Share

4. Aliansi Para Ibu

Author: Bintangjatuh
last update Last Updated: 2025-10-08 22:00:33

Suara denting sendok yang beradu pelan dengan cangkir porselen menjadi musik latar di kafe elegan tempat Miranda dan Martha bertemu. Aroma kopi dan kue-kue manis menguar di udara.

"Jadi... bagaimana, Mar? Apa kata Aurora soal makan malam kemarin?" tanya Miranda, senyum antusias tak lepas dari wajahnya. Ia menyesap latte-nya dengan gerak anggun.

Martha menghela napas pelan, meletakkan cangkirnya. "Justru itu yang mau aku bicarakan, Mir," Ia berhenti sejenak, ragu.

"Sejujurnya... Aurora bilang makan malamnya tidak berjalan lancar. Dia merasa canggung dan... yah, dia memintaku untuk tidak memaksanya lagi. Jadi, perjodohan ini harus berhenti di sini."

Senyum Miranda sedikit memudar, digantikan oleh kerutan bingung di dahinya. "Loh, kok bisa beda begitu? Rasya justru sebaliknya. Waktu aku tanya, dia dengan mantap bilang setuju untuk melanjutkan perjodohan ini."

Kini giliran Martha yang terkejut. "Benarkah? Aneh sekali. Aurora bersikeras kalau suasananya kaku dan tidak ada percakapan yang berarti."

Miranda melambaikan tangannya di udara, seolah mengusir keraguan. "Anak muda, Mar. Mungkin mereka hanya belum menemukan cara berkomunikasi yang benar. Kita tidak boleh menyerah begitu saja. Rasya sudah setuju, itu awal yang bagus. Aku rasa putraku itu benar-benar tertarik pada Aurora."

"Tapi, Mir, aku tidak bisa memaksa putriku satu-satunya, walai sebenarnya aku juga berharap ini tetap berlanjut." balas Martha, nadanya memohon sekaligus berharap.

"Aku tidak bilang memaksa," sahut Miranda cepat, matanya berbinar penuh siasat. "Kita hanya perlu menciptakan kesempatan. Coba pikirkan, Mar. Apa yang bisa membuat mereka mau tidak mau harus bertemu dan bekerja sama? Sesuatu yang tidak bisa mereka tolak?"

Miranda mengetukkan jarinya ke dagu, matanya menerawang sejenak sebelum berbinar terang. "Tunggu dulu... Bukannya kamu pernah cerita kalau Aurora sedang mencari sponsor untuk acara fashion show-nya yang akan datang? bagaimana perkembangannya?"

Martha mengangguk. "Iya, proposalnya sudah disebar ke beberapa perusahaan, tapi belum ada yang benar-benar cocok."

"Sempurna!" seru Miranda pelan. "Bagaimana kalau Aetherion Group yang menjadi sponsor utamanya?"

Mata Martha membelalak. "Perusahaan suamimu? Tapi, Mir..."

"Ssst, dengarkan dulu rencanaku," potong Miranda, tubuhnya mencondong ke depan. "Nanti aku yang atur strateginya. Aku akan pastikan proposal Aurora bisa sampai ke meja suamiku tanpa halangan, persetujuannya hanya masalah waktu."

Ia berhenti sejenak, menatap Martha dengan tatapan penuh kemenangan. "Dan bagian terbaiknya? Aku akan memberitahu Rasya bahwa dia, harus ikut mengawasi proyek sponsor ini. Dengan begitu, mau tidak mau, Aurora harus sering bertemu dan berdiskusi dengan Rasya. Atas nama profesionalisme. Mereka tidak akan bisa menolaknya."

Martha terdiam, terpana oleh rencana cerdik sahabatnya. Di satu sisi, ia merasa ini adalah bentuk paksaan terselubung. Tapi di sisi lain, mungkin ini adalah satu-satunya cara agar mereka benar-benar saling mengenal.

"Kalau rencana ini gagal," tambah Miranda, seolah membaca pikiran Martha. "Kalau seumpama mereka sudah saling mengenal tapi masih belum bisa menemukan kecocokan, maka aku menyerah. Berarti mereka memang bukan jodoh."

Pernyataan itu sedikit melegakan Martha. Ia mengangguk pelan. "Baiklah, Mir... aku percaya padamu soal rencana itu," ucapnya akhirnya.

"Tapi... jangan terlalu berharap, ya. Putriku itu... ambisius."

Martha menatap Miranda dengan sungguh-sungguh. "Dia tidak mau menikah muda, Mir. Dia bilang masih mau fokus membangun kariernya, meraih semua mimpinya dulu sebelum terikat pada seseorang."

Miranda tersenyum lembut, menepuk punggung tangan Martha. "Justru karena itu, Mar. Rasya adalah pasangan yang tepat untuknya. Kamu bisa tenang, dia bukan tipe pria yang suka mengekang. Memang, dia sedikit protektif dan posesif—tapi dalam batas wajar," Miranda menambahkan cepat, "itu pun hanya pada apa yang sudah menjadi miliknya. Jika mereka sampai menikah, aku jamin Rasya tidak akan menjadi hambatan untuk karier Aurora. Justru sebaliknya, dia akan mendukung penuh."

Miranda bersandar puas. "Lagi pula, usia Rasya juga sudah cukup matang. Sudah waktunya dia serius. Percayalah, Mar. Mereka akan saling melengkapi."

Penjelasan itu seolah menjadi penenang bagi kegelisahan Martha. Dalam hatinya yang terdalam, ia juga ingin putrinya bisa membuka hati lagi. Ia pun menegakkan duduknya, sisa keraguan di wajahnya sirna.

"Ya, baiklah," ujar Martha mantap. "Aku akan melakukan bagianku. Setelah persetujuan sponsor didapat, biar aku yang menyerahkannya pada Aurora. Aku juga akan pastikan, dia menerima kerja sama itu."

Miranda tersenyum lebar. "Nah, begitu lebih baik. Dengan kerja sama kita, mereka tidak akan punya jalan untuk lari." Keduanya saling melempar senyum penuh makna, sebuah aliansi para ibu telah terbentuk.

Namun, Martha kembali menghela napas. "Melihat energimu yang begitu antusias jadi membuatku takut, Mir. Aku takut ini tidak berjalan sesuai rencana."

Miranda tertawa kecil. "Tidak apa-apa, Mar. Sebuah kegagalan itu wajar, yang penting sudah berusaha. Anggap saja tantangan. Rencana kita ini bukan untuk memaksa, tapi untuk membuka mata mereka. Begitu mereka terjun dalam proyek ini, dinamikanya akan berubah."

Martha menghela napas, pandangannya menerawang. "Aurora punya masa lalu percintaan yang sangat buruk yang membuatnya trauma, Mir. Aku rasa itulah sebabnya dia jadi seperti ini. Sangat tertutup dan takut untuk membuka hati."

Miranda mencondongkan tubuh, penuh empati. "Seberat itukah, Mar?"

Martha mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Baginya sangat berat. Terlebih itu terjadi pada masa-masa keemasannya. Dia pernah dibohongi dan dipermalukan dengan cara yang sangat menyakitkan oleh pria yang sangat ia percayai. Sejak saat itu, dia membangun tembok yang sangat tinggi di sekeliling hatinya. Dia tidak lagi mudah percaya pada komitmen. Pendidikan dan karier menjadi pelariannya. Luka itu... sepertinya belum benar-benar sembuh."

Mendengar cerita itu, raut wajah Miranda berubah total. Ia menggenggam erat tangan Martha. "Ya Tuhan, Martha... kasihan sekali Aurora."

Miranda terdiam sejenak, namun sorot matanya justru menunjukkan keyakinan yang baru. "Sekarang aku semakin yakin, Mar. Justru karena masa lalunya yang seperti itu, dia membutuhkan pria seperti Rasya. Putraku mungkin kaku, tapi dia paling membenci ketidakjujuran. Dia pria yang memegang teguh komitmen. Aurora butuh seseorang yang bisa mengembalikan kepercayaannya. Rencana kita ini bukan lagi sekedar perjodohan, Mar. Ini adalah kesempatan untuk menyembuhkan hati putrimu."

Miranda mengangguk. "Dan tentunya bagi Rasya juga. Dia akan menemukan seseorang yang benar-benar tulus."

Ia menghela napas ringan. "Selama ini, Rasya pernah dekat dengan beberapa wanita. Tapi, ya ampun, Mar... aku merasa tidak ada satu pun yang benar-benar tulus. Niat mereka terlalu transparan. Mereka mendekat dengan sikap manja yang berlebihan, lebih tertarik pada apa yang bisa Rasya berikan, daripada siapa Rasya sebenarnya. Yang mereka lihat bukanlah putraku, tapi nama besar di belakangnya. Rasya butuh seseorang yang mandiri dan bisa berdiri sejajar dengannya. Mereka berdua sama-sama terluka oleh kepalsuan, Mar. Mungkin... mereka bisa menjadi obat bagi satu sama lain."

Keesokan harinya...

Rasya melonggarkan dasinya seraya menatap layar laptop yang menampilkan grafik performa saham. Pintu ruang kerjanya di Aetherion Tower terbuka tanpa ketukan, sebuah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh orang tuanya.

Miranda melangkah masuk dengan keanggunan yang khas, meletakkan sebuah map berwarna krem di atas meja Rasya.

"Ada proyek sponsor baru yang harus kamu awasi," ujarnya langsung ke inti, tanpa basa-basi.

Rasya mengangkat alis, tidak mengalihkan pandangan dari layarnya. "Tim marketing bisa menanganinya, Ma. Aku sedang fokus pada akuisisi."

"Yang ini berbeda," sahut Miranda. "Ini investasi citra perusahaan yang penting. Sebuah fashion show dari desainer muda yang sedang naik daun. Prospeknya sangat bagus."

Rasya akhirnya menoleh, rasa penasarannya terusik oleh nada bicara ibunya yang tidak biasa. Ia meraih map itu dan membukanya. Di halaman pertama, sebuah nama tercetak tebal di bawah logo butik yang elegan.

Aurora Meschach.

Seketika, Rasya mengerti. Ini bukan soal bisnis. Ini bukan kebetulan. Makan malam beberapa waktu lalu, persetujuannya yang setengah hati hanya untuk mengakhiri desakan ibunya, dan sekarang ini. Semua adalah bagian dari sebuah rancangan besar.

Dia menutup map itu perlahan, tatapannya tajam menembus senyum diplomatis Miranda. "Ini bukan tentang bisnis kan, Ma?"

Miranda tidak gentar. "Tentu saja ini bisnis, Rasya. Proposalnya sangat profesional dan menjanjikan. Papamu juga bilang hal yang sama, ada potensi di sana. Tapi jika dalam prosesnya kamu bisa mengenal pribadi di baliknya, bukankah itu bonus yang menarik?"

Rasya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. Berdebat dengan ibunya adalah usaha yang sia-sia. Dinding argumen sehalus apa pun akan selalu ditembus oleh keyakinan Miranda yang sekeras baja. Sebagian kecil dari dirinya—bagian yang tidak akan pernah ia akui—merasa sedikit penasaran. Aurora, dengan sikapnya yang menjaga jarak dan tatapannya yang tajam, memang berbeda dari wanita-wanita yang pernah mendekatinya.

"Baik," ucap Rasya akhirnya, nadanya datar dan tegas. "Aku akan awasi proyek ini. Tapi catat, Ma. Ini murni urusan bisnis. Tidak lebih."

Miranda tersenyum penuh kemenangan. "Tentu saja, Sayang. Profesionalisme adalah segalanya."

Setelah ibunya pergi, Rasya kembali membuka map itu. Jemarinya berhenti pada foto profil Aurora yang terlampir. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap wajah itu dalam diam, merasakan campuran antara jengkel pada campur tangan ibunya dan sebersit rasa ingin tahu yang enggan ia namai.

Rasya bersandar di kursinya, dan memutarnya. Ia menatap pemandangan kota dari jendela kantornya. Senyum kemenangan yang sedikit arogan terukir di wajahnya.

'Ternyata,' batinnya. 'Semesta pun merestui tekadku.'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   11. Pertemuan Dua Keluarga

    Satu minggu telah berlalu sejak pertemuan di kantor Aurora. Kontrak sponsor telah resmi ditandatangani. Bagi dunia luar, dan terutama bagi orang tua mereka, semuanya tampak berjalan mulus.Di kamarnya yang luas, Aurora sedang berdiri di depan cermin, merapikan dress yang ia kenakan. Pikirannya sama sekali tidak fokus pada penampilannya, melainkan pada undangan makan malam yang terasa janggal ini.Pintu kamarnya terbuka dan Bunda Martha masuk dengan wajah ceria.​"Wah, putri Bunda cantik sekali," puji Bunda Martha sambil merapikan rambut Aurora. "Keluarga Pradana pasti terpesona melihatmu."​Aurora menatap pantulan wajah ibunya di cermin dengan kening berkerut.​"Bun, aku masih nggak ngerti," kata Aurora, akhirnya menyuarakan kebingungannya.​"Nggak ngerti apa, sayang?"​"Ini kan butikku yang disponsori oleh perusahaan mereka," jelas Aurora, nadanya terdengar seperti sedang menganalisis sebuah kasus bisnis.

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   10. Rasa yang Aneh

    Aura dinging sangat terasa di ruangan itu. Mereka berdua berdiri di ujung prinsip masing-masing, tidak bisa maju dan tidak mau mundur. Keheningan terasa berat, dipenuhi oleh argumen yang tak terucapkan. Aurora adalah yang pertama memecah keheningan itu. Ia berpaling sebentar kesamping, menghela napas, kali ini bukan karena marah, tapi karena lelah. Tembok pertahanannya sedikit runtuh, menunjukkan wanita di baliknya yang lelah berperang.Aurora kembali menatap Rasya. "Lihat?" ucapnya, suaranya lebih pelan tapi terdengar jelas. "Kamu lihat sendiri, kan? Tidak ada satu pun titik temu di antara percakapan kita tentang perjodohan ini." Dia menatap Rasya dengan tatapan yang jujur dan putus asa. "Aku bisa membayangkan betapa kacaunya komunikasi kita nanti jika kita benar-benar terikat dalam sebuah pernikahan." Aurora berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk langkah terakhirnya. 'Salah Aurora, kamu salah. Justru, aku bisa membayangkan betapa pernikahan kita nanti tidak akan perna

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   9. Tiada Akhir

    Mereka kembali ke titik awal, dalam sebuah perang dingin di ruangan pribadi Aurora. Kalimat terakhir Rasya 'Tapi sepertinya, kamu lebih suka cara yang sulit' terngiang di telinga Aurora. Ruangan itu kembali hening, tapi kali ini dipenuhi oleh perang batin di dalam kepala Aurora. Amarah. Itulah yang pertama ia rasakan. Amarah pada pria di depannya, pada orang tuanya, pada takdir yang membuatnya terpojok seperti ini. Rasanya ia ingin berteriak dan mengusir Rasya keluar dari ruangannya. Tapi kemudian, akal sehatnya perlahan mengambil alih. 'Berteriak tidak akan ada gunanya,' pikirnya. 'Melawannya dengan emosi hanya akan memberinya kemenangan. Dia sudah membuktikannya di restoran. Dia kebal terhadap penolakan. Dia justru menikmati perlawananku.' batin Aurora bermonolog Dia menatap Rasya yang berdiri dan menatapnya dengan tenang, seolah sudah tahu dia akan menang. 'Dia menawarkan kerjasama... menjadi "mitra" mitra apa yang dia maksud? Pernikahan kontrak? Tapi... bagaimana jika itu s

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   8. Menawarkan Ke'mitra'an

    Kantor Aurora terbilang sangat luas, terdiri dari dua lantai. Lantai pertama, ia gunakan untuk butiknya. Dan lantai kedua, ia gunakan untuk area meeting, area menerima tamu VVIP, dan ruangan pribadinya. Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah pintu kayu solid. Alih-alih membawa Rasya ke area VVIP, kakinya malah membawanya ke ruang pribadinya. Aurora membuka pintu ruangan itu dan masuk lebih dulu, menahan pintu untuk Rasya agar bisa masuk lebih dulu ke dalam ruangan. "Silahkan." ucap Aurora tegas. Setelah Rasya masuk, Aurora menutup pintu di belakangnya, lalu berbalik dan menyilangkan tangan di dada. Sebuah postur defensif. "Oke, kita sudah berdua. Apa yang ingin anda bicarakan, Pak Rasya? Babak kedua dari ujian tadi?" Rasya tidak langsung menjawab. Matanya berkeliling mengamati ruangan Aurora—sketsa-sketsa desain yang tertempel di dinding, tumpukan majalah mode, sampel kain yang berwarna-warni. Ruangan ini terasa sangat personal, sangat "Aurora". Akhirnya, ia berhenti dan menat

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   7. Ujian Manis

    Aurora menatap Rasya, menjaga ekspresinya tetap netral. "Silahkan, Pak Rasya." Rasya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya tertaut di atas meja. Matanya tidak pernah lepas dari Aurora. "Anda sudah menjelaskan konsep kreatifnya dengan sangat baik, Nona Meschach," ucapnya, sengaja menggunakan nama belakangnya yang formal dan menjaga jarak. "Tapi, di luar brand awareness yang sifatnya kualitatif, bagaimana anda akan mengukur kesuksesan acara ini secara kuantitatif? Metrik spesifik apa yang akan anda berikan pada kami untuk menunjukan Return On Investment dari sponsor yang kami berikan?" Rasya memberikan serangan yang sempurna. Ia sengaja membelokan diskusi dari dunia seni dan visi—yang merupakan kekuatan Aurora ke area angka, data, dan laba. Mengujinya di wilayah paling korporat. Dia tidak bertanya apakah acaranya akan indah. Justru ia be

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   6. Second Meeting

    Seminggu setelah proposal sponsornya secara "ajaib" disetujui oleh Aetherion Group dalam waktu singkat, hari pertemuan pertama itu pun tiba. Ruang meeting di kantor Aurora sudah siap. Timnya sudah berkumpul, sedikit tegang karena aura bos mereka yang sangat serius. Presentasi sudah siap di layar. Air mineral dan snack sudah tersaji. "Bisa kita mulai, Pak Frans?" tanya Aurora pada salah satu staf Aetherion Group. Perwakilan dari Aetherion Group—yang ternyata adalah tim dari Elysian Media—datang dengan tiga orang perwakilan; seorang manajer marketing dan dua stafnya. Mereka sudah saling memperkenalkan diri begitu tiba di kantor Aurora. Dalam perkenalan singkat itu, Aurora sedikit terkejut ketika sang manajer menjelaskan bahwa seluruh urusan terkait fashion show akan diawasi langsung oleh CEO mereka, CEO Elysian Media, yang merupakan salah satu perusahaan di bawah naungan Aetherion Group. Elysian Media akan menjadi mitra media promosi untuk keseluruhan acaranya. Namun, bukan nama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status