercampur dengan kekesalan yang membara. 'Aku tidak menyangka Bunda akan sejauh ini.'

Menggerakkan sebuah korporasi raksasa dan mempertaruhkan nominal yang tidak sedikit hanya untuk memaksanya berkenalan lebih jauh dengan seorang pria? Ini bukan lagi perjodohan biasa. Ini adalah sebuah invasi. Dan Aurora sadar betul akan hal itu.

Dia merasa terjebak. Di satu sisi, ada amarah karena dimanipulasi—in a good way. Di sisi lain, proposal di hadapannya adalah kesempatan emas yang terlalu berharga untuk dilewatkan oleh sisi profesionalnya. Sebuah jebakan yang sempurna.

Dengan rasa penasaran yang bercampur was-was, ia membuka laptopnya. Jari-jemarinya yang dingin bergerak cepat di atas keyboard.

Dia mengetik tiga kata kunci ke dalam mesin pencari: "Rasya Pradana Aetherion".

Hasil pertama yang muncul adalah profil LinkedIn-nya, lengkap dengan foto korporatnya yang tajam. Jawabannya terpampang jelas di sana.

Rasya Aetherion Pradana

CEO at Elysian Media (a subsidiary of Aetherion Group)

Chairman at Prestige Properties

Mata Aurora terpaku pada baris pertama: CEO, Elysian Media.

Aurora menutup laptopnya dengan pelan.

"Jadi begini permainannya?" Ia mendengus pelan. "Baiklah, bagaimanapun, ini adalah kesempatan. Dan aku akan memanfaatkannya sebaik mungkin."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   11. Pertemuan Dua Keluarga

    Satu minggu telah berlalu sejak pertemuan di kantor Aurora. Kontrak sponsor telah resmi ditandatangani. Bagi dunia luar, dan terutama bagi orang tua mereka, semuanya tampak berjalan mulus.Di kamarnya yang luas, Aurora sedang berdiri di depan cermin, merapikan dress yang ia kenakan. Pikirannya sama sekali tidak fokus pada penampilannya, melainkan pada undangan makan malam yang terasa janggal ini.Pintu kamarnya terbuka dan Bunda Martha masuk dengan wajah ceria.​"Wah, putri Bunda cantik sekali," puji Bunda Martha sambil merapikan rambut Aurora. "Keluarga Pradana pasti terpesona melihatmu."​Aurora menatap pantulan wajah ibunya di cermin dengan kening berkerut.​"Bun, aku masih nggak ngerti," kata Aurora, akhirnya menyuarakan kebingungannya.​"Nggak ngerti apa, sayang?"​"Ini kan butikku yang disponsori oleh perusahaan mereka," jelas Aurora, nadanya terdengar seperti sedang menganalisis sebuah kasus bisnis.

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   10. Rasa yang Aneh

    Aura dinging sangat terasa di ruangan itu. Mereka berdua berdiri di ujung prinsip masing-masing, tidak bisa maju dan tidak mau mundur. Keheningan terasa berat, dipenuhi oleh argumen yang tak terucapkan. Aurora adalah yang pertama memecah keheningan itu. Ia berpaling sebentar kesamping, menghela napas, kali ini bukan karena marah, tapi karena lelah. Tembok pertahanannya sedikit runtuh, menunjukkan wanita di baliknya yang lelah berperang.Aurora kembali menatap Rasya. "Lihat?" ucapnya, suaranya lebih pelan tapi terdengar jelas. "Kamu lihat sendiri, kan? Tidak ada satu pun titik temu di antara percakapan kita tentang perjodohan ini." Dia menatap Rasya dengan tatapan yang jujur dan putus asa. "Aku bisa membayangkan betapa kacaunya komunikasi kita nanti jika kita benar-benar terikat dalam sebuah pernikahan." Aurora berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk langkah terakhirnya. 'Salah Aurora, kamu salah. Justru, aku bisa membayangkan betapa pernikahan kita nanti tidak akan perna

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   9. Tiada Akhir

    Mereka kembali ke titik awal, dalam sebuah perang dingin di ruangan pribadi Aurora. Kalimat terakhir Rasya 'Tapi sepertinya, kamu lebih suka cara yang sulit' terngiang di telinga Aurora. Ruangan itu kembali hening, tapi kali ini dipenuhi oleh perang batin di dalam kepala Aurora. Amarah. Itulah yang pertama ia rasakan. Amarah pada pria di depannya, pada orang tuanya, pada takdir yang membuatnya terpojok seperti ini. Rasanya ia ingin berteriak dan mengusir Rasya keluar dari ruangannya. Tapi kemudian, akal sehatnya perlahan mengambil alih. 'Berteriak tidak akan ada gunanya,' pikirnya. 'Melawannya dengan emosi hanya akan memberinya kemenangan. Dia sudah membuktikannya di restoran. Dia kebal terhadap penolakan. Dia justru menikmati perlawananku.' batin Aurora bermonolog Dia menatap Rasya yang berdiri dan menatapnya dengan tenang, seolah sudah tahu dia akan menang. 'Dia menawarkan kerjasama... menjadi "mitra" mitra apa yang dia maksud? Pernikahan kontrak? Tapi... bagaimana jika itu s

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   8. Menawarkan Ke'mitra'an

    Kantor Aurora terbilang sangat luas, terdiri dari dua lantai. Lantai pertama, ia gunakan untuk butiknya. Dan lantai kedua, ia gunakan untuk area meeting, area menerima tamu VVIP, dan ruangan pribadinya. Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah pintu kayu solid. Alih-alih membawa Rasya ke area VVIP, kakinya malah membawanya ke ruang pribadinya. Aurora membuka pintu ruangan itu dan masuk lebih dulu, menahan pintu untuk Rasya agar bisa masuk lebih dulu ke dalam ruangan. "Silahkan." ucap Aurora tegas. Setelah Rasya masuk, Aurora menutup pintu di belakangnya, lalu berbalik dan menyilangkan tangan di dada. Sebuah postur defensif. "Oke, kita sudah berdua. Apa yang ingin anda bicarakan, Pak Rasya? Babak kedua dari ujian tadi?" Rasya tidak langsung menjawab. Matanya berkeliling mengamati ruangan Aurora—sketsa-sketsa desain yang tertempel di dinding, tumpukan majalah mode, sampel kain yang berwarna-warni. Ruangan ini terasa sangat personal, sangat "Aurora". Akhirnya, ia berhenti dan menat

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   7. Ujian Manis

    Aurora menatap Rasya, menjaga ekspresinya tetap netral. "Silahkan, Pak Rasya." Rasya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya tertaut di atas meja. Matanya tidak pernah lepas dari Aurora. "Anda sudah menjelaskan konsep kreatifnya dengan sangat baik, Nona Meschach," ucapnya, sengaja menggunakan nama belakangnya yang formal dan menjaga jarak. "Tapi, di luar brand awareness yang sifatnya kualitatif, bagaimana anda akan mengukur kesuksesan acara ini secara kuantitatif? Metrik spesifik apa yang akan anda berikan pada kami untuk menunjukan Return On Investment dari sponsor yang kami berikan?" Rasya memberikan serangan yang sempurna. Ia sengaja membelokan diskusi dari dunia seni dan visi—yang merupakan kekuatan Aurora ke area angka, data, dan laba. Mengujinya di wilayah paling korporat. Dia tidak bertanya apakah acaranya akan indah. Justru ia be

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   6. Second Meeting

    Seminggu setelah proposal sponsornya secara "ajaib" disetujui oleh Aetherion Group dalam waktu singkat, hari pertemuan pertama itu pun tiba. Ruang meeting di kantor Aurora sudah siap. Timnya sudah berkumpul, sedikit tegang karena aura bos mereka yang sangat serius. Presentasi sudah siap di layar. Air mineral dan snack sudah tersaji. "Bisa kita mulai, Pak Frans?" tanya Aurora pada salah satu staf Aetherion Group. Perwakilan dari Aetherion Group—yang ternyata adalah tim dari Elysian Media—datang dengan tiga orang perwakilan; seorang manajer marketing dan dua stafnya. Mereka sudah saling memperkenalkan diri begitu tiba di kantor Aurora. Dalam perkenalan singkat itu, Aurora sedikit terkejut ketika sang manajer menjelaskan bahwa seluruh urusan terkait fashion show akan diawasi langsung oleh CEO mereka, CEO Elysian Media, yang merupakan salah satu perusahaan di bawah naungan Aetherion Group. Elysian Media akan menjadi mitra media promosi untuk keseluruhan acaranya. Namun, bukan nama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status