Sudah seminggu Elena tinggal di paviliun Selatan dan tak pernah keluar, hanya Cani yang membawakan makanan untuknya.
Elena duduk di kursi dekat jendela, menatap buku tebal bertuliskan huruf kuno tentang sihir dasar dan aliran spiritual. Ia membaca dengan seksama, namun semakin lama, ekspresinya berubah frustrasi. Tangannya mengepal, dan buku itu terhempas ke lantai. “Kenapa belum juga bangkit?” gumamnya pelan, seraya menatap kosong ke arah luar jendela. Sudah seminggu penuh ia mencoba memusatkan kekuatan spiritualnya, namun tak ada satu pun percikan sihir muncul. Elena menutup matanya, mengatur napas panjang, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. Sebuah kenangan dari kehidupan lalunya berkelebat, saat Kanaya, si putri asli tanpa sengaja menolong seorang pengemis tua di pasar. Tak lama setelah itu, Kanaya memiliki guru rahasia yang membuat kekuatannya melonjak pesat. Elena segera berdiri, seolah mendapat pencerahan. “Cani!” panggilnya cepat. Pelayan muda itu segera masuk, menunduk sopan. “Ya, Nona?” “Aku akan keluar sekarang. Jika ada yang mencariku, katakan aku tidak ingin diganggu,” ucap Elena dengan nada tergesa-gesa. Cani menatap bingung. “Tapi, Nona ke mana Anda akan pergi? Sekarang masih pagi dan—” Elena mengangkat tangan, memotong ucapannya. “Nanti aku jelaskan. Sekarang aku harus segera keluar.” Cani tahu, saat Elena berbicara dengan cara itu, tak ada gunanya membantah. Ia hanya menunduk. “Baiklah hati-hati, Nona.” Elena mengenakan jubah hitam panjang, tudungnya menutupi sebagian wajah. Tanpa suara, ia melangkah keluar melalui pintu belakang paviliun Selatan. Tempat itu satu-satunya area yang tidak dijaga pengawal, jadi aman untuk keluar tanpa diketahui siapa pun. Ada untungnya Adipati tidak menyayanginya, jadi keamanannya tidak ketat. Elena berjalan cepat melewati kebun kecil dan pohon bambu yang rimbun, lalu menembus hutan di belakang kediaman Adipati Dirgantara. Setelah berjalan cukup jauh, ia menuruni jalan setapak yang menuju ke kota bawah. Butuh waktu hampir satu batang dupa hingga akhirnya suara hiruk pikuk pasar terdengar. Elena menurunkan tudungnya sedikit, agar wajahnya tak mudah dikenali, lalu melangkah di antara kerumunan. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar keributan di depan. “Pencuri tua busuk! Berani-beraninya kau mencuri kue bulan milikku!” teriak seorang wanita gemuk, pemilik toko kue. Seorang pengemis tua berlutut di tanah, tubuhnya kurus kering, pakaiannya compang-camping. Di depannya, beberapa kue bulan hancur berserakan. Seorang pemuda toko menendangnya hingga jatuh. “Dasar sampah! Sudah miskin, masih mencuri!” “Tidak! Aku hanya lapar ….” suara pengemis itu parau dan lemah. Elena segera melangkah cepat dan berdiri di antara mereka. “Berhenti!” Pemilik toko menatapnya heran. “Siapa kau, hah? Ini bukan urusanmu!” Elena mengangkat kepalanya sedikit, matanya tajam menatap pemilik toko. “Aku akan mengganti semua yang dia ambil.” Wanita itu mengangkat alis. “Kau pikir aku akan semudah itu memaafkan pencuri?” “Berapa harga kue bulan itu?” “Sepuluh koin perunggu! Apa kau sanggup?!” jawab si wanita dengan nada menantang. Elena mengeluarkan kantung kecil dari balik jubahnya, menghitung cepat, lalu menyerahkan sepuluh koin perunggu. “Ini. Dan satu lagi untuk kerugiannya.” Ia menambahkan satu koin tambahan, membuat wanita itu sedikit terdiam. Pemilik toko mendengus. “Baiklah, kali ini aku berbaik hati. Kalau bukan karena uangmu, pengemis ini sudah kubawa ke pengadilan kekaisaran.” Ia melangkah pergi sambil mengomel. Elena menatap pengemis itu yang masih duduk di tanah, gemetar. “Bangunlah, Paman. Mari ikut aku.” Pengemis tua itu mendongak, matanya berkaca-kaca. “Nona ... kau ... menolongku?” Elena hanya tersenyum kecil di balik tudungnya. “Ayo, aku akan membelikanmu makanan. Kau butuh makan, bukan belas kasihan.” Elena membantu lelaki tua itu berdiri, dan mereka berjalan menuju kedai kecil di sudut pasar. Elena memesan dua mangkuk bubur ayam hangat dan dua potong roti gandum. Saat makanan datang, pengemis itu menatapnya tak percaya. “Nona, ini terlalu banyak. Saya tak pantas menerima—” Elena menggeleng. “Sudah. Makan saja. Uangku tidak banyak, tapi cukup untuk hari ini.” Pengemis itu menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum hangat. “Terima kasih, Nona baik hati. Jarang ada orang yang memandang pengemis seperti saya dengan mata manusia.” Elena menatapnya sebentar, lalu berkata, “Kau tidak perlu berterima kasih. Aku hanya merasa, kita tidak pernah tahu siapa yang Dewa kirim untuk menolong kita kembali.” Pengemis itu terdiam, pandangan matanya berubah dalam, “Kau berbeda dari kebanyakan orang, Nona,” ujarnya. “Aku berhutang nyawa padamu. Jika suatu hari kau membutuhkan sesuatu datanglah ke kuil tua di kaki Gunung Lohan. Tanyalah tentang Orion.” Elena mengerutkan alis mendengar nama itu. “Orion?” “Ya.” lelaki tua itu tersenyum samar. “Itu nama yang dulu pernah membuat dunia takut.” Elena tertegun. Dalam hidup sebelumnya, nama Orion itu yang disebut-sebut Kanaya saat ia bercerita tentang gurunya. Jadi benar lelaki tua ini orangnya. Elena menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Baik, Paman Orion. Aku akan mengingatnya.”Suara berat itu membuat Elena dan Cani seketika membeku. Keduanya menoleh perlahan, di sana di ambang pintu kamar berdiri Rangga. Tubuh tegapnya bersandar di kusen pintu, sorot matanya tajam menusuk, mencoba mengintimidasi. “Elena.” suaranya datar. “dari mana saja kalian?” ulang RanggaCani menunduk refleks, wajahnya pucat pasi. Elena hanya menarik napas pelan, berusaha menenangkan debar di dadanya sebelum menjawab dengan nada datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.“Kami hanya berjalan-jalan di belakang taman paviliun,” ucapnya. “Sekalian menanam beberapa tanaman.”Rangga menyipitkan mata, bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. “Kau pikir aku percaya? Aku tahu kau pasti merencanakan sesuatu di belakang kami.”Tatapan Elena berubah dingin, tak ada sedikit pun rasa takut di matanya. “Aku tidak butuh kau percaya atau tidak,” jawabnya tegas. “Lagi pula, apa yang kau lakukan di sini? Setahuku, kau tidak pernah repot-repot mengunjungi kamarku.”Ucapan itu membuat garis rahang Rangga
Setelah Orion pergi meninggalkan kedai kecil itu, Elena menatap punggung lelaki tua itu hingga hilang di balik kerumunan pasar. “Sekarang waktunya bagian kedua,” gumam Elena, lalu berbalik pergi. Langkah Elena berhenti di depan sebuah toko pakaian kecil di sudut pasar. Cat pada papan nama toko itu sudah mengelupas, dan kaca jendelanya berdebu, tempat itu sangat sepi, hanya kain kusam yang tergantung. .Elena membuka pintu kayu itu perlahan, dan suara lonceng tua berdentang menandakan kedatangannya. Namun, tak ada yang datang. Elena menunggu sebentar di dekat pintu, lalu akhirnya melangkah masuk. Toko itu sepi, hanya terdengar suara seorang anak kecil dari ruang belakang. Saat Elena menoleh, ia melihat seorang wanita berambut kusam sedang menenangkan anaknya yang tampak kelaparan. Tubuh wanita itu kurus, bajunya lusuh. Begitu menyadari ada seseorang di pintu, wanita itu langsung berdiri waspada, melindungi anaknya di belakang punggung.“Siapa kamu?” serunya tajam. “Mau apa kau ke s
Sudah seminggu Elena tinggal di paviliun Selatan dan tak pernah keluar, hanya Cani yang membawakan makanan untuknya. Elena duduk di kursi dekat jendela, menatap buku tebal bertuliskan huruf kuno tentang sihir dasar dan aliran spiritual. Ia membaca dengan seksama, namun semakin lama, ekspresinya berubah frustrasi. Tangannya mengepal, dan buku itu terhempas ke lantai.“Kenapa belum juga bangkit?” gumamnya pelan, seraya menatap kosong ke arah luar jendela.Sudah seminggu penuh ia mencoba memusatkan kekuatan spiritualnya, namun tak ada satu pun percikan sihir muncul.Elena menutup matanya, mengatur napas panjang, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.Sebuah kenangan dari kehidupan lalunya berkelebat, saat Kanaya, si putri asli tanpa sengaja menolong seorang pengemis tua di pasar. Tak lama setelah itu, Kanaya memiliki guru rahasia yang membuat kekuatannya melonjak pesat.Elena segera berdiri, seolah mendapat pencerahan.“Cani!” panggilnya cepat.Pelayan muda itu segera masuk, menunduk sopan. “
Pelayan itu terus membenturkan kepalanya ke lantai dengan keras, hingga darah mulai menetes dari dahinya. "Ampuni saya, Tuan. Saya menyesal!" “Cukup!” seru Tuan Dirgantara, tapi pelayan itu tetap berlutut, tubuhnya gemetar memohon ampunan. Dengan tangan berlumur darah dari dahinya, pelayan itu merangkak ke arah Kanaya dan berusaha memegang ujung roknya. “Nona Kanaya, tolong saya ... saya tidak sengaja ... saya hanya—” suaranya tersendat, matanya memohon tapi ada sesuatu di matanya. Kanaya menatap pelayan itu dengan wajah tidak percaya. Suaranya terdengar kecewa. “Kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu tidak tahu kalau Kak Elena bisa dihukum karena perbuatan yang tidak dia lakukan?”Pelayan itu masih memohon, tubuhnya bersujud di lantai, “Nona tapi bukankah Nona kemarin—”“Cukup!” potong Kanaya cepat, matanya membulat dan pandangannya langsung beralih ke ayahnya, Adipati Dirgantara. “Ayah,” kata Kanaya, suaranya memelas, “pelayan ini memang bersalah. Tapi bisakah hukumannya diringankan
Tuan Dirgantara menoleh, begitu juga dengan yang lain. “Kalian tidak bisa menghukumku, tanpa ada bukti,” kata Elena seraya menepis tangan pengawal yang mencoba menyeretnya. Rangga maju selangkah, jari telunjuknya menuding tepat ke wajah Elena. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas, kau memang berusaha merusak paviliun ini hanya karena tak ingin Kanaya menempatinya. Jangan bilang kau mau memutar balikkan fakta!”Elena menatap jari itu dengan datar sebelum menepisnya kwras. “Apa begini sikap adil yang ditunjukkan oleh keluarga Adipati Dirgantara?” tanyanya menyindir, matanya menatap satu per satu wajah di hadapannya.Mata Adipati Dirgantara menyalak tajam merasa tersinggung ucapan Elena. Suasana mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara, baru kali ini mereka melihat Elena berbicara dengan nada setegas itu.Adipati Dirgantara menyipitkan mata. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas! Kau yang paling terakhir menempati paviliun itu, dan sekarang tempat ini hancur! Jangan berani m
“Apa yang kau katakan?” suara Adipati Dirgantara meledak, membuat semua orang terhenyak. Tatapan pria paruh baya itu, menusuk tajam ke arah pelayan yang kini berlutut gemetar.Pelayan itu menunduk semakin dalam, matanya melirik sekilas ke arah Elena yang berdiri diam di sisi kanan ruangan.Adipati yang tak luput menangkap lirikan itu kembali menegaskan. “Katakan dengan jelas! Jangan hanya diam seperti patung!”Pelayan itu menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. “A–ampun, Tuan … Paviliun Melati … paviliun itu … hancur berantakan. Saat kami hendak membersihkan kamar untuk Nona Kanaya, kami mendapati seluruh ruangan sudah kacau … barang-barang porak-poranda.”Semua orang membelalak terkejut, mata serentak tertuju pada Elena, yang terlihat tenang. Rangga tiba-tiba berdiri dari duduknya, langsung menatap tajam ke arah Elena. “Lihat! Benarkan dugaanku! Pantas saja kau begitu cepat menyerahkan Paviliun Melati. Rupanya ini rencanamu sejak awal!”Ringga ikut maju setengah langkah, suaranya pe