LOGINSuasana seketika berubah tegang. Binatang purba itu menegakkan kaki depannya yang kekar, cakarnya yang tajam menancap ke tanah. Lidahnya yang panjang, bercabang dua dan berwarna kuning pucat, menjulur keluar masuk dengan cepat—mencium aroma tamu tak diundang. Suara desisan rendah terdengar, seperti ban kempes yang mengerikan.
"Diam. Jangan mundur," perintah Pak Saleh tenang, tapi tongkat bercabangnya kini terarah lurus ke leher Komodo itu.Jantung Aurora berpacu gila-gilaan. Ia bisa melihat liur kental menetes dari rahang bawah binatang itu. Ia tahu fakta mengerikan tentang air liur itu—penuh bakteri mematikan yang bisa membunuh kerbau dalam hitungan hari.Rasya merasakan ketakutan Aurora. Ia merangkul bahu istrinya erat, menariknya menempel ke sisi tubuhnya."Tenang, Baby. Lihat aku," bisik Rasya di telinga Aurora, suaranya rendah dan stabil, mencoba mentransfer ketenangannya. "Jangan lihat matanya. Lihat aku aja."Aurora menurut. Ia menSeminggu telah berlalu. Rutinitas baru mereka mulai terbentuk di rumah ini. Namun bagi Aurora, fokusnya kini tersedot sepenuhnya pada satu hal: debut Paris.Di kamar tidur utama yang bernuansa hangat, Aurora duduk bersandar di headboard. Ia mengenakan gaun tidur sutra tipis, rambutnya digerai bebas. Di pangkuannya, sebuah iPad menyala terang, menampilkan deretan email yang membuatnya mengerutkan kening dalam-dalam.Pintu kamar mandi terbuka. Rasya keluar dengan handuk melilit pinggang dan handuk kecil mengeringkan rambutnya yang basah. Uap hangat menguar dari kulitnya, membawa aroma sabun maskulin yang segar.Ia melihat istrinya yang sedang menggigit bibir bawah, menatap layar dengan frustrasi."Hei," sapa Rasya lembut, melempar handuk kecilnya ke keranjang, lalu naik ke tempat tidur. "Sudah malam, Nyonya. Masih cemberut di depan layar?""Ada yang nggak beres, Sayang," gumam Aurora tanpa mengalihkan pandangan.Jantung Rasya berdesir waspada. "Nggak beres kenapa?""Supplier ka
Jam dinding digital di ruang tengah menunjukkan pukul sembilan malam. Rumah itu hening dan nyaman. Lampu-lampu utama sudah dipadamkan, menyisakan lampu gantung warm white yang temaram. Pintu utama terbuka. Rasya melangkah masuk dengan langkah berat. Ia melonggarkan dasi yang rasanya mencekik lehernya seharian ini. "Perang" di kantor tadi benar-benar menguras energinya. Ia merasa seperti habis lari maraton, padahal hanya duduk memimpin rapat. "Sayang?" Suara lembut itu menyapa dari arah tangga. Aurora berjalan turun, mengenakan piyama satin panjang berwarna sage green. Rambutnya diikat asal, dan wajah Aurora begitu cerah menyanbut suaminya seolah tanpa beban. Kontras sekali dengan wajah kusut Rasya. "Kamu baru pulang?" tanya Aurora lembut, berjalan mendekat. "Katanya cuma tiga jam? Ini udah malam banget." Rasya memaksakan senyum terbaiknya. Ia merentangkan tangan, menyambut pelukan istrinya. "Maaf," gumam Rasya, membenamkan wajahnya di bahu Aurora, menghirup aroma t
Sepeninggal Rasya, rumah itu kembali hening. Tapi bagi Aurora, ini bukan keheningan yang sepi, melainkan keheningan yang penuh inspirasi. Ia membuat secangkir teh chamomile, lalu naik ke lantai dua. Aurora membuka pintu studionya. Cahaya matahari dari jendela utara menyambutnya, menerangi ruangan luas yang masih minim perabot itu. Ia meletakkan cangkir tehnya di meja kerja. Dengan semangat menggebu, Aurora mulai membuka koper-koper besar berisi koleksi kain premiumnya. Satu per satu, ia menyusun gulungan kain itu ke dalam rak besi di Fabric Library. Ia menyentuh tekstur kain-kain itu dengan penuh kasih sayang. "Rumah baru kalian," bisik Aurora pada gulungan kain favoritnya. Setelah selesai menata kain, Aurora duduk di meja kerja, membuka buku sketsanya. Halaman kosong. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan Paris Fashion Week. Lampu sorot, catwalk, tepuk tangan riuh, dan kritikus mode yang ternganga melihat karyanya. Ia membayangkan Rasya duduk di front row, ters
Sebuah taksi online sudah menunggu di depan gerbang.Galaxy berdiri di teras dengan koper besar di sampingnya dan ransel tersandang di bahu. Ia mengenakan hoodie universitasnya, siap kembali ke realitas sebagai mahasiswa rantau.Aurora, yang kini sudah segar dengan pakaian kasual, memeluk adiknya erat-erat."Jangan lupa makan, Gal," pesan Aurora, mode 'Kakak Cerewet'-nya aktif. "Kurangi mie instan. Kalau uang bulanan kurang, bilang Kakak. Jangan minjem teman.""Iya, Kak Rara, iyaaa," jawab Galaxy, menepuk punggung kakaknya. "Uang jajan aman kok, kan sekarang punya Kakak Ipar Sultan."Galaxy melepaskan pelukan, lalu menyengir ke arah Rasya yang berdiri di samping Aurora."Ya kan, Bang Rasya?" goda Galaxy.Rasya, yang sejak tadi berusaha menyembunyikan ketegangan soal Paris di balik wajah tenangnya, tertawa kecil. "Aman. Kirim aja nomor rekening kamu kalau darurat.""Mantap!" seru Galaxy. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya, mengarahkan kamera ke wajah mereka bertiga."Oke, Guys. Gue b
Aroma biji kopi arabika yang baru digiling menguar, memenuhi udara. Rasya berdiri di depan island dapur, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana piyama panjang berwarna abu-abu. Rambutnya masih sedikit berantakan khas bangun tidur, namun tangannya dengan terampil menuangkan air panas ke dalam dripper kopi. Ia begitu fokus pada pusaran air di serbuk kopi itu, hingga tidak menyadari langkah kaki pelan di belakangnya. Aurora melangkah tanpa suara. Ia mengenakan kemeja putih kebesaran milik Rasya—yang entah kenapa terasa lebih nyaman daripada piyama sutranya sendiri. Ia berhenti sejenak, bersandar di kusen pintu, menikmati pemandangan di depannya. Punggung lebar suaminya, otot bahunya yang bergerak pelan saat menuang air, dan ketenangan yang memancar dari pria itu. Ada perasaan hangat yang menjalar di dada Aurora. Perasaan memiliki yang begitu kuat setelah pengakuan "takdir" semalam. Aurora berjalan mendekat, lalu tanpa peringatan, ia melingkarkan kedua lengannya di pingg
"Ya ampuuuun!" pekik kedua ibu itu setengah histeris. Tangan mereka saling bertaut gembira. "Jadi anak itu...?!"Para Ayah tersenyum haru, menggelengkan kepala melihat keajaiban Tuhan.Rasya dan Aurora hanya saling menatap. Kepingan-kepingan masa lalu itu akhirnya jatuh ke tempatnya, membentuk gambar yang utuh.Gadis kecil manis dengan pita biru.Anak laki-laki baik hati dengan gantungan kunci robot.Pandangan pertama yang tak bernama itu. Ternyata... adalah satu sama lain."Jadi..." bisik Aurora, air mata haru mulai menggenang di matanya. "Selama ini..."Rasya tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menarik istrinya ke dalam pelukan yang sangat erat, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aurora."Selama ini," balas Rasya, suaranya serak karena perasaan yang membuncah. "Itu selalu kamu, Aurora. Selalu kamu."Cerita mereka bukan lagi tentang perjodohan paksa, tapi tentang takdir yang akhirnya menemukan jalan pulangnya.Sebuah lingkaran sempurna yang dimulai di taman rumah sakit enam be







