Elena kini telah selesai berbenah diri, setelah dibantu oleh Cani. Di depan cermin Elena duduk menatap wajahnya yang cantik nan alami.
“Nona, apa riasannya—” suara pelayan itu terdengar ragu. “Tak perlu. Biar aku saja,” potong Elena cepat. Cani terdiam, bibirnya terbuka ingin bicara, namun urung. Matanya menatap kagum ketika Elena mulai merias dirinya dengan gerakan lembut dan mantap. Bedak tipis, bahkan masih terlihat alami. Bukan riasan tebal yang biasa membuat orang lain yang jika melihatnya merasa sakit mata. Cani akhirnya memberanikan diri berbisik. “Nona Anda terlihat sangat cantik, Anda hari ini berbeda sekali.” Elena hanya tersenyum samar, “Dulu aku terlalu bodoh, Cani. Sekarang aku ingin hidup untuk diri sendiri.” Cani terdiam mencoba mencerna ucapan sang nona. Namun, karena tidak menemukan jawabannya, ia akhirnya mengangguk saja. “Ayo! Kita ke paviliun tamu!” Selesai berbenah, Elena bangkit, gaun biru yang sederhana justru membuat kulitnya tampak lebih cantik. Ia melangkah ke arah pintu, gerakan anggunnya membuat Cani segera mengikuti di belakang. Lorong menuju paviliun tamu dipenuhi pelayan yang pura-pura sibuk, namun bisik-bisik mereka jelas terdengar. “Lihat, itu si nona jahat!” “Masih berani datang juga, padahal sebentar lagi .…” “Kasihan, sebentar lagi semua miliknya akan diambil.” Jika di kehidupan sebelumnya, setiap ejekan seperti itu akan membuat darah Elena mendidih. Ia akan mengamuk, memaki, atau langsung menghukum. Tapi kali ini, Elena hanya melangkah tanpa menoleh, senyum tipis tetap terukir di bibirnya, seolah bisik-bisik itu hanyalah bisikan nyamuk yang menggangu. Pelayan-pelayan itu saling pandang, merasa heran dengan sikap Elena. Setibanya di paviliun tamu, Elena berhenti sejenak. Dari balik pintu besar yang terbuka, ia bisa mendengar tawa dan percakapan hangat keluarga Adipati Dirgantara. Namun begitu dirinya muncul, ruangan itu mendadak senyap, semua tatapan serentak tertuju padanya terkejut dan terpesona. Elena masuk dengan langkah anggun. Ia menundukkan kepala dengan sopan dan memberi salam. “Salam hormat, Tuan, Nyonya. Tuan Muda.” Adipati Dirgantara, tersentak kecil mendengar sapaan Elena, suara itu bukan lagi suara anak yang biasanya merengek manja saat mereka bertemu, melainkan seorang gadis yang tahu posisi dan harga dirinya. “Kau sudah tiba,” ucap Adipati Dirgantara datar, berusaha menutupi kegelisahan aneh yang menyelinap. “Duduklah. Ada hal yang ingin kami sampaikan.” Elena mengangguk anggun, “Silakan, Tuan,” ujarnya sambil duduk. Nada panggilan itu membuat dada Adipati Dirgantara terasa sesak. Ia menatap Elena lekat-lekat, seolah mencari jawaban di balik ketenangan itu. “Kenapa kau memanggil Ayah seperti itu?” tanya Adipati Dirgantara akhirnya, nada suaranya terdengar tidak terima. Elena mengangkat wajah, senyum tipis tetap tersemat di bibir. “Saya hanya ingin membiasakan diri. Bagaimanapun juga, saya bukan putri kandung keluarga ini.” Tuangan tiba-tiba hening mendengar ucapan Elena. Nyonya Andini menatap Elena, bibirnya terkatup rapat. Rangga dan Ringga, si kembar tertua, saling melirik, jelas terkejut melihat Elena yang sama sekali tak seperti biasanya. Bahkan Kanaya, yang duduk dengan hanfu mewah di sisi Nyonya Andini, sempat kehilangan senyum manisnya. Adipati Dirgantara menghela napas panjang. “Baiklah kalau begitu.” Ia menatap Elena dengan tatapan sulit diartikan, lalu berkata pelan, “Ayah ingin katakan, kau tentu sudah tahu, bukan? Kanaya adalah putri kandung kami.” Elena mengangkat salah satu alisnya, menunggu tanpa berkata apa-apa. Tentu kabar itu sudah diketahui oleh semua orang, kabar tertukarnya Putri Adipati Dirgantara akibat dari musuh keluarga akhirnya terungkap setelah tabib yang menukarnya membongkar sebelum kematiannya. “Mulai hari ini,” lanjut sang adipati, “paviliun Mawar akan diberikan pada Kanaya.” Seisi ruangan kembali terdiam, mereka semua menunggu menanti ledakan kemarahan seperti yang selalu mereka kenal dari Elena. Gadis itu biasanya akan mengamuk, berteriak, atau menangis keras. Elena mencoba membuka mulut, namun Kanaya tiba-tiba memotongnya dengan suara lembut. “Kakak! Maafkan aku, ini semua salahku, aku tidak bermaksud merebutnya.” Mata Kanaya mulai berkaca-kaca. “Jika Kakak gak mau, tak apa! Aku bisa mencari paviliun lain,” lanjutnya dengan air mata yang menetes. Mata Rangga menatap nyalang ke arah Elena. “Lihat perbuatanmu! Kanaya baru datang ke sini dan kau mulai membuatnya menangis!” “Kau benar-benar gadis jahat! Harusnya kau tahu diri,” sambung Ringga. Elena hanya tersenyum tipis, ia hanya bergeming di tempatnya. Dulu, dia akan mengamuk dan mencoba menyerang Kanaya, yang membuat semua orang semakin membencinya. Sekarang ia tak ingin membuang-buang energi. “Aku bahkan belum berkata apa-apa. Tapi kalian sudah menuduhku menyakitinya? Apa aku terlihat memukulnya?” tanya Elena, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Kanaya. “Apa aku memukulimu, hingga kau menangis seperti itu? Aku bahkan tidak menyentuhmu sama sekali.” Rangga dan Ringga terdiam, dengan wajah memerah. Begitu juga dengan Kanaya, wajahnya memerah entah karena malu atau marah. “Sudah, hentikan! Jadi apa keputusanmu, Elena?” lerai Adipati Dirgantara. “Aku tidak keberatan! Ambil saja, aku tidak butuh paviliun itu!”Suara berat itu membuat Elena dan Cani seketika membeku. Keduanya menoleh perlahan, di sana di ambang pintu kamar berdiri Rangga. Tubuh tegapnya bersandar di kusen pintu, sorot matanya tajam menusuk, mencoba mengintimidasi. “Elena.” suaranya datar. “dari mana saja kalian?” ulang RanggaCani menunduk refleks, wajahnya pucat pasi. Elena hanya menarik napas pelan, berusaha menenangkan debar di dadanya sebelum menjawab dengan nada datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.“Kami hanya berjalan-jalan di belakang taman paviliun,” ucapnya. “Sekalian menanam beberapa tanaman.”Rangga menyipitkan mata, bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. “Kau pikir aku percaya? Aku tahu kau pasti merencanakan sesuatu di belakang kami.”Tatapan Elena berubah dingin, tak ada sedikit pun rasa takut di matanya. “Aku tidak butuh kau percaya atau tidak,” jawabnya tegas. “Lagi pula, apa yang kau lakukan di sini? Setahuku, kau tidak pernah repot-repot mengunjungi kamarku.”Ucapan itu membuat garis rahang Rangga
Setelah Orion pergi meninggalkan kedai kecil itu, Elena menatap punggung lelaki tua itu hingga hilang di balik kerumunan pasar. “Sekarang waktunya bagian kedua,” gumam Elena, lalu berbalik pergi. Langkah Elena berhenti di depan sebuah toko pakaian kecil di sudut pasar. Cat pada papan nama toko itu sudah mengelupas, dan kaca jendelanya berdebu, tempat itu sangat sepi, hanya kain kusam yang tergantung. .Elena membuka pintu kayu itu perlahan, dan suara lonceng tua berdentang menandakan kedatangannya. Namun, tak ada yang datang. Elena menunggu sebentar di dekat pintu, lalu akhirnya melangkah masuk. Toko itu sepi, hanya terdengar suara seorang anak kecil dari ruang belakang. Saat Elena menoleh, ia melihat seorang wanita berambut kusam sedang menenangkan anaknya yang tampak kelaparan. Tubuh wanita itu kurus, bajunya lusuh. Begitu menyadari ada seseorang di pintu, wanita itu langsung berdiri waspada, melindungi anaknya di belakang punggung.“Siapa kamu?” serunya tajam. “Mau apa kau ke s
Sudah seminggu Elena tinggal di paviliun Selatan dan tak pernah keluar, hanya Cani yang membawakan makanan untuknya. Elena duduk di kursi dekat jendela, menatap buku tebal bertuliskan huruf kuno tentang sihir dasar dan aliran spiritual. Ia membaca dengan seksama, namun semakin lama, ekspresinya berubah frustrasi. Tangannya mengepal, dan buku itu terhempas ke lantai.“Kenapa belum juga bangkit?” gumamnya pelan, seraya menatap kosong ke arah luar jendela.Sudah seminggu penuh ia mencoba memusatkan kekuatan spiritualnya, namun tak ada satu pun percikan sihir muncul.Elena menutup matanya, mengatur napas panjang, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.Sebuah kenangan dari kehidupan lalunya berkelebat, saat Kanaya, si putri asli tanpa sengaja menolong seorang pengemis tua di pasar. Tak lama setelah itu, Kanaya memiliki guru rahasia yang membuat kekuatannya melonjak pesat.Elena segera berdiri, seolah mendapat pencerahan.“Cani!” panggilnya cepat.Pelayan muda itu segera masuk, menunduk sopan. “
Pelayan itu terus membenturkan kepalanya ke lantai dengan keras, hingga darah mulai menetes dari dahinya. "Ampuni saya, Tuan. Saya menyesal!" “Cukup!” seru Tuan Dirgantara, tapi pelayan itu tetap berlutut, tubuhnya gemetar memohon ampunan. Dengan tangan berlumur darah dari dahinya, pelayan itu merangkak ke arah Kanaya dan berusaha memegang ujung roknya. “Nona Kanaya, tolong saya ... saya tidak sengaja ... saya hanya—” suaranya tersendat, matanya memohon tapi ada sesuatu di matanya. Kanaya menatap pelayan itu dengan wajah tidak percaya. Suaranya terdengar kecewa. “Kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu tidak tahu kalau Kak Elena bisa dihukum karena perbuatan yang tidak dia lakukan?”Pelayan itu masih memohon, tubuhnya bersujud di lantai, “Nona tapi bukankah Nona kemarin—”“Cukup!” potong Kanaya cepat, matanya membulat dan pandangannya langsung beralih ke ayahnya, Adipati Dirgantara. “Ayah,” kata Kanaya, suaranya memelas, “pelayan ini memang bersalah. Tapi bisakah hukumannya diringankan
Tuan Dirgantara menoleh, begitu juga dengan yang lain. “Kalian tidak bisa menghukumku, tanpa ada bukti,” kata Elena seraya menepis tangan pengawal yang mencoba menyeretnya. Rangga maju selangkah, jari telunjuknya menuding tepat ke wajah Elena. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas, kau memang berusaha merusak paviliun ini hanya karena tak ingin Kanaya menempatinya. Jangan bilang kau mau memutar balikkan fakta!”Elena menatap jari itu dengan datar sebelum menepisnya kwras. “Apa begini sikap adil yang ditunjukkan oleh keluarga Adipati Dirgantara?” tanyanya menyindir, matanya menatap satu per satu wajah di hadapannya.Mata Adipati Dirgantara menyalak tajam merasa tersinggung ucapan Elena. Suasana mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara, baru kali ini mereka melihat Elena berbicara dengan nada setegas itu.Adipati Dirgantara menyipitkan mata. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas! Kau yang paling terakhir menempati paviliun itu, dan sekarang tempat ini hancur! Jangan berani m
“Apa yang kau katakan?” suara Adipati Dirgantara meledak, membuat semua orang terhenyak. Tatapan pria paruh baya itu, menusuk tajam ke arah pelayan yang kini berlutut gemetar.Pelayan itu menunduk semakin dalam, matanya melirik sekilas ke arah Elena yang berdiri diam di sisi kanan ruangan.Adipati yang tak luput menangkap lirikan itu kembali menegaskan. “Katakan dengan jelas! Jangan hanya diam seperti patung!”Pelayan itu menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. “A–ampun, Tuan … Paviliun Melati … paviliun itu … hancur berantakan. Saat kami hendak membersihkan kamar untuk Nona Kanaya, kami mendapati seluruh ruangan sudah kacau … barang-barang porak-poranda.”Semua orang membelalak terkejut, mata serentak tertuju pada Elena, yang terlihat tenang. Rangga tiba-tiba berdiri dari duduknya, langsung menatap tajam ke arah Elena. “Lihat! Benarkan dugaanku! Pantas saja kau begitu cepat menyerahkan Paviliun Melati. Rupanya ini rencanamu sejak awal!”Ringga ikut maju setengah langkah, suaranya pe