LOGINSetelah Orion pergi meninggalkan kedai kecil itu, Elena menatap punggung lelaki tua itu hingga hilang di balik kerumunan pasar.
“Sekarang waktunya bagian kedua,” gumam Elena, lalu berbalik pergi. Langkah Elena berhenti di depan sebuah toko pakaian kecil di sudut pasar. Cat pada papan nama toko itu sudah mengelupas, dan kaca jendelanya berdebu, tempat itu sangat sepi, hanya kain kusam yang tergantung. . Elena membuka pintu kayu itu perlahan, dan suara lonceng tua berdentang menandakan kedatangannya. Namun, tak ada yang datang. Elena menunggu sebentar di dekat pintu, lalu akhirnya melangkah masuk. Toko itu sepi, hanya terdengar suara seorang anak kecil dari ruang belakang. Saat Elena menoleh, ia melihat seorang wanita berambut kusam sedang menenangkan anaknya yang tampak kelaparan. Tubuh wanita itu kurus, bajunya lusuh. Begitu menyadari ada seseorang di pintu, wanita itu langsung berdiri waspada, melindungi anaknya di belakang punggung. “Siapa kamu?” serunya tajam. “Mau apa kau ke sini?” Elena tak bergerak, hanya menatap lembut. Lalu perlahan ia melepas tudung jubahnya, memperlihatkan wajahnya. “Namaku Elen,” ujar Elena. “Aku datang bukan untuk membeli tapi untuk berbisnis denganmu.” Wanita itu mengernyit heran. “Berbisnis? Dengan orang sepertaku?” ia terkekeh getir. “Toko ini bahkan hampir gulung tikar. Kau salah alamat, Nona.” Elena tersenyum kecil. “Tidak, aku yakin aku di tempat yang tepat.” Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi gambar desain hanfu dengan gaya yang belum pernah terlihat di kekaisaran saat ini. Elena membentangkan gambar itu di meja kayu tua yang berdebu. “Lihat,” kata Elena. “Bisakah kau membuat pakaian seperti ini?” Wanita itu menatap gambar-gambar itu lama. Matanya yang tadi tajam kini berubah menjadi pandangan terkejut dan penuh kagum. Jemarinya bergetar saat menyentuh kertas itu, seolah takut merusaknya. “Ini ... ini indah sekali. Aku belum pernah melihat potongan seperti ini. Tapi ....” suaranya melemah, “aku tidak bisa. Aku tak punya kain, tak punya modal. Semua tabunganku sudah habis untuk makan.” Elena diam, lalu merogoh kantung kecil di pinggangnya. Ia mengeluarkan seluruh koin perunggu dan beberapa koin perak yang tersisa dari tabungannya. Meletakkan di meja, ia mendorongnya ke arah wanita itu. “Ini. Gunakan untuk membeli bahan dan peralatan. Mulailah dari satu desain saja.” Wanita itu membelalakkan mata, lalu mundur selangkah. “Apa maksudmu? Kau benar-benar memberiku uang sebanyak ini? Tanpa jaminan apa pun?” Elena tersenyum, lembut dan tulus. “Ya. Aku percaya padamu.” “Kenapa?” tanya wanita itu. “Kenapa kau percaya pada orang yang bahkan tak bisa menjamin tokonya bertahan seminggu lagi?” Elena menatap wanita itu, lalu tersenyum misterius. * * Setelah melakukan kesepakatan pada pemilik toko pakaian kecil itu. Kini Elena kembali pulang. “Semoga Cani tidakkhawatir,” gumam Elena. Elena berlari kecil melewati jalan berbatu yang sepi, kain jubah hitamnya berkibar tertiup angin. Langit mulai memerah, tanda sore hampir tenggelam. Ia mempercepat langkah, menembus jalan setapak di belakang kediaman Adipati Dirgantara sama seperti saat dia pergi, melewati rumpun bambu yang melindungi paviliun Selatan dari pandangan mata orang. Begitu mendekat, terlihat sosok Cani mondar-mandir di depan pintu paviliun dengan wajah pucat pasi. Pelayan muda itu hampir melompat saat melihat tuannya muncul dari balik semak. “Nona! Akhirnya Anda datang juga!” seru Cani panik. “Saya kira ada apa-apa! Anda tahu tidak, dua kali pelayan dari dapur datang mencar—” “Tenang, Cani,” potong Elena cepat sambil menepuk bahunya. Napasnya sedikit terengah. “Aku baik-baik saja. Tidak ada yang tahu aku keluar. Sekarang cepat masuk.” “Tapi Nona, beberapa pelayan tadi berkata, Adipati mencari—” “Aku tahu, ayo kita bergegas ke kamar dulu,” potong Elena. Cani masih terlihat gugup, kini mereka berjalan cepat menuju kamar, suara langkah mereka nyaris tak terdengar di lantai. Sebelum mereka tiba di kamar, Elena melepaskan jubah hitamnya terlebih dahulu. Cani dengan sigap mengambil jubah itu dan menyembunyikannya ke balik rok dalamnya, seperti sudah terbiasa menutupi rahasia tuannya. “Nona, kalau sampai ada yang tahu, kita bisa—” Belum sempat Cani menyelesaikan kalimatnya, suara dingin memotong ucapannya. “Kalian dari mana saja?” Deg!Di dalam paviliun Selatan. Elena duduk di tepi ranjang, sementara Cani berdiri di depannya dengan wajah cemberut dan tangan yang bekerja cepat mengoleskan krim herbal ke lengan Elena yang memerah.Cani terus menggerutu tanpa berhenti.“Mereka benar-benar jahat, nona. Apa hati mereka sudah jadi batu? Saya benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa Kanaya meracuni pikiran mereka semua sampai seperti itu.”Elena menghela napas panjang, lelah, lalu menatap Cani dengan senyum menggoda.“Sudahlah, Cani. Kau akan cepat tua kalau marah-marah seperti itu.”Cani langsung mempout bibirnya, wajahnya penuh protes. “Nona! Saya serius ini!”Elena tidak bisa menahan tawa kecil. Ia meraih tangan Cani dan menggenggamnya lembut.“Aku tahu kau serius. Tapi kau tidak perlu membuang energimu hanya untuk mereka.”Bibirnya melengkung sinis kecil. “Lagipula, kenapa kau mengoleskan krim ini padaku? Aku bisa menyembuhkannya pakai elemen cahaya. Sembuh dalam sekejap.”Cani buru-buru menatap Elena, lalu memuk
Elena akhirnya tidak tahan lagi. Suara yang sejak tadi ditahan meledak begitu saja.“Hentikan!”Teriakan itu membuat Rangga dan Ringga refleks berhenti. Elena menyentakkan tangannya dengan kekuatan penuh. Cekalan kasar itu terlepas, meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya.Elena menatap mereka berdua dengan tatapan tajam, penuh luka, dan penuh kemarahan yang selama ini ia pendam.“Aku tidak melarikan diri,” suaranya pecah tapi tegas. “Karena aku tidak bersalah.”Rangga hendak membalas, tapi Elena lebih dulu melanjutkan, suara yang keluar kini bukan sekadar marah melainkan pilu yang menohok. “Kalian .…” Elena menarik napas gemetar, “kedua kakakku yang dulu selalu melindungi dan menyayangiku sejak kecil. Kita tinggal bersama selama belasan tahun. Apa kalian tidak mengenalku sedikit pun?”Air matanya mengalir setetes. Dingin salju yang turun tak bisa mengalahkan dinginnya kata-katanya. “Sedangkan Kanaya … orang yang baru tinggal bersama kita beberapa bulan … kalian langsung percaya pa
Setelah makan bersama di kedai. Elena baru saja melangkah melewati gerbang taman bunga ketika suara lembut tapi terkejut memanggilnya.“Elena … kau sudah bebas?”Nyonya Andini berdiri di bawah naungan pohon plum, wajahnya pucat dan matanya membesar melihat Elena benar-benar ada di hadapannya. Wanita paruh baya itu tampak seperti baru saja kehilangan kekuatan untuk berdiri.Elena tersenyum tipis, senyum yang tidak lagi hangat seperti dulu. “Tentu saja nyonya. Aku sudah berada di depan Anda sekarang.” Elena menatap langsung ke mata wanita itu. “Atau … apa nyonya Andini berharap aku tetap berada di penjara?”Nyonya Andini cepat-cepat menggeleng. “Bukan seperti itu … bukan, Nak .…”Suara itu pecah, air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. Bagaimanapun, dialah yang menggendong Elena sejak bayi, yang menimang, menyuapi, mengajari berjalan. Dan sekarang, dia merasa seperti seseorang yang telah menusuk anaknya sendiri.Cani di sisi Elena menunduk, tak berani menatap siapapun.Nyonya Andini me
Elena melangkah keluar dari aula Kekaisaran Solaria dengan napas lega. Udara luar terasa jauh lebih ringan daripada atmosfer penuh intrik di dalam sana. Cani yang berjalan di sampingnya langsung memekik kecil sambil tersenyum lebar."Nona! Syukurlah nona tidak apa-apa. Saya benar-benar takut tadi."Elena tersenyum tipis lalu menepuk punggung tangan Cani dengan lembut."Terima kasih, Cani. Tanpa kau semua mungkin akan berjalan berbeda."Cani menggeleng cepat, wajahnya memerah bangga. "Saya hanya melakukan kewajiban saya."Elena lalu menoleh pada pemuda di sisi kirinya Caspian, dengan tatapan tajam namun hangat yang selalu membuat orang lain susah menebak isi pikirannya."Dan kau, terima kasih. Kalau bukan karena bantuanmu, aku tidak akan selamat dari tuduhan itu."Caspian tersenyum tipis, senyuman khasnya yang jarang muncul. Ia mengangkat tangan dan tanpa ragu mengusap kepala Elena pelan."Aku sudah bilang aku tidak akan pernah membiarkanmu terluka."Wajah Elena seketika memerah. "K–ka
Aula utama Kekaisaran Solaria mendadak bergemuruh begitu Nina, gadis yang baru saja diseret prajurit, berteriak histeris. Kaisar Noah berdiri sedikit dari singgasananya, ekspresinya tajam namun tidak terburu-buru. Beliau menatap Elena.Kaisar Noah berkata dengan suara berat.“Nona Elena, apa maksudnya semua ini?” Elena melangkah maju. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya dingin.“Yang Mulia, beberapa waktu lalu mantan pelayan pribadi Kanaya ini dihukum cambuk dan diusir dari kediaman Adipati Dirgantara, karena ketahuan menggelapkan uang bulanan saya selama berbulan-bulan.” Bisik-bisik langsung pecah di antara para bangsawan. Sebagian terperanjat, sebagian lagi saling bertukar pandang, mencoba mengingat rumor-rumor lama.Rano Kusuma terkejut, ia menatap Nina dengan raut wajah sesuatu dan tentu Elena menangkap perubahan berbeda itu. Adipati Dirgantara mengerutkan kening. Ia lalu menoleh pada pemimpin pembunuh bayaran itu dan berkata dengan suara menggelegar. “Kau! Katakan yang
Semua orang mengangguk setuju mendengar perkataan Kanaya. Suasana aula menjadi bising, penuh bisikan dan kecurigaan.Rano Kusuma tiba-tiba berdiri. Dia menunduk hormat pada Kaisar Noah. “Maaf menyela pembicaraan Yang Mulia.”Aula langsung sunyi. Semua kepala menoleh. Sebagai Penegak Hukum Kekaisaran, ucapannya punya bobot besar.Kaisar Noah mengangguk pelan. “Katakan.”Rano Kusuma menoleh pada semua orang, kemudian tatapannya mengarah pada Elena.“Apa yang dikatakan Nona Kanaya ada benarnya nuga,” ucapnya lantang. “Kita semua melihat sendiri siapa yang membawa para pembunuh bayaran itu ke depan aula persidangan kekaisaran ini, pelayan Nona Elena dan Tuan Muda Caspian. Apa ini bisa dibilang sebuah kebetulan? Tidak mungkin bukan.”Ucapan dari pria berperut buncit itu benar-benar masuk akal. Dalam hati, Rami tersenyum licik. Ia tak akan melepaskan Elena, apalagi gadis itu sudah mempermalukan dirinya dan jga putri kesayangannya itu. Beberapa pejabat mulai berbisik lagi.“Benar juga.”“Ca







