INICIAR SESIÓN
“Pembunuh!”
“Wanita jahat! Hukum dia!” “Penggal kepalanya!” Suara-suara itu bergema tajam di telinga, bagaikan dengungan ribuan lebah. Setiap teriakan disertai tatapan kebencian, hinaan, dan jijik yang menghujam lebih tajam daripada pedang mana pun. Di tengah lapangan eksekusi, seorang gadis muda berdiri dengan tangan terikat ke belakang, rambut panjangnya kusut, hanfu yang dikenakannya jauh dari kata layak. Gadis itu akan dihukum, karena kesalahan yang tidak dilakukannya. Mencelakai Putri Kanaya, dengan mengirimkan bandit pada gadis itu untuk diperkosa, untungnya Putra Mahkota Daniel datang tepat waktu menyelamatkan gadis itu. Ini semua telah direkayasa oleh seseorang. Elena memandang sekeliling, mencari satu tatapan iba sekadar bukti bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian di dunia ini. Namun yang ia temukan hanyalah tatapan kebencian. ‘Aku benar-benar sendirian?’ batinnya dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak ada keluarga Adipati Dirgantara, tidak ada orang yang mencintainya. Hanya orang-orang yang menunggu kematiannya dengan senyum lebar. Di ujung pandangan, algojo mengangkat pedang besar yang memantulkan sinar matahari. Bilahnya terlihat berkilau dan tajam. ‘Jadi sampai di sini jalanku?’ batin Elena. Elena menutup mata rapat, kini ia pasrah. Sebuah bilah pedang menyentuh kulitnya. Crash! Seketika semuanya terlihat gelap. "Tidak!" “Hosh! Hosh!” Elena terbangun dengan teriakan tertahan. Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi kening. Tangannya refleks meraih lehernya masih utuh, tanpa luka, tanpa darah. Jantungnya berdegup kencang seperti hendak pecah. Pintu kamar terbuka dengan cepat, seorang gadis pelayan berambut cokelat masuk tergesa-gesa mendengar teriakan dari dalam. “Nona! Apa yang terjadi?!” serunya panik, matanya melebar melihat nona mudanya menggigil di atas ranjang. Elena menoleh cepat, pandangannya langsung terpaku. “Cani?” suaranya serak, nyaris tidak percaya apa yang dilihatnya. Pelayan itu berhenti di ambang pintu. “Iya, Nona. Ini aku. Kenapa? Anda terlihat sangat pucat. Apa hari ini Nona kurang sehat?” tanyanya dengan khawatir. Elena tidak menjawab, hanya menatap pelayan muda itu lekat-lekat, seolah takut gadis itu akan menghilang kapan saja. Di kehidupan sebelumnya, Cani pelayan setianya telah meneguk racun untuk menggantikan dirinya, gadis itu mati di pelukannya, tetapi sekarang? “Kau masih hidup?” tanya Elena, suaranya bergetar. Cani mengerutkan kening bingung. “Tentu saja, Nona. Apa nona bermimpi buruk?” Elena mengabaikan pertanyaan itu, tangannya kembali meraba leher, memastikan sekali lagi bahwa kepalanya tidak terpisah. Semuanya nyata, panas tubuhnya, detak jantungnya, semuanya hidup. “Cani!” Elena menatapnya dengan tatapan penuh kegelisahan, “tahun berapa sekarang?” Cani terdiam heran, namun tetap menjawab, “Tahun 261 M, Nona. Kenapa bertanya seperti itu?” Dunia seakan berhenti berputar, Elena menahan napasnya. Tahun 261 M itu adalah tiga tahun sebelum kematiannya. Hari ketika Kanaya datang ke rumah Adipati Dirgantara untuk pertama kalinya, hari ketika segalanya mulai runtuh. Mata Elena membulat sempurna. ‘Aku … aku kembali? Dewa apakah ini kesempatan kedua?’ batinnya berdegup kencang. “Nona?” Cani melangkah mendekat, pelayan itu bertanya kembali, “Apa Anda—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Elena tiba-tiba menarik pelayan itu ke dalam pelukannya. “Cani,” bisik Elena. Tangis Elenaa pecah, penuh rasa kehilangan yang baru saja dihapus oleh keajaiban. “Kau hidup … kau benar-benar hidup.” Cani membeku, kaget dengan pelukan hangat yang tiba-tiba itu. “Nona apa yang sebenarnya terjadi? Anda jangan menakutiku.” Elena menahan air mata yang nyaris jatuh. Di kehidupannya yang lalu, Cani mati, kini ia bersumpah dalam hati tak akan membiarkan hal itu terulang. “Tidak apa-apa,” kata Elena dengan suara bergetar, mencoba tersenyum. “aku hanya sangat bersyukur.” Cani menatap wajah nona mudanya yang pucat, masih diliputi kebingungan. “Nona harus menenangkan diri. Adipati memerintahkan agar Anda bersiap ke aula utama. Katanya pagi ini ada tamu penting.” Ucapan Cani itu menghantam kesadaran Elena. Aula utama, ingatan masa lalunya melintas jelas di ingatannya. Hari ini adalah hari Kanaya putri kandung Adipati Dirgantara akan datang. Hari di mana dirinya dipaksa menyerahkan paviliun pribadinya, fi kehidupan lalu, ia menolak dengan keras, dan berakhir dihukum. Tapi kini Elena menarik napas panjang, tidak lagi ia menjadi bodoh. Ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Elena melepaskan pelukan pada Cani dan menatapnya penuh tekad kuat. “Baik. Bantu aku bersiap.” Cani mengangguk, masih ragu namun tetap patuh. “Ya, Nona. Saya akan menyiapkan air hangat lebih dulu.” Saat Cani bergegas ke kamar mandi. Elena menatap bayangan dirinya di cermin besar. Gadis berambut hitam panjang itu dengan mata biru kehijauan menatap balik. Di balik kelembutan wajahnya, kini terpantul sesuatu yang baru, tekad keras yang lahir dari kematian. Elena menggenggam jemarinya erat. “Kesempatan kedua ini,” gumamnya pelan, “akan kupakai untuk merebut kembali hidupku.”Di dalam paviliun Selatan. Elena duduk di tepi ranjang, sementara Cani berdiri di depannya dengan wajah cemberut dan tangan yang bekerja cepat mengoleskan krim herbal ke lengan Elena yang memerah.Cani terus menggerutu tanpa berhenti.“Mereka benar-benar jahat, nona. Apa hati mereka sudah jadi batu? Saya benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa Kanaya meracuni pikiran mereka semua sampai seperti itu.”Elena menghela napas panjang, lelah, lalu menatap Cani dengan senyum menggoda.“Sudahlah, Cani. Kau akan cepat tua kalau marah-marah seperti itu.”Cani langsung mempout bibirnya, wajahnya penuh protes. “Nona! Saya serius ini!”Elena tidak bisa menahan tawa kecil. Ia meraih tangan Cani dan menggenggamnya lembut.“Aku tahu kau serius. Tapi kau tidak perlu membuang energimu hanya untuk mereka.”Bibirnya melengkung sinis kecil. “Lagipula, kenapa kau mengoleskan krim ini padaku? Aku bisa menyembuhkannya pakai elemen cahaya. Sembuh dalam sekejap.”Cani buru-buru menatap Elena, lalu memuk
Elena akhirnya tidak tahan lagi. Suara yang sejak tadi ditahan meledak begitu saja.“Hentikan!”Teriakan itu membuat Rangga dan Ringga refleks berhenti. Elena menyentakkan tangannya dengan kekuatan penuh. Cekalan kasar itu terlepas, meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya.Elena menatap mereka berdua dengan tatapan tajam, penuh luka, dan penuh kemarahan yang selama ini ia pendam.“Aku tidak melarikan diri,” suaranya pecah tapi tegas. “Karena aku tidak bersalah.”Rangga hendak membalas, tapi Elena lebih dulu melanjutkan, suara yang keluar kini bukan sekadar marah melainkan pilu yang menohok. “Kalian .…” Elena menarik napas gemetar, “kedua kakakku yang dulu selalu melindungi dan menyayangiku sejak kecil. Kita tinggal bersama selama belasan tahun. Apa kalian tidak mengenalku sedikit pun?”Air matanya mengalir setetes. Dingin salju yang turun tak bisa mengalahkan dinginnya kata-katanya. “Sedangkan Kanaya … orang yang baru tinggal bersama kita beberapa bulan … kalian langsung percaya pa
Setelah makan bersama di kedai. Elena baru saja melangkah melewati gerbang taman bunga ketika suara lembut tapi terkejut memanggilnya.“Elena … kau sudah bebas?”Nyonya Andini berdiri di bawah naungan pohon plum, wajahnya pucat dan matanya membesar melihat Elena benar-benar ada di hadapannya. Wanita paruh baya itu tampak seperti baru saja kehilangan kekuatan untuk berdiri.Elena tersenyum tipis, senyum yang tidak lagi hangat seperti dulu. “Tentu saja nyonya. Aku sudah berada di depan Anda sekarang.” Elena menatap langsung ke mata wanita itu. “Atau … apa nyonya Andini berharap aku tetap berada di penjara?”Nyonya Andini cepat-cepat menggeleng. “Bukan seperti itu … bukan, Nak .…”Suara itu pecah, air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. Bagaimanapun, dialah yang menggendong Elena sejak bayi, yang menimang, menyuapi, mengajari berjalan. Dan sekarang, dia merasa seperti seseorang yang telah menusuk anaknya sendiri.Cani di sisi Elena menunduk, tak berani menatap siapapun.Nyonya Andini me
Elena melangkah keluar dari aula Kekaisaran Solaria dengan napas lega. Udara luar terasa jauh lebih ringan daripada atmosfer penuh intrik di dalam sana. Cani yang berjalan di sampingnya langsung memekik kecil sambil tersenyum lebar."Nona! Syukurlah nona tidak apa-apa. Saya benar-benar takut tadi."Elena tersenyum tipis lalu menepuk punggung tangan Cani dengan lembut."Terima kasih, Cani. Tanpa kau semua mungkin akan berjalan berbeda."Cani menggeleng cepat, wajahnya memerah bangga. "Saya hanya melakukan kewajiban saya."Elena lalu menoleh pada pemuda di sisi kirinya Caspian, dengan tatapan tajam namun hangat yang selalu membuat orang lain susah menebak isi pikirannya."Dan kau, terima kasih. Kalau bukan karena bantuanmu, aku tidak akan selamat dari tuduhan itu."Caspian tersenyum tipis, senyuman khasnya yang jarang muncul. Ia mengangkat tangan dan tanpa ragu mengusap kepala Elena pelan."Aku sudah bilang aku tidak akan pernah membiarkanmu terluka."Wajah Elena seketika memerah. "K–ka
Aula utama Kekaisaran Solaria mendadak bergemuruh begitu Nina, gadis yang baru saja diseret prajurit, berteriak histeris. Kaisar Noah berdiri sedikit dari singgasananya, ekspresinya tajam namun tidak terburu-buru. Beliau menatap Elena.Kaisar Noah berkata dengan suara berat.“Nona Elena, apa maksudnya semua ini?” Elena melangkah maju. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya dingin.“Yang Mulia, beberapa waktu lalu mantan pelayan pribadi Kanaya ini dihukum cambuk dan diusir dari kediaman Adipati Dirgantara, karena ketahuan menggelapkan uang bulanan saya selama berbulan-bulan.” Bisik-bisik langsung pecah di antara para bangsawan. Sebagian terperanjat, sebagian lagi saling bertukar pandang, mencoba mengingat rumor-rumor lama.Rano Kusuma terkejut, ia menatap Nina dengan raut wajah sesuatu dan tentu Elena menangkap perubahan berbeda itu. Adipati Dirgantara mengerutkan kening. Ia lalu menoleh pada pemimpin pembunuh bayaran itu dan berkata dengan suara menggelegar. “Kau! Katakan yang
Semua orang mengangguk setuju mendengar perkataan Kanaya. Suasana aula menjadi bising, penuh bisikan dan kecurigaan.Rano Kusuma tiba-tiba berdiri. Dia menunduk hormat pada Kaisar Noah. “Maaf menyela pembicaraan Yang Mulia.”Aula langsung sunyi. Semua kepala menoleh. Sebagai Penegak Hukum Kekaisaran, ucapannya punya bobot besar.Kaisar Noah mengangguk pelan. “Katakan.”Rano Kusuma menoleh pada semua orang, kemudian tatapannya mengarah pada Elena.“Apa yang dikatakan Nona Kanaya ada benarnya nuga,” ucapnya lantang. “Kita semua melihat sendiri siapa yang membawa para pembunuh bayaran itu ke depan aula persidangan kekaisaran ini, pelayan Nona Elena dan Tuan Muda Caspian. Apa ini bisa dibilang sebuah kebetulan? Tidak mungkin bukan.”Ucapan dari pria berperut buncit itu benar-benar masuk akal. Dalam hati, Rami tersenyum licik. Ia tak akan melepaskan Elena, apalagi gadis itu sudah mempermalukan dirinya dan jga putri kesayangannya itu. Beberapa pejabat mulai berbisik lagi.“Benar juga.”“Ca







