Share

Se-Amin Tak Seiman

“Adiaz, apa ini!?" Mentari melonjak kaget. Dia menatap nanar ke arah Adiaz.

Sedangkan Adiaz melongo, wajahnya seketika pias. Lalu ia merebut lipstik itu dari tangan Mentari. Segera membuangnya ke jalanan. “Itu bukan apa-apa," ucapnya. Ia mencoba untuk tetap tenang.

Mentari melayangkan tatapan marah. Kemudian ia tertawa sarkas. “Bukan apa-apa!? Ada benda perempuan lain, kamu bilang bukan apa-apa!?"

“Itu punya teman kerja aku! Kita kemarin ada meeting!" jawab Adiaz ikut berteriak. “Kita sengaja cuma pakai satu mobil, karena jalanan sedang macet!"

“Alasan kamu gak logis!"

“Apanya yang gak logis, sih!?"

“Kalau kamu tahu ada lipstik orang yang ketinggalan, kenapa nggak langsung kamu kembalikan? Dan itu ... kenapa harus dibuang?"

“Aku aja baru sadar sekarang! Udah! Jangan ajak aku debat lagi. Kamu ngajak ribut cuma gara-gara hal sepele ini!?"

Hari itu, rencana belanjanya gagal total. Adiaz lebih memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia sengaja melakukan itu, supaya Mentari tak terus mengungkit perihal lipstik tadi, Adiaz bingung mencari alasan. Sedangkan Mentari masuk ke kamarnya sendiri setelah membanting pintu. Wanita itu menangis tersedu.

Rasanya, semua kesialan itu akan datang kembali. Sama seperti hari ini.

***

Jika ada seseorang yang bertanya mengapa Mentari dan Adiaz belum melangsungkan pernikahan, padahal mereka sudah bersama selama itu dan hubungan mereka pun sudah sangat jauh. Itu karena mereka menganut dua keyakinan yang berbeda. Adiaz dan Mentari memang sama-sama mengucapkan ‘amin' dan ‘Allah’, tetapi berbeda keyakinan.

Mentari sering kali bertanya pada penciptanya, ‘Dosakah jika hamba mencintai yang bukan umat-Mu?’

Begitulah mereka saling berjalan bersisian. Mentari adalah seorang muslim yang taat, Adiaz pun begitu. Jika Mentari pergi beribadah ke masjid, maka setiap Minggu, Adiaz akan pergi ke gereja. Lelaki itu akan setia mendengarkan ceramah dari pendeta di gereja. Hal itu menyebabkan hubungan mereka tergantung seperti jemuran selama delapan tahun.

Bagaimana lagi, Mentari jatuh cinta pada salah satu umat Yesus, sedangkan Adiaz juga mencintai hamba Allah.

“Kamu mau pergi umrah? Kalau mau, berangkatlah. Tapi kamu tahu, ‘kan aku gak mungkin bisa temani kamu,” ucap Adiaz beberapa waktu lalu.

Mereka saling menghormati dalam hal keyakinan. Namun, masalah hati siapa yang dapat berbohong?

Percuma jika orang-orang menawarkan pria atau wanita se-iman yang dirasa lebih baik untuk keduanya, mereka tetap bersikukuh menjalani pertunangan ini, meski tanpa kepastian kapan akan melangsungkan pernikahan. Bagi Mentari, Adiaz adalah sosok laki-laki sempurna. Entahlah, agaknya takdir sedang mempermainkan mereka. Untuk apa mempertemukan dua insan yang berbeda keyakinan, lalu saling jatuh cinta, tetapi untuk terwujudnya satu pernikahan cukup berat bagi keduanya melintasi batas itu.

Hari itu, Mentari akan pulang ke rumahnya di Bogor. Sudah cukup beberapa hari ini ia tinggal di rumah Adiaz. Rumah itu adalah rumah yang dihadiahkan oleh Adiaz atas nama Mentari.

Pagi-pagi sekali mereka berangkat. Bahkan, langit masih tampak jingga bercahaya karena sinar bulan. Tidak ada suara kokok ayam, karena mereka tinggal di kota. Hanya ada suasana jalan yang sepi, lampu jalanan yang masih menyala, dan warung-warung pinggir jalan yang belum buka. Udaranya sangat sejuk, belum ada polusi yang biasanya menyerang seperti saat siang hari. Apalagi asap knalpot dan deru kendaraan, tidak ada.

“Ada barang yang tertinggal? Tapi, kalau di simpan di sini juga tidak apa-apa, sih. Lagi pula udah biasa juga," ucap Adiaz. Ia bantu memasukkan tas besar milik Mentari ke dalam mobil hitam nya.

Mentari menjawab, “Iya." Dia kaku fokus meneliti setiap inci mobil, mencari apakah lipstik yang sama masih ada di sana atau mungkin ada benda lain selain lipstik?

“Kenapa?" tanya Adiaz lagi, saat melihat Mentari mencari-cari sesuatu.

“Enggak ada. Ayo jalan."

“Kamu masih curiga?"

“Masih .…"

“Aku, ‘kan sudah bilang kemarin. Itu cuma punya teman kerja aku yang ketinggalan. Kita ada meeting, lagi pula, aku gak berduaan sama dia. Ada teman kerja yang lain juga."

“Ya sudah. Kalau merasa itu bukan apa-apa. Sudah, jalan aja," pintanya.

Adiaz sengaja membuka jendela mobil, agar Mentari bisa menghirup udara pagi yang segar, terlebih saat ini mobil itu mulai melaju dengan tempo sedang di jalanan.

“Kamu suka?" tanya Adiaz.

“Iya. Suasana tenang. Enggak seperti suasana hatiku saat ini, sumpek," jawab Mentari dingin.

“Sayang, ayolah. Bukankah semua sudah aku jelaskan? Kerjaan di kantor bikin pusing, jangan tambah lagi dengan---"

“Aku buatmu pusing?”

“Ah, sudahlah.”

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, mereka tiba di Bogor. Sesampainya di rumah, Mentari langsung menuju kamar, merapikan baju-baju, serta barang-barang yang dibawa tadi. Sedangkan Adiaz duduk sejenak di sofa.

“Kamu mau kopi?" tawar Mentari.

Adiaz menggeleng. “Enggak. Beberapa hari ini, aku bakal pulang seperti biasanya, kok."

“Oh, baguslah, kita punya waktu sama-sama lebih banyak, ‘kan?"

“Iya. Kamu mau ke mana? Mumpung aku belum terlalu sibuk lagi."

“Cukup menghabiskan waktu berdua di sini sudah cukup, kok."

Adiaz tertawa, dia menatap lekat wajah Mentari. “Yakin? Kamu yakin gak mau jalan-jalan ke mana gitu?"

Mentari melayangkan tatapan aneh, “Ya–kin. Kenapa enggak .…"

“Hahahaha. Ya udah deh. Aku mau mandi dulu, bisa siapkan sarapan? Aku lapar."

Mentari memberikan jempolnya. “Oke, siap laksanakan!"

Mereka sarapan pagi dengan tenang. Hari itu seharian penuh adiaz memanjakan Mentari, lebih tepatnya membeli hatinya supaya tidak terus-terusan mengungkit tentang lipstik yang ditemukannya di mobil. Namun, keesokan harinya, Adiaz sudah meninggalkan rumah, bahkan sebelum Mentari terbangun. Lelaki itu hanya meninggalkan pesan singkat, jika ia sudah pergi ke kantor dan akan pulang seperti biasa.

“Ya ampun, pagi-pagi sudah pergi. Dia semangat sekali, ya? Tak biasanya.” Mentari berpikir keras.

***

Malam hari sepulang kantor, Adiaz melajukan kendaraannya dengan cepat karena malam ini dia janji untuk pulang ke Bogor. Namun, sebuah panggilan dari kontak dengan nama ‘Angela' muncul. Lelaki itu langsung menepikan kendaraannya, demi menjawab panggilan dari perempuan bernama Angela.

"Kamu ada waktu malam ini? Gak mau senang-senang lagi?" Angela memberondong Adiaz dengan pertanyaan setelah panggilannya tersambung.

“Aku harus pulang malam ini. Lain kali saja,” jawab Adiaz.

“Kenapa? Karena perempuan lemah itu lagi? Memangnya, kamu gak bosan sama dia? Kalian sudah berhubungan begitu lama, apa gak mau ganti yang lebih menggairahkan, gitu?”

“Maaf, Angela, aku harus segera pulang.” Tanpa menunggu jawaban, Adiaz langsung memutuskan sambungan telepon.

Adiaz kembali melajukan kendaraannya menuju kediaman Mentari, ia tahu Mentari pasti sedang menunggunya. Seperti biasa.

Sampai di rumah, Adiaz melihat Mentari sudah terlelap di sofa. Di atas meja makan terhidang masakan hasil racikan tangan Mentari yang selalu membuat adiaz berselera, tetapi tampak sudah dingin.

“Astaga, kenapa kamu repot-repot begini, sih?" Dia lalu membopong kekasih hatinya dan membawanya ke dalam kamar kemudian menyelimutinya hingga sebatas dada, lalu kembali ke ruang makan.

“Ah, Mentari ... kalau kamu bersikap seperti ini, aku jadi merasa bersalah. Maafkan aku, Sayang.” Adiaz bermonolog.

Kring!

Kring!

Kring!

Nada panggilan dari ponsel Adiaz membuat Mentari terbangun, ia segera turun untuk menemui Adiaz. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti .…

“Kenapa menelepon, sih? Aku udah bilang lain kali aja," ucap Adiaz sedikit emosi.

[Kenapa kamu gak buat alasan aja seperti biasanya? Kenapa gak bilang, kalau kamu harus lembur lagi? Aku kangen Adiaz. Kamu gak ngerti?] Angela merajuk dari seberang telepon.

“Aduh! Lain kali, ‘kan masih ada waktu. Biarkan malam ini aku temani dia supaya dia gak curiga. Sudah, aku tutup teleponnya––"

Tiba-tiba Mentari sudah berdiri di samping Adiaz. Sambungan telepon sudah di putus oleh Adiaz, membuat Mentari lagi-lagi tidak mengetahui yang sebenarnya.

“Siapa tadi? Kamu telepon seseorang dengan sebutan aku-kamu?"

“Ah, biasa ... orang kantor––"

“Hmm ... orang kantor, ya? Kalau dia klien kamu, harusnya pakai saya-anda, ‘kan?! Lagian, ya, memang ada klien yang telepon selarut ini?”

“Mentari, kamu akhir-akhir ini sering curigaan, kenapa?!"

“Kamu yang buat aku curiga terus! Bisa-bisanya ngobrol seperti itu sama perempuan lain? Kamu ada main di belakang aku?!" Mentari memancing Adiaz dengan mengatakan, ‘Perempuan’.

“Dia itu hanya perempuan malam, Sayang. Kamu juga tahu aku gak mungkin tertarik sama perempuan seperti itu. Cari penyakit saja!” Adiaz pun kena jebakan Mentari dan secara tidak langsung ia mengakuinya jika yang teleponan dengannya tadi itu adalah seorang perempuan, hebatnya lagi Adiaz memperjelasnya dengan sebutan ‘Perempuan malam’.

“Perempuan malam kamu bilang? Sejak kapan kamu kenal dengan dunia malam?”

“Ahh, itu ... begini, Sayang. Dengarkan aku dulu. Aku ini, ‘kan sedang mengejar posisi untuk naik jabatan. Jadi, aku harus sering-sering melobi orang-orang yang berpengaruh dalam memuluskan misi aku, Sayang.”

“Hubungannya dengan wanita malam?” tanya Mentari masih dengan rasa tak percaya.

“Oh, tentu saja ada, Sayang. Mereka itu sukanya clubing, bermain-main dengan wanita bayaran seperti itu, dan ... ya, begitulah.” Tanpa sadar Adiaz secara tidak langsung mengakui perbuatannya selama ini di belakang Mentari.

“Clubing? Bermain dengan perempuan bayaran? Berarti kamu––“ Mentari hampir tak percaya dengan semua ini.

“Iyaa ... oke! Aku mengakuinya kalau aku pernah bersama perempuan itu! Tapi hanya sekadar iseng saja, gak lebih!” Adiaz berteriak sontak membuat Mentari syock dengan pengakuannya.

“Kamu tega Adiaz! Kamu berani bermain dengan sampah! Aku jijik sama kamu, jijik!” Mentari berteriak histeris.

Tangan Adiaz terangkat ke atas. Dia hendak menampar Mentari. Hal itu membuat Mentari terduduk di lantai. Ia memegangi kepalanya sebagai bentuk perlindungan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status